I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Telur adalah suatu bentuk tempat penimbunan zat gisi seperti air, protein,
embrio sampai menetas. Telur yang dapat ditetaskan merupakan telur yang fertil
atau yang lazim disebut dengan telur tetas. Telur tetas merupakan telur yang
sudah dibuahi oleh sel jantan. Bila tidak dibuahi oleh sel jantan, telur tersebut
disebut telur infertil atau lazim disebut telur konsumsi, artinya telur tersebut tidak
yang sesuai untuk perkembangan embrio unggas. Lama penetasan telur ditempat
pengeraman tergantung dari jenis hewannya. Semakin kecil hewan, semakin kecil
telur yang dihasilkan, dan semakin tinggi suhu badan hewan, semakin pendek
waktu penetasan telurnya. Bila bentuk telur dan ukurannya seragam, waktu
telur tidak dilakukan dengan sembarang, perlu banyak aspek yang diperhatikan
agar daya tetas yang dihasilkan tinggi dari mulai perlakuan telur sebelum
II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
Waktu
Uraian Dosis Keterangan
(Menit)
berturutan dengan bentuk yang sama, memiliki bentuk yaitu bulat, panjang, dan
lonjong (Suprijatna et al., 2005).
Suprijatna (2005) menyatakan bahwa, seleksi telur tetas merupakan suatu
kegiatan yang dilakukan untuk memilih telur tetas yang memenuhi persyaratan
untuk ditetaskan. Pada suatu penetasan hanya telur – telur tetas yang memenuhi
persyaratan saja yang digunakan, karena hanya akan mengganggu jalannya proses
penetasan. Oleh karena itu seleksi telur tetas ini merupakan aktifitas awal yang
sangat menentukan keberhasilan penetasan. Telur tetas yang baik harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
1. Telur tetas harus berasal dari induk (pembibit) yang sehat dan produktifitasnya
tinggi dengan sex ratio yang baik sesuai dengan rekomendasi untuk strain atau
jenis ayam/itik.
2. Umur telur tidak boleh lebih dari satu minggu. Daya tetas akan menurun
sejalan dengan bertambahnya umur telur.
3. Kualitas telur secara fisik telu rmeliputi :
a. Bentuk telur harus normal, sempurna lonjong dan simetris.
b. Berat telur harus seragam.
c. Keutuhan telur (kerabang telur atau permukaan telur tidak berbintil bintil
atau retak / pecah / warna bercak coklat).
d. Kerabang yang keras dan rapuh tidak ditetaskan.
e. Kebersihan telur tetas.
f. Warna telur tetas
g. Ketebalan kerabang.
Alat ini dapat mengatur suhu di dalam ruangan penetasan secara otomatis. Jika
panasnya melebihi batas yang kita tentukan, maka termoregulator akan bekerja
memutus arus listrik, akibatnya lampu pijar menjadi mati. Demikian suhu udara di
dalam mesin tetas tetap stabil. Apabila dengan waktu tertentu ruangan atau kotak
itu suhunya rendah, maka termostat bekerja kembali untuk menyambung arus dan
lampu pijar menyala pula (Marhiyanto, 2000).
Menurut Shanawany (1994), untuk menjaga agar tidak terjadi penguapan
yang berlebihan perlu diatur kelembaban pada 65 – 70 %. Mulai hari ke-20,
kelembaban dinaikkan menjadi lebih dari 70 %. Cara lain dengan melihat pada
kaca ventilasi masin tetas. Bila pada kaca terdapat butir-butir air berarti
kelembaban terlalu tinggi. Dalam kondisi tersebut, kaca segera dilap sampai
kering, ventilasi dibuka dan bak air dikeluarkan.
Dalam penetasan telur ada 5 poin utama yang harus diperhatikan pada
incubator mesin penetas telur, yaitu :
1. Suhu (Temperatur)
2. Kelembaban Udara (Humidity)
3. Ventilasi (Ventilation)
4. Pemutaran Telur (Egg Turning)
5. Kebersihan (Cleanliness).
Awal perkembangan embrio ayam menunjukkan bahwa splanknopleura
dan somatopleura meluap keluar dari tubuh embrio hingga di atas yolk. Daerah
luar tubuh embrio dinamakan daerah ekstra embrio. Mula – mula tubuh embrio
tidak mempunyai batas sehingga lapisan – lapisan ekstra embrio dan intra embrio
saling berkelanjutan. Dengan terbentuknya tubuh embrio, secara berurutan
terbentuk lipatan – lipatan tubuh sehingga tubuh embrio hampir terpisah dari yolk.
Adanya lipatan – lipatan tubuh, maka batas antara daerah intra dan ekstra embrio
menjadi semakin jelas. Daerah kepala embrio mengalami pelipatan yang disebut
dengan lipatan kepala dan memisahkan antara bagian intra dan ektra embrio. Pada
bagian lateral tubuh juga terbentuk lipatan tubuh lateral dan memisahkan bagian
ekstra dan intra embrio. Bagian posterior mengalami pelipatan dan dikenal dengan
nama lipatan ekor membentuk kantung sub kaudal. Lipatan – lipatan tersebut
9
membentuk dinding saluran pencernaan primitif. Beberapa sel epiblas yang lewat
primitive streaktersebut ke arah bawah dan bercampur dengan sel – sel hipoblas
(Reece-Mitchell, 2004). Namun bagian tengah usus yang menghadap yolk tetap
terbuka dan pada daerah ini dinding kantung yolk berhubungan dengan dinding
usus pada kantung yolk (Adnan, 2008).
Pembelahan lebih sukar dan terbatas pada suatu keeping pada kutub
anima, disini berlangsung pembelahan partial atau meroblastis. Sel – sel yang
membelah membentuk cangkang bentuk cakram yang disebut sebagai blastodis
yang merupakan blastomer sentral yang melepaskan diri dari detoplasma di
bawahnya dan terbentuk rongga sempit yang merupakan bagian pinggir,
blastomer tidak jelas terpisah dari detoplasma dan terus bergerak menuju ke
detoplasma (Yatim, 1994).
Perkembangan embrio ayam terjadi di luar tubuh induk. Telur – telur
diinkubasi menggunakan mesin – mesin penetas telur buatan. Embrio mengambil
bahan makanan dari dalam telur sehingga induk tidak mampu menambahkannya.
Unggas tidak memiliki siklus estrus dan tidak terjadi double ovulasi sebab ovulasi
terjadi beberapa saat (30 menit) setelah peneluran dan ovulasi berikutnya tidak
akan terjadi apabila dalam oviduk masih terdapat telur (Yuawanta, 2004).
Perkembangan embrio dalam telur selama proses penetasan penting untuk
diketahui. Pada hari pertama, selama inkubasi selama 16 jam, tanda pertama
diketahui adalah embrio ayam dan setelah 24 jam sudah terbentuk mata. Pada hari
kedua selama inkubasi satu jam, mulai terbentuk jantung. Pada hari ketiga masa
inkubasi 8 jam, mulai terbentuk amnion, 6 jam kemudian terbentuk alantois
(Murtidjo, 1992).
dari jumlah telur yang ditetaskan akan dihasilkan persentase daya tetas yang
tinggi pula. Menurut North (1980), fertilitas yang tinggi diperlukan untuk
menghasilkan daya tetas yang tinggi.salah satu faktor yang mempengaruhi
fertilitas telur ialah rasio seks pejantan dan induk betina.
Rendahnya daya tetas bukan hanya disebabkan oleh tata laksana
pemeliharaan, tetapi tehnik penetasan sangat penting dalam meningkatkan
keberhasilan dalam usaha penetasan. Hal ini dapat terjadi ketika proses penetasan
berlangsung sumber panas yang dibutuhkan tidak mencukupi karena matinya
listrik. Listiowati dan Roospitasari (2003) menyatakan, jika sumber panas ini
terlalu lama mati akan menyebabkan perubahan suhu yang dapat mematikan benih
dalam telur. Anonimous (2009) menyatakan, temperature yang terlalu rendah
dapat menghambat perkembangan embrio, pada suhu penetasan 90 0F (32 0C)
untuk waktu tiga samapai 4 jam akan memperlambat perkembangan embrio ayam
di dalam telur.
2. Bobot Tetas
Bobot tetas adalah bobot DOC setelah menatas yang bulu badannya telah
kering dan sebelum diberi makan atau minum untuk pertama kalinya. Kaharudin
(1989) Menyatakan bahwa, salah satu faktor yang mempengaruhi bobot tetas
yaitu bobot telur tetas. Sudaryani dan santoso (1994) menyatakan, bobot telur
tetas merupakan faktor utama yang mempengaruhi bobot tetas, selanjutnya
dikatakan bobot tetas yang normal adalah dua per tiga dari bobot telur dan apabila
bobot tetas kurang dari hasil perhitungan tersebut maka proses penetasan bias
dkatakan belum berhasil.
Menurut Rasyraf (1984), seleksi telur tetas lebih dulu diutamakan pada
bobot telur karena alan mempengaruhi bobot awal DOC, semakin berat telur
tersebut maka DOC yang dihasilkan juga semakin berat.
3. Waktu menetas
Ukuran telur tetas dapat mempengaruhi waktu menetas. Roospitasari dan
listiyowati (2003) menyatakan bahwa, telur yang kecil akan menetas lebih cepat
11
dibandingkan telur yang besar, karena telur yang besar dan yang kecil mempunyai
luas permukaan yang berbeda sehingga daya serap panasnya pun akan berbeda.
Suhu dan kelembapan mesin juga mempengaruhi lamanya waktu menetas
telur. Suhu yang sesuai untuk penetasan telur puyuh dalam mesin tetas diatur
sesuai dengan kaidah-kaidah penetasan yaitu suhu 38,3 0C (101F) pada hari
pertama sampai hari ke-15 dan hari ke-16 hingga menetas yaitu 39 0C (102 0F)
dan kelembapan 60% mulai dari hari pertama hngga hari ke-15 dan 70% pada hari
ke-16 hingga telur ayam menetas.
Imanah dan Maryam (1992) menyatakan, jika suhu dibawah normal maka
telu akan menetas lebih lama dari waktu yang ditentukan dan apabila suhu dalam
mesin tetas diatas normal, maka waktu menetas lebih awal dari waktu yang
ditentukan. Sedangkan kelembapan terlalu tinggi akan mencegah penguapan air
dari dalam telur sehingga sulit dalam memecahkan kulit telur. Anonimous (2005)
menyatakan bahwa, kelembapan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan anak
ayam dalam telur akan sulit memecahkan kulit telur.
4. Kematian Embrio (mortalitas embrio)
Menurut Manyun dan Nugroho (1981), kematian embrio banyak terjadi
dalam keadaan kritis selama waktu penetasan. Ada dua fase kritis embrio dalam
penetasan, yaitu pada tiga hari pertama masa penetasan dan tiga hari sebelum
menetas. Mortalitas embrio dapat ditentukan pada hir penetasan denan pemecahan
telur yang tidak menetas. Hal ini dapat diketahui dari tidak menetasnya telur pada
ahir penetasan.
Hasil tetasan yang normal dari sebuah mesin tetas adalah 75% sampai
85%. Bila hasilnya kurang dari hasil tersebut, kemungkinan disebabkan selama
priode penetasan terjadi perubahan temperature yang besar (Mayun dan Nugroho,
1981). Hal ini dapat terjadi ketika proses penatasan berlangsung sumber panas
yang dibutuhkan tidak mencukupi dikarenakan matinya listrik.
12
III
ALAT, BAHAN, DAN PROSEDUR KERJA
3.1. Alat
3.1.1. Cara Kerja dan Fumigasi Mesin Tetas
Mesin tetas
Cawan petridis
Gelas ukur
Labu erlenmeyer
Timbangan O’haus
Alat ukur (meteran)
Mesin tetas
3.2. Bahan
3.2.1. Cara Kerja dan Fumigasi Mesin Tetas
KMnO4
Formalin (H2CO) 40%
kawat nikelin terputus pula. Bila suhu mesin tetas turun maka kapsul
mengempis yang mengakibatkan aliran listrik tersambung dan panas
dihantarkan kembali melalui kawat nikelin.
5. Begitu juga dengan lampu tempel, udara panas yang dialirkan melalui pipa
seng masuk ke dalam ruang mesin tetas, sehingga kapsul mengembang
serta mendorong kawat dalam pipa besi yang mengakibatkan tangkai
thermoregulator terangkat ke atas dan tutup seng terangkat. Dengan
demikian sebagian panas dari lampu tempel dibuang keluar. Bila suhu
mesin tetas turun maka kapsul mengempis yang mengakibatkan tangkai
thermoregulator trurun sehingga tutup seng menutup dan panas
dihantarkan kembali melalui pipa seng ke dalam mesin tetas.
Bila shape indeks kurang dari 69 bentuk telur lonjong, shape indeks antara
69-77 bentuk telur normal (ovoid) dan di atas 77 bentuk telur bulat.
Setelah dihitung catat bentuk telur tersebut.
6. Apabila terjadi mati litrik siapkan penyalaan lampu tempel dan tunggu
sampai suhu penetasan tercapai. Dicatat juga lamanya mati listrik.
7. Kejadian selama penetasan berlangsung dicatat dalam tabel pengamatan
penetasan telur pada kolom keterangan.
8. Persentase fertilitas pada hari ke tujuh dan persentase daya tetas dihitung.
9. Ulasan diberi pada laporan akhir faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi fertilitas dan daya tetas.
18
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.1. Hasil Pengamatan
1.1.1. Cara Kerja dan Fumigasi Mesin Tetas
Perhitungan
Panjang mesin tetas = 56 cm = 0,56 m3
Lebar mesin tetas = 56,2 cm = 0,562 m3
Tinggi mesin tetas = 32,5 cm = 0,325 m3
Volume mesin tetas = 0,102 m3
Kebutuhan KMnO4 = 2,17 g
Kebutuhan formalin = 4,34 g
Tidak
12 35.5 4.68 3.66 Bulat Bintik putih
Retak
Tidak
13 35.0 4.6 3.19 Ovoid Bersih
Retak
Tidak
14 44.0 4.8 3.64 Ovoid Bintik putih
Retak
Tidak
15 39.3 4.95 3.5 Ovoid Bintik putih
Retak
Tidak
16 40.4 4.75 3.5 Ovoid Bintik putih
Retak
Tidak
17 38.0 4.91 3.68 Ovoid Bersih
Retak
Tidak
18 39.7 4.94 3.635 Ovoid Bintik putih
Retak
Tidak
19 34.9 4.895 3.635 Ovoid Bersih
Retak
Tidak
20 33.8 4.58 3.62 Bulat Bersih
Retak
Tidak
21 42.5 5.05 3.87 Ovoid Bersih
Retak
Tidak
22 43.1 4.88 3.93 Bulat Bersih
Retak
Ada bintik Tidak
23 42.2 4.96 3.91 Bulat
putih Retak
Tidak
24 40.3 4.8 3.88 Bulat Bersih
Retak
Tidak
25 34.6 4.82 3.64 Ovoid Bersih
Retak
Ada bintik Tidak
26 41.9 4.86 3.88 Bulat
putih Retak
Tidak
27 45.9 5.06 4.04 Bulat Bersih
Retak
Tidak
28 46.7 5.13 3.99 Bulat Bersih
Retak
Tidak
29 35 4.32 3.48 Bulat Bersih
Retak
Tidak
30 39.3 4.37 3.58 Bulat Kotor
Retak
Tidak
31 37.7 4.6 3.41 Ovoid Kotor
Retak
Tidak
32 46 4.7 3.51 Ovoid Kotor
Retak
20
1.2. Pembahasan
1.2.1. Cara Kerja dan Fumigasi Mesin Tetas
Mesin tetas sangat diperlukan untuk perbanyakan populasi unggas.
Penetasan dengan menggunakan mesin tetas merupakan penetasan buatan karena
menggunakan mesin. Keuntungan menggunakan mesin tetas yaitu setiap
21
pengeraman dapat menampung lebih banyak telur. Mesin tetas perlu di fumigasi
karena tujuan dari fumigasi ini adalah untuk menyuci hamakan mikroorganisme
yang bisa masuk kedalam mesin tetas. Alasan mesin tetas harus dicuci hamakan
agar telur yang masuk ke mesin tetas bisa terjaga keutuhannya dan memiliki
kualitas baik. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sukardi (1999)
bahwa telur yang baru diambil dari kandang telah tercemar mikroba yang
populasinya tergantung pada tingkat kebersihan telur. Fumigasi merupakan upaya
untuk membasmi mikroba tersebut. Fumigasi dengan menggunakan gas
formaldehyde digunakan secara luas pada perusahaan penetasan telur, karena
disamping mudah dilakukan, gas tersebut mempunytai daya basmi terhadap
mikroba yang tinggi. Fumigasi mesin tetas dilakukan dengan cara terlebih dahulu
mengukur panjang, lebar serta tinggi mesin tetas agar dapat diperoleh volume
mesin tetas.
Dari praktikum yang telah dilakukan didapatkan panjang dari mesin tetas
0,56 m3, lebar 0,562 m3 dan tinggi 0,325 m3. Kemudian setelah dilakukan
pengukuran tersebut didapat volume mesin tetas 0,102 m3. Setelah itu fumigasi
dilakukan dengan menggunakan konsentrasi 3 kali karena pada konsentrasi ini
merupakan konsentrasi yang ideal, efektif, efisien dan merupakan konsentrasi
yang sering dilakukan disetiap industri peternakan. Fumigasi dengan konsentrasi 3
kali ini membutuhkan KmnO4 sebanyak 2,17 gram dan kebutuhan formalin
sebanyak 4,34 gram. Untuk mendapatkan kebutuhan KmnO4 dan formalin bisa
𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣 𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣 𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣
didapatkan dengan menggunakan rumus 𝑣 60 (untuk
2.83
𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣 𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣 𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣
KmnO4 ) dan 𝑣 120 (untuk formalin). Angka 60 dan 120
2.83
sesuai yang diharapkan. Telur tetas yang diseleksi adalah telur tetas ayam
kampung. Seleksi yang dilakukan meliputi panjang telur, berat telur, diameter,
bentuk telur, keutuhan dan kebersihan telur. Dari tabel 3. Telur yang kami amati
adalah telur dari nomor 29 sampai 32. Dari telur-telur tersebut dapat dilihat bahwa
telur nomor 29-32 semua telur utuh (tidak retak), namun dari keempat telur
tersebut hanya satu telur yang bersih yaitu telur nomor 29, sisanya telur dalam
keadaan kotor. Selain itu, bentuk telur dari nomor 29 dan 30 bulat sedangkan telur
nomor 31 dan 32 ovoid. Bentuk telur atau Shape Index (SI) dapat dicari dengan
𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣
rumus 𝑣 100 . Bentuk telur yang baik adalah ovoid (tidak bulat dan
𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣
tidak lonjong) karena bentuk telur yang terlalu bulat atau terlalu lonjong
menunjukkan bahwa telur tersebut memiliki daya tetas rendah. Hal ini sesuai
dengan pendapat Suprijatna (2005) yang menyatakan bahwa, seleksi telur tetas
merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk memilih telur tetas yang
memenuhi persyaratan untuk ditetaskan. Pada suatu penetasan hanya telur – telur
tetas yang memenuhi persyaratan saja yang digunakan, karena hanya akan
mengganggu jalannya proses penetasan. Oleh karena itu seleksi telur tetas ini
merupakan aktifitas awal yang sangat menentukan keberhasilan penetasan.
daya tetas adalah manajemen pemutaran telur yang tidak teratur, karena tidak
semua praktikan memutar telur tepat pada waktunya, hal itu bisa mempengaruhi
pada daya tetas telur yang dihasilkan.
Perkembangan embrio ayam terjadi di dalam telur yang dikeluarkan oleh
induk ayam. Proses perkembangan embrio ayam terjadi selama 21 hari. Hal
tersebut juga sesuai dengan yang dinyatakan Yuwanta (2004) bahwa
perkembangan embrio ayam terjadi di luar tubuh induk dan telur – telur
diinkubasi menggunakan mesin – mesin penetas telur buatan. Embrio mengambil
bahan makanan dari dalam telur sehingga induk tidak mampu menambahkannya.
Dengan begitu, satu – satunya sumber makanan dan nutrisi yang dibutuhkan bagi
embrio adalah komponen – komponen dalam telur berupa yolk dan albumen.
Pada praktikum, kami melakukan pengamatan telur fertil dan telur infertil
pada saat memasuki hari ketujuh. Pertama kami melakukan candling terlebih
dahulu untuk memastikan telur tersebut fertil atau infertil. Candling dilakukan
dengan cara menerawang telur pada lampu dan memperhatikan apakah telur
tersebut fertil atau infertil. Apabila telur fertil, maka telur akan terlihat gelap saat
dilakukan candling. Hal ini sesuai dengan pernyataan North dan Bell (1990)
bahwa dewasa ini cara yang dilakukan untuk menentukan fertilitas telur adalah
dengan peneropongan atau candling. Peneropongan atau candling dilakukan pada
hari ke-4 atau ke-7 dan ke-18 (sebelum telur pindah ke hatcher). Setelah itu, dari
4 butir telur yang digunakan untuk praktikum, 3 diantaranya merupakan telur
fertil dan 1 merupakan telur infertil. Setelah itu, kami pun menggunakan 1 telur
fertil dan 1 telur infertil untuk melihat perbedaannya dengan cara memecahkan
kerabang dan melihat isi dari telur fertil dan infertil tersebut. Pada telur fertil,
terlihat embrio yang masih berumur 7 hari. Embrio tersebut mulai terlihat bentuk
kepala, mata, dan paruh namun masih dalam kondisi lunak. Selain itu juga
terdapat amnion, allantois, yolk sac, dan chorion. Amnion adalah cairan yang
berada di sekeliling embrio yang berfungsi sebagai bantalan untuk merendam
goncangan dari luar dan mencegah embrio menjadi kering. Selain itu amnion juga
berfungsi untuk membantu embrio muda dalam perkembangan organ dan
jaringannya. Selain amnion, juga terdapat allantois yang memiliki fungsi
24
V
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil praktikum yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Fumigasi adalah sistem yang dapat digunakan dalam sanitasi atau
pembersihan terhadap telur tetas.
2. Dilakukannya seleksi telur tetas adalah untuk memilih telur tetas yang
memenuhi persyaratan untuk ditetaskan.
3. Kelebihan menggunakan mesin tetas di banding dengan penetasan secara
alami, yaitu : dapat dilakukan sewaktu-waktu, dapat dilakukan dengan
jumlah telur yang banyak, menghasilkan anak dalam jumlah banyak dalam
waktu bersamaan, dapat dilakukan pengawasan dan seleksi pada telur
4. Telur yang infertil di sebabkan oleh beberapa faktor yaitu telur tidak
terbuahi karena rasio jantan dan betina tidak tepat, ransum induk kurang
memenuhi syarat, pejantan terlalu tua, perkawinan preferensial, pejantan
yang steril, dan embrio mati terlalu awal akibat penyimpanan yang terlalu
lama.
5.1. Saran
Praktikum penetasan telur tetas dirasa akan lebih efektif jika praktikan
lebih teliti dalam menyeleksi telur, agar tidak ada telur yang infertil masuk
kedalam mesin tetas, sehingga daya tetas telur presentasinya lebih tinggi. Selain
itu dalam melakukan penanganan setelah telur menetas, diharapkan lebih teliti
lagi dalam melakukan pemutaran telur agar embrio tidak menempel pada
cangkang.
26
DAFTAR PUSTAKA
Nesheim, M. C., R. E. Austic dan L. E. Card. 1979. Poultry Production. Lea and
Febiger, Philadelphia.
North, M.O. and D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. Van
Nostrand Reinhold : London
Nuryanti, Tuti, Sutarto, Muh. Khamin, dkk. 2005. Sukses Menetaskan Telur.
Penebar Swadaya : Bogor
Shanawany. 1994. Quail Production Systems. FAO of The United Nations. Rome.
Sudaryani dan Santosa Hari 2002. Pembibitan Ayam Ras. Jakarta, Penebar
Swadaya.
Suprijatna, E., Umiyati, a., dan Ruhyat, K., 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas.
Penebar Swadaya. Jakarta.
___________. 2010. Telur dan Kualitas Telur. Gajah Mada University Press :
Yogyakarta