Anda di halaman 1dari 17

JOURNAL READING

JUDUL : KONJUNGTIVITIS FLIKTEN

Pembimbing :

dr. Liliek Isyoto Yahmo, Sp.M

Penyusun :

Imam Kurniawan, S.Ked

030.11.139

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. KARDINAH, KOTA TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 18 Februari 2019 – 23 Maret 2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan journal reading yang berjudul
“Konjungtivitis Flikten” tepat pada waktunya. Penyusunan journal reading ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu Kesehatan Mata. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar besarnya kepada

1. dr. Liliek Isyoto Yahmo, Sp.M

selaku dokter pembimbing penulis. Yang telah membimbing dan mengarahkan


penulis dalam menyusun journal reading ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, hal tersebut tidak
lepas dari segala keterbatasan kemampuan yang peneliti miliki. Oleh karena itu bimbingan
dan kritik yang membangun dari semua pihak sangatlah diharapkan

Tegal, 5 Maret 2019

Penulis

2
LEMBAR PENGESAHAN

JOURNAL READING DENGAN JUDUL

“KONJUNGTIVITIS FLIKTEN”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
kepanitraan klinik ilmu kesehatan mata

Rumah Sakit Umum Daerah dr Kardinah, Kota Tegal

Tegal, Maret 2019

Koorpanit

3
DAFTAR ISI

BAB I ..................................................................................................................................5

PENDAHULUAN ...............................................................................................................5

BAB II .................................................................................................................................6

TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................................6

2.1 Definisi ..................................................................................................................... 6

2.2 Anatomi konjungtiva ............................................................................................. 7

2.3 Epidemiologi ........................................................................................................... 7

2.4 Patogenesis .............................................................................................................. 8

2.5 Diagnosis .................................................................................................................. 8

2.6 Diagnosis banding ..................................................................................................... 9

2.7 Penatalaksanaan ........................................................................................................ 9

2.8 Prognosis ..................................................................................................................10

BAB III ...............................................................................................................................11

JOURNAL READING ........................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................17

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Konjungtivitis flikten adalah suatu peradangan konjungtiva karena reaksi alergi yang

dapatterjadi bilateral ataupun unilateral, biasanya terdapat pada anak-anak dan kadang-

kadang pada orang dewasa.Penyakit ini merupakan manifestasi alergi endogen, tidak hanya

disebabkan protein bakterituberkulosis tetapi juga oleh antigen bakteri lain seperti

stafilokokus. Dapat juga ditemukan pada kandidiasis, askariasis, helmintiasis. Pada binatang

percobaan ternyata flikten juga dapatditemukan dengan penetesan tuberkuloprotein, bahan-

bahan yang berasal dari stafilokokus,serum kuda dan bahan kimia pada sakus

konjungtiva.Penderita biasanya mempunyai gizi yang buruk

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

KONJUNGTIVITIS FLIKTEN

2.1.Definisi

Konjungtivitis yang merupakan infeksi pada konjungtiva mata, terdiri dari:

1. Konjungtivitis alergi (keratokonjungtivits atopik, simple alergik konjungtivitis,


konjungtivitis seasonal, konjungtivitis vernal, giant papillary conjunctivitis)
2. Konjungtivitis bakterial (hiperakut, akut, kronik)
3. Konjungtivitis virus (adenovirus, herpetik)
4. Konjungtivitis klamidia
5. Bentuk konjungtivitis lain (Contact lens-related, mekanik, trauma, toksik, neonatal,
Parinaud’s okuloglandular syndrome, phlyctenular, sekunder).

Konjungtivitis flikten adalah suatu peradangan pada konjungtiva dengan


pembentukan satu atau lebih tonjolan kecil (flikten) yang diakibatkan oleh reaksi alergi
(hipersensitivitas tipe IV). Tonjolan sebesar jarum pentul yang terutama terletak di daerah
limbus, berwarna kemerah-merahan disebut flikten. Flikten konjungtiva mulai berupa lesi
kecil, umumnya diameter 1-3 mm, keras, merah, menonjol dan dikelilingi zona hyperemia.
Di limbus sering berbentuk segitiga dengan apeks mengarah ke kornea. Disini terbentuk
pusat putih kelabu yang segera menjadi ulkus dan mereda dalam 10-12 hari. Flikten
umumnya terjadi di limbus namun ada juga yang terjadi di kornea, bulbus dan tarsus. Secara
histologis, flikten adalah kumpulan sel leukosit neutrofil dikelilingi sel limfosit, makrofag
dan kadang-kadang sel datia berinti banyak.

Konjungtivitis flikten biasanya terdapat pada anak-anak dan kadang-kadang pada


orang dewasa. Penyakit ini merupakan manifestasi alergi endogen, tidak hanya disebabkan
protein bakteri tuberkulosis tetapi juga oleh antigen bakteri lain seperti stafilokokus. Dapat
juga ditemukan pada kandidiasis, askariasis, helmintiasis. Pada binatang percobaan ternyata
flikten juga dapat ditemukan dengan penetesan tuberkuloprotein, bahan-bahan yang berasal
dari stafilokokus, serum kuda dan bahan kimia pada sakus konjungtiva. Penderita biasanya
mempunyai gizi yang buruk.

6
2.2.Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran mukosa tipis yang membatasi permukaan dalam


dari kelopak mata dan melipat ke belakang membungkus permukaan depan dari bola mata,
kecuali bagian jernih di tengah-tengah mata (kornea). Membran ini berisi banyak pembuluh
darah dan berubah merah saat terjadi inflamasi.

Konjungtiva terdiri dari tiga bagian:

1. Konjungtiva palpebralis (menutupi permukaan posterior dari palpebra)


2. Konjungtiva bulbaris (menutupi sebagian permukaan anterior bola mata)
3. Forniks (bagian transisi yang membentuk hubungan antara bagian posterior palpebra dan
bola mata).

Meskipun konjungtiva agak tebal, konjungtiva bulbar sangat tipis. Konjungtiva bulbar
juga bersifat dapat digerakkan, mudah melipat ke belakang dan ke depan. Pembuluh darah
dengan mudah dapat dilihat di bawahnya. Di dalam konjungtiva bulbar terdapat sel goblet
yang mensekresi musin, suatu komponen penting lapisan air mata pre-kornea yang
memproteksi dan memberi nutrisi bagi kornea.

2.3.Epidemiologi

Di Indonesia penyakit ini masih banyak terdapat dan paling sering dihubungkan
dengan penyakit tuberkulosis paru. Penderita lebih banyak pada anak-anak dengan gizi
kurang atau sering mendapat radang saluran napas, serta dengan kondisi lingkungan yang
tidak higiene. Pada orang dewasa juga dapat dijumpai tetapi lebih jarang.
Meskipun sering dihubungkan dengan penyakit tuberkulosis paru, tapi tidak jarang penyakit
paru tersebut tidak dijumpai pada penderita dengan konjungtivitis flikten. Penyakit lain yang
dihubungkan dengan konjungtivitis flikten adalah helmintiasis. Di Indonesia umumnya,
terutama anak-anak menderita helmintiasis, sehingga hubungannya dengan konjungtivitis
flikten menjadi tidak jelas.

7
2.4.Patogenesis

Mekanisme pasti atau mekanisme bagaimana terbentuknya flikten masih belum jelas.
Secara histologis fliktenulosa mengandung limfosit, histiosit, dan sel plasma. Leukosit PMN
ditemukan pada lesi nekrotik.. Bentuk tersebut kelihatannya adalah hasil dari reaksi
hipersensitivitas tipe lambat terhadap protein tuberkulin, Staphylococcuc aureus,
Coccidioides immitis, Chlamydia, acne rosacea, beberapa jenis parasit interstisial dan fungus
Candida albicans. Jarang kasusnya idiopatik.

Keratitis flikten dapat berkembang secara primer dari kornea meskipun seringkali
biasanya menyebar ke kornea dari konjungtiva. Epitel yang ditempati oleh flikten rusak,
membentuk ulkus dangkal yang mungkin hilang tanpa pembentukan jaringan parut.
Flikten khas biasanya unilateral pada atau di dekat limbus, pada konjungtiva bulbar atau
kornea, dapat satu atau lebih, bulat, meninggi, abu-abu atau kuning, hiperemis, terdapat nodul
inflamasi dengan dikelilingi zona hiperemik pembuluh darah. Flikten konjungtiva tidak
menimbulkan jaringan parut. Jaringan parut fibrovaskuler kornea bilateral limbus cenderung
membesar ke bawah daripada ke atas mungkin mengindikasikan flikten sebelumnya. Flikten
yang melibatkan kornea sering rekuren, dan migrasi sentripetal lesi inflamasi mungkin
berkembang. Kadangkala, beberapa inflamasi menimbulkan penipisan kornea dan jarang
menimbulkan perforasi.

2.5.Diagnosis

Gambaran Klinik:

Gejala Subyektif:

Konjungtivitis flikten biasanya hanya menyebabkan iritasi dengan rasa sakit dengan
mata merah dan lakrimasi. Khasnya pada konjungtivitis flikten apabila kornea ikut terlibat
akan terdapat fotofobia dan gangguan penglihatan. Keluhan lain dapat berupa rasa berpasir.
Konjungtivitis flikten biasanya dicetuskan oleh blefaritis akut dan konjungtivitis bakterial
akut.

8
Gejala Obyektif:

Dengan Slit Lamp tampak sebagai tonjolan bulat ukuran 1-3 mm, berwarna kuning
atau kelabu, jumlahnya satu atau lebih yang di sekelilingnya terdapat pelebaran pembuluh
darah konjungtiva (hiperemia). Bisa unilateral atau mengenai kedua mata.

Laboratorium:

Dapat dilakukan pemeriksaan tinja, kemungkinan kuman dan adanya tuberkulosa paru
dan pemeriksaan kultur konjungtiva. Pemeriksaan dengan pewarnaan gram pada sekret untuk
mengidentifikasi organisme penyebab maupun adanya infeksi sekunder.

2.6.Diagnosis Banding

Konjungtivitis fliktenularis harus dibedakan dengan kondisi serupa yang superficial


seperti pinguecula inflamasi, ulkus marginal dan kunjungtivitis vernalis.

2.7.Penatalaksanaan

Penanganannya dimulai dengan edukasi pasien untuk memperbaiki higiene kelopak


mata. Pembersihan kelopak 2 sampai 3 kali sehari dengan artifisial tears dan salep dapat
menyegarkan dan mengurangi gejala pada kasus ringan. Pada kasus yang lebih berat
dibutuhkan steroid topikal atau kombinasi antibiotik-steroid. Sikloplegik hanya dibutuhkan
apabila dicurigai adanya iritis. Pada banyak kasus Prednisolon asetat (Pred forte), satu tetes,
QID cukup efektif, tanpa adanya kontraindikasi.

Apabila etiologinya dicurigai reaksi Staphylococcus atau acne rosasea, diberikan


Tetracycline oral 250 mg atau erythromycin 250 mg QID PO, bersama dengan pemberian
salep antibiotik topikal seperti bacitracin atau erythromycin sebelum tidur. Metronidazole
topikal (Metrogel) diberikan pada kulit TID juga efektif. Karena tetracycline dapat merusak
gigi pada anak-anak, sehingga kontraindikasi untuk usia di bawah 10 tahun. Pada kasus ini,
diganti dengan doxycycline 100 mg TID atau erythromycin 250 mg QID PO. Terapi
dilanjutkan 2 sampai 4 minggu. Pada kasus yang dicurigai, pemeriksaan X-ray dada untuk
menyingkirkan tuberkulosis.

9
2.8.Prognosis

Dapat sembuh sendiri dalam 2 minggu, dengan kemungkinan terjadi kekambuhan.


Keadaan akan lebih berat apabila kornea ikut terkena.

10
BAB III

Keratokonjungtivitis phlyctenular di antara anak-anak di rumah sakit mata tersier


Kathmandu, Nepal

Pragati Gautam, Gauri Shankar Shrestha, Ananda Kumar Sharma


Departemen Oftamologi, BP Koirala Lions Center for Ophthalmic Studies, Institusi
Kedokteran, Maharajgunj Kampus Kedokteran, Maharajgunj, Kathmandu, Nepal

Latar belakang: Penelitian ini dilakukan untuk menentukan profil klinis dan faktor etiologi
untuk keratoconjunctivitis phlyctenular (Phlyctenular keratoconjunctivitis/PKC) pada pasien
kami.
Material dan Metode: Dalam penelitian deskriptif, 50 kasus pediatrik PKC diikutsertakan
kedalam penelitian dari departemen rawat jalan Pusat Koirala Lions untuk Studi Oftalmologi
antara Agustus 2011 dan Agustus 2012. Usia, jenis kelamin, pajanan tuberkulosis, gejala
okular, dan keluhan sistemik dicatat. Deskripsi morfologis PKC seperti jumlah, jenis, lokasi,
dan bekas luka, SEJARAH dan jumlah rekurensi juga dicatat. Usapan konjungtiva diambil
dari semua pasien dan dikirim untuk pemeriksaan mikrobiologis. Laporan keterlibatan
sistemik, infestasi cacing juga dicatat. Tes mantoux untuk kemungkinan TBC juga dilakukan.
Hasil: PKC terdeteksi pada 59 mata dari 50 anak yang memiliki usia rata-rata 8,0 ± 6,2 tahun
termasuk laki-laki 54%, keterlibatan unilateral dalam 82%, keterlibatan limbal pada 52% dan
multipel PKC pada 34% anak. Gangguan okular terkait adalah blepharitis pada 12 (24%)
anak-anak. Usap dan kultur konjungtiva mengungkapkan infeksi Staphylococcus pada 10
(20%) anak-anak. Dari delapan kasus berulang, dua memiliki infeksi saluran kemih yang
dikelola dengan antibiotik sistemik, tiga memiliki infestasi parasit yang diobati dengan
antihelmentik, satu memiliki mantoux positif tanpa memiliki bukti tuberkulosis dan dua kasus
memiliki blepharitis sebagai faktor lokal.
Kesimpulan: PKC sebagian besar disajikan sebagai gangguan konjungtiva unilateral. PKC
dikaitkan dengan blepharitis, infeksi Staphylococcus, infestasi cacing dan infeksi sistemik.
Kata kunci: Blepharitis, anak-anak, konjungtivitis phlyctenular, infeksi Staphylococcus,
steroid, infestasi cacing

11
Pendahuluan
Keratoconjunctivitis phlyctenular (Phlyctenular keratoconjunctivitis/PKC) adalah
penyakit nodular yang ditandai dengan pembentukan lesi kecil terbatas pada limbus kornea
yang menunjukkan respons yang dimediasi sel alergi dalam konjungtiva dan / atau kornea
pada beberapa antigen. Diperkirakan bahwa antigen utama yang bertanggung jawab untuk
PKC adalah tuberculoprotein. Namun, antigen sensitisasi lainnya juga dilaporkan dalam
literatur seperti produk stafilokokus, infestasi cacing, jamur, virus, dan parasit. PKC secara
alternatif dinamakan rosacea okular anak, karena temuan okular mirip dengan yang terlihat
pada orang dewasa dengan jerawat rosacea. Namun, kondisi kulit akhir-akhir ini sangat
jarang terjadi pada anak-anak.
Dalam banyak kasus, beberapa kekurangan nutrisi atau vitamin juga dilaporkan
berhubungan dengan PKC sebagai faktor penyumbang keterlambatan penyembuhan.
Meskipun, mekanisme pasti dari produksi phlyctenule masih tidak pasti, PKC disebut sebagai
ekspresi morfologis tertunda hipersensitif terhadap berbagai antigen. Dalam banyak kasus,
seseorang tidak dapat menunjukkan satu faktor etiologis tunggal. Penyakit ini terjadi secara
akut, sembuh sendiri dan lesi mungkin menyerupai lepuh pada satu tahap, tetapi nodul merah
kecil dari jaringan limfoid secara khas berkembang menjadi mikroabses yang mengalami
borok dan sembuh dalam 10-14 hari.
PKC berkembang pertama dan paling menonjol di limbus meskipun kemudian mereka
dapat menyebar di konjungtiva bulbar dan kornea. Jarang, mereka terlihat pada konjungtiva
palpebra. Meskipun kadang-kadang PKC sembuh secara spontan, biasanya terjadi nekrosis
dengan mengelupas epitel di atas apeksnya. Kami memeriksa banyak kasus PKC di klinik
kami. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan profil klinis dan faktor etiologi untuk PKC
pada pasien klinis kami.

Material dan Metode


Dalam penelitian deskriptif, 50 kasus PKC pediatrik didaftarkan ke dalam penelitian
dari Pasien Rawat Jalan BP Koirala Lions Center for Ophthalmic Studies antara Agustus
2011 dan Agustus 2012. Penelitian ini disetujui oleh dewan peninjauan kelembagaan dari
Institute of Medicine dan berpegang pada prinsip-prinsip yang diuraikan dalam Deklarasi
Helsinki.
Usia, jenis kelamin, paparan TBC, gejala mata dan keluhan sistemik dicatat.
Ketajaman visual yang disajikan dan dikoreksi terbaik dicatat pada grafik Snellen di antara
anak-anak usia sekolah dan pada grafik Kay-Picture atau grafik Sheridan-Gardiner di antara

12
anak-anak prasekolah. Metode Central Steady (CSM) digunakan untuk anak-anak berusia di
bawah 2 tahun untuk merekam status visual.
Slit Lamp Biomikroskopi dilakukan pada setiap anak untuk menilai deskripsi
morfologis PKC seperti jumlah, jenis, lokasi dan bekas luka. Sejarah dan jumlah kekambuhan
juga dicatat. Pemeriksaan hati-hati terhadap kelopak mata, konjungtiva, dan kornea dilakukan
untuk mengetahui gangguan permukaan okular terkait. Usapan konjungtiva diambil dari
semua pasien dan dikirim untuk pemeriksaan mikrobiologis. Laporan keterlibatan sistemik
seperti infeksi saluran pernapasan bagian atas (URTI), infeksi saluran kemih (ISK), infestasi
cacing dan Tuberkulosis ditemukan dengan meninjau laporan investigasi dokter anak dan
laboratorium seperti laporan urin rutin untuk sel-sel nanah, kultur urin dan sensitivitas. untuk
isolasi organisme, pemeriksaan tinja untuk kista dan sel telur, rontgen dada untuk lesi paru,
tes Mantoux untuk alergi TB, darah lengkap, DLC dan LED untuk infeksi. Pasien yang
dianggap memiliki bukti pasti penyakit TB adalah mereka yang memiliki lesi paru khas pada
sinar-X, atau mereka yang sudah menggunakan pengobatan antituberkulosis. Ulserasi pada
tes Mantoux atau indurasi ≥15 mm dilakukan untuk menunjukkan alergi TB. Pasien dengan
setidaknya satu dari tiga pemeriksaan tinja positif untuk kista atau telur cacing diambil untuk
pemeriksaan infestasi cacing. Pasien dengan bukti klinis batas kelopak mata atau infeksi
konjungtiva, dikonfirmasi secara mikrobiologis, diambil untuk mengidap blepharitis atau
konjungtivitis infektif.
Terlepas dari hubungan etiologis, semua kasus diresepkan steroid topikal
flourometholone 1% QID selama seminggu tanpa tapering. Dalam kekambuhan dan beberapa
kasus PKC, deksametason 0,01% bersama dengan antibiotik tobramycin topikal 0,3%
diresepkan, ditinjau kembali dan tanggal rata-rata resolusi kasus dicatat. Sebagian besar kasus
diikuti hingga 2-3 minggu.

Hasil
Di antara 50 pasien, 27 (54%) laki-laki dan 23 (46%) perempuan dengan usia rata-rata
8,0 ± 6,2 tahun (kisaran 6 bulan-15 tahun). Deskripsi lengkap PKC disajikan pada Tabel 1.
Sebagian besar kasus adalah unilateral (82%). PKC hampir memiliki manifestasi dalam
limbus [Gambar 1 dan 2] dan konjungtiva [Gambar 3]. PKC kornea tidak dicatat. PKC
multipel [Gambar 4] hadir pada 34% anak-anak. PKC hadir di kedua sisi hidung dan
temporal pada 6 anak (12%). Gangguan okular terkait terdapat pada 16 (32%) anak yang
terdiri dari blepharitis pada 12 (24%) anak dan keratokonjungtivitis vernal pada 4 (8%) anak.

13
Apusan dan kultur konjungtiva menunjukkan infeksi stafilokokus pada 10 (20%) anak;
sebagian besar mengalami blefaritis (83.3%).
Gangguan sistemik terjadi pada 8 (16%) anak-anak (tiga kasus infeksi saluran
pernapasan atas (URTI), dua kasus infeksi saluran kemih (ISK), tiga kasus infestasi cacing).
Tiga kasus URTI dan dua kasus UTI menerima terapi antibiotik sistemik dari dokter anak.
Tiga kasus dengan infestasi cacing menerima tablet albendazole 400 mg stat.
Resolusi lengkap PKC hadir pada 42 (84%) anak-anak dengan steroid topikal dan
pengobatan antibiotik. Lama perawatan bervariasi dari 5-14 hari. Tidak ada kasus yang
memiliki adenitis serviks. Namun, 8 (16%) anak-anak menderita PKC berulang. Di antara
kasus berulang, dua kasus dengan ISK (25%), tiga kasus dengan infestasi cacing (37,5%),
satu kasus dengan mantoux positif (12,5%) dan dua kasus blepharitis (25%). Kasus positif
mantoux adalah seseorang yang memiliki indurasi sama dengan 21 mm (standar ≥ 15 mm).
Namun, anak ini memiliki hasil rontgen normal. Kasus berulang dengan blepharitis bersifat
infektif. Kasus yang berulang pulih dalam 2-3 minggu.

Diskusi
PKC masa kanak-kanak sering menjadi kondisi yang salah didiagnosis (Thygeson P.
1951). PKC terlihat dalam dua dekade pertama kehidupan. Dalam penelitian ini, usia rata-rata
presentasi adalah 8,0 ± 6,2 tahun. Rasio pria terhadap wanita dalam penelitian ini adalah
1,17. Dalam sebuah studi oleh Livia et al., Usia rata-rata saat presentasi adalah 10,2 tahun
yang memiliki dominan perempuan (80,4%). Dalam studi itu, semua pasien memiliki
perubahan tutup dan kornea dan 34 (66,7%) pasien memiliki perubahan konjungtiva. Hal ini
tidak seperti penelitian kami di mana sebagian besar kasus tidak memiliki perubahan kelopak
atau kornea. Temuan ini juga mirip dengan studi Culbertson et al. di mana penipisan kornea
dan perforasi adalah komplikasi yang jarang terjadi dari penyakit ini. Dominasi wanita yang
kuat juga dilaporkan dalam literatur. Alasan perbedaan dalam dominasi wanita dalam
penelitian kami dapat disebabkan oleh fakta bahwa anak laki-laki dibawa ke rumah sakit
lebih sering daripada anak perempuan.
Sepuluh (20%) anak-anak memiliki kultur swab konjungtiva positif. Sembilan dari
mereka memiliki Staphylococcus aureus dan satu memiliki S. aureus dan Staphylococcus
epidermidis positif. Dalam Viswalingam et al. studi 15 (34,1%) anak-anak memiliki swab
kelopak dan swab konjungtiva positif. Dari jumlah tersebut, 12 memiliki pertumbuhan
Staphylococcus aureus, satu memiliki S. epidermidis, dan dua memiliki campuran S.aureus /
S epidermidis. Dalam penelitian mereka, mereka memiliki phucten konjungiva dalam

14
sembilan kasus dan phlecten kornea dalam dua kasus dari 44 kasus blepharoconjuctivitis.
Dalam penelitian kami, phlecten konjungiva terlihat pada 24 (48%) subjek dan phlecten
limbal terlihat pada 26 (52%) kasus PKC. Phlecten limbal adalah PKC yang paling umum
dan paling sering dimanifestasikan dilaporkan dalam literatur.
Asosiasi keratokonjuktivitis phlyctenular dengan hipersensitivitas terhadap
tuberculoprotein bahkan tanpa penyakit tuberkulosis dapat ditemukan. Dalam sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Rohatgi dan Dhaliwal pada 86 pasien (76,7%), penyakit mata
phlyctenular dikaitkan dengan tuberculosis. Namun dalam penelitian kami tidak ada bukti
langsung etiologi tuberkular yang ditemukan. Thygeson dan Stone percaya bahwa PKC selalu
karena alergi bakteri dan tidak pernah merupakan hasil dari protein nonbakteri, mis. hayfever,
urtikaria. Dia tidak pernah mengamati perkembangan phlyctenulosis pada katarak vernal atau
pada konjungtivitis alergi sederhana. Namun dalam penelitian kami, keratoconjuctivitis
vernal terlihat pada empat kasus (8%), ISK pada dua kasus (4%), dan ISPA pada tiga kasus
(6%).
PKC juga dilaporkan berhubungan dengan jerawat rosacea. Namun dalam penelitian
kami, PKC tidak ditemukan pada jerawat rosacea. Hal ini bisa jadi karena periode tindak
lanjut kami yang paling singkat dibandingkan dengan penelitian lain dan sebagian besar
pasien kami tidak menindaklanjuti setelah phlycten terselesaikan. Studi Oltz dan Check
melaporkan bahwa manifestasi okular dapat terjadi pada 50% pasien dengan rosacea dan
dapat mendahului manifestasi dermatologis pada 20%.
Kortikosteroid topikal dianggap sebagai pilihan terbaik untuk PKC, tetapi
ketergantungan steroid sering terjadi terutama pada kasus berulang. Dalam Doan et al. studi
topikal Cyclosporin A 2% telah dianjurkan sebagai pengobatan yang efektif untuk anak-anak
dengan PKC yang terkait dengan peradangan kornea yang parah. Dalam Culbertson et al.
studi, pengobatan tetrasiklin oral atau eritromisin tercatat menghasilkan remisi PKC yang
bertahan lama pada anak-anak yang terkena.[3] Namun dalam kasus kami, pemberian
flourometholone 1% singkat terbukti cukup untuk menyelesaikan PKC dalam waktu
seminggu. Hal ini bisa jadi karena jumlah kasus berulang kurang (8 dari 50) dan kebanyakan
dari mereka disajikan lebih awal kepada kami.
Dalam literatur, PKC dilihat sebagai bagian dari spektrum manifestasi
blepharokeratoconjunctivitis (BKC) pada anak-anak. Karena jumlah keikutsertaan pasien
kurang dalam penelitian kami, perspektif yang lebih luas dari BKC terlewatkan.

15
Kesimpulan
PKC sebagian besar disajikan sebagai gangguan konjungtiva unilateral. Kondisi okular
terkait pada PKC adalah blepharitis. Kemungkinan infeksi Staphylococcus tidak boleh
disingkirkan. Dalam kasus yang berulang, penyebab sistemik dan lokal harus diidentifikasi
untuk mencegah kekambuhan lebih lanjut dan morbiditas okular. PKC teratasi dengan mudah
dengan kombinasi steroid topikal dan terapi antibiotik.

Dukungan keuangan dan sponsor


Nihil.

Konflik kepentingan
Tidak ada konflik kepentingan.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.alhamsyah.com/blog/artikel/konjungtivitis-flikten.html
2. http://sanirachman.blogspot.com/2010/09/konjungtivitis-flikten.html
3. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah., Buku Pedoman Kesehatan Mata Telinga dan
Jiwa,2001
4. Wijana, N., Konjungtiva, dalam Ilmu Penyakit Mata, 1993, hal: 41-69
5. Vaughan, D.G, Asbury, T., Eva, P.R., General Ophthalmology, Original English
Languageedition, EGC, 1995
6. Al-Ghozie, M., Handbook of Ophthalmology : A Guide to Medical Examination, FK
UMY,Yogyakarta, 2002
7. Ilyas, S., Konjungtivitis Flikten dalam Ilmu Penyakit Mata, Edisi III, Cetakan I,
FakultasKedokteran UI, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2004.

17

Anda mungkin juga menyukai