Anda di halaman 1dari 29

SKENARIO 3

Why did it move...?


A mother and her 5 years old son came to the primary health care with a
chief complain of red and itchy on his lower leg moving from one side to the
other. This complaint have existed one months ago since he was staying in the
fruit farm for holiday in Subang. Initially, there is a red spot with litlle stain, and
growing bigger from day to day eventhough his mother has put on some topical
drugs. From what the mother says, his son likes to play with his favourite cat.
Physical examination from the sinistra lateral inferior extremity found linier and
serpiginosa papule eritema. Some area are found pustule and vesicel
STEP I

KLARIFIKASI ISTILAH

1.1 Serpiginosa
Proses yang menjalar ke satu jurusan diikuti oleh penyembuhan pada
bagian yang ditinggalkan (Djuanda, 2016).
1.2 Papul
Penonjolan di atas permukaan kulit, sikumskrip,berukuran diameter
lebih kecil dari ½ cm, berisikan zat padat. Warna papul dapat merah akibat
peradangan, pucat, hiperkrom, putih, atau seperti kulit di sekitarnya. Letak
papul dapat epidermal atau kutan (djuanda, 2016).
1.3 Pustule
Vesikel yang berisi nanah, bila nanah mengendap di bagian bawah
vesikel disebut vesikel hipopion (Djuanda, 2016).
1.4 Vesikel
Gelembung berisi cairan serum, beratap, berukuran kurang dari ½ cm
garis tengah dan mempunyai dasar ; vesikel berisi darah disebut vesikel
hemoragik (Djuanda, 2016).
STEP II

IDENTIFIKASI MASALAH

2.1 Mengapa pasien mengeluh rasa gatal dan merah pada kaki yang berpindah-
pindah?
2.2 Apa hubungan riwayat kebiasaan bermain dengan kucing dan bepergian ke
kebun buah dengan keluhan pasien?
2.3 Mengapa bintik merah dan bercak kecil semakin banyak?
2.4 Mengapa setelah diberikan obat tetap tidak ada perbaikan?
2.5 Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik pasien? Mengapa ada pustule,
vesikel berbentuk linear dan serpiginosa?
2.6 Apa kemungkinan yang terjadi pada pasien?
STEP III

CURAH PENDAPAT

3.1 Mengapa pasien mengeluh rasa gatal dan merah pada kaki yang
berpindah-pindah?

Antigen masuk ke dalam tubuh

Mesensitisasi sel T

Sel T yang sudah tersensitisasi


akan mengeluarkan limfosit

Timbul inflamasi

Timbulnya tanda – tanda inflamasi


berupa papul (tumor), eritema

Seperti yang sudah diketahui, kemerahan merupakan satu dari lima


tanda pasti tanda peradangan. Pasien mengeluhkan adanya tanda
kemerahanini menandakan bahwa adanya respon dari sistem imun pada
tubuh pasien yang bekerja akibat adanya antigen atau benda asing yang
masuk kedalam tubuhnya dan perlu ditindak lanjuti. Lesi pada kulit
setelahnya atau gejala penyerta setelahnya dapat diamati untuk segera
ditegakkan diagnosanya. Gatal dikarenakan adanya larva yang masuk
kedalam tubuh dan memicu pelepasan histamin dan reaksi hipersensitivitas.
Berpindah-pindah dikarenakan larva pada tubuh teru bergerak dibagian
epidermis.
3.2 Apa hubungan riwayat kebiasaan bermain dengan kucing dan
bepergian ke kebun buah dengan keluhan pasien?

Anjing dan kucing merupakan hospes definitif dari cacing


Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma
caninum. Tinja anjing dan kucing yang terinfeksi dapat mengandung telur
cacing Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum dan
Ancylostoma caninum. Telur tersebut dapat berkembang menjadi stadium
larva yang infektif (filariform) pada tanah dan pasir yang terkontaminasi.
Larva filariform dari cacing tersebut apabila kontak dengan kulit manusia,
dapat menembus kulit dan menyebabkan CLM. Telur Ancylostoma
braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum
dikeluarkan bersama tinja anjing dan kucing (Supali et al, 2009).

Pada keadaan lingkungan yang lembab dan hangat, telur akan menetas
menjadi larva rabditiform dan kemudian menjadi larva filariform yang
infektif. Larva filariform inilah yang akan melakukan penetrasi ke kulit dan
menyebabkan CLM (CDC, 2012).

3.3 Mengapa bintik merah dan bercak kecil semakin banyak?


Awal mula larva filariform dari cacing tambang melakukan penetrasi
kedalam kulit. Kemudian larva berada di dalam kulit pada lapisan
epidermis. Sementara itu, manusia memiliki serabut kolagen sehingga larva
tidak bisa menembus ke bagian dermis. Maka, larva hanya bisa berdiam diri
di lapisan epidermis dan berjalan jalan sepanjang dermo – epidermal, saat
larva berjalan jalan maka terbentuk papul eritema yang disertai dengan rasa
gatal dan panas. Kemudian seiring larva berjalan akan muncul manifestasi
klinis papul menjalar berkelok – kelok polisiklik, serpiginosa, dan
menimbul sehingga terbentuklah terowongan (burrow) (Linuwih, 2015).

3.4 Mengapa setelah diberikan obat tetap tidak ada perbaikan?


Pemberian salep hanya mengurangi gejala tanpa mengobati
penyebabnya. (mematikan larva cacing). Obat topikal sendiri ada berbagai
macam seperti obat topikal untuk jamur, parasit dan bakteri. Dalam skenario
ini belum di jelaskan obat topikal mana yang diberikan oleh ibu pasien
kepada pasien. Apabila penyebabnya parasit dan ibu tersebut
memberikannya obat topikal untuk bakteri atau virus atau jamur otomatis
kerja obat tidak akan maksimal/tidak ada hasil perbaikan.

3.5 Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik pasien? Mengapa ada


pustule, vesikel berbentuk linear dan serpiginosa?
3.6 Apa kemungkinan yang terjadi pada pasien?
Kemungkinan yang paling dekat dengan kasus pasien tersebut adalah
Cutaneus Larva Migrans (CLM).

Namun, ada juga diagnosis banding yang mendekati kasus tersebut.


Dengan melihat adanya terowongan, maka harus dapat membedakan dengan
scabies dimana terowongan yang terjadi pada scabies tidak sepanjang
dengan kasus ini. Apabila melihat bentuk yang polisiklik sering dikatakan
dengan dermatofitosis (Djuanda, 2016).
STEP IV

ANALISIS MASALAH

Riwayat bermain
Riwayat berpergian dengan kucing
ke kebun buah

Feses kucing dapat menjadi


Tanah lembab, salah satu perantara
hangat, penyebaran telur larva

Berkembang biak
Tempat kondusif untuk di intestin
tumbuh kembang larva Telur keluar bersama
feses kucing ke tanah
Terbatukkan,
Telur menetas masuk ke GI
(1-2 hari) tract

0
Larva rabditiform Masuk ke
Masuk ke kulit Masuk ke
1-2(5-10
hari hari) pembuluh darah
kucing/anjing paru-paru

Larva filariform
Larva tidak
Masuk ke kulit Tidak bisa
memiliki enzim
manusia masuk
kolagenase
dermis

Reaksi inflamasi
Terlihat lesi
merah linear dan
Biasanya pada port Kemerahan  serpiginosa di
de entree terdapat dilatasi p. Darah kulit
pustule/vesikel
Gatal histamin
STEP V

TUJUAN PEMBELAJARAN

5.1 Menjelaskan tentang Scabies

5.2 Menjelaskan tentang Herpes Zoster

5.3 Menjelaskan tentang Dermatofitosis

5.4 Menjelaskan tentang Cutaneous Larva Migran


STEP VI

BELAJAR MANDIRI

Mahasiswa melakukan belajar mandiri dirumah masing – masing untuk


menyiapkan bahan presentasi pada pertemuan kedua. Yang bersumber dari
text book, literatur, ataupun jurnal.
STEP VII

BERBAGI INFORMASI

7.1 Menjelaskan tentang Scabies

7.2 Menjelaskan tentang Herpes Zoster

A. Definisi
Herpes Zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus
varisela yg menyerang kulit dan mukosa, infeksi, ini merupakan
keaktifan virus yang terjadi setelah infeksi primer (Djuanda, 2016).
B. Etiologi
Penyebab dari Herpes Zoster ini secara umum adalah Virus
Varicella zoster. Varicella zoster adalah agens virus penyebab dari
cacar air dan herpes zoster. Setelah sembuh dari cacar air, virus
Varicella tetap ada dalam tubuh dalam tahap laten seumur hidup.
Sebagai virus laten, Varicella tidak akan menunjukkan gejala apapun,
tetapi potensial untuk aktif kembali. Pada tahap reaktivitas, Varicella
muncul sebagai Herpes zoster yang sering disebut sebagai shingles.
Virus varicella zoster terdiri dari kapsid berbentuk ikosahedral dengan
diameter 100 nm. Kapsid tersusun atas 162 sub unit protein-virion yang
lengkap dengan diameternya 150-200 nm, dan hanya virion yang
terselubung yang bersifat infeksius. Infeksiositas virus ini dengan cepat
dihancurkan oleh bahan organik, deterjen, enzim proteolitik, panas dan
suasana Ph yang tinggi. Masa inkubasinya 14-21 hari (Djuanda, 2016).
C. Epidemiologi
Herpes zoster dapat muncul disepanjang tahun karena tidak
dipengaruhi oleh musim dan tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada
perbedaan angka kesakitan antara laki-laki dan perempuan, angka
kesakitan meningkat dengan peningkatan usia. Di negara maju seperti
Amerika, penyakit ini dilaporkan sekitar 6% setahun, di Inggris 0,34%
setahun sedangkan di Indonesia lebih kurang 1% setahun (Djuanda,
2016).
Herpes zoster terjadi pada orang yang pernah menderita varisela
sebelumnya karena varisela dan herpes zoster disebabkan oleh virus
yang sama yaitu virus varisela zoster. Setelah sembuh dari varisela,
virus yang ada di ganglion sensoris tetap hidup dalam keadaan tidak
aktif dan aktif kembali jika daya tahan tubuh menurun. Lebih dari 2/3
usia di atas 50 tahun dan kurang dari 10% usia di bawah 20 tahun.
Kurnia Djaya pernah melaporkan kasus hepes zoster pada bayi usia 11
bulan (Djuanda, 2016).
D. Patofisiologi
Infeksius didapatkan akibat dari polutan udara yang tercemar olah
adanya penderita virus Varicella (batuk, ludah, dahak). Virus tersebut
akan masuk kedalam tubuh manusia normal melewati proses
inhalasi/pernafasan manusia dan akan memasuki paru-paru. Pada paru-
paru akan terjadi infeksi dari virus Varicella itu sendiri. Setelah
melewati paru-paru, virus tersebut akan dibawa oleh pembuluh darah ke
sekujur tubuh dan akan hidup di sekitar persarafan manusia. Pada
persarafan manusia, virus tersebut akan melewati masa Dormant,
dimana virus varicella akan menetap dalam tubuh dan tidak adanya
aktivitas dari virus tersebut. Ketika sistem imunitas tubuh menurun,
virus tersebut dapat teraktivasi dan akan menginfeksi sistem tubuh
manusia sehingga menyebabkan terjadinya suatu penyakit Herpes
Zoster (Djuanda, 2016).

E. Gambaran Klinis

Gejala prodromal herpes zoster biasanya berupa rasa sakit dan


parestesi pada dermatom yang terkena. Gejala ini terjadi beberapa hari
menjelang timbulnya erupsi. Gejala konstitusi, seperti sakit kepala,
malaise, dan demam, terjadi pada 5% penderita (terutama pada anak-
anak) dan timbul 1-2 hari sebelum terjadi erupsi (Martodihardjo S,
2001).
Gambaran yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang
lokalisata dan unilateral. Jaang erupsi tersebut melewati garis tengah
tubuh. Umumnya lesi terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh
salah satu ganglion saraf sensorik. Erupsi dimulai dengan eritema
makulopapular. Dua belas hingga dua puluh empat jam kemudian
terbentuk vesikula yang dapat berubah menjadi pustule pada hari
ketiga. Seminggu sampai sepuluh hari kemudian, lesi mengering
menjadi krusta. Krusta ini dapat menetap menjadi 2-3 minggu.Keluhan
yang berat biasanya terjadi pada penderita usia tua. Pada anak-anak
hanya timbul keluhan ringan dengan erupsi cepat sembuh. Rasa sakit
segmental pada penderita lanjut usia dapat menetap, walaupun
krustanya sudah menghilang. Frekuensi herpes zoster menurut
dermatom yang terbanyak pada torakal (55%), kranial (20%), dan sacral
(5%) (Martodihardjo S, 2001)

F. Diagnosis

Diagnosis herpes zoster pada anamnesis didapatkan keluhan


berupa neuralgia beberapa hari sebelum atau bersama-sama dengan
timbulnya kelainan kulit.3 Adakalanya sebelum timbul kelainan kulit
didahului gejala prodromal seperti demam, pusing dan malaise.9
Kelainan kulit tersebut mula-mula berupa eritema kemudian
berkembang menjadi papula dan vesikula yang dengan cepat membesar
dan menyatu sehingga terbentuk bula. Isi vesikel mula-mula jernih,
setelah beberapa hari menjadi keruh dan dapat pula bercampur darah.
Jika absorbsi terjadi, vesikel dan bula dapat menjadi krusta
(Martodihardjo S, 2001).

Dalam stadium pra erupsi, penyakit ini sering dirancukan dengan


penyebab rasa nyeri lainnya, misalnya pleuritis, infark miokard,
kolesistitis, apendisitis, kolik renal, dan sebagainya.4 Namun bila erupsi
sudah terlihat, diagnosis mudah ditegakkan. Karakteristik dari erupsi
kulit pada herpes zoster terdiri atas vesikel-vesikel berkelompok,
dengan dasar eritematosa, unilateral, dan mengenai satu dermatom
(Martodihardjo S, 2001).

Secara laboratorium, pemeriksaan sediaan apus tes Tzanck


membantu menegakkan diagnosis dengan menemukan sel datia berinti
banyak. Demikian pula pemeriksaan cairan vesikula atau material
biopsi dengan mikroskop elektron, serta tes serologik.4,9 Pada
pemeriksaan histopatologi ditemukan sebukan sel limfosit yang
mencolok, nekrosis sel dan serabut saraf, proliferasi endotel pembuluh
darah kecil, hemoragi fokal dan inflamasi bungkus ganglion. Partikel
virus dapat dilihat dengan mikroskop elektron dan antigen virus herpes
zoster dapat dilihat secara imunofluoresensi (Martodihardjo S, 2001).

Apabila gejala klinis sangat jelas tidaklah sulit untuk menegakkan


diagnosis. Akan tetapi pada keadaan yang meragukan diperlukan
pemeriksaan penunjang antara lain:
1. Isolasi virus dengan kultur jaringan dan identifikasi morfologi
dengan mikroskop elektron.
2. Pemeriksaan antigen dengan imunofluoresen
3. Test serologi dengan mengukur imunoglobulin spesifik.

(Martodihardjo S, 2001).

G. Komplikasi

1. Neuralgia paska herpetic

Neuralgia paska herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada


daerah bekas penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung selama
berbulan-bulan sampai beberapa tahun. Keadaan ini cenderung
timbul pada umur diatas 40 tahun, persentasenya 10 - 15 % dengan
gradasi nyeri yang bervariasi. Semakin tua umur penderita maka
semakin tinggi persentasenya (Lubis RD, 2008).

2. Infeksi sekunder

Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya


tanpa komplikasi. Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas,
infeksi H.I.V., keganasan, atau berusia lanjut dapat disertai
komplikasi. Vesikel sering manjadi ulkus dengan jaringan nekrotik
(Lubis RD, 2008).

3. Kelainan pada mata


Pada herpes zoster oftatmikus, kelainan yang muncul dapat
berupa: ptosis paralitik, keratitis, skleritis, uveitis, korioratinitis dan
neuritis optic (Lubis RD, 2008).

4. Sindrom Ramsay Hunt

Sindrom Ramsay Hunt terjadi karena gangguan pada nervus


fasialis dan otikus, sehingga memberikan gejala paralisis otot muka
(paralisis Bell), kelainan kulit yang sesuai dengan tingkat persarafan,
tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus, nausea, dan
gangguan pengecapan (Lubis RD, 2008).

5. Paralisis motorik

Paralisis motorik dapat terjadi pada 1-5% kasus, yang terjadi


akibat perjalanan virus secara kontinuitatum dari ganglion sensorik
ke sistem saraf yang berdekatan. Paralisis ini biasanya muncul dalam
2 minggu sejak munculnya lesi. Berbagai paralisis dapat terjadi
seperti: di wajah, diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika
urinaria dan anus. Umumnya akan sembuh spontan (Lubis RD,
2008).

H. Penatalaksanaan

1. Pengobatan Umum

Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena


dapat menularkan kepada orang lain yang belum pernah terinfeksi
varisela dan orang dengan defisiensi imun. Usahakan agar vesikel
tidak pecah, misalnya jangan digaruk dan pakai baju yang longgar.
Untuk mencegah infeksi sekunder jaga kebersihan badan (Lubis RD,
2008).

2. Pengobatan Khusus

A. Sistemik

A.1. Obat Antivirus

Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan


modifikasinya, misalnya valasiklovir dan famsiklovir. Asiklovir
bekerja sebagai inhibitor DNA polimerase pada virus. Asiklovir
dapat diberikan peroral ataupun intravena. Asiklovir Sebaiknya
pada 3 hari pertama sejak lesi muncul. Dosis asiklovir peroral
yang dianjurkan adalah 5×800 mg/hari selama 7 hari, sedangkan
melalui intravena biasanya hanya digunakan pada pasien yang
imunokompromise atau penderita yang tidak bisa minum obat.
Obat lain yang dapat digunakan sebagai terapi herpes zoster
adalah valasiklovir. Valasiklovir diberikan 3×1000 mg/hari
selama 7 hari, karena konsentrasi dalam plasma tinggi. Selain itu
famsiklovir juga dapat dipakai. Famsiklovir juga bekerja sebagai
inhibitor DNA polimerase. Famsiklovir diberikan 3×200 mg/hari
selama 7 hari (Lubis RD, 2008).

A.2. Analgetik

Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang


ditimbulkan oleh virus herpes zoster. Obat yang biasa digunakan
adalah asam mefenamat. Dosis asam mefenamat adalah 1500
mg/hari diberikan sebanyak 3 kali, atau dapat juga dipakai
seperlunya ketika nyeri muncul (Lubis RD, 2008).

A.3. Kortikosteroid

Indikasi pemberian kortikostreroid ialah untuk Sindrom


Ramsay Hunt. Pemberian harus sedini mungkin untuk mencegah
terjadinya paralisis. Yang biasa diberikan ialah prednison dengan
dosis 3×20 mg/hari, setelah seminggu dosis diturunkan secara
bertahap. Dengan dosis prednison setinggi itu imunitas akan
tertekan sehingga lebih baik digabung dengan obat antivirus
(Lubis RD, 2008).

B. Pengobatan topikal

Pengobatan topikal bergantung pada stadiumnya. Jika


masih stadium vesikel diberikan bedak dengan tujuan protektif
untuk mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi
sekunder. Bila erosif diberikan kompres terbuka. Kalau terjadi
ulserasi dapat diberikan salap antibiotic (Lubis RD, 2008).

7.3 Menjelaskan tentang Dermatofitosis

A. Definisi

Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial disebabkan oleh


dermatofita yang memiliki kemampuan untuk melekat pada keratin dan
menggunakannya sebagai sumber nutrisi, dengan menyerang jaringan
berkeratin, seperti stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku
(Verma, 2008).

Dermatofita merupakan kelompok taksonomi jamur kulit


superfisial. Yang terdiri dari 3 genus, yaitu Microsporum,
Trichophyton, dan Epidermophyton (Djuanda, 2016). Kemampuannya
untuk membentuk ikatan molekuler terhadap keratin dan
menggunakannya sebagai sumber makanan menyebabkan mereka
mampu berkolonisasi pada jaringan keratin (Koksal, 2009).

Dermatofita

a. Berdasarkan ekologi:
Antropofilik: T. rubrum, T. mentagrophytes var. interdigitale
Zoofilik: M. canis, T. mentagrophytes var. granulare
Geofilik: M. gypseum
b. Spesies dan lokasi infeksi:
Rambut: Microsporum, Trichophyton
Kulit: Trichophyton, Microsporum, Epidermophyton
Kuku: Trichophyton, Epidermophyton, (Microsporum)
(Koksal, 2009).
B. Klasifikasi Dermatofitosis

Dermatofitosis disebut juga dengan istilah infeksi “tinea” yang


dikelompokkan lebih lanjut berdasarkan lokasi infeksinya, yaitu :
a) Tinea Kapitis : dermatofitosis pada kulit kepala dan rambut kepala

b) Tinea Barbe : dermatofitosis pada dagu dan jenggot

c) Tinea Kruris : dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus,


bokong, dan kadangkadang sampai perut bagian bawah

d) Tinea Pedis et Manum : dermatofitosis pada kaki dan tangan

e) Tinea Unguium : dermatofitosis pada jari tangan dan kaki

f) Tinea Korporis : dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk


bentuk 5 diatas

(Djuanda, 2016).

Beberapa terminologi khusus

a) Berdasar gambaran klinis:


i. Tinea imbrikata
ii. Tinea favosa
iii. Tinea inkognito: tidak khas karena terapi steroid
b) Berdasar morfologi (tidak digunakan)
i. Tinea sirsinata
ii. Tinea arkuata
C. Patogenesis

Jamur menempel pada kulit & keadaan kulit cocok  jamur tumbuh

Jamur mengeluarkan suatu enzym keratolitik  menghancurkan


keratin makanan yang baik untuk jamur  tumbuh & berkembang
dengan subur

Jamur bertambah  enzym bertambah  makanan jamur juga


bertambah

Penyakit semakin lebar


D. Manifestasi klinis

Bergantung pada:

a. Hospes:
1. Respons imun selular tinggi  radang akut rendah  kronik
2. Lokasi: kulit, rambut, kuku  berbeda
b. Spesies dermatofit:
1. Antropofilik  radang kronik
2. Zoo & geofilik  radang akut
Tinea Korporis
a) Gatal
b) Batas tegas
c) Polisiklik
d) Efloresensi polimorf
e) Tepi tanda radang>aktif
f) Tengah tenang (central healing)

Tinea Imbrikata

a) Penyebab: T. concentricum
b) Di daerah endemis: Kalimantan, Sulawesi, Papua
c) Kronik, gatal <
d) Kadang pada kulit kepala, kuku
e) Lingkaran skuama konsentris, menghadap ke dalam, susunan seperti
genting

Tinea Favosa

a) Tidak ada di Indonesia


b) Penyebab: T. schoenleini
c) Pada kulit dan rambut
d) Khas: skutula y.i. jamur dan debris membentuk cawan, bau (mousy
odor)

Tinea Kapitis
a) Terutama pada anak
b) Stadium klnis dapat: kronik, subakut, akut
c) Tiga bentuk klinis:
1) Gray patch: oleh a.l. M. canis, M. gypseum
2) Black dot: oleh Trichophyton sp., a.l. T.tonsurans
3) Kerion: keadaan akut, bengkak, mirip sarang lebah dgn pus
keluar dari folikel

Tinea Pedis

a) Interdigitalis
1) Terutama sela jari IV-V
2) Skuama, fisur, maserasi
3) Gatal menahun tidak gatal
b) Kronik, papuloskuamosa, hiperkeratotik
1) Moccasin foot
2) Hiperkeratosis, skuama
c) Vesikular/subakut:
1) Sela jari  punggung dan telapa kakai
2) Vesikel, vesikopustul, bula, skuama kolaret

Tinea Unguium

a) Infeksi kuku oleh dermatofita


b) Onikomikosis: infeksi kuku oleh jamur (luas)
c) Bentuk klinis:
1) Subungual distal: tersering
2) Superfisial (leukonikia mikotika)
3) Subungual proksimal: jarang HIV/AIDS
4) Distrofi total
d) D.D: onikomikosis oleh jamur lain, psoriasis kuku, distrofi kuku
krn dermatitis, infeksi bakteri
E. Pemeriksaan Penunjang
a) Lampu Wood: pada sebagian tinea kapitis, fluoresensi kuning
kehijauan
b) Pemeriksaan mikologis:
1. Langsung
2. Biakan
F. Penatalaksanaan
1. Hilangkan faktor predisposisi dan pencetus
2. Hilangkan sumber penularan
3. Pengobatan
a) Obat topikal:
1) Bila lesi terbatas
2) Vehikulum sesuai stadium lesi
3) Tinea unguium 1-2 kuku dan tanpa kena bagian proksimal, +
pengikiran bagian kuku yang rusak
b) Obat sistemik:
1) Lesi luas
2) Tidak resposnif terhadap obat topikal
3) Kronik berulang

G. Prognosis
Baik jika:
a) Faktor predisposisi dapat dihindarkan atau dihilangkan
b) Sumber penularan dapat dihindarkan
c) Pengobatan teratur dan tuntas

(Kuswadji. 2009).

7.4 Menjelaskan tentang Cutaneous Larva Migran

A. Definisi
Larva migrans adalah larva cacing nematoda hewan yang
mengadakan migrasi di dalam tubuh manusia tetapi tidak berkembang
menjadi bentuk dewasa. Terdapat dua jenis larva migrans, yaitu
cutaneous larva migrans atau creeping eruptions dan visceral larva
migrans. Cutaneus larva migrans adalah erupsi di kulit berbentuk
penjalaran, sebagai reaksi hipersensitivitas kulit terhadap invasi larva
cacing tambang / nematoda (roundworms) atau cacing lainnya
(Linuwih, 2015).
B. Etiologi
Pada cutaneus larva migrans (CLM) penyakit kulit yang
disebabkan penetrasi kulit larva Ancylostoma caninus atau kucing.
Spesies utama adalah Ancylostoma braziliense, namun Ancylostoma
caninum, Uncinaria stenocephala, dan Gnathostoma spinigerum dan
anjing lainnya juga dapat menyebabkan CLM. Selama beberapa
dekade, istilah "kutaneus larva migrans" telah digunakan secara
bergantian. Pada tahun 2004, Caumes dan Danis menyatakan bahwa
CLM didefinisikan sebagai linear atau serpiginous, sedikit menonjol,
eritematosa yang bergerak maju dalam kulit dengan pola tidak teratur
(Sutanto, 2008).
C. Epidemiologi
Ancylostoma braziliense adalah parasit yang menginfeksi
kebanyakan anjing di daerah tropis negara-negara berkembang.
Cutaneus larva migrans terutama dijelaskan di iklim panas, termasuk
Asia Tenggara, Afrika, Amerika Latin, Karibia, dan bahkan tenggara
Amerika Serikat. Kasus yang jarang terjadi telah dilaporkan di daerah
beriklim, terutama di musim panas. sebagian besar kasus didiagnosis di
negara-negara industri melibatkan wisatawan yang kembali dari daerah
tropis (Siregar, 2005).
D. Patofisiologi
Anjing dan kucing yang telah penuh dengan CLM meninggalkan
telur di kotoran mereka. Telur tetap laten di tanah sampai tergantung
pada suhu dan kelembaban eksternal, kemudian berubah menjadi larva
yang mempunyai kemampuan untuk menembus kulit host baru. Infeksi
biasanya diperoleh melalui kontak dengan tanah atau pasir yang
terkontaminasi dengan kotoran kucing atau anjing yang terinfeksi
(Sutanto, 2008).
Masa inkubasi CLM tidak pasti, namun biasanya berlangsung dari
jam ke hari. Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa pruritus
dapat dimulai setelah beberapa jam dan migrasi larva dapat terjadi
setelah 4 hari. Jelinek dkk melaporkan, gejala terjadi > 15 hari setelah
kembali dari negara endemis pada 25% penderita, masa inkubasi
minimal 2 minggu. Sewaktu menembus kulit, bakteri piogenik dapat
terikut masuk pada saat larva menembus kulit, menimbulkan rasa gatal
pada kulit (ground itch) (Sutanto, 2008).
Reaksi yang timbul pada kulit bukan diakibatkan oleh parasit,
akan tetapi disebabkan oleh reaksi inflamasi dan alergi oleh sistem
imun terhadap larva dan produknya. Pada hewan, larva ini mampu
menembus dermis dan melengkapi siklus hidupnya dengan berkembang
biak di organ dalam. Pada manusia, larva ini memasuki kulit melalui
folikel, fisura atau menembus kulit utuh dengan menggunakan enzim
protease, tapi infeksinya hanya terbatas pada epidermis oleh karena
tidak memiliki enzim kolagenase yang dibutuhkan untuk penetrasi ke
bagian kulit yang lebih dalam (Linuwih, 2015).
Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas.
Mula - mula, pada porte d’ entree, akan timbul papul, kemudian diikuti
oleh bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau berkelok –
kelok yang terasa sangat gatal. Adanya lesi papul yang eritematosa ini
menunjukkan larva tersebut telah berada dikulit selama beberapa jam
atau hari. Rasa gatal dapat timbul paling cepat 30 menit setelah infeksi,
meskipun pernah dilaporkan late onset dari CLM. Perkembangan
selanjutnya , papul merah ini menjalar seperti benang berkelok- kelok,
polisiklik, serpiginosa, menimbul dan membentuk terowongan dan
bertambah panjang beberapa milimeter atau beberapa sentimeter setiap
harinya, tanpa pengobatan larva dapat mati dan diabsorbsi dalam
beberapa minggu sampai bulan setelah invasi (Linuwih, 2015).
Umumnya penderita hanya memiliki satu atau tiga lintasan
dengan panjang 2 – 5 cm. Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam
hari, sehingga penderita sulit tidur. Rasa gatal ini juga dapat berlanjut,
meskipun larva telah mati. Terowongan yang sudah lama, akan
mengering dan menjadi krusta, dan bila penderita sering menggaruk,
dapat menimbulkan iritasi yang rentan terhadap infeksi sekunder. Larva
nematoda dapat ditemukan terperangkap dalam kanal folikular, stratum
korneum atau dermis.Tempat predileksi adalah di tempat – tempat yang
kontak langsung dengan tanah, baik saat beraktivitas, duduk, ataupun
berbaring, seperti di tungkai, telapak kaki, tangan, anus, bokong dan
paha juga di bagian tubuh di mana saja yang sering berkontak dengan
tempat larva berada (Linuwih, 2015).
E. Penegakan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yaitu penderita
mengeluhkan adanya rasa gatal dan panas. Biasanya terjadi pada bagian
punggung tangan atau kaki, sela – sela jari, bokong, anus, paha, dan
telapak kaki. Pemeriksaan klinis yakni bentuk yang khas seperti benang
yang lurus atau berkelok-kelok, menonjol dan terdapat papul atau
vesikel di atasnya. Pemeriksaan darah tidak diperlukan untuk
menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
adalah pemeriksaan darah ditemukan adanya peningkatan monosit dan
bisa juga menggunakan ELISA (Enzyme – Linked Immunosorbent
Assay) (Soebrata, 2011).
(Siregar, 2005)
F. Diagnosis Banding
1. Adanya terowongan dapat dibedakan dengan Scabies, pada Scabies
terowongan yang terbentuk tidak panjang dan tidak membentuk
seperti untaian benang.
2. Bila melihat dari bentuk polisiklik mirip dengan dermatofitosis.
3. Pada permulaan lesi yang berupa papul, sering diduga insect bite.
4. Invasi larva yang multiple timbul serentak, papul – papul lesi dini
seiring menyerupai herpes zoster pada stadium permulaan.
(Linuwih, 2015).
G. Tatalaksana
Pengobatan dimaksudkan untuk mempercepat penyembuhan dan
mengurangi rasa ketidaknyamanan pada penderita. Umumnya
pengobatan selalu memberikan hasil yang baik. Terapi pilihan saat ini
adalah dengan preparat antihelmintes baik topikal maupun sistemik.
Terapi pembekuan dengan menggunakan etilen klorida yang
disemprotkan sepanjang lesi, karbon dioksida padat atau cryotherapy
(nitrogen cair) tidak efektif dan sering tidak berhasil, selain itu dapat
menimbulkan rasa sakit pada penderita, sehingga harus dihindari. Cara
penyemprotan dengan menggunakan etilen klorida agak sulit dilakukan
karena tidak diketahui secara pasti dimana larva berada, dan bila terlalu
lama dapat merusak jaringan sekitarnya (Goodheart, 2013).
Terapi topikal dengan menggunakan tiabendazole 10%-15%
terbukti berkhasiat, diberikan 2 sampai 3 kali sehari selama 5 hari.
Keuntungan utama pengobatan topikal adalah tidak adanya efek
samping sistemik, akan tetapi terapi topikal mempunyai kelemahan
karena mempunyai efek terbatas pada beberapa lesi dan folikulitis
akibat cacing tambang (Goodheart, 2013).
Terapi sistemik yaitu dengan menggunakan thiabendazol dengan
dosis 50 mg/kgBB/hari, sehari 2 kali diberikan berturut-turut selama 2
hari. Jika belum sembuh dapat diulangi setelah beberapa hari. Efek
samping yang timbul seperti rasa mual, pusing dan muntah-muntah.
Tiabendazole kurang ditoleransi dibandingkan albendazole dan
ivermektin (Goodheart, 2013).
Albendazole adalah generasi ketiga antihelmintes, terbukti
mempunyai angka kesembuhan 100% setelah pengobatan 400 mg dosis
tunggal selama 3 sampai 5 hari berturut-turut. Albendazole dapat
ditoleransi dengan baik kecuali diberikan dengan dosis tinggi atau
dalam jangka waktu lama (Linuwih, 2015).
Ivermektin merupakan turunan avermektin B, aktif terhadap
volvulus Onchocerca dan nematode lainnya termasuk pencernaan
cacing. Mekanisme kerja belum jelas. Dosis tunggal ivermektin 12 mg
menghasilkan 100% angka kesembuhan penderita kutaneus larva
migrans, dapat ditoleransi dengan baik dan tidak ada efek samping yang
pernah dilaporkan (Goodheart, 2013).
H. Komplikasi
Infeksi sekunder pada daerah sekitar kulit yang terlibat
(impetiginasi) merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Komplikasi
sistemik terutama migrasi larva ke jaringan dalam seperti paru yang
dapat menyebabkan pneumonitis ( Loeffler’s Syndrome), usus
(enteritis), dan otot (miositis) sangat jarang terjadi. Meskipun
patogenesis belum pasti, namun pernah dilaporkan adanya larva
Ancylostoma dalam dahak penderita (Linuwih, 2013).
Penyakit CLM dapat sembuh sendiri dengan atau tanpa
pengobatan setelah beberapa minggu atau bulan, tanpa diikuti efek
samping jangka panjang apapun. Morbiditas dihubungkan dengan
pruritus yang hebat dan kemungkinan infeksi bekteri sekunder yang
terjadi. Mortalitas belum pernah dilaporkan (Linuwih, 2013).
I. Pencegahan
Cara yang terbaik untuk mencegah CLM adalah dengan
menggunakan pelindung alas kaki ketika berjalan di pantai karena larva
cacing umumnya menginfeksi tubuh melalui kulit kaki yang tidak
terlindung. Hendaknya menghindari kontak langsung bagian tubuh
manapun dengan tanah atau pasir yang kering. Bilamana tersedia bak
pasir perlu ditutup rapat sehingga tidak memberi kesempatan kucing
atau anjing berdefekasi di tempat tersebut (Goodheart, 2013).
STEP VIII

PENUTUP

8.1 Kesimpulan

8.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Djuanda Adhi., 2016. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi kelima.Balai
Penerbit FKUI. Jakarta.

Goodheart, Herbert. 2013. Diagnosis Fotografik dan Penatalaksanaan Penyakit


Kulit Edisi 3. Jakarta : EGC

Haber M. 2007. Dermatological Fungal Infections. Canadian Journal of Diagnosis


University of Calgary’s

Koksal F, Er E, Samasti M. 2009. Causative Agents of Superficial Mycoses in


Istanbul. Turkey: Mycopathologia

Kuswadji. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi ke-5. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia

Linuwih, Sri. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi VII. Jakarta : Badan
Penerbit FKUI

Siregar, R.S. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta : EGC

Soebrata, R. Ganda. 2011. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta : Dian Rakyat

Supali, T., Margono, S. S., dan Abidin, S. A. N., 2009. Nematoda Usus. Dalam:
Sutanto, I., Ismid, I. S., Sjarifuddin, P. K., dan Sungkar, S., ed. Buku Ajar
Parasitologi Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia

Sutanto, Inge.dkk. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat.


Jakarta : Badan Penerbit FKUI

Verma S, Hefferman MP. 2008. Fitzpatrick's Dermattology In General Medicine.


Edisi ke-7. New York: McGraw Hill

Anda mungkin juga menyukai