Skenario 3dermato
Skenario 3dermato
KLARIFIKASI ISTILAH
1.1 Serpiginosa
Proses yang menjalar ke satu jurusan diikuti oleh penyembuhan pada
bagian yang ditinggalkan (Djuanda, 2016).
1.2 Papul
Penonjolan di atas permukaan kulit, sikumskrip,berukuran diameter
lebih kecil dari ½ cm, berisikan zat padat. Warna papul dapat merah akibat
peradangan, pucat, hiperkrom, putih, atau seperti kulit di sekitarnya. Letak
papul dapat epidermal atau kutan (djuanda, 2016).
1.3 Pustule
Vesikel yang berisi nanah, bila nanah mengendap di bagian bawah
vesikel disebut vesikel hipopion (Djuanda, 2016).
1.4 Vesikel
Gelembung berisi cairan serum, beratap, berukuran kurang dari ½ cm
garis tengah dan mempunyai dasar ; vesikel berisi darah disebut vesikel
hemoragik (Djuanda, 2016).
STEP II
IDENTIFIKASI MASALAH
2.1 Mengapa pasien mengeluh rasa gatal dan merah pada kaki yang berpindah-
pindah?
2.2 Apa hubungan riwayat kebiasaan bermain dengan kucing dan bepergian ke
kebun buah dengan keluhan pasien?
2.3 Mengapa bintik merah dan bercak kecil semakin banyak?
2.4 Mengapa setelah diberikan obat tetap tidak ada perbaikan?
2.5 Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik pasien? Mengapa ada pustule,
vesikel berbentuk linear dan serpiginosa?
2.6 Apa kemungkinan yang terjadi pada pasien?
STEP III
CURAH PENDAPAT
3.1 Mengapa pasien mengeluh rasa gatal dan merah pada kaki yang
berpindah-pindah?
Mesensitisasi sel T
Timbul inflamasi
Pada keadaan lingkungan yang lembab dan hangat, telur akan menetas
menjadi larva rabditiform dan kemudian menjadi larva filariform yang
infektif. Larva filariform inilah yang akan melakukan penetrasi ke kulit dan
menyebabkan CLM (CDC, 2012).
ANALISIS MASALAH
Riwayat bermain
Riwayat berpergian dengan kucing
ke kebun buah
Berkembang biak
Tempat kondusif untuk di intestin
tumbuh kembang larva Telur keluar bersama
feses kucing ke tanah
Terbatukkan,
Telur menetas masuk ke GI
(1-2 hari) tract
0
Larva rabditiform Masuk ke
Masuk ke kulit Masuk ke
1-2(5-10
hari hari) pembuluh darah
kucing/anjing paru-paru
Larva filariform
Larva tidak
Masuk ke kulit Tidak bisa
memiliki enzim
manusia masuk
kolagenase
dermis
Reaksi inflamasi
Terlihat lesi
merah linear dan
Biasanya pada port Kemerahan serpiginosa di
de entree terdapat dilatasi p. Darah kulit
pustule/vesikel
Gatal histamin
STEP V
TUJUAN PEMBELAJARAN
BELAJAR MANDIRI
BERBAGI INFORMASI
A. Definisi
Herpes Zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus
varisela yg menyerang kulit dan mukosa, infeksi, ini merupakan
keaktifan virus yang terjadi setelah infeksi primer (Djuanda, 2016).
B. Etiologi
Penyebab dari Herpes Zoster ini secara umum adalah Virus
Varicella zoster. Varicella zoster adalah agens virus penyebab dari
cacar air dan herpes zoster. Setelah sembuh dari cacar air, virus
Varicella tetap ada dalam tubuh dalam tahap laten seumur hidup.
Sebagai virus laten, Varicella tidak akan menunjukkan gejala apapun,
tetapi potensial untuk aktif kembali. Pada tahap reaktivitas, Varicella
muncul sebagai Herpes zoster yang sering disebut sebagai shingles.
Virus varicella zoster terdiri dari kapsid berbentuk ikosahedral dengan
diameter 100 nm. Kapsid tersusun atas 162 sub unit protein-virion yang
lengkap dengan diameternya 150-200 nm, dan hanya virion yang
terselubung yang bersifat infeksius. Infeksiositas virus ini dengan cepat
dihancurkan oleh bahan organik, deterjen, enzim proteolitik, panas dan
suasana Ph yang tinggi. Masa inkubasinya 14-21 hari (Djuanda, 2016).
C. Epidemiologi
Herpes zoster dapat muncul disepanjang tahun karena tidak
dipengaruhi oleh musim dan tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada
perbedaan angka kesakitan antara laki-laki dan perempuan, angka
kesakitan meningkat dengan peningkatan usia. Di negara maju seperti
Amerika, penyakit ini dilaporkan sekitar 6% setahun, di Inggris 0,34%
setahun sedangkan di Indonesia lebih kurang 1% setahun (Djuanda,
2016).
Herpes zoster terjadi pada orang yang pernah menderita varisela
sebelumnya karena varisela dan herpes zoster disebabkan oleh virus
yang sama yaitu virus varisela zoster. Setelah sembuh dari varisela,
virus yang ada di ganglion sensoris tetap hidup dalam keadaan tidak
aktif dan aktif kembali jika daya tahan tubuh menurun. Lebih dari 2/3
usia di atas 50 tahun dan kurang dari 10% usia di bawah 20 tahun.
Kurnia Djaya pernah melaporkan kasus hepes zoster pada bayi usia 11
bulan (Djuanda, 2016).
D. Patofisiologi
Infeksius didapatkan akibat dari polutan udara yang tercemar olah
adanya penderita virus Varicella (batuk, ludah, dahak). Virus tersebut
akan masuk kedalam tubuh manusia normal melewati proses
inhalasi/pernafasan manusia dan akan memasuki paru-paru. Pada paru-
paru akan terjadi infeksi dari virus Varicella itu sendiri. Setelah
melewati paru-paru, virus tersebut akan dibawa oleh pembuluh darah ke
sekujur tubuh dan akan hidup di sekitar persarafan manusia. Pada
persarafan manusia, virus tersebut akan melewati masa Dormant,
dimana virus varicella akan menetap dalam tubuh dan tidak adanya
aktivitas dari virus tersebut. Ketika sistem imunitas tubuh menurun,
virus tersebut dapat teraktivasi dan akan menginfeksi sistem tubuh
manusia sehingga menyebabkan terjadinya suatu penyakit Herpes
Zoster (Djuanda, 2016).
E. Gambaran Klinis
F. Diagnosis
(Martodihardjo S, 2001).
G. Komplikasi
2. Infeksi sekunder
5. Paralisis motorik
H. Penatalaksanaan
1. Pengobatan Umum
2. Pengobatan Khusus
A. Sistemik
A.2. Analgetik
A.3. Kortikosteroid
B. Pengobatan topikal
A. Definisi
Dermatofita
a. Berdasarkan ekologi:
Antropofilik: T. rubrum, T. mentagrophytes var. interdigitale
Zoofilik: M. canis, T. mentagrophytes var. granulare
Geofilik: M. gypseum
b. Spesies dan lokasi infeksi:
Rambut: Microsporum, Trichophyton
Kulit: Trichophyton, Microsporum, Epidermophyton
Kuku: Trichophyton, Epidermophyton, (Microsporum)
(Koksal, 2009).
B. Klasifikasi Dermatofitosis
(Djuanda, 2016).
Jamur menempel pada kulit & keadaan kulit cocok jamur tumbuh
Bergantung pada:
a. Hospes:
1. Respons imun selular tinggi radang akut rendah kronik
2. Lokasi: kulit, rambut, kuku berbeda
b. Spesies dermatofit:
1. Antropofilik radang kronik
2. Zoo & geofilik radang akut
Tinea Korporis
a) Gatal
b) Batas tegas
c) Polisiklik
d) Efloresensi polimorf
e) Tepi tanda radang>aktif
f) Tengah tenang (central healing)
Tinea Imbrikata
a) Penyebab: T. concentricum
b) Di daerah endemis: Kalimantan, Sulawesi, Papua
c) Kronik, gatal <
d) Kadang pada kulit kepala, kuku
e) Lingkaran skuama konsentris, menghadap ke dalam, susunan seperti
genting
Tinea Favosa
Tinea Kapitis
a) Terutama pada anak
b) Stadium klnis dapat: kronik, subakut, akut
c) Tiga bentuk klinis:
1) Gray patch: oleh a.l. M. canis, M. gypseum
2) Black dot: oleh Trichophyton sp., a.l. T.tonsurans
3) Kerion: keadaan akut, bengkak, mirip sarang lebah dgn pus
keluar dari folikel
Tinea Pedis
a) Interdigitalis
1) Terutama sela jari IV-V
2) Skuama, fisur, maserasi
3) Gatal menahun tidak gatal
b) Kronik, papuloskuamosa, hiperkeratotik
1) Moccasin foot
2) Hiperkeratosis, skuama
c) Vesikular/subakut:
1) Sela jari punggung dan telapa kakai
2) Vesikel, vesikopustul, bula, skuama kolaret
Tinea Unguium
G. Prognosis
Baik jika:
a) Faktor predisposisi dapat dihindarkan atau dihilangkan
b) Sumber penularan dapat dihindarkan
c) Pengobatan teratur dan tuntas
(Kuswadji. 2009).
A. Definisi
Larva migrans adalah larva cacing nematoda hewan yang
mengadakan migrasi di dalam tubuh manusia tetapi tidak berkembang
menjadi bentuk dewasa. Terdapat dua jenis larva migrans, yaitu
cutaneous larva migrans atau creeping eruptions dan visceral larva
migrans. Cutaneus larva migrans adalah erupsi di kulit berbentuk
penjalaran, sebagai reaksi hipersensitivitas kulit terhadap invasi larva
cacing tambang / nematoda (roundworms) atau cacing lainnya
(Linuwih, 2015).
B. Etiologi
Pada cutaneus larva migrans (CLM) penyakit kulit yang
disebabkan penetrasi kulit larva Ancylostoma caninus atau kucing.
Spesies utama adalah Ancylostoma braziliense, namun Ancylostoma
caninum, Uncinaria stenocephala, dan Gnathostoma spinigerum dan
anjing lainnya juga dapat menyebabkan CLM. Selama beberapa
dekade, istilah "kutaneus larva migrans" telah digunakan secara
bergantian. Pada tahun 2004, Caumes dan Danis menyatakan bahwa
CLM didefinisikan sebagai linear atau serpiginous, sedikit menonjol,
eritematosa yang bergerak maju dalam kulit dengan pola tidak teratur
(Sutanto, 2008).
C. Epidemiologi
Ancylostoma braziliense adalah parasit yang menginfeksi
kebanyakan anjing di daerah tropis negara-negara berkembang.
Cutaneus larva migrans terutama dijelaskan di iklim panas, termasuk
Asia Tenggara, Afrika, Amerika Latin, Karibia, dan bahkan tenggara
Amerika Serikat. Kasus yang jarang terjadi telah dilaporkan di daerah
beriklim, terutama di musim panas. sebagian besar kasus didiagnosis di
negara-negara industri melibatkan wisatawan yang kembali dari daerah
tropis (Siregar, 2005).
D. Patofisiologi
Anjing dan kucing yang telah penuh dengan CLM meninggalkan
telur di kotoran mereka. Telur tetap laten di tanah sampai tergantung
pada suhu dan kelembaban eksternal, kemudian berubah menjadi larva
yang mempunyai kemampuan untuk menembus kulit host baru. Infeksi
biasanya diperoleh melalui kontak dengan tanah atau pasir yang
terkontaminasi dengan kotoran kucing atau anjing yang terinfeksi
(Sutanto, 2008).
Masa inkubasi CLM tidak pasti, namun biasanya berlangsung dari
jam ke hari. Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa pruritus
dapat dimulai setelah beberapa jam dan migrasi larva dapat terjadi
setelah 4 hari. Jelinek dkk melaporkan, gejala terjadi > 15 hari setelah
kembali dari negara endemis pada 25% penderita, masa inkubasi
minimal 2 minggu. Sewaktu menembus kulit, bakteri piogenik dapat
terikut masuk pada saat larva menembus kulit, menimbulkan rasa gatal
pada kulit (ground itch) (Sutanto, 2008).
Reaksi yang timbul pada kulit bukan diakibatkan oleh parasit,
akan tetapi disebabkan oleh reaksi inflamasi dan alergi oleh sistem
imun terhadap larva dan produknya. Pada hewan, larva ini mampu
menembus dermis dan melengkapi siklus hidupnya dengan berkembang
biak di organ dalam. Pada manusia, larva ini memasuki kulit melalui
folikel, fisura atau menembus kulit utuh dengan menggunakan enzim
protease, tapi infeksinya hanya terbatas pada epidermis oleh karena
tidak memiliki enzim kolagenase yang dibutuhkan untuk penetrasi ke
bagian kulit yang lebih dalam (Linuwih, 2015).
Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas.
Mula - mula, pada porte d’ entree, akan timbul papul, kemudian diikuti
oleh bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau berkelok –
kelok yang terasa sangat gatal. Adanya lesi papul yang eritematosa ini
menunjukkan larva tersebut telah berada dikulit selama beberapa jam
atau hari. Rasa gatal dapat timbul paling cepat 30 menit setelah infeksi,
meskipun pernah dilaporkan late onset dari CLM. Perkembangan
selanjutnya , papul merah ini menjalar seperti benang berkelok- kelok,
polisiklik, serpiginosa, menimbul dan membentuk terowongan dan
bertambah panjang beberapa milimeter atau beberapa sentimeter setiap
harinya, tanpa pengobatan larva dapat mati dan diabsorbsi dalam
beberapa minggu sampai bulan setelah invasi (Linuwih, 2015).
Umumnya penderita hanya memiliki satu atau tiga lintasan
dengan panjang 2 – 5 cm. Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam
hari, sehingga penderita sulit tidur. Rasa gatal ini juga dapat berlanjut,
meskipun larva telah mati. Terowongan yang sudah lama, akan
mengering dan menjadi krusta, dan bila penderita sering menggaruk,
dapat menimbulkan iritasi yang rentan terhadap infeksi sekunder. Larva
nematoda dapat ditemukan terperangkap dalam kanal folikular, stratum
korneum atau dermis.Tempat predileksi adalah di tempat – tempat yang
kontak langsung dengan tanah, baik saat beraktivitas, duduk, ataupun
berbaring, seperti di tungkai, telapak kaki, tangan, anus, bokong dan
paha juga di bagian tubuh di mana saja yang sering berkontak dengan
tempat larva berada (Linuwih, 2015).
E. Penegakan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yaitu penderita
mengeluhkan adanya rasa gatal dan panas. Biasanya terjadi pada bagian
punggung tangan atau kaki, sela – sela jari, bokong, anus, paha, dan
telapak kaki. Pemeriksaan klinis yakni bentuk yang khas seperti benang
yang lurus atau berkelok-kelok, menonjol dan terdapat papul atau
vesikel di atasnya. Pemeriksaan darah tidak diperlukan untuk
menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
adalah pemeriksaan darah ditemukan adanya peningkatan monosit dan
bisa juga menggunakan ELISA (Enzyme – Linked Immunosorbent
Assay) (Soebrata, 2011).
(Siregar, 2005)
F. Diagnosis Banding
1. Adanya terowongan dapat dibedakan dengan Scabies, pada Scabies
terowongan yang terbentuk tidak panjang dan tidak membentuk
seperti untaian benang.
2. Bila melihat dari bentuk polisiklik mirip dengan dermatofitosis.
3. Pada permulaan lesi yang berupa papul, sering diduga insect bite.
4. Invasi larva yang multiple timbul serentak, papul – papul lesi dini
seiring menyerupai herpes zoster pada stadium permulaan.
(Linuwih, 2015).
G. Tatalaksana
Pengobatan dimaksudkan untuk mempercepat penyembuhan dan
mengurangi rasa ketidaknyamanan pada penderita. Umumnya
pengobatan selalu memberikan hasil yang baik. Terapi pilihan saat ini
adalah dengan preparat antihelmintes baik topikal maupun sistemik.
Terapi pembekuan dengan menggunakan etilen klorida yang
disemprotkan sepanjang lesi, karbon dioksida padat atau cryotherapy
(nitrogen cair) tidak efektif dan sering tidak berhasil, selain itu dapat
menimbulkan rasa sakit pada penderita, sehingga harus dihindari. Cara
penyemprotan dengan menggunakan etilen klorida agak sulit dilakukan
karena tidak diketahui secara pasti dimana larva berada, dan bila terlalu
lama dapat merusak jaringan sekitarnya (Goodheart, 2013).
Terapi topikal dengan menggunakan tiabendazole 10%-15%
terbukti berkhasiat, diberikan 2 sampai 3 kali sehari selama 5 hari.
Keuntungan utama pengobatan topikal adalah tidak adanya efek
samping sistemik, akan tetapi terapi topikal mempunyai kelemahan
karena mempunyai efek terbatas pada beberapa lesi dan folikulitis
akibat cacing tambang (Goodheart, 2013).
Terapi sistemik yaitu dengan menggunakan thiabendazol dengan
dosis 50 mg/kgBB/hari, sehari 2 kali diberikan berturut-turut selama 2
hari. Jika belum sembuh dapat diulangi setelah beberapa hari. Efek
samping yang timbul seperti rasa mual, pusing dan muntah-muntah.
Tiabendazole kurang ditoleransi dibandingkan albendazole dan
ivermektin (Goodheart, 2013).
Albendazole adalah generasi ketiga antihelmintes, terbukti
mempunyai angka kesembuhan 100% setelah pengobatan 400 mg dosis
tunggal selama 3 sampai 5 hari berturut-turut. Albendazole dapat
ditoleransi dengan baik kecuali diberikan dengan dosis tinggi atau
dalam jangka waktu lama (Linuwih, 2015).
Ivermektin merupakan turunan avermektin B, aktif terhadap
volvulus Onchocerca dan nematode lainnya termasuk pencernaan
cacing. Mekanisme kerja belum jelas. Dosis tunggal ivermektin 12 mg
menghasilkan 100% angka kesembuhan penderita kutaneus larva
migrans, dapat ditoleransi dengan baik dan tidak ada efek samping yang
pernah dilaporkan (Goodheart, 2013).
H. Komplikasi
Infeksi sekunder pada daerah sekitar kulit yang terlibat
(impetiginasi) merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Komplikasi
sistemik terutama migrasi larva ke jaringan dalam seperti paru yang
dapat menyebabkan pneumonitis ( Loeffler’s Syndrome), usus
(enteritis), dan otot (miositis) sangat jarang terjadi. Meskipun
patogenesis belum pasti, namun pernah dilaporkan adanya larva
Ancylostoma dalam dahak penderita (Linuwih, 2013).
Penyakit CLM dapat sembuh sendiri dengan atau tanpa
pengobatan setelah beberapa minggu atau bulan, tanpa diikuti efek
samping jangka panjang apapun. Morbiditas dihubungkan dengan
pruritus yang hebat dan kemungkinan infeksi bekteri sekunder yang
terjadi. Mortalitas belum pernah dilaporkan (Linuwih, 2013).
I. Pencegahan
Cara yang terbaik untuk mencegah CLM adalah dengan
menggunakan pelindung alas kaki ketika berjalan di pantai karena larva
cacing umumnya menginfeksi tubuh melalui kulit kaki yang tidak
terlindung. Hendaknya menghindari kontak langsung bagian tubuh
manapun dengan tanah atau pasir yang kering. Bilamana tersedia bak
pasir perlu ditutup rapat sehingga tidak memberi kesempatan kucing
atau anjing berdefekasi di tempat tersebut (Goodheart, 2013).
STEP VIII
PENUTUP
8.1 Kesimpulan
8.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda Adhi., 2016. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi kelima.Balai
Penerbit FKUI. Jakarta.
Kuswadji. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi ke-5. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Linuwih, Sri. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi VII. Jakarta : Badan
Penerbit FKUI
Siregar, R.S. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta : EGC
Supali, T., Margono, S. S., dan Abidin, S. A. N., 2009. Nematoda Usus. Dalam:
Sutanto, I., Ismid, I. S., Sjarifuddin, P. K., dan Sungkar, S., ed. Buku Ajar
Parasitologi Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia