Anda di halaman 1dari 8

Pendahuluan

Abses paru adalah lesi yang berisi pus atau nekrotik debris pada parenkim paru, yang berbentuk
rongga, dan terdapat cairan serta udara (air fluid level) didalamnya apabila terjadi pembentukan fistula
bronkopulmoner.1 Kematian akibat abses paru-paru seratus tahun yang lalu, bearada di sekitar 75% pasien.2
Drainase abses paru menurunkan mortalitas hingga 20-35% dan bersamaan dengan terapi antibiotik, angka
kematian menurun hingga sekitar 8, 7%.3

Laporan Kasus

Seorang pasien laki-laki berusia 56 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat Bedah RSUP Prof Dr
RD Kandou dengan keluhan batuk. Batuk dirasakan selama kurang lebih 2 bulan, batuk disertai dahak
berwarna hijau dan berbau busuk. Keluhan batuk disertai darah juga dialami 6 jam sebelum MRS. Darah
berwarna merah segar dengan volume kurang lebih 200 cc. Keluhan batuk dikatakan semakin memburuk
walaupun pasien telah minum obat. Keluhan demam ataupun sesak disangkal. Riwayat tersedak sebelumnya
disangkal. Keluhan mual, muntah dan nafsu makan menurun dirasakan oleh pasien. Pasien mengalami
penurunan berat badan kurang lebih 6 kg dalam waktu 2 bulan terakhir. Buang air besar dan buang air kecil
tidak ada keluhan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit, kesadaran compos mentis, tekanan
darah 130/70 mmHg, nadi 88 x/menit, suhu 36,8 C, respirasi 24 x/menit, SpO2 98%. Pada pemeriksaan fisik
thoraks terdengar ronkhi basah kasar pada paru superior dextra.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hemoglobin 10,4 g/dL, hematokrit 39,8%, leukosit
22.100/mm3, trombosit 468.000/mm3. Pada pemeriksaan foto thoraks terdapat kesan air fluid level pada
paru superior dextra. Pada CT scan paru ditemukan konsolidasi air bronchogram dengan multiple lesi
berdinding tipis dengan fluid density dan udara pada lobus superior dextra.

Fig 1. X-foto thorax saat MRS.


Fig. 2 CT Scan Thorax pasien saat MRS

Pasien sempat berobat di RS Siloam dan mendapat terapi anti tuberkulosis pofilaksis selama 14 hari.
Pasien kemudian dilakukan pemeriksaan BTA sebanyak 2 kali dengan hasil negatif. Hasil pemeriksaa IGRA
test menyatakan kemungkinan tidak terinfeksi kuman M. Tuberculosis aktif. Adapun pada kultur sputum
tidak ditemukan adanya kuman M. Tuberculosis. Pasien kemudian dirawat inap di RSUD Prof dr RD
Kandou Manado dan diberikan terapi antibiotik berupa metronidazole injeksi 3x500mg dan ceftriaxone
injeksi 1x2 gram, asam tranexamat 3x500 mg, codein 3x10mg, paracetamol 3x500mg, omeprazole 2x1
tablet, FDC 1x4 tablet. Pasien dilakukan persiapan untuk bronchial wash dengan menggunakan bronkoskopi.
Tetapi mengingat terdapat kontraindikasi untuk melakukan bronkoskopi yaitu batuk yang masih berlangsung,
maka pasien dianjurkan untuk diobservasi serta diberikan terapi konservatif. Setelah 10 hari diberikan terapi
konservatif di Instalasi Rawat Inap, kondisi pasien mengalami perbaikan, batuk berkurang, dan tidak lagi
ditemukan darah pada dahak.

Pada hari ke 11 pasien dipulangkan untuk pengobatan rawat jalan dengan anjuran follow up CT scan
dalam waktu 2 minggu kedepan.

Pembahasan

Etiologi

Lebih dari 90% kasus abses paru ditemukan infeksi kuman polymicrobial.4 Dari bakteri anaerob pada
abses paru jenis bakteri yang predominan adalah gram-negatif Bacteroides fragilis, Fusobacterium
capsulatum dan necrphorum, serta bakteri anaerob gram-positif Peptostreptococcus. Sedangkan pada bakteri
aerob yang dominan adalah Staphylococcus aureus (termasuk Staphylococcus aureus resisten metichilin/
MRSA), Streptococcus pyogenes and pneumonia, Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aeruginosa,
Haemophilus influenza (type B), Acinetobacter spp, Escherichia coli, dan Legionel.5-7
Faktor yang berkontribusi untuk abses paru adalah: lansia, infeksi gigi, alkoholisme, penyalahgunaan
narkoba, diabetes mellitus, koma, ventilasi buatan, malnutrisi, terapi kortikosteroid, gastroesofageal refluks,
obstruksi bronkus, ketidakmampuan batuk, dan sepsis. 7-10

Patofisiologi

Pada awal terjadinya aspirasi kuman dari oropharingeal yang bertempat di segmen posterior paru,
terjadi sekresi aspirasi pada bagian distal bronkus yang menyebabkan pneumonitis lokal. Dalam waktu 24
jam – 48 jam, daerah peradangan akan meluas dan nefrotik debris akan diproduksi. Invaasi racun bakteri,
vaskulitis, vena thrombosis, dan enzim proteolitik dari neutrophil granulosit akan menyebabkan jaringan
yang nekrosis menjadi cair (liquefactive necrosis).11 Pyopneumothorax dapat terjadi apabila infeksi menjalar
hingga ke lapisan viscera pleura. Sedangkan apabila terdapat koneksi dengan saluran bronkus, nekrotik
detritus akan dihisap dan terjadi manifestasi radiologis yang disebut air fluid level.

Pada pasien ini penyebab utama terjadinya abses paru tidak diketahui, karena dari riwayat anamnesis
pasien tidak ditemukan adanya riwayat sekresi oropharyngeal, obstruksi bronkus ataupun penyebaran
hematogenik. Melalui pemeriksaan fisik dan pemeriksaan CT scan, ditemukan adanya air fluid level yang
menandai adanya konkesi lesi dengan bronkus. Pada pasein ini tidak ditemukan adanya infeksi abses yang
menjalar pada pleura yang biasanya ditandai dengan adanya empyema/pyopneumothorax.

Klasifikasi

Klasifikasi berdasarkan durasi:

 Akut (< 6 minggu)


 Kronik (> 6 minggu);

Klasifikasi berdasarkan etiologi:

 Primary (aspirasi sekresi oropharyngeal, necrotizing pneumonia, immunodeficiency)


 Secondary (obstruksi bronkus, penyebaran hematogenik, infeksi menjalar dari mediastinum dan
penyakit paru lainnya.)

Klasifikasi berdasarkan cara penularan:

 Bronkogenik (aspirasi sekresi oropharyngeal, obstruksi bronkus oleh tumor, benda asing,
pembesaran KGB)
 Hematogenik (abdominal sepsis, infektif endocarditis, septik thromboembolism).
Manifestasi klinis

Gejala awal penderita abses paru menyerupai gejala infeksi paru seperti demam, menggigil, batuk,
keringat di malam hari, sesak nafas, berat badan menurun, kelelahan, nyeri dada dan anemia. Pada fase awal,
gejala batuk biasanya tidak produktif. Tetapi pada saat terjadi kontak lesi dan bronkus, batuk akan menjadi
produktif, kadang biasa disertai dengan batuk darah.12-13 Pada pasien kronik, clubbing finger juga didapati.

Pada kasus ini, pasien awalnya mengalami batuk yang disertai dengan dahak yang berbau busuk.
Tidak ditemukan gejala sesak napas, demam, ataupun nyeri dada. Pasien megeluhkan adanya penurunan
berat badan selama 1 bulan terakhir sebanyak 6 kg. Pada 6 jam sebelum datang ke IGD, pasien mengeluhkan
adanya batuk berdarah sebanyak kurang lebih 200 cc. Tidak ada tanda-tanda sianosis kronik seperti clubbing
finger.

Diagnosis banding

Diagnosis banding abses paru dapat mencakup kavitas yang di sebabkan oleh tuberculosis atau
mycosis. Akan tetapi manifestasi air-fluid level jarang terjadi pada kedua penyakit itu. Kista intrapulmonary
seperti kista bronkial, ataupun infeksi sekunder bullae emphysema akan sulit terdiferensiasi dengan abses
paru, akan tetapi lokalisasi lesi dan manifestasi klinis dapat mengindikasikan diagnosis yang sesuai.
Emphyema pleura dapat dibedakan dengan pemeriksaan CT scan atau ultrasound.14 Bronkial carcinoma
seperti sqamocellular atau microcellular carcinoma biasanya memiliki dinding yang lebih tebal dan tidak
beraturan.15 Leukositosis, lendir yang purulent, mengindikasikan lesi infeksi.

Bronkoskopi diagnostik adalah protokol diagnostic untuk mengambil sampel untuk pemeriksaan
microbial, serta mengkonfirmasi penyebab intrabronkial abses, tumor ataupun benda asing. Pemeriksaan
sputum juga memberikan manfaat untuk mengidentifikasi agen mikrobia maupun carcinoma.

Pada kasus ini, dapat didiferensiasi diagnosis dengan adanya manifestasi klinis yang sesuai dengan
gejala abses paru, leukositosis, lendir purulent berdarah, serta adanya air-fluid level pada CT scan yang
dibatasi dengan dinding tipis, beraturan. Hasil 2x pemeriksaan BTA, IGRA, dan kultur sputum juga tidak
mendukung suspek adanya infeksi M. tuberkulosis. Pengambilan sample sputum melalui bronkoskopi tidak
dilakukan mengingat adanya kontraindikasi pada pasien yang sedang mengalami batuk.

Tata laksana

Standar terapi konservatif pada abses paru dengan bakteri anaerob adalah clindamycin (600 mg/8
jam), yang dalam beberapa penelitian dibuktikan lebih superior dari penicillin dalam hal kecepatan respons,
durasi demam dan waktu penurunan produksi sputum.16 Sebanyak 15-20% bakteri anaerob yang
menyebabkan abses paru memiliki resistensi pada penicillin, maka kombinasi penicillin-clavunate atau
kombinasi penicillin-metronidazole merupakan suatu pilihan alternatif. Kombinasi antibiotik yang
direkomendasikan untuk abses paru adalah kombinasi beta-laktam dengan beta-laktamase inhibitor
(ticarcilin-clavulanate, ampicillin-sulbactam, amoxicillin-clavulanate,piperacilin-tazobactam),
chloramphenicol, imipenem or meropenem, generasi kedua cephalosporin (cefotixin, cefotetan) generasi
terbaru floroquinolone-moxifloxacin, dibuktikan memiliki hasil yang seefektif kombinasi ampicillin-
sulbactam.17 Kefektifan terapi antibiotik pada keadaan normal, dapat dijumpai pada hari 3-4, kondisi pasien
membaik dalam waktu 4-7 hari, tetapi untuk sembuh secara komplit dengan normal pemeriksaan radiologi
membutuhkan waktu selama 2 bulan.

Apabila tidak ditemukan adanya perbaikan pada kondisi umum dan radiologis, diperlukan terapi
bronkoskopi dengan pemasangan chest tube drainasi. Terapi ini direkomendasikan untuk pasien yang
memiliki kondisi buruk, dan memiliki abses pada lokasi yang sentral. Komplikasi dari prosedur ini adalah
pernyebaran nekrotik detritus menuju daerah lain pada paru.18-19, infeksi pada pleura dengan terbentuknya
pyopneumothoraks, empiema, bronkopleural fistula atau perdarahan. Prosedur pemasangan chest tube
drainasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik lokal anestesi, dan dilakukan dengan panduan CT-
scan atau ultrasound.20-21

Pada kasus ini, pasien diberikan terapi supportif berupa cairan infus, analgetik, antipiretik, profilaksis
obat anti tuberkulosis selama 14 hari, serta kombinasi antibiotik spektrum luas ceftriaxone-metronidazole.
Pada hari ke 7 penggunaan kombinasi antibiotik tersebut, kondisi pasien mulai membaik, batuk mereda, dan
tidak ditemukan darah pada sputum.

Bronkoskopi diagnostik yang bertujuan untuk mengambil sampel, bronchial wash dan drainage telah
direncakan tetapi kondisi pasien yang masih batuk menjadi kontraindikasi terapi tersebut.

Reseksi dilakukan pada sekitar 10% pasien. Indikasi reseksi dapat dibagi menjadi akut dan kronik.
Indikasi akut adalah hemoptisis, sepsis berkepanjangan, bronkopleura fistula, rupture abses pada pleura
cavity dengan pyopneumothorax/empyema. Indikasi kronik, adalah ketidakberhasilan tatalaksana abses
selama 6 minggu, kecurigan atas malignancy, cavitas sebesar >6cm.

Ada pula prosedur bedah minimal invasive, yaitu Video Assisted Thoracoscopy (VATS) yang cocok
digunakan pada abses perifer lokal, tanpa perlengketan pleura dan fibrothorax. Hasil dari VATS sangat
memuaskan, tetapi mengharuskan dilakukan pada anestesi umum, double-lumen endotracheal tube atau
single-lumen endotracheal tube.22

Rata-rata tingkat kematian pada tatalaksana abses paru adalah 38,2% yang dipengaruhi oleh factor
usia, nutrisi, imunitas serta terapi antibiotik dan terapi supportive yang sesuai dan tepat waktu.23
Kesimpulan

Abses paru adalah penyakit infeksi paru yang sering disebabkan oleh aspirasi sekresi oropharyngeal
atau aspirasi necrotik pneumonitis yang memiliki gejala infeksi paru, serta sering disertai adanya batuk
berdahak, bernanah ataupun berdarah. Pada pemeriksaan radiologis sering ditandai dengan manifestasi air-
fluid level yang terbentuk pada parenkim paru. Faktor resiko abses paru adalah usia, konsumsi rokok
ataupun alcohol, imunitas lemah, penggunaan obat-obatan seperti steroid, obstruksi bronkus, dll.
Penanganan pada pasien dengan abses paru adalah dengan memberikan terapi kombinasi antibiotik, dan
terapi suportif. Pada abses paru yang tidak berhasil dengan terapi antibiotik, ataupun pada cavity abses yang
berdiameter >6cm, direkomendasikan untuk di-drainase/ bronkial wash dengan menggunakan broncoscopy.
Tatalaksana dan manajemen yang sesuai dan tepat waktu dapat mengurangi angka mortalitas yang cukup
signifikan.
Daftar pustaka
1. Seo H, Cha SI, Shin KM, et al. Focal necrotizing pneumonia is a distinct entity from lung abscess.
Respirology 2013;18:1095-100
2. Schweigert M, Dubecz A, Stadlhuber RJ, et al. Modern history of surgical management of lung abscess:
from Harold Neuhof to current concepts. Ann Thorac Surg 2011;92:2293-7.
3. Moreira Jda S, Camargo Jde J, Felicetti JC, et al. Lung abscess: analysis of 252 consecutive cases
diagnosed between 1968 and 2004. J Bras Pneumol 2006;32:136-43.
4. Stock CT, Ho VP, Towe C, et al. Lung abscess. Surg Infect (Larchmt) 2013;14:335-6
5. Bartlett JG. Anaerobic bacterial infection of the lung. Figure 9 Chest tube drainage with Seldinger
technique. Kuhajda et al. Lung abscess-etiology, diagnostic and treatment © Annals of Translational
Medicine. All rights reserved. www.atmjournal.org Ann Transl Med 2015;3(13):183 Page 8 of 9 Anaerobe
2012;18:235-9.
6. Wang JL, Chen KY, Fang CT, et al. Changing bacteriology of adult community-acquired lung abscess in
Taiwan: Klebsiella pneumoniae versus anaerobes. Clin Infect Dis 2005;40:915-22.
7. Pande A, Nasir S, Rueda AM, et al. The incidence of necrotizing changes in adults with pneumococcal
pneumonia. Clin Infect Dis 2012;54:10-6.
8. Gonçalves AM, Menezes Falcão L, Ravara L. Pulmonary abcess, a revision. Rev Port Pneumol
2008;14:141-9.
9. Magalhães L, Valadares D, Oliveira JR, et al. Lung abscesses: review of 60 cases. Rev Port Pneumol
2009;15:165-78.
10. Ando K, Okhuni Y, Matsunuma R, et al. Prognostic lung abscess factors. Kansenshogaku Zasshi
2010;84:425-30.
11. Tsai YF, Ku YH. Necrotizing pneumonia: a rare complication of pneumonia requiring special
consideration. Curr Opin Pulm Med 2012;18:246-52.
12. Yen CC, Tang RB, Chen SJ, et al. Pediatric lung abscess: a retrospective review of 23 cases. J Microbiol
Immunol Infect 2004;37:45-9.
13. Chan PC, Huang LM, Wu PS, et al. Clinical management and outcome of childhood lung abscess: a 16-
year experience. J Microbiol Immunol Infect 2005;38:183-8.
14. Lin FC, Chou CW, Chang SC. Differentiating pyopneumothorax and peripheral lung abscess: chest
ultrasonography. Am J Med Sci 2004;327:330-5.
15. Dursunoğlu N, Başer S, Evyapan F, et al. A squamous cell lung carcinoma with abscess-like distant
metastasis. Tuberk Toraks 2007;55:99-102
16. Fernández-Sabé N, Carratalà J, Dorca J, et al. Efficacy and safety of sequential amoxicillin-clavulanate
in the treatment of anaerobic lung infections. Eur J Clin Microbiol Infect Dis 2003;22:185-7.
17. Ott SR, Allewelt M, Lorenz J, et al. Moxifloxacin vs ampicillin/sulbactam in aspiration pneumonia and
primary lung abscess. Infection 2008;36:23-30.
18. Herth F, Ernst A, Becker HD. Endoscopic drainage of lung abscesses: technique and outcome. Chest
2005;127:1378-81.
19. Shlomi D, Kramer MR, Fuks L, et al. Endobronchial drainage of lung abscess: the use of laser. Scand J
Infect Dis 2010;42:65-8.
20. Yunus M. CT guided transthoracic catheter drainage of intrapulmonary abscess. J Pak Med Assoc
2009;59:703-9.
21. Kelogrigoris M, Tsagouli P, Stathopoulos K, et al. CTguided percutaneous drainage of lung abscesses:
review of 40 cases. JBR-BTR 2011;94:191-5.
22. Nagasawa KK, Johnson SM. Thoracoscopic treatment of pediatric lung abscesses. J Pediatr Surg
2010;45:574-8.
23. Patradoon-Ho P, Fitzgerald DA. Lung abscess in children. Paediatr Respir Rev 2007;8:77-84.

Anda mungkin juga menyukai