Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejahatan sexual sebagai salah satu bentuk dari kejahatan yang menyangkut

tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia. Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu

Keodkteran Forensik dan Medikolegal mempunyai peranan penting dalam

upaya pembuktian kejahatan sexual.1

Angka kejadian kejahatan seksual yang diantaranya ialah perkosaan,

dibeberapa kota besar di Indonesia dalam kurun waktu ini meningkat.

Menururt KPAI di Indonesia tercatat 218 kasus kekerasan sexual anak pada

tahun 2015, sementara pada tahun 2016 terdapat 120 kasus, kemudian pada

tahun 2017 tercatat sebanyak 116 kasus. Di Jakarta, angka perkosaan pada

tahun 2002 naik 20,22% (tahun 2001: 89 kasus dan tahun 2002: 107 kasus),

Surabaya pada tahun 2002 sebanyak 165 kasus (naik 15,5 %) dan korban

meninggal akibat kejahatan sexual di Instalasi Kedokteran Forensik RSUD

Dr. Soetomo tahun 1998-2002 sebanyak 3 kasus. Di Amerika serikat angka

perkosaan pada tahun 2001 (1,7%) dan pada tahun 2002 (2,1%) dari tindak

kejahatan yang ada.1,2

Pemerkosaan adalah suatu tindakan kekerasan, bukan seksual karena suka

sama suka. Sangat banyak klasifikasi psikologi yang telah diusulkanuntuk

mengkarakteristik perkosaan, tapi perubahan psikodinamik pada korban yang

terlibat dalam seluruh skema meliputi feeling of in adequacy, kemarahan

1
yang tidak tersalurkan (misalnya, impulse control disorder) atau

penyimpangan gangguan karakter lain.3

Dalam upaya pembuktian hukum bahwa telah terjadi tindak pidanan

perkosaan, maka dalam hal ini Ilmu Keodkteran Forensik sangat berperan

dalam melakukan pemeriksaan dan untuk memperoleh penjelasan atas

peristiwa yang terjadi secara medis. Dalam pemeriksaan kasus perkosaan

dilakukan oleh Polri selaku penyidik untuk mendapatkan barang bukti dan

selanjutnya oleh dokter forensik memeriksa korban perkosaan terbatas

didalam upaya pembuktian ada atau tidaknya tanda kekerasan, tanda

pergumulan atau tanda persetubuhan, disamping itu perlu juga pembuktian

terhadap perkiraan umur serta pemutian apakah seseorang itu memang sudah

pantas atau mampu untuk dikawiniatau tidak, dimana hasil pemeriksaannya

ditungkan dalam Visum et Repertum yang berguna untuk pembuktian

perkosaan dipersidangan sebagai alat bukti surat ataupun sebagai keterangan

ahli apabila dokter tersebut diminta hadir dipersidangan.1,3

B. Tujuan
1. Umum

Untuk mengetahui cara pembuktian kekerasan seksual pada kasus

perkosaan

2. Khusus

a. Mengetahui definisi kekerasan seksual

b. Mengetahui dasar hukum pada kekerasan seksual pada perkosaan

2
c. Mengetahui upaya kedokteran forensik dalam pembuktian kasus

kejahatan seksual pada perkosaan

d. Untuk mengetahui cara pemeriksaan korban perkosaan

e. Untuk mengetahui cara pemeriksaan pelaku perkosaan

f. Untuk mengetahui alur pemeriksaan

C. Manfaat

1. Sebagai sumber studi literatur mengenai pembuktian kekerasan seksual

pada kasus perkosaan

2. Sebagai media pembelajaran bagi penulis untuk lebih memahami

mengenai pembuktiann kekerasan seksual pada kasus perkosaan

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kekerasan Sexual pada Perkosaan


1. Definisi Kekerasan

Definisi dari kekerasan menurut Sanford adalah “All types of

illegal behaviour, either threatned or actual that result in the demage or

destruction of property or in the injury or death of individual” (semua

bentuk perilaku illegal, termasuk yang mengancam atau merugikan secara

nyata atau menghancurkan harta benda atau fisik atau menyebabkan

kematian).4

Sedangkan Menurut Douglas dan Waksler istilah kekerasan

sebenarnya digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka

(overt) atau tertutup (covert), baik yang bersifat menyerang (offensive)

atau yang bertahan (defensive), yang disertai penggunaan kekuatan

kepada orang lain. Oleh karena itu secara umum ada empat jenis

kekerasan:

a. Kekerasan terbuka, kekerasan yang dilihat, seperti perkelahian;

b. Kekerasan tertutup, kekerasan yang tersembunyi atau tidak dilakukan,

seperti mengancam;

c. Kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk

perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu, seperti penjabalan;

dan

4
d. Kekerasan defensive, kekerasan yang dilakukan untuk perlindungan

diri.

Baik kekerasan agresif maupun defensif bisa bersifat terbuka atau tertutup.

Perspektif definisi kekerasan di atas lebih menekankan pada sifat dari sebuah

kekerasan. Bagaimana sebuah kekerasan itu disebut terbuka, tertutup, agresif

dan ofensif.

Menurut Sally E. Merry,5 Kekerasan adalah: “Suatu tanda dari perjuangan

untuk memelihara beberapa fantasi dari identitas dan kekuasaan. Kekerasan

muncul, dalam analisa tersebut, sebagai sensitivitas gender dan jenis

kelamin”. Sangat filosofis pendapat Sally ini, namun dapat ditangkap

maknanya bahwa perilaku kekerasan sangat berkorelasi dengan kehausan

akan bagaimana mengekspresikan dirinya, bahwa dialah yang memiliki

kekuatan (power) dan karenanya dia pun patut melakukan apa saja termasuk

kekerasan baik terhadap orang lain atau lawan jenis.4

Dari perspektif yuridis, yang merujuk pada ketentuan KUHP tidak

ditemukan defnisi secara jelas mengenai kejahatan kekerasan, akan tetapi

hanyad isebutkan dalam Pasal 89 :membuat orang pingsan atau tidak

berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Dari rumusan pasal

tersebut dapat dikatakan bahwa kekerasan merupakan kejahatan yang

dilakukan dan disertai dengan menggunakan kekuatan fisik yang berakibat

pingsan dan tidak berdaya. Dengan berkembangnya jaman, pemahaman

5
kekerasan dapat dilakukan dengan ancaman (psikologis) dan tindakan nyata

(fisik).

2. Definisi Kekerasan Sexual

Istilah kekerasan seksual adalah perbuatan yang dapat dikategorikan

hubungan dan tingkah laku seksual yang tidak wajar, sehingga

menimbulkan kerugian dan akibat yang serius bagi para korban

Kekerasan seksual membawa dampak pada fisik dan psikis yang

permanen dan berjangka panjang.5

Pengertian lain dari kekerasan seksual merupakan segala

kekerasan, baik fisik maupun psikologis, yangdilak ukan dengan

cara-cara seksual atau dengan mentargetkan seksualitas.

Definisikekerasan seksual ini mencakup pemerkosaan, perbudakan

seksual, dan bentuk-bentuk lain kekerasan seksual seperti penyiksaan

seksual, penghinaan seksual di depan umum,dan pelecehan seksual.6

3. Definisi Perkosaan

Perbuatan pemerkosaan merupakan perbuatan kriminal yang

berwatak seksual yang terjadi ketika seseorang manusia memaksa

manusia lain untuk melakukan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi

vagina dengan penis, secara paksa atau dengan cara kekerasan. Dalam

kamus besar bahasa Indonesia, perkosaan berasal dari kata perkosaan

yang berarti menggagahi atau melanggar dengan kekerasan. Sedangkan

6
pemerkosaan diartikan sebagai proses, cara, perbuatan perkosa atau

melanggar dengan kekerasan.

Kata perkosaan berasal dari bahasa latin rapere yang berarti

mencuri, memaksa, merampas, atau membawa pergi. Pada zaman dahulu

tindak pidana perkosaan sering dilakukan untuk memperoleh seorang istri

dan tindak pidana perkosaan tidak hanya berbentuk persetubuhan namun

segala bentuk serangan yang melibatkan alat kelamin yang dengan cara

kekerasan dan pemaksaan oleh pelaku terhadap korban. (Tim Prima Pena)

Tindak pidana perkosaan sebagaimana diatur dalam KUHP Pasal

285 yang berbunyi sebagai berikut: ‘’Barang siapa yang dengan

kekerasan atau dengan ancaman memaksa perempuan yang bukan

istrinya bersetubuh dengan dia, karena perkosaan, dipidana dengan

pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun’’.7

Dalam pasal 285 KUHP mensyaratkan keharusan adanya

persetubuhan yang bukan istrinya disertai dengan ancaman kekerasan.

Perkosaan ditandai dengan penetrasi penis kepada lubang vagina dalam

hubungan seks disertai dengan ancaman dan kekeraasan fisik terhadap diri

korban oleh pelaku.

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang

dinamakan perkosaan adalah :

a. Suatu hubungan kelamin yang dilarang dengan seorang wanita

tanpa persetujuannya.

7
b. Persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang

wanita yang dilakukan dengan cara paksaan dan bertentangan

dengan kemauan wanita yang bersangkutan.

c. Perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang pria

terhadap seorang wanita yang bukan isterinya atau tanpa

persetujuanya, dilakukan ketika wanita tersebut ketakutan.8

B. Dasar Hukum Kekerasan Sexual pada Perkosaan

Dari perspektif yuridis, yang merujuk pada ketentuan KUHP tidak

ditemukan defnisi secara jelas mengenai kejahatan kekerasan, akan tetapi

hanyadisebutkan dalam Pasal 89 :membuat orang pingsan atau tidak berdaya

disamakan dengan menggunakan kekerasan. Dari rumusan pasal tersebut

dapat dikatakan bahwa kekerasan merupakan kejahatan yang dilakukan dan

disertai dengan menggunakan kekuatan fisik yang berakibat pingsan dan

tidak berdaya. Dengan berkembangnya jaman, pemahaman kekerasan dapat

dilakukan dengan ancaman (psikologis) dan tindakan nyata (fisik).4

Kejahatan kekerasan seksual (perkosaan) jika dikaji berdasarkan pada

perspektif kriminologi, menunjuk pada motif dan perilaku, dimana hal

tersebut memiliki motif pemuasan nafsu seksual.4

Pengaturan mengenai kejahatan di Indonesia diatur dalam peraturan yang

telah dikodifikasi yaitu KUHP. Terdapat dua jenis tindak pidana perkosaan

dalam KUHP, yaitu :

1. Pasal 285 diatur mengenai tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh

8
2. Pasal 289 mengatur mengenai tindak pidana perkosaan untuk berbuat

cabul. (KUHP)

Dalam Pasal 285 KUHP tidak ditegaskan apa yang menjadi unsur kesalahan,

baik itu sengaja atau alpa. Namun dengan dicantumkannya unsur memaksa dalam

rumusan pasalnya, maka jelas bahwa perkosaan merupakan perbuatan yang

dilakukan dengan sengaja. Dapat dikatakannya tindakan perkosaan apabila telah

terjadi persetubuhan antara pelaku dan korban. Apabila tidak sampai terjadi

persetubuhan maka perbuatan dimaksud dapat dikualifikasikan dengan tindak

pidana percobaan perkosaan untuk bersetubuh (Pasal 285 KUHP. Pasal 53

KUHP) dan tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul (Pasal 289 KUHP).4

Untuk perbuatan yang terakhir ini pelakunya dapat dihukum maksimal 9

tahun penjara (pasal 286 KUHP) jika persetubuhan dilakukan terhadap wanita

yang diketahui atau sepatutnya dapat diduga berusia dibawah 15 tahun atau belum

pantas dikawin maka pelakunya dapat diancam hukuman penjara maksimal 9

tahun. Untuk penuntutan ini harus ada pengaduan dari korban atau keluarganya

(pasal 287 KUHP) . Khusus untuk yang usianya dibawah 12 tahun maka untuk

penuntutan tidak diperlukan adanya pengaduan. Sedangkan pasal untuk seseorang

yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk

melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, maka ia diancam dengan

hukuman penjara maksimal 9 tahun (pasal 289 KUHP).7

Hukuman perbuatan cabul lebih ringan, yaitu 7 tahun saja jika perbuatan cabul

ini dilakukan terhadap orang yang sedang pingsan, tidak berdaya. berumur

9
dibawah 15 tahun atau belum pantas dikawin dengan atau tanpa bujukan (pasal

290 KUHP). Perbuatan cabul yang dilakukan terhadap orang yang belum dewasa

oleh sesama jenis diancam hukuman penjara maksimal 5 tahun (pasal 291

KUHP). Perbuatan cabul yang dilakukan dengan cara pemberian, menjanjikan

uang atau barang, menyalahgunakan wibawa atau penyesatan terhadap orang yang

belum dewasa diancam dengan hukuman penjara maksimal 5 tahun (pasal 293

KUHP) .Perbuatan cabul yang dilakukan terhadap anak, anak tiri, anak angkat,

anak yang belum dewasa yang pengawasan, pemeliharaan, pendidikan atau

penjagaannya diserahkan kepadanya, dengan bujang atau bawahan yang belum

dewasa diancam dengan hukuman penjara maksimal 7 tahun.7

Hukuman yang sama juga diberikan pada pegawai negeri yang melakukan

perbuatan cabul dengan bawahan atau orang yang penjagaannya dipercayakan

kepadanya, pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam

penjara, tempat peker]aan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit,

rumah sakit jiwa atau lembaga sosial yang melakukan perbuatan cabul dengan

orang yang dimasukkan ke dalamnya (pasal 294 KUHP).7

Orang yang dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan, menjadi

penghubung bagi perbuatan cabul terhadap korban yang belum cukup umur

diancam dengan hukuman penjara maksimal 5 tahun (pasal 295 KUHP). Jika

perbuatan ini dilakukan sebagai pencarian atau kebiasaan maka ancaman

hukumannya satu tahun 4 bulan atau denda paling banyak Rp. 15.000.7

10
Bentuk-Bentuk Perlindungan Terhadap Korban Perkosaan

Tindak Pidana perkosaan adalah perbuatan yang melanggar hak-hak asasi

kaum perempuan. Korban perkosaan sangat membutuhkan perlindungan karena

kedudukannya sebagai korban sekaligus saksi menempatkan korban perkosaan

kepada situasi yang sangat sulit. Mengingat penderitaan yang dialami oleh korban

perkosan, perlu dikaji mengenai bentuk-bentuk perlindungan apa saja yang dapat

diberikan kepada korban perkosaan. Bentuk-bentuk perlindungan yang dapat

diberikan bagi korban perkosaan tersebut diantaranya:

a. Restitusi

Restitusi menurut Pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 adalah ganti kerugian yang diberikan

kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa

pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau

penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Korban

perkosaan berhak memperoleh restitusi karena perkosaan merupakan tindak

pidana. Permohonan restitusi dapat diajukan oleh korban, keluarga, atau

kuasanya dengan surat kuasa khusus secara tertulis dalam bahasa Indonesia di

atas kertas bermaterai dan permohonan diajukan kepada pengadilan melalui

LPSK. Korban perkosaan dalam mengajukan permohonan restitusi harus

memenuhi ketentuan yang telah ditentukan dalam Pasal 22 Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian

Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.

11
Restitusi lebih diarahkan pada tanggung jawab pelaku terhadap akibat

yang ditimbulkan oleh kejahatan sehingga sasaran utamanya adalah

menanggulangi semua kerugian yang diderita korban. Tolok ukur yang

digunakan dalam menentukan jumlah restitusi yang diberikan tidak mudah

dalam merumuskannya. Hal ini tergantung pada status sosial pelaku dan

korban. Dalam hal korban dengan status sosial lebih rendah dari pelaku, akan

mengutamakan ganti kerugian dalam bentuk materi, dan sebaliknya jika

status sosial korban lebih tinggi dari pelaku maka pemulihan harkat serta

nama baik akan lebih diutamakan.

b. Bantuan Medis dan Bantuan Rehabilitasi Psiko-sosial

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi

dan Korban korban perkosaan juga berhak mendapatkan bantuan medis dan

bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Bantuan tersebut adalah layanan yang

diberikan kepada korban dan/atau saksi oleh LPSK. Permohonan bantuan

medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial dapat diajukan oleh korban,

keluarga korban, dan kuasanya dengan surat kuasa khusus. Permohonan

diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan di atas kertas bermaterai

kepada LPSK.

C. Upaya Kedokteran Forensik dalam Pembuktian Kasus Kejahatan Sexual pada


Perkosaan
Dalam pembuktian secara Kedokteran Forensik pada setiap kasus

kejahatan seksual sebenarnya terbatas di dalam upaya pembuktian ada atau

tidak adanya tanda kekerasan, tanda pergumulan atau tanda persetubuhan,

12
disamping itu perlu juga pembuktian terhadap perkiraan umur serta

pembuktian apakah seseorang itu memang sudah pantas atau mampu untuk

dikawini atau tidak.1

Kemampuan dokter dalam membantu mengungkap kasus kejahatan

seksual sangat terbatas, sehingga tidak memungkinkan dokter dapat

membantu mengungkap adanya paksaan dan ancaman kekerasan mengingat

kedua hal tersebut tidak meninggalkan bukti-bukti medik. Dokter hanya

diminta untuk melakukan pemeriksaan terhadap korban, suspek, dan barang

bukti medik tindak perkosaan, sehingga dalam pemeriksaan tersebut dokter

diharap bisa memperjelas kasus tindak pidana.1

D. Pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara Perkosaan

Tindakan pada kasus/disangka kasus perkosaan atau perzinahan :

1. Perhatikan apakah korban memerlukan pertolongan pertama akibat

kekerasan yang dideritanya. Perhatikan juga apakah korban telah cukup

umur atau belum, selanjutnya lihat skema persetubuhan.

2. Perhatikan apakah pada tubuh korban terdapat tanda-tanda kekerasan.

3. Amankan tempat kejadian dan barang bukti.

4. Kumpulkan barang bukti sebaik-baiknya, seperti noda darah, bercak pada

kain, celana, sprei dan lain-lain.

5. Perhatikan sikap korban, apakah takut, gelisah, malu atau tenang-tenang

saja.

13
6. Perhatikan cara berpakaian dan berhias, adalah berlebihan atau

mengandung gairah.

7. Kirimkan korban/tersangka korban ke rumah sakit pemerintah dengan

formulir Visum et Repertum model IV tanpa diperkenankan

membersihkan badan dahulu. Korban diantar oleh petugas kepolisian.

8. Jelaskan kepada ahli kebidanan/dokter yang bertugas tentang maksud

pemeriksaan ini.

9. Bila dipandang perlu maka korban dapat diisolasi dengan pengawasan

ketat dan tidak boleh ditemui seorang pun atau berhubungan dengan

tamu/keluarga.

Untuk kepentingan penyidikan, alat bukti sangat penting. Pengumpulan alat bukti

dilakukan di tempat kejadian perkara, selanjutnta alat bukti tersebut dikirim ke

laboratorium forensik untuk dianalisis.

Barang bukti/material kimia, biologic dan fisik yang ditemukan ditempat kejadian

perkara dapat berupa :

1. Material kimia : Alkohol, obat-obatan, atau bahan kimia lain yang

ditemukan ditempat kejadian perkara.

2. Material fisik : serat pakaian, selimut, kain penyekap korban, dll


3.
Material biologic : Cairan tubuh, air liur, sperma, darah, rambut, dll.3

14
E. Pemeriksaan Korban Perkosaan

1. Anamnesa

Pada korban kekerasan seksual, anamnesis harus dilakukan dengan bahasa

awam yang mudah dimengerti oleh korban. Gunakan bahasa dan istilah-

istilah yang sesuai tingkat pendidikan dan sosio-ekonomi korban, sekali-

pun mungkin terdengar vulgar. Anamnesis dapat dibagi menjadi

anamnesis umum dan khusus. Hal-hal yang harus ditanyakan pada

anamnesis umum mencakup, antara lain:

a. Umur atau tanggal lahir,

b. Status pernikahan,

c. Riwayat paritas dan/atau abortus,

d. Riwayat haid (menarche, hari pertama haid terakhir, siklus haid),

e. Riwayat koitus (sudah pernah atau belum, riwayat koitus sebelum

dan/atau setelah kejadian kekerasan seksual, dengan siapa, peng-

gunaan kondom atau alat kontrasepsi lainnya)

f. Penggunaan obat-obatan (termasuk NAPZA),

g. Riwayat penyakit (sekarang dan dahulu), serta

h. Keluhan atau gejala yang dirasakan pada saat pemeriksaan.

Sedangkan anamnesis khusus mencakup keterangan yang terkait kejadian

kekerasan seksual yang dilaporkan dan dapat menuntut jenis tindakan

(pemerkosaan, persetubuhan, pencabulan, dan sebagainya), adanya kekerasan

dan/atau ancaman kekerasan, serta jenisnya adanya upaya perlawanan, apakah

15
korban sadar atau tidak pada saat atau setelah kejadian, adanya pemberian

minuman, makanan, atau obat oleh pelaku sebelum atau setelah kejadian, adanya

penetrasi dan sampai mana (par-sial atau komplit), apakah ada nyeri di daerah

kemaluan, apakah ada nyeri saat buang air kecil/besar, adanya perdarahan dari

daerah kemaluan, adanya ejakulasi dan apakah terjadi di luar atau di dalam

vagina, penggunaan kondom, dan tindakan yang dilakukan korban sete-lah

kejadian, misalnya apakah korban sudah buang air, tindakan membasuh/douching,

mandi, ganti baju, dan sebagainya.

Tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor, dan

apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang, tempat

kejadian, dan jenis tempat kejadian (untuk mencarikemungkinan trace evidence

dari tempat kejadian yang melekat pada tubuh dan/ataupakaian korban). Apakah

pelaku dikenal oleh korban atau tidak, jumlah pelaku, usia pelaku, dan hubungan

antara pelaku dengan korban.

2. Pemeriksaan Fisik

Saat melakukan pemeriksaan fisik, gunakanprinsip “top-to-toe”. Artinya,

pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematis dari ujung kepala

sampai ke ujung kaki. Pelaksanaan pemeriksaan fisik juga harus

memperhatikan keadaan umum korban. Apabila korban tidaksadar atau

keadaan umumnya buruk, maka pemeriksaan untuk pembuatan visum

dapat ditunda dan dokter fokus untuk ”life-saving” terlebih dahulu. Selain

16
itu, dalam melakukan pemeriksaan fisik, perhatikan kesesuaian dengan

keterangan korban yang didapat saatanamnesis. Pemeriksaan fisik yang

dilakukan dapat dibagi menjadi pemeriksaan umum dan khusus.

Pemeriksaan fisik umum mencakup tingkat kesadaran, keadaan umum,

tanda vital, penampilan (rapih atau tidak, dandan,dan lain-lain), afek

(keadaan emosi, apakah tampak sedih, takut, dan sebagainya), pakaian

(apakah ada kotoran, robekan, atau kancing yang terlepas), status

generalis, tinggi badan dan berat badan, rambut (tercabut/rontok)

gigi dan mulut (terutama pertumbuhan gigi molar kedua dan ketiga), kuku

(apakah ada kotoran atau darah dibawahnya, apakah ada kuku yang

tercabut atau patah), tanda-tanda perkembangan seksual sekunder, tanda-

tanda intoksikasi NAPZA, serta status lokalis dari luka-luka yang terdapat

pada bagian tubuh selain daerah kemaluan.

Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang terkait

dengan tindakan kekerasan seksual yang diakui korban dan mencakup

pemeriksaan: daerah pubis (kemaluan bagian luar),yaitu adanya perlukaan

pada jaringan lunak atau bercak cairan mani, penyisiran rambut pubis

(rambut kemaluan), yaitu apakah adanya rambut pubis yang terlepas yang

mungkin berasal dari pelaku, penggumpalan atau perlengketan rambut

pubis akibat cairan mani daerah vulva dan kulit sekitar vulva/paha bagian

dalam (adanya perlukaan pada jaringan lunak, bercak cairan mani), labia

mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada

17
perlukaan pada jaringan lunak atau bercak cairan mani, vestibulum dan

fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan bagian bawah), apakah

ada perlukaan, hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium,

elastisitas atau ketebalan, adanya perlukaan seperti robekan, memar, lecet,

atau hiperemi). Apabila ditemukan robekan hymen, catat jumlah robekan,

lokasi dan arah robekan (sesuai arah pada jarum jam, dengan korban

dalam posisi litotomi), apakah robekan mencapai dasar (insersio) atau

tidak, dan adanya perdarahan atau tanda penyembuhan pada tepi robekan

vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir;

serviks dan porsio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah

melahirkan dan adanya cairan atau lendir, uterus (rahim), periksa apakah

ada tanda kehamilan, anus (lubang dubur) dan daerah perianal, apabila

ada indikasi berdasarkan anamnesis; mulut, apabila ada indikasi

berdasarkan anamnesis, daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan

lain-lain), untuk mencari bercak mani atau air liur dari pelaku; serta

Kesulitan utama yang umumnya dihadapi oleh dokter pemeriksa adalah

pemeriksaan selaput dara. Bentuk dan karakteristik selaput dara sangat

bervariasi. Pada jenis-jenis selaput dara tertentu, adanya lipatan-lipatan

dapat menyerupai robekan. Karena itu, pemeriksaan selaput dara

dilakukan dengan traksi lateral dari labia minora secara perlahan, yang

diikuti dengan penelusuran tepi selaput dara dengan lidi kapas yang kecil

untuk membedakan lipatan dengan robekan. Pada penelusuran tersebut,

18
umunya lipatan akan menghilang, sedangkan robekan tetap tampak

dengan tepi yang tajam. Saat melakukan pemeriksaan fisik, dokumentasi

yang baik sangat penting. Selain melakukan pencatatan dalam rekam

medis, perlu dilakukan pemotretan bukti-bukti fisik yangditemukan. Foto-

foto dapat membantu dokter membuat visum et repertum. Dengan

pemotretan, korban juga tidak perlu diperiksa terlalu lama karena foto-

foto tersebut dapat membantu dokter mendeskripsi temuan secara detil

setelah pemeriksaan selesai.9

3. Pemeriksaan Laboratorium1
Pemeriksaan laboratorium pada korban perkosaan bertujuan untuk
mengetahui :
A. Pemeriksaan adanya spermatozoa
1) Bahan pemeriksaan : cairan vagina
2) Metode : sediaan basah, tanpa pewarnaan: satu tetes cairan vagina
ditaruh pada objek glass dan ditutup, diperiksa pada mikroskop
dengan pembesaran 500 kali.
3) Hasil yang diharapkan : spermatozoa yang bergerak (motilitas).
4) Metode : sediaan kering dengan pewarnaan gram, giemza atau
methylene blue atau dengan pengecatan Malachite-green.
Pengecatan Malachite-green
Sediaan hapusan dari cairan vagina pada objek gelas, keringkan di
udara, fiksasi dengan api, warnai dengan malachite-green 1% dalam
air, tunggu 10-15 menit, cuci dengan air,warnai dengan Eosin-
yellowish 1% dalam air, tunggu 1 menit, cuci dengan air, keringkan,
periksa di mikroskop.
1) Hasil yang di harpakan pada pengecatan Malachite-green :
basis kepala sperma berwarna ungu, bagian hidung merah

19
muda, dan pada pengecatan Gram akan terlihat sperma yang
terdiri kepala berwarna kemerahan, leher dan ekor yang
berwarna kebiruan. Dikatakan positif, apabila ditemukan
sperma paling sedikit satu sperma yang utuh.
2) Bahan pemeriksaan : Pakaian
3) Pemeriksaan pendahuluan : Noda sperma pada pakaian terlihat
sebagai noda yang berwarna putih kelabu, kadang-kadang
mengkilat seperti agak perak dan pada perabaan kaku.
4) Pemeriksaan dengan sinar ultraviolet : noda sperma akan
menunjukkan adanya flueresensi, yaitu warna putih kebiruan.
Pemeriksaan ini tidak spesifik, sebab nanah dan fluor albus
juga memberikan warna fluoresensi yang sama.
5) Metode : pakaian yang mengandung bercak yang di ambil
sedikit pada bagian tengahnya (konsentrasi sperma terutama di
bagian tengah).
6) Bahan pewarnaan Baeechi :
+ acid fuchsien 1% ( 1 ml )
+ Methylene blue 1% ( 1 ml)
+ HCl 1% ( 1 ml )
7) Cara kerja :
1) Ambil pakaian pada bagian tengahnya (ukuran 2x2 cm )
2) Warnai dengan Baeeche selama 2-3 menit
3) Cuci dengan HCl 1% selama 5 detik
4) Dehidrasi dengan alcohol 70%, 85% , dan absolut,
bersihkan dengan xilol dan keringkan, letakkan pada
kertas saring.
5) Ambil dengan jarum, pakaian yang mendandyng bercak
di ambil benangnya 1-2 gelai, kemudian di uraiakan
sampai menjadi serabut-serabut pada gelas objek

20
6) Tetesan Canada balsem, tutup dengan penutup, lihat di
bawah mikroskop dengan pembesaran 500 kali
8) Hasil : kepala sperma merah, ekor berwarna biru muda, kepala
sperma menempel pada serabut benang.
B. Pemeriksaan air mani (semen)
Kadang kesulitan dalam mencari spermatozoa, misalnya pelakunya
menderita azoospermia, telah coitus berulang-ulang. Dalam keadaan
seperti ini perlu di pakai cara pemeriksaan yang lain, yaitu
berdasarkan atas pemeriksaan yang lain berdasarkan atas komposisi
cairan semen, berupa asam fosfatase yang berasal dari prostat dan
kristal kholin yang berasal dari vesica seminalis.

Penentuan asam fosfatase


Bahan pemeriksaan : cairan vagina
Metode : cairan vagina di taruh pada kertas saring
(Whatman) yang sudah di basahi dengan aquadest, diamkan sampai
kering, semprot dengan reagensia, perhatikan warna ungu yang timbul
dan catat dalam beberapa detik warna ungu tersebut timbul.
Hasil yang di harapkan : warna ungu timbul dalam waktu kurang
dari 30 detik, berarti asam fosfatase berasal dari prostat, berarti ada
indikasi besar,warna ungu timbul kurang dari 65 detik, indikasi
sedang. Warna ini timbul karena dalam regensia mengandung alpha
naphthyl fosfat yang bereaksi dengan asam fosfatase.
Penentuan : kristal kholin
Bahan pemeriksaan : cairan vagina
Metode : florence test : cairan vagina ditetesin
larutan yodium (larutan florence), maka terbentuk kristal. Kristal yang
terbentuk dilihat di mikroskop
Hasil yang diharapkan : kristal-kristal kholin peryodida tampak
berbentuk jarum-jarum yang berwarna coklta.

21
Penentuan kristal spermin
Bahan pemeriksaan : cairan vagina
Metode : Berberio : cairan vagina ditetesin
larutan asam pikrat di mikroskop
Hasil yang di harapkan : kristal-kristal spermin pikrat akan
terbentuk rhomboik ato jarum yang berwana kuning kehijauan.

Penentuan adanya semen (air mani)


Bahan pemeriksaan : Pakaian
Metode :
a. Inhibisi asam fosfatase dengan L (+) asam tartrat
1. Pakaian diduga mengandung bercak mani di potong kecil dan
ekstraksi dengan beberapa tetes aquadest.
2. Pada 2 helai kertas saring diteteskan masing-masing 1 tetes
ekstrak : kertas saring pertama disemprot dengan reagensia 1,
yang kedua disemprot dengan reagensia 2.
3. Bila pada kertas saring pertama timbul warna ungu dalam
waktu menit sedangkan pada kedua tidak terjadi warna ungu,
maka dapat disimpulkan bahwa bercak pada pakaian yang
diperiksa adalah bercak air mani.
4. Bila dalam jangka waktu tersebut warna ungu timbul pada
keduanya, maka bercak pada pakaian bukan air mani, asam
fosfatase yang terdapat berasal dari sumber lain.
b. Reaksi dengan asam fosfatase
1. Kertas saring yang sudah di basahi dengan aquadest di
letakkan pada pakaian atau bahan yang akan diperiksa selama
5-10 menit, kemudian kertas saring di angkat dan di
keringkan.

22
2. Semprot dengan reagensia, jika timbul warna ungu berarti
pakaian atau bahan tersebut mengandung air mani.
3. Bila kertas saring tersebut di letakkan pada pakaian atau bahan
seperti semula, maka dapat diketahui letak dari air mani atau
bahan yang diperiksa.
c. Sinar ultraviolet, visual, taktil, dan penciuman
1. Pemeriksaan dengan UV : Bahan yang akan diperiksa ditaruh
dalam ruang yang gelap, kemudian di sinari dengan sinar
ultraviolet, bila terdapat air mani, terjadi fluoresensi.
2. Pemeriksaan secara visual, taktil dan penciuman tidak sulit
untuk di kerjakan.
C. Pemeriksaan adanya penyakit kelamin
Dilakukan dengan pemeriksaan smear dari cairan vulva vagina dan
cervix yang kemudian di cat dengan pewarnaan Gram. Maka di cari
adanya kuman Nasseria Gonorhea (G.O) dengan membuat sediaan
kemudian dilakukan pemeriksaan melalui dark field mikroskop kita
cari adanya kuman Treponema pallidum.
Bahan pemerikaan : Secret uretra dan secret cervix uteri
Metode : pewarnaan Gram
Hasil yang di harapkan : kuman N. Gonorhea
D. Pemeriksaan adanya kehamilan
Untuk mengeahui adanya kehamilan dilakukan dengan memeriksa
adanya HCG dalam urin. Setelah persetubuhan membutuhkan waktu
yang lama agar kadar HCG dapat memberi hasil reaksi yang positif.
Tujuan adalah mengetahui apakah korban hamil sebelum atau sesudah
perkosaan.
Bahan pemeriksaan : urin
Metode : a. Hemagglutination inhibition test (Pregnoticon)
b.Agglutination inhibition test (Gravindex)
hasil yang di harapkan : terjadi aglutinasi pada kehamilan

23
E. Pemeriksaan bahan lain dari tubuh korban yang dapat dipakai
sebagai petunjuk
a. Pemeriksaan Toksikologi
Tujuan pemeriksaan toksikologi untuk mengetahui apakah korban
sebelum terjadi perkosaan telah diberi obat-obatan yang dapat
menurunkan kesadaran. Pada pemeriksaan ini diperlukan darah
dan urin dari korban.
Bahan pemeriksaan : darah dan urin
Metode : TLC dan Mikrodiffusi, dan sebagainya
Hasil yang di harapkan : adanya obat yang dapat menurunkan atau
menghilangkan kesadaran.
b. Pemeriksaan substansi golongan darah dari cairan semen
Pemeriksaan golongan darah A,B,O dari cairan semen dengan
menggunakan teknik abosbsi inhibisi atau absorbsi eliminasi.
Untuk menentukan golongan darah pemerkosa dari cairan semen
yang ditemukan di vagina kadang-kadang tidak sulit asal korban
mempunyai golongan darah yang berbeda dengan pemerkosa
tersebut.
Pemeriksaan ini dapat digunalan untuk menyingkirkan seorang
pria tertentu atau menunjang bukti lain yang melibatkan seorang
pria.
Bahan pemeriksaan : cairan vagina yang berisi air mani dan darah
Metode : serologi (A,B,O grouping test)
Hasil yang di harapkan : golongan darah dari air mani berbeda
dengan golongan darah korban.
Pemeriksaan ini hanya dapat di kerjakan bila tersangka pelaku
kejahatan termasuk golongan “secretor”

24
F. Pemeriksaan Pelaku Perkosaan
1. Anamnesa10
Hal yang penting diperhatikan :
a. Kepada tertuduh harus di jelaskan pemeriksaan yang akan dilakukan
dan adanya kemungkinan bahwa hasil pemeriksaan bisa memberatkan
dirinya.
b. Suatu persetujuan tertulis harus diperoleh. Menurut undang-undang
tidak seorang pun boleh mengalami pemeriksaan medis dengan
paksaan.
c. Jika tidak mendapatkan persetujuan, maka yang dicatat hanya temuan
dari pemeriksaan luar dan hasilnya dikirimkan disertai dengan
keterangan bahwa tertuduh menolak untuk diperiksa.
d. Waktu, tempat dan tanggal pemeriksaan harus dicatat.

2. Pemeriksaan Fisik11
a. Adanya bercak sperma, darah, tanah pada pakaian (juga pakaian

dalam) harus dicatat, demikian juga jika pada pakaian terdapat

robekan. Karena itu sangat penting agar dokter pemeriksa segera

mungkin melakukan pemeriksaan pada pria yang tertuduh.

b. Bentuk tubuh juga penting diperhatikan, karena menunjukkan apakah

tertuduh memungkinkan dalam melakukan tindakan perkosaan.

c. Tanda tanda cedera juga dicatat, karena cedera tersebut biasa

disebabkan karena perlawanan dari korban.

d. Berusaha mencari rambut yang terlepas.

25
e. Pemeriksaan menyeluruh pada bagian alat kelamin harus dilakukan.

Dicatat jika ada deformitas dan diberikan penilaian apakah orang

tersebut mampu untuk melakukan tindakan perkosaan atau tidak

f. Dicari adanya tanda-tanda cedera sekitar alat kelamin. Bentuk cedera

ini bias berupa cakaran atau robekan pada frenulum.

g. Dicatat jika ada tanda-tanda infeksi kuman monokokus, lalu dibuat

sediaan untuk pewarnaan dan pemeriksaan dibawah mikroskop.

h. Dilakukan pijatan pada prostat sehingga keluar secret yang akan

diambil contohnya pada pemeriksaan.

i. Pemeriksaan adanya sigma (kotoran yang berkumpul disekitar glands

penis dibalik perputium). Adanya smegma ini menunjukkan belum

terjadinya hubungan seksual karena biasanya smegma akan terbilas

saat melakukan hubungan seksual.

3. Pemriksaan Laboratorium3
a. Menentukan adanya sel epitel vagina pada penis
Bahan pemeriksaan: cairan yang masih melekat disekitar corona
glandis. Metode:
1) Dengan gelas objek di tempelkan mengelilingi corona glandis,
kemudian gelas objek diletakkan diatas cairan lugol.
2) Hasil Yang diharapkan: Epitel dinding vagina yang berbentuk
hexagonal tampak berwarna coklat atau coklat kekuningan.

26
b. Menentukan adanya kuman N.gonorrheae (GO)

Bahan pemeriksaan : secret urethrae

1) Metode: Sediaan Langsung dengan pewarna gram

2) Hasil yang diharapkan: Ditemukan kuman N.

27
G. Alur pemeriksaan1

1. Harus ada surat permintaan 3. Harus ada seorang perawat wanita atau
Visum Et Repertumdari polisi polisi wanita yang mendampingi dokter
dan ketrerangan mengenai selama melakukan pemeriksaan
kejadian

2. Harus ada persetujuan secara tertulis


dari korban ata orang tua/wali
korban yang menyatakan tidak
keberatan untuk di periksa seorang
dokter

Pemeriksaan

Anamnesa

Anamnesa dibuat terpisah dan


lampirkan pada visum et repertum di
Pemeriksaan Fisik
bawah kalimat “keterangan yang di
Pemeriksaan fisik mencari adanya tanda
peroleh dari korban”
kekerasan, dan tanda persetubuhan, meliputi
:
1. Pemeriksaan baju Korban
Diperhatikan apakah ada yang hilang,
robekan, kancing hilang, bekas tanah,
pasir, noda darah, noda sperma (Algozi,
2013).
2. Pemeriksaan tubuh korban
a. Umum : meliputi tingkah laku (gelisah,
Histeria, sedih apakah ada tanda bekas
minum alkohol, obat bius dan obat
Pemeriksaan Laboratorium korban tidur) dan adakah tanda kekerasan
Perkosaan berupa goresan, garukan gigitan serta
Pemeriksaan ini bertujuan untuk
luka lecet ataupun memar (Algozi,
mengetahui adanya sperma, cairan 2013).
semen (air mani), penyakit kelamin, b. Khusus : yang diperiksa secara khusus
kehamilan dan bahan lain dari tubuh yaitu perubahan pada alat kelamin
korban yang bisa dijadikan petunjuk korban. Seperi adanya benda asing,
pendarahan, luka, robekan dan
pembengkakan pada daerah ubis, vulva,
vagina vornik anterior, fornik posterior
dan bagaimana dengan keadaan hymen.

28
H. Contoh Kasus

29
BAB III
RINGKASAN

Kejahatan sexual sebagai salah satu bentuk dari kejahatan yang menyangkut

tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia. Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu

Keodkteran Forensik dan Medikolegal mempunyai peranan penting dalam upaya

pembuktian kejahatan sexual. Perbuatan pemerkosaan merupakan perbuatan

kriminal yang berwatak seksual yang terjadi ketika seseorang manusia memaksa

manusia lain untuk melakukan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi vagina

dengan penis, secara paksa atau dengan cara kekerasan. Pengaturan mengenai

kejahatan di Indonesia diatur dalam peraturan yang telah dikodifikasi yaitu

KUHP. Pasal 285 diatur mengenai tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh.

Pasal 289 mengatur mengenai tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul.

Dokter hanya diminta untuk melakukan pemeriksaan terhadap korban,

suspek, dan barang bukti medik tindak perkosaan, sehingga dalam pemeriksaan

tersebut dokter diharap bisa memperjelas kasus tindak pidana.Dalam pembuktian

secara Kedokteran Forensik pada setiap kasus kejahatan seksual sebenarnya

terbatas di dalam upaya pembuktian ada atau tidak adanya tanda kekerasan, tanda

pergumulan atau tanda persetubuhan, disamping itu perlu juga pembuktian

terhadap perkiraan umur serta pembuktian apakah seseorang itu memang sudah

pantas atau mampu untuk dikawini atau tidak.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Dr. H Agus Moch Algozi, Sp. F (K), SH, DFM. 2013. Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal: Kejahatan Sexual. Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Hal: 187-215

2. KPAI. 2017 dalam Jawapos.


https://www.jawapos.com/nasional/27/09/2017/tahun-2017-kpai-temukan-
116-kasus-kekerasan-seksual-terhadap-anak

3. Amelia Kalangit, J. Mallo, D. Tomuka. 2010. Peran Ilmu Kedokteran


Forensik Dalam pembuktian tindak pidana pemerkosaan sebagai kejahatan
kekerasan seksual. Bagian Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Samratulangi. P: 2.

4. Romli Atmasasmita. 1992. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Refika


Aditama, Bandung, 2007, hal. 5-63

5. Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap


Korban Kekerasan Seksual Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, PT.
Refika Aditama, Bandung, hal.32

6. Syaulia, et al. 2008. Kejahatan Seksual, Roman’s Forensic Ed 20.

7. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

8. Hariyanto, Dampak Sosio Psikologis Korban Tindak Pidana Perkosaan


Terhadap Wanita, (Jogjakarta : Pusat Studi Wanita Universitas Gajah
Mada, 1997), h. 97

9. Budijanto A, Sudiono S, Purwadianto A, 1982, Kejahatan seks dan aspek


medikolegal gangguan psikoseksual, Jakarta: Kalman Media Pusaka, p. 5-
34.

10. Marpaung, Leden. Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah


Prevensinya. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika; 1997.

11. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Mun’im TWA, Sidhi, Hertian S,


et al. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik
FKUI; 1997.

31

Anda mungkin juga menyukai