Anda di halaman 1dari 28

1

REFERAT

ANASTESI OBSTETRI

Pembimbing :

dr. Guntur Muhammad Taqwin, Sp.An

dr. Budi Hartanto, Sp.An

Penyusun :

Imam Kurniawan, S.Ked

030.11.139

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH H.R.M dr. SOESELO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 14 Januari 2019 – 16 Februari 2019


2

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Anestesi
Obstetri” tepat pada waktunya. Penyusunan referat ini ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh kepaniteraan klinik di bagian Ilmu
Anestesi. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar besarnya kepada

1. dr. Guntur Muhammad Taqwin Sp.An


2. dr. Budi Hartanto Sp.An

selaku dokter pembimbing penulis. Yang telah membimbing dan mengarahkan


penulis dalam menyusun referat ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, hal tersebut tidak
lepas dari segala keterbatasan kemampuan yang peneliti miliki. Oleh karena itu bimbingan
dan kritik yang membangun dari semua pihak sangatlah diharapkan

Slawi, 23 Januari 2019

Penulis
3

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT DENGAN JUDUL

“ANESTESI OBSTETRI”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
kepanitraan klinik ilmu anestesi

Rumah Sakit Umum Daerah H.R.M dr Soeselo

Slawi, Februari 2019

Koorpanit
4

DAFTAR ISI

BAB I .................................................................................................................................. 5

PENDAHULUAN ............................................................................................................... 5

BAB II................................................................................................................................. 6

TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................................... 6

2.1 Perubahan fisiologi pada wanita hamil ................................................................... 6

2.2 Guideline anastesi obstetri 2015 ............................................................................. 7

2.3 Algoritma intubasi pada anestesi umum obstetri .................................................... 14

2.4 Anestesi pada ibu hamil dengan operasi non obstetri ............................................. 16

BAB III ............................................................................................................................... 20

KESIMPULAN ................................................................................................................... 20

3.1 Kesimpulan.............................................................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 21


5

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi obstetri adalah suatu cabang ilmu anetesi yang khususnya menangani
anestesi pada wanita hamil. Tindakan anestesi atau analgesi regional pada pasien obstetri
sering diperlukan untuk persalinan tanpa nyeri, operasi sesar, atau ligasi tuba.

Saat kehamilan dan melahirkan, wanita mengalamai perubahan fisiologis seperti


perubahan sistem kardiovaskular, pernapasan, pencernaan, sistem saraf, ginjal dan hepar.
Perubahan ini menyebabkan perubahan respon pada anestesi sehingga pada wanita hamil
membutuhkan penanganan yang berbeda dibandingkan pasien lainnya. Seorang dokter
harus mampu membuat keputusan medis bagi wanita hamil yang hendak menjalani proses
melahirkan, dimulai dari pre operatif, manajemen anestesi yang dipilih dan dilakukan,
hingga manajemen pemulihan.

Menurut penelitian, 1-2% wanita hamil menggunakan tindakan anestesi untuk


melakukan operasi yang tidak berhubungan dengan kehamilannya, contohnya operasi
apendisitis, trauma, dan lainnya. Dalam hal ini pemilihan anestesi yang tepat diperlukan
agar aman bagi ibu dan janin.

Oleh karena hal diatas, dalam referat ini akan dibahas mengenai perubahan
fisiologis pada ibu hamil, guideline penanganan anestesi maupun jalan napas bagi wanita
hamil, dan penanganan anestesi bagi wanita hamil yang menjalani operasi yang tidak
berhubungan dengan kehamilannya.
6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Fisiologis Kehamilan


Perubahan fisiologi yang terjadi saat kehamilan merupakan proses adaptasi dan
berguna untuk seorang ibu hamil untuk mentoleransi stres yang timbul pada saat
kehamilan, persalinan, dan kelahiran.
2.1.1 Sistem Saraf Pusat
Minimum alveolar concentration (MAC) pada saat kehamilan menurun
secara progresif, pada saat aterm, sekitar 40% untuk semua agen anestesi
general. MAC kembali normal pada 3 hari setelah kelahiran. Hal ini
dipengaruhi oleh kadar hormonal maternal dan level opioid endogen.
Progesteron, merupakan sedatif ketika diberikan dalam dosis famakologikal,
meningkat secara normal 20 kali pada aterm. Peningkatan kadar β-endorfin
selama persalinan dan kelahiran.
Sensitivitas terhadap anestesi lokal pada ibu hamil ketika anestesi
regional dan analgesia meningkat dan blok neural terjadi pada konsentrasi
rendah dari anestesi lokal. Kebutuhan dosis anestesi lokal menurun sebanyak
30% dikarenakan oleh hormon tapi juga dikarenakan oleh pembengkakan
pleksus vena epidural.
Obstruksi pada inferior vena cava oleh pembesaran uterus melebarkan
plexus vena epidural dan meningkatkan volume darah epidural. Efeknya
antara lain menurunkan volume CSF, menurunkan volume potensial dari
ruang epidural, dan meningkatkan tekanan pada ruang epidural. Penurunan
volume CSF dan volume potensial ruang epidural menyebabkan penyebaran
yang luas kearah cephalad dari anestesi lokal ketika anestesi spinal atau
epidural. Dengan demikian dosis anestetika lokal yang dibutuhkan untuk blok
spinal atau epidural akan lebih rendah. Peningkatan tekanan pada ruang
epidural menyebabkan identifikasi ruang epidural lebih susah. Pembengkakan
7

vena epidural meningkatkan kecenderungan meletakkan jarum epidural atau


kateter di vena, menyebabkan injeksi intravaskular tidak sengaja.
2.1.2 Kardiovaskular
Volume darah meningkat pada saat kehamilan untuk memenuhi
peningkatan kebutuhan metabolisme maternal dan janin. Pada saat aterm,
volume darah meningkat menjadi 1000-1500 mL pada sebagian besar wanita,
untuk membantu mereka menoleransi kehilangan darah saat kelahiran;
volume darah total mencapai 90 mL/kg. Rata-rata darah yang hilang selama
persalinan pervaginam ialah 400-500 mL, operasi sesar 800-1000 mL.
Volume darah kembali normal pada 1-2 minggu setelah kelahiran. Perlu
diingat bahwa oleh karena peningkatan volume darah dan takikardia, awitan
gejala awal dari hipovolemi menjadi lebih lama muncul.
Peningkatan curah jantung selama kehamilan (40% pada aterm) karena
adanya peningkatan denyut jantung (20%) dan stroke volume (30%). Denyut
jantung meningkat sebagai refleks dari menurunnya resistensi sistemik
vaksular. Bilik jantung membesar dan hipertrofi miokardium ditemukan pada
ekokardiografi bertujuan untuk memfasilitasi meningkatnya stroke volume
tetapi kontraktilitas miokardium tidak berubah. Kenaikan paling besar dari
curah jantung dapat dilihat selama persalinan dan segera setelah kelahiran.
Curah jantung kembali normal sekitar 2 minggu setelah kelahiran.
Estrogen meningkatkan kadar nitric oxide (NO) sehingga menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah. Hal ini menyebabkan menurunnya tahanan
sistemik vaskular yang mulai terjadi di awal kehamilan menyebabkan
menurunnya tekanan darah diastolik dan sistolik. Respon terhadap agen
adrenergik dan vasokonstriktor ditumpulkan.
Pembesaran uterus dapat menekan struktur penting di sekitarnya,
terutama pembuluh-pembuluh darah besar di abdomen, tampak nyata ketika
wanita hamil dalam posisi supine, yaitu aorta abdominalis dan vena kava
inferior. Penekanan vena kava inferior menurunkan venous return ke jantung
dan juga preload. Hal ini mengakibatkan penurunan curah jantung mencapai
8

20% sehingga terjadi hipotensi. Sekitar 5% wanita pada aterm mengalami


sindrom hipotensi supine (kompresi aortokaval), dengan ciri hipotensi disertai
pucat, berkeringat, atau mual dan muntah. Mekanisme kompensasi yang
dilakukan untuk hipotensi adalah dengan meningkatkan tonus simpatis yang
menyebabkan vasokonstriksi dan takikardi. Hal ini dapat menyebabkan aliran
darah ke uterus berkurang sehingga terjadi gawat janin. Obstruksi vena kava
parsial pada trimester ketiga menyebabkan rentan terjadi stasis vena, flebitis,
dan edema pada ekstremitas bawah. Terlebih lagi, kompresi vena kava
inferior dibawah diafragma memperlebar dan meningkatkan aliran darah
melalui pleksus vena paravertebral (termasuk vena epidural).
Kompresi aorta dapat menyebabkan turunnya aliran darah ke ekstremitas
bawah dan aliran darah uterus sehingga menurunkan sirkulasi uteroplasenta.
Ketika digabung dengan efek hipotensi dari anestesia regional atau general,
kompresi aortokaval dapat dengan mudah menyebabkan asfiksia janin. Pada
trimester kedua, kompresi aortokaval lebih nyata, mencapai maksimum pada
minggu ke 36-38, akan berkurang setelah itu karena kepala bayi turun ke
pelvis. Memiringkan pasien ke sisi kiri dapat mengembalikan aliran balik
vena dan memperbaiki hipotensi.
Uterus gravid menaikkan diafragma sehingga menggeser posisi jantung di
rongga dada, menyebabkan penampakan jantung yang membesar pada Xray
dan menyebabkan LAD (Left Axis Deviation). Perubahan yang dapat
ditemukan pada EKG antara lain sinus takikardi, aksis QRS menurun, Q lebih
menonjol pada lead II, III, AVF, V4, V5, dan V6, T wave abnormalitas seperti
T wave datar dan T wave terbalik pada lead III dan V1-V3.v Murmur sering
terjadi karena turbulensi yang berhubungan dengan meningkatnya aliran
darah. Pemeriksaan fisik ditemukan murmur aliran ejeksi sistolik dimana
suara jantung 1 (S1) terdengar lebih keras dan ada pemisahan yang berlebihan
(yang dihasilkan dari tertutupnya katup mitral prematur), suara jantung 3 (S 3)
dapat terdengar.
9

2.1.3 Pernafasan
Kebutuhan oksigen meningkat hingga 60% pada aterm. Hal ini dipenuhi
dengan meningkatnya curah jantung dan ventilasi semenit. Ventilasi semenit
meningkat oleh karena meningkatnya laju pernafasan dan volume tidal.
Peningkatan ventilasi semenit dimediasi oleh progesteron yang bekerja
sebagai pemberi stimulus pernafasan. Ventilasi semenit yang meningkat
menyebabkan alkalosis respiratori (PaCO2 berkurang menjadi 28-32 mmHg).
Peningkatan pH dibatasi oleh peningkatan ekskresi bikarbonat ginjal. Plasma
buffer base juga menurun dari 47 mEq/l menjadi 42 mEq/l, sehingga pH akan
tetap normal.
Hiperventilasi dapat meningkatkan PaO2 sedikit. Peningkatan kadar 2,3-
difosfogliserat mengimbangi efek dari hiperventilasi pada afinitas hemoglobin
terhadap oksigen. P50 hemoglobin meningkat dari 27 menjadi 30 mmHg, Hal
ini berhubungan dengan peningkatan curah jantung yang meningkatkan
penghantaran oksigen ke jaringan.
Pola pernafasan maternal berubah seiring dengan pembesaran uterus.
Pada trimester ketiga, naiknya diafragma dikompensasi dengan naiknya
diameter anteroposterior dada. Gerakan diafragma tidak terganggu.
Pernafasan torak lebih dominan daripada pernafasan abdominal.
Kapasitas residu fungsional (FRC), yang merupakan cadangan oksigen
utama pada pasien yang apnea, turun hingga 20% pada aterm.iii FRC kembali
normal dalam 48 jam setelah kelahiran. Penurunan ini disebabkan karena
uterus yang membesar menekan diafragma keatas yang diperparah pada posisi
supine dan turunnya volume cadangan ekspirasi sebagai akibat dari
meningkatnya volume tidal. Hal ini akan dikompensasi dengan peningkatan
volume cadangan inspirasi sehingga kapasitas paru total tidak berubah.
Managemen jalan nafas selama kehamilan sangat menantang. Ventilasi
bag-mask lebih susah karena peningkatan jaringan lunak disekitar leher.
Laringoskopi dihalangi oleh kenaikan berat badan dan pembesaran payudara.
Vaskularisasi saluran nafas bagian atas meningkat oleh karena estrogen.
10

Sehingga terjadi peningkatan permeabilitas kapiler, edema, dan hiperemis


muncul pada hidung, faring, laring, trakea, dan bronkus. Pelebaran ini
menyebabkan kecenderungan saluran nafas bagian atas untuk mengalami
trauma, perdarahan, dan obstruksi. Peningkatan edema dari pita suara dapat
menghalangi intubasi dan meningkatkan risiko perdarahan. Hal ini membuat
intubasi menjadi lebih sulit dan meningkatnya insidensi gagal intubasi.
Peningkatan konsumsi oksigen maternal dan menurunnya FRC menyebabkan
desaturasi oksigen yang cepat selama percobaan intubasi pada periode apnea.ii
Oleh karena itu pada anestesia general perlu menggunakan laringoskopi
dengan lembut dan ETT dengan ukuran kecil (6-6,5 mm) dan intubasi nasal
harus dihindari karena meningkatnya vaskularisasi membran mukosa.ii
Ambilan dan eliminasi zat anestetik inhalasi dipercepat karena
peningkatan volume semenit dan penurunan FRC. Preoksigenasi sebelum
induksi pada anestesia general diwajibkan untuk mencegah hipoksemia pada
ibu hamil. Closing volume melebihi volume FRC pada ibu hamil ketika
berada dalam posisi supine pada aterm. Pada kondisi ini, atelektasis dan
hipoksemia mudah terjadi.
Progesteron menyebabkan relaksasi otot polos bronkus dan resistensi
saluran pernafasan menurun.iii Komplians paru dan dead space cenderung
tidak berubah. Pada Xray dapat ditemukan vaskularisasi yang jelas karena
peningkatan dari volume darah pulmoner dan diafragma yang meninggi.
Vasodilatasi pulmoner mencegah tekanan pulmoner untuk meningkat.
Meningkatnya jumlah cairan ekstraselular dan ekstravasasi cairan
intravaskular akan menyebabkan edema interstitial, termasuk pada jalan nafas
atas. Banyak wanita hamil yang mengeluhkan susah bernafas melalui hidung.
2.1.4 Gastrointestinal
Pada kehamilan, motilitas usus menjadi lebih lambat dan tonus lower
esophageal sphincter (LES) turun akibat pengaruh progesteron. Lambung
mengalami perubahan posisi lebih ke atas dan anterior akibat dari semakin
besarnya uterus juga menyebabkan LES inkompeten. Hal ini menyebabkan
11

terjadinya gastroesophageal reflux. Asam lambung juga menjadi lebih asam


sehingga meningkatkan risiko dan keparahan aspirasi pneumonia saat anestesi
general.
Opioid dan antikolinergik menurunkan tekanan LES sehingga
memfasilitasi gastroesophageal reflux dan perlambatan pengosongan
lambung.
2.1.5 Hematologi
Selama kehamilan, terjadi peningkatan eritropoiesis oleh eritropoietin.
Namun penambahan volum sel darah merah selama kehamilan hingga akhir
kehamilan hanya 45% dari awal. Oleh karena lebih tingginya kadar volume
plasma daripada sel darah merah maka terjadilah anemia fisiologis dan
penurunan kekentalan darah yang disebabkan oleh hemodilusi. Konsentrasi
hemoglobin turun menjadi 11 g/dL masih dianggap fisiologis. Selain itu,
dalam hal pengiriman oksigen ke jaringan, pengurangan konsentrasi
hemoglobin diimbangi dengan peningkatan curah jantung dan pergeseran
kurva disosiasi hemoglobin ke kanan.
Kehamilan berhubungan dengan hiperkoagulasi yang bermanfaat untuk
membatasi hilangnya darah pada saat kelahiran. Oleh karena itu kehamilan
meningkatkan risiko terjadinya tromboembolisme sehingga perlu diberi
tromboprofilaksis pada postoperatif ketika risiko imobilitas meningkat.
Estrogen mempengaruhi pembekuan darah dengan meningkatkan fibrinogen
plasma (hingga 50%). Faktor koagulasi VII, VIII, IX, X, XII ditingkatkan
sedangkan faktor koagulasi XI menurun. Antitrombin III dan protein S, yang
merupakan penghambat koagulasi dikurangi. Aktivitas platelet ditingkatkan
dengan mempercepat agregasi platelet. Hal ini menyebabkan jumlah platelet
turun meskipun produksi platelet meningkat. Perubahan ini diimbangi dengan
meningkatnya aktivitas fibrinolitik akibat dari meningkatnya plasminogen.
Oleh karena itu terjadilah peningkatan D-dimer.
12

2.1.6 Metabolisme
Metabolisme dan hormonal berubah selama kehamilan. Perubahan
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein menyokong pertumbuhan dan
perkembangan janin. Perubahan ini menyerupai kelaparan, karena kadar gula
darah dan asam amino rendah namun kadar asam lemak bebas, keton, dan
trigliserid tinggi.
Kehamilan merupakan keadaan diabetogenik; dimana kadar insulin terus
menerus meningkat selama kehamilan. Sekresi human placental lactogen
(HPL) oleh plasenta bertanggung jawab untuk resistansi insulin relatif
berhubungan dengan kehamilan. Beta sel pankreas mengalami hiperplasia
sebagai respon dari peningkatan kebutuhan sekresi insulin. Hiperglikemia
pada ibu dapat mengakibatkan hipoglikemia neonatus segera setelah
kelahiran.
Sekresi human chorionic gonadotropin (HCG) dan peningkatan kadar
estrogen menyebabkan hipertrofi kelenjar tiroid dan naiknya thyroid-binding-
globulin; meskipun kadar T4 dan T3 meningkat, free T4, free T3 dan
tirotropin (thyroid-stimulating hormon) tetap normal.
2.1.7 Hepar
Penurunan konsentrasi albumin serum karena volume plasma yang
bertambah selain mengurangi tekanan onkotik darah juga dapat berpengaruh
terhadap anestesia. Hipoalbuminemia menambah fraksi obat bebas yang
berakibat memperlambat eliminasi obat.
25-30% penurunan dari aktivitas plasma kolinesterase tidak memperlama
pemulihan dari pemberian succinylcholine. Hal ini disebabkan karena
peningkatan volume darah yang menyebabkan meningkatnya volume
distribusi. Kolinesterase kembali normal hingga 6 minggu postpartum.
Tingginya kadar progesteron menyebabkan terhambatnya pelepasan
kolesistokinin sehingga pengosongan kantong empedu menjadi tidak
sempurna. Bersama dengan perubahan komposisi cairan empedu, dapat
menyebabkan terbentuknya batu empedu selama kehamilan.
13

2.1.8 Ginjal
Vasodilatasi pembuluh darah ginjal menyebabkan aliran darah ginjal dan
glomerular filtration rate (GFR) meningkat selama kehamilan, sehingga
sebagai hasilnya terjadi penurunan serum kreatinin (0,5-0,6mg/dL) dan blood
urea nitrogen (BUN) (8-9mg/dL). Penurunan kemampuan tubulus ginjal untuk
glukosa dan asam amino menyebabkan sedikit glukosuria (1-10g/d) atau
proteinuria (<300mg/d). Osmolalitas plasma menurun 8-10mOsm/kg.
Pada kehamilan normal, terjadi aktivasi sistem renin-angiotensin-
aldosteron (RAAS). Peningkatan RAAS seiring meningkatnya volume plasma
dimulai dari 6-8 minggu meningkat secara progresif hingga 28-30 minggu.
Selama kehamilan, produksi angiotensinogen meningkat sehingga
mengakibatkan meningkatnya level angiotensin. Hal ini menjaga tekanan
darah dan membantu retensi natrium dan air di dalam tubuh seiring dilatasi
sistemik maternal dan dilatasi arteri renalis (yang mengakibatkan kehilangan
garam dan air) yang membuat kekurangan isi pada sistem kardiovaskular.
Selama kehamilan, relaksin menstimulasi peningkatan sekresi vasopressin dan
minum sehingga meningkatkan retensi air. Peningkatan volume plasma dan
jumlah darah total mulai terlihat pada kehamilan awal dan volum plasma akan
meningkat hingga 40-50% pada akhir kehamilan.

2.2 Guideline Anestesi Obstetri 2015

2.2.1 Evaluasi Perianestesi dan Persiapan


Pada persiapan anestesi, hal yang perlu dilakukan antara lain:

 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan untuk menentukan anestesi
yang akan digunakan, selain itu juga menjalin komunikasi antara pasien
maupun semua pihak yang terkait seperti dokter obsgyn, dan lainnya.
Jika
akan dilakukan regional anestesi, perlu dilakukan pemeriksaan pada
punggung pasien. 

14

 Jumlah Platelet Intrapartum



Menghitung jumlah platelet berhubungan dengan frekuensi kejadian
perdarahan postpartum dan berguna untuk diagnosis pada hipertensi dalam
kehamilan. Pemeriksaan jumlah platelet dilakukan berdasarkan riwayat
pasien dan pemeriksaan fisik yang didapatkan. 

 Golongan Darah dan Screening
Pemeriksaan
Golongan darah dan cross match tidak rutin dilakukan bagi ibu hamil yang
sehat dan tanpa komplikasi, pemeriksaan dilakukan berdasarkan anamnesa
dan pemeriksaan fisik.
 Pola Denyut Jantung Janin

Denyut jantung janin (DJJ) di monitor sebelum dan sesudah dilakukan
regional anestesi. 


2.2.2 Pencegahan Aspirasi



Pencegahan aspirasi yang dilakukan, meliputi : 

 Cairan
Pada ibu hamil tanpa komplikasi, oral intake dalam jumlah moderate
diperbolehkan. Pada pasien dengan operasi terencana, oral intake masih dapat
diberikan sampai 2 jam sebelum induksi.
Pemberian cairan juga harus
mempertimbangakan jenis cairan yang diberkikan.
 Makanan Padat

Pasien dipuasakan 6-8 jam sebelum operasi, namun pada pasien dengan faktor
risiko aspirasi yang lebih tinggi diperlukan pertimbangan khusus untuk
lamanya jam puasa dan pertimbangan dilakukan berdasarkan setiap kasus
yang ada. 

 Pemberian Obat untuk Mencegah Aspirasi

Pemberian obat seperti antasida, H2 reseptor agonis dan metoclopramid
diberikan sebagai profilaksis pada ibu hamil untuk mengurangi risiko dari
aspirasi.
Menurut penelitian yang ada, penggunaan antacid bermanfaat
untuk menaikkan pH selama periode peripartum dan penggunaan
15

metoclopramid dihubungkan dengan penurunan mual dan muntah pada saat


peripartum. 


2.2.3 Anestesi bagi Persalinan dan Melahirkan Pervaginam

 Waktu Anestesi Regional dan Hasil Persalinan



Berdasarkan hasil penelitian, ASA dan konsultan anestesi berpendapat bahwa
sebaiknya anestesi regional dilakukan pada saat dilatasi serviks <5cm selama
kondisi masih memungkinkan. Pemilihan anestesi regional berdasarkan
pertimbangan kasus setiap individu. 


 Anestesi Regional dan Persalinan setelah Riwayat Sesar



Anetesi regional disarankan bagi setiap ibu hamil yang memiliki riwayat sesar
dan ingin mencoba melahirkan secara pervaginam. Anestesi regional yang
lebih disarankan yaitu anestesi dengan menggunakan kateter, sehingga bila
persalinan pervaginam gagal dan harus dilakukan operasi sesar, tidak akan
mengalami kesulitan. 

 Teknik Anestesi

1. Penggunaan kateter pada anestesi regional untuk persalinan dengan


komplikasi


Penggunaan kateter disaranakan bagi ibu hamil dengan penyulit seperti


preeklamsi, kehamilan ganda, atau dengan indikasi anestesi sepeti obesitas
dan penyulit jalan napas, hal ini dipertimbangkan bila terjadi kondisi
darurat untuk mengurangi risiko penggunaan anestesi umum. 


2. CIE (Continous Infusion Epidural) Analgesia


Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penggunaan metode CIE lebih


efektif dibandingkan dengan pemberian single shoot opioid pada saat
persalinan berkaitan dengan penurunan kesakitan dan rasa tidak nyaman
16

pada ibu hamil. Pada penggunaan CIE, penambahan penggunaan opioid


tetap dapat dipertimbangkan sesuai kasus.

3. Pengunaan dosis rendah dan tinggi pada anestesi regional


Berdasarkan penelitian yang ada, ASA setuju untuk menggunakan obat
lokal anestesi dengan konsentasi dilusi yang ditambahkan dengan opioid
untuk menurunkan saraf motorik yang terblok oleh obat anestesi.
4. Pemberian opioid dengan atau tanpa anestesi lokal

Penelitian menunjukkan penggunaan opioid spinal memiliki durasi yang
lebih panjang dibandingkan dengan opioid yang diberikan secara intavena.
Dengan penambahan anestesi lokal pada penggunaan opioid spinal, maka
akan menambah durasi dan meningkatkan efek analgesik. 

5. Penggunaan jarum spinal

Penggunaan jarum spinal yang disarakan adalah pencil point spinal
needles dibandingkan dengan cutting bevel spinal needles untuk
mengurangi risiko teradinya PDPH (post dural puncture headache). 

6. CSE (Combine Spinal and Epidural) analgesia

Teknik CSE digunakan untuk efek analgesik yang lebih cepat dan efektif
selama persalinan. Teknik ini dipertimbangkan bila diperkirakan
kemungkinan dilakukannya operasi sesar atau persalinan yang lama
melebihi durasi dosis obat analgesik spinal yang diberikan. 

7. PCEA (Patient Controlled Epidural Analgesia)

Teknik PCEA digunakan sebagai pendekatan yang lebih efektif dan
fleksibel dalam melakukan maintenance obat analgesik selama persalinan
dan disarankan untuk CIE dengan dosis yang sudah pasti sehingga
meminimalisasi intervensi anestesi dan dapat mengurangi dosis lokal
anestesi yang digunakan 

17

2.2.4 Pelepasan Plasenta

 Teknik Anestesi

Pemeriksaan status hemodinamik pasien harus dilakukan sebelum menggunakan
teknik regional anetesi, bila status hemodinamik tidak stabil harus
dipertimbangkan penggunaan teknik anestesi umum.
Profilaksis untuk
mencegah aspirasi harus diberikan pada setiap pasien dan titrasi obat
sedasi/analgesik yang digunakan harus dipertimbangkan dengan baik untuk
mencegah terjadinya depresi napas dan asipirasi pulmoner selama periode
postpartum

 Pemberian Nitrogliserin untuk Relaksasi Uterus
Nitrogliserin dapat digunakan sebagai pengganti terbutalin sulfat/ anestesi
umum endotrakeal/agen halogen untuk relaksasi uterus selama proses
pengeluaran plasenta.

2.2.5 Anestesi untuk Operasi Sesar

 Sarana dan Prasarana



Tersedianya sarana dan prasarana untuk persiapan operasi, persiapan tatalaksana
bila terjadi komplikasi, hingga tatalaksana pemulihan dari efek regional anestesi
maupun anestesi umum.
 Pemilihan Anestesi (Umum/Spinal/Epidural/CSE)

Penelitian randomized controlled trial pada penggunaan teknik anestesi epidural
dibandingkan dengan anestesi umum, didapatkan APGAR score yang lebih
tinggi pada penggunaan tekik anestesi epidural. Tidak ada perbedaan APGAR
score pada penggunaan anestesi umum dibandingkan dengan anestesi spinal.
Penggunaan teknik anestesi spinal, epidural maupun CSE juga tidak memiliki
perbedaan yang bermakna pada APGAR score, waktu persalinan, maupun efek
hipotensi.
Setiap teknik yang digunakan harus mempertimbangkan risiko
anestesi, risiko ibu dan fetus. Teknik regional anestesi lebih disarankan
dibandingkan anestesi umun, anestesi umum dilakukan dengan pertimbangan
seperti terjadinya bradikardi pada fetus, ruptur uterus, perdarahan masif,
18

abrupsio plasenta, prolaps tali pusat, dan bayi prematur letak


kaki.
Penatalaksanaan uterus displacement dilakukan selama jalannya operasi.
 Cairan Intravena

Pemberian cairan intravena dapat mengurangi risiko hipotensi maternal setelah
dilakukannya anestesi spinal pada operasi sesar. Pemberian cairan ini tidak akan
mempengaruhi anestesi spinal yang dilakukan. 

 Efedrin dan Fenilefedrin

Pemberian efedrin maupun fenilefedrin dapat digunakan untuk hipotensi akibat
teknik regional anestesi. Bila tidak terdapat bradikardi pada ibu hamil,
pemberian fenilefedrin lebih disarankan untuk meningkatkan fetal acid base
untuk persalinan tanpa komplikasi. 

 Pemberian Opioid pada Anestesi Regional untuk Analgesik Postoperatif
Pemberian opioid pada saat dilakukan anestesi lebih disarankan dibandingkan
pemberian opioid secara intravena.

2.2.6 Ligasi Tuba Postpartum 


Pada ligasi tuba post partum, pasien harus puasa selama 6-8 jam. Pemilihan
anestesi yang digunakan didasarkan pada pertimbangan setiap kasus individu
namun lebih disarakan penggunaan regional anestesi dibandingakan anestesi
umum. 
Perlu diperhatikan pengosongan lambung akan terhambat pada pasien
yang 
menerima terapi opioid selama persalinan. 


2.2.7 Penanganan bagi Kasus Kegawatdaruratan Kehamilan 


Managemen anestesi pada kasus kegawatdaruratan meliputi perdarahan,


penyulit pada jalan napas dan diperlukannya resusitasi jantung paru, oleh karena
itu diperlukannya sarana dan prasaranna yang menunjang bila terjadi untuk
mengurangi risiko kematian pada ibu maupun janin. Penangannan perdarahan
yang baik dapat mengurangi komplikasi pada maternal, sedangkan penanganan
jalan napas dapat mengurangi komplikasi bagi ibu, fetus maupun neonatus.
Penanganan jalan napas juga termasuk keterdiaan alat pulse oximetry dan CO2
19

detector. American Heart Assiciation mengungkapkan survival rate pada infant


dengan usia gestasi >24/25 minggu pada ibu dengan henti jantung yaotu kurang
dari 5 menit. Oleh karena itu dibutuhkan pengangan yang cepat pada kasus henti
jantung ibu hamil. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan terdapat pada gambar
2.1, gambar 2.2 dan gambar 2.3.

Gambar 2.1 Tabel 1. Suggsted Resource for Obstetric Hemorrhagic Emergencies 


Gambar 2.2 Tabel 2. Suggsted Resource for Airway Management


20

Gambar 2.3 Tabel 3. Suggsted Content of a Portable storage Unit for Difficult Airway
21

2.3 Algoritma Intubasi pada Anestesi Umum Obstetri

Gambar 2.4 Algoritma Intubasi pada Anestesi Umum

Gambar 2.5 Algoritma Intubasi pada Anestesi Umum (1)


22

Gambar 2.6 Algoritma Intubasi pada Anestesi Umum (2)

Gambar 2.7 Algoritma Intubasi pada Anestesi Umum (3)


23

Gambar 2.8 Manajemen Setelah Gagal Intubasi pada Wanita Hamil

2.4 Anestesi pada Ibu hamil dengan Operasi Non Obstetri

2.4.1 Penggunaan Obat Anestesi

Sampai saat ini belum ada penelitian yang dapat menunjukkan secara
langsung efek penggunaan obat anestesi terhadap fetus, hal ini dikarenakan hal
tersebut dilarang dan tidak ada hewan yang dapat digunakan sebagai
perbandingan dengan manusia. Menurut penelitian retrospektif dengan sampel
anak yang dilahirkan dari ibu yang pernah melakukan operasi selama masa
kehamilan didapatkan adanya peningkatan bayi yang lahir dengan LBW (low
birth weught) yaitu <1500 g akibat dari kelahiran preterm atau IUGR (intrauterine
24

growth restriction) dan adanya neural defek khususnya pada ibu yang memiliki
riwayat operasi pada trimester pertama.

Pemilihan teknik anestesi yang digunakan juga harus mempertimbangkan


jalan napas ibu dan pembatasan terpapar dengan obat anestesi. Dengan
pertimbangan tersebut, maka lebih disarankan penggunaan teknik anestesi
regional.

Penelitian lainnya didapatkan adanya efek teratogenik pada penggunaan


N2O (nitrous oxide) pada hewan, cleft palate dan kelainan jantung pada
penggunaan benzodiazepin.

Penggunaan obat anestesi seperti propofol, barbiturat, opioid, pelumpuh


otot, dan anestesi lokal aman digunakan pada ibu selama masa kehamilan.

2.4.2 Asfiksi dan Monitoring pada Fetus 


Pada fetus sangatlah penting melakukan pengendalian hipoksia dan


hipotensi pada ibu karena kekurangan oksigen pada ibu dalam jangka waktu yang
lama, akan menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan perfusi pada sirkulasi
uteroplasenta dimana hal ini akan menyebabkan hipoksia pada fetus , asidosis dan
kematian. Sebaliknya keadaan hiperkapnia akan menyebabkan asidosis
respiratorius pada fetus dimana hal ini akan menyebabkan depresi pada otot
jantung, vasokonstriksi pada arteri uterus dan menurunkan aliran darah ke uterus.

Penggunaan efedrin dan fenilefedrin dapat mmengontol tekanan darah pada


ibu hamil. Menurut penelitian penggunaan fenilefedrin lebih aman dan efektif
dibandingkan efedrin dalam mencegah hipotensi pada ibu hamil dan sekuele dari
hipotensi, selain itu penggunaan efedrin dihubungkan dengan penurunan pH pada
neonatus dan meningkatkan asidosis pada neonatus. 


Monitoring denyut jantung janin (DJJ) sangat penting untuk dilakukan,


penurunan DJJ pada saat dilakukan anestesi tidak selalu dikaitkan dengan stress
pada janin, namun hal ini diakibatkan dari efek anestesi pada sistem otonon pada
25

fetus..DJJ yang semakin menurun harus diperhatikan sebagai tanda hipoksia pada
fetus dan asidosis, dimana hal ini berkaitan dengan keadaan ibu (obat anestesi,
respiratori asidosis pada ibu, penurunan temperatur) 


2.4.3 Pembedahan Non-Obstetri 


 Pembedahan Jantung

Pada masa kehamilan terjadi peningkatan volum darah dan cardiac
output sebesar 30-50% khususnya akan mengalami puncak pada minggu ke
24-28 kehamilan. Pada ibu dengan penyakit jantung hal ini akan
penyebabkan cardiac stress pada jantung khusunya pada trimester kedua dan
ketiga dimana bila hal ini semakin berat maka dibutuhkan tindakan operasi.
Untuk tindakan pembedahan jantung, salah satu alternatif yang dapat
dilakukan dengan cara intervensi secara perkutan karena hal ini menurunkan
mortalitas fetus.
Pada pembedahan jantung, perlu dilakukan maintenance dari sirkulasi
uteroplasenta dengan cara pemantauan tekanan perfusi (>70mmHg), Ht
>28%, dan kapasitas pompa jantung >2.5L/menit/m2.
 Pembedahan Saraf

Pada umumnya anestesi pembedahan sarah harus diperhatikan

kontrol terhadap hipotensi, hipotermi, hiperventilasi dan diuresis dimana
pada ibu hamil, hal ini harus lebih diperhatikan lagi. 

Untuk mengontrol hipotensi dapat digunakan obat seperti sodium
nitroprusid atau nitrogliserin. Pemberian nitroprusid memiliki efek toxic
yang dapat menyebabkan kematian pada fetus, sehingga pemberian yang
boleh diberikan hanya 0.5mg/kg/jam.

Hipotermia dilakukan pada pembedahan saraf dengan tujuan
menurunkan metaboleisme yang dibutuhkan otek dan menurunkan aliran
darah ke otak , dimana target yang ingin dicapai adalah 30OC.
Hiperventilasi dilakukan untuk menurunkan PaCo2 dan aliran darah ke
otak, dimana PaCO2 akan dipertahankan di 4-4.1kPa. 
Manitol digunakan
26

sebagai obat diuresis yang diberikan pada ibu hamil, manitol akan
berakumulasi pada fetus sehingga mengakibatkan hiperosmolaritas dimana
akan menyebabkan perubahan seperti penurunan produksi cairan pada paru,
penurunan aliran darah ke renal dan peningkatan kadar natrium di plasma.
Dosis yang diberikan adalah 0.25-0.5 mg/kg sehingga tidak menimbulkan
efek pada fetus dan aman untuk digunakan. 

 Laparoskopi

Pada pembedahan dengan laparoskopi seringkali dikhawatirkan

mengenai asidosis fetus akibat absorbsi CO2, peningkatan tekanan
intraabdomen, cardiac output ibu, dan penurunan perfusi uteroplasental.
Penelitan menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan outcome yang terjadi
pada fetus dengan penggunaan teknik laparotomi maupun laparoskopi.
Sebaiknya operasi dilakukan pada trimester kedua bila memungkinkan
dan perlunya pemantauan terhadap PCO2 dan gas darah ibu. 

27

BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

 Pada masa kehamilan terjadi perubahan fisiologis sehingga membutukan penanganan


anestesi yang berbeda dibandingkan pasien pas umunya. 

 Seorang dokter harus mampu membuat keputusan medis bagi wanita hamil yang
hendak menjalani proses melahirkan, dimulai dari pre operatif, manajemen anestesi
yang dipilih dan dilakukan, hingga manajemen pemulihan. 

 Pemilihan teknik anestesi yang digunakan berbeda pada setiap individu dan
dipertimbangkan setiap kasusnya dengan mempertimbangkan keadaan ibu maupun
janin. 

 Adanya peningkatan bayi yang lahir dengan LBW (low birth weught) yaitu <1500 g
akibat dari kelahiran preterm atau IUGR (intrauterine growth restriction) pada ibu
dengan riwayat operasi selama masa kehamilan dan defek khususnya pada ibu yang
memiliki riwayat operasi pada trimester pertama. 

 Operasi non-obsterti pada masa kehamilan harus dipertimbangkan dengan baik dan
dilakukan pemilihan obat dengan baik sehingga memiliki efek yang minimal terhadap
ibu maupun janin. 

 Pentingnya melakukan pemantauan pada janin dan ibu selama operasi khususnya
pemantauan terhadap hipotensi dan hipoksia untuk menghindari terjadinya asidosis
dan kematian pada janin. 

28

DAFTAR PUSTAKA

1. Miller’s anesthesia. 7th ed.Editors:Miller RD,Eriksson LI,Fleisher LA, Chruchill


Livingstone Elsevier.2010.

2. Jr.Morgan G E,Mikhail M S,Murray M J. Maternal & Fetal Physiology &
Anesthesia.Lnage 5th ed.Mcgraw-Hill Companies.2013;825-39.
3. The Amercian Society of Anesthesiologist. Practice Guideline for Obstetric Anesthesia:
An Updated Report by the American Society of Anesthesiologists Task Force on
Obstetric Anesthesia and the Society for Obstetric Anesthesia and Perinatology.
February 2016 .
4. Mushambi, M C, et all. Obstetric Anaesthetists’ Association and Difficult Airway
Society Guidelines for The Management of Difficult and Failed Tracheal Intubation in
Obstetrics. Association of Anaesthetists of Great Britain and Ireland.2015.
5. Reitman,E, P.Flood. Anasthetic Consideration for Non-Obstetric Surgery during
Pregnancy.British Jurnal Anasthesi.2011.

Anda mungkin juga menyukai