KONJUNGTIVITIS “PHLYCTEN”
Oleh :
Pembimbing :
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………... 1
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………… 3
2.5 Patofisiologi………………………………………………………… 6
2.6 Diagnosis, Manifestasi Klinis & Pemeriksaan Penunjang………… 8
2.7 Diagnosis Banding………………………………………………… 9
2.8 Penatalaksaan……………………………………………………… 10
2.9 Komplikasi…………………………………………………………. 11
2.10 Prognosis………………………………………………………….. 12
BAB III PENUTUP……………………………………………………………. 13
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………… 14
BAB I
PENDAHULUAN
Pada Phlyctenule konjungtiva terdapat nodul kecil berwarna putih pada konjungtiva
bulbar, sering di limbus, di tengah daerah hiperemik, sedangkan pada Phlyctenule kornea
ditemukan nodul putih kecil, awalnya di limbus, dengan pembuluh darah konjungtiva melebar
mendekat. Sering dikaitkan dengan ulserasi epitel dan migrasi kornea sentral, menghasilkan
neovaskularisasi kornea berbentuk baji dan jaringan parut di belakang tepi utama lesi. Bisa
bilateral dapat disertai gejala lain seperti injeksi konjungtiva, blepharitis, jaringan parut
kornea.2,3
BAB II
PEMBAHASAN
Konjungtiva tarsal berada di bagian posterior kelopak mata dan sukar digerakkan dari
tarsus. Konjungtiva tarsal superior dan inferior akan menutupi jaringan episklera
disepanjang bola mata sampai berbatasan dengan konjungtiva bulbar.
Konjungtiva bulbar menempel secara longgar pada septum orbital di bagian forniks.
Konjungtiva bulbar juga secara longgar kapsul tenon dan seluruh permukaan sclera,
mudah digerakkan dari sclera dibawahnya.
Konjungtiva diperdarahi oleh arteri siliaris anterior yang berasal dari arteri
oftalmikus serta diperdarahi oleh arteri palpebra dimana kedua arteri ini
beranastomosis. Arteri siliaris anterior berjalan mengikuti otot rektus penggerak bola
mata kecuali otot rektus lateralis1,6. Konjungtiva mendapat persarafan dari saraf
oftalmikus cabang trigeminus. Sedangkan kelenjar getah bening lapisan-lapisan
kelopak mata berasal dari pleksus kelenjar getah bening6.
Anatomi konjungtiva
Kornea normal tidak memiliki reaksi alergi akut (karena tidak mengandung sel
mast) atau reaksi khas Arthus (karena tidak ada pembuluh darah). Namun, kornea tidak
berpartisipasi dalam reaksi kekebalan tubuh dengan cara elemen kekebalan humoral dan
seluler yang memasuki pinggiran dari pembuluh darah limbal. Gambaran anatomis ini
dapat menjelaskan mengapa begitu banyak gangguan yang dimediasi oleh imun dari
kornea terjadi terutama di pinggiran kornea dan limbus. Sebagai alternatif, masuknya
leukosit melalui badan siliaris dan akar iris dan masuknya protein plasma melalui
kerusakan penghalang darah-okular (seperti yang terjadi pada sindrom uveitis) adalah
cara lain dimana efektor imun mendapatkan akses ke kornea. Kornea dapat bertindak
sebagai suntikan imunologi, menyerap antigen dari permukaan okular. Ini Fenomena
pertama kali dijelaskan oleh Wessely pada tahun 1911, ketika antigen asing disuntikkan
ke dalam kornea hewan yang sebelumnya peka dan infiltrasi berbentuk cincin yang
terbentuk di konsentrik stroma kornea ke tempat suntikan, mirip seperti kompleks
antigen-antibodi dalam tes immunodiffusion. . Masih disebut cincin kekebalan tubuh,
infiltrat ini mengandung faktor pelengkap dan / atau neutrofil. Antibodi yang bersirkulasi
tidak diperlukan jika produksi antibodi lokal cukup dirangsang oleh antigen yang
disimpan di kornea. Antigen mungkin adalah obat, seperti pada infiltrasi kornea perifer
yang terkait dengan reaksi neomisin; benda asing; atau zat yang tidak diketahui, seperti
pada infiltrat kornea yang dapat terjadi pada pemakai lensa kontak. Cincin yang tidak ada
dapat bertahan untuk beberapa waktu kornea yang dilukai oleh benda asing, bahkan
setelah benda asing itu dikeluarkan.7
2.2 Definisi
Keratokonjungtivitis Phlyctenular adalah peradangan nodular kornea atau
konjungtiva yang dihasilkan dari reaksi hipersensitivitas terhadap antigen asing.
2.3 Etiologi
Reaksi hipersensitivitas tertunda biasanya sebagai akibat dari salah satu dari
berikut:
o Staphylococcus: Sering berhubungan dengan blepharitis stafilokokus
o TB, jarang, atau agen infeksi lain (mis., Coccidiomycosis, Kandidiasis,
Limfogranuloma venereum).Disebabkan oleh karena alergi terhadap
bakteri atau antigen tertentu (hipersensitivitas tipe IV)8
Gizi buruk dan sanitasi lingkungan yang jelek merupakaan factor predisposisi
Lebih sering ditemukan pada anak-anak di daerah padat
Infeksi fokal pada gigi, hidung, telinga, tenggorokan, dan traktus urogenital
Pada sering menderita radang saluran napas3
Reaksi yang terjadi pada hipersensitivitas ini dibagi menjadi 2 tahap utama:
a. Proliferasi dan diferensiasi sel T CD4+. Sel ini mengenali susunan peptida yang
ditunjukkan oleh sel dendritik dan mengekresikan IL2 yang berfungsi sebagai
autocrine growth factor untuk menstimulasi proliferasi antigen-responsived sel T.
Perbedaan antara antigen-stimulated sel T dengan Th1 atau Th17 terlihat pada
produksi sitokin oleh APC (sel dendritik dan makrofag) saat aktivasi sel T. APC
memproduksi IL12 yang menginduksi diferensiasi sel T menjadi Th1. IFN-γ akan
diproduksi oleh sel Th1 dalam perkembangannya. Jika APC memproduksi sitokin
seperti IL1, IL6, dan IL23; yang akan berkolaborasi dengan membentuk TGF- β
untuk menstimulasi diferensiasi sel T menjadi Th17. Beberapa dari diferensiasi sel
ini akan masuk kedalam sirkulasi dan menetap di memory pool selama waktu yang
lama.
b. Respon terhadap diferensiasi sel T efektor apabila terjadi pajanan antigen yang
berulang akan mengaktivasi sel T akibat dari antigen yang dipresentasikan oleh
APC. Sel Th1 akan menyekresikan sitokin (umumnya IFN-γ) yang bertanggung
jawab dalam banyak manifestasi dari hipersensitivitas tipe ini. IFN-γ mengaktivasi
makrofag yang akan memfagositosis dan membunuh mikroorganisme yang telah
ditandai sebelumnya. Mikroorganisme tersebut mengekspresikan molekul MHC II,
yang memfasilitasi presentasi dari antigen tersebut. Makrofag juga menyekresikan
TNF, IL1, dan kemokin yang akan menyebabkan inflamasi. IL12 juga merupakan
hasil produksi makrofag yang akan memperkuat respon dari TH1. Semua
mekanisme tersebut akan mengaktivasi makrofag untuk mengeliminasi antigen. Jika
aktivasi tersebut berlangsung secara terus menerus maka inflamasi akan berlanjut
sehingga jaringan luka akan menjadi semakin luas7 .
Th17 diaktivasi oleh beberapa antigen mikrobial dan self antigen dalam
penyakit autoimun. Sel Th17 akan menyekresikan IL17, IL22, kemokin, dan beberapa
sitokin lain. Kemokin ini akan merekrut neutrofil dan monosit yang akan berlanjut
menjadi proses inflamasi. Th17 juga memproduksi IL12 yang akan memperkuat proses
Th17 sendiri7.
Reaksi oleh sel T CD8+ akan membunuh sel yang membawa antigen.
Kerusakan jaringan oleh CTLs merupakan komponen penting dari banyak penyakit
yang dimediasi oleh sel T dengan langsung melawan histokompatibilitas antigen
tersebut. Mekanisme dari CTLs juga berperan penting untuk melawan infeksi virus.
Pada infeksi virus, peptida virus akan memperlihatkan molekul MHC I dan kompleks
yang akan diketahui oleh TCR dari sel T CD8+8. Penghancuran sel yang telah terinfeksi
akan berakibat eliminasinya infeksi tersebut dan juga akan berakibat pada kerusakan
sel8.
Prinsip mekanisme pembunuhan sel yang terinfeksi yang dimediasi oleh sel T
yaitu CTLs yang mengenali sel target akan mengekresikan kompleks yang berisikan
perforin, granzymes, dan protein yang disebut serglisin yang akan masuk ke sel target
melalui proses endositosis8. Dalam sitoplasma, sel target perforin memfasilitasi
pengeluaran granzymes dari kompleks. Granzymes adalah enzim protease yang
memecah dan mengaktivasi kaspase, yang akan menginduksi apoptosis dari sel target.
Pengaktivasian CTLs juga mengekspresikan fast ligand, molekul yang homolog dengan
TNF, yang dapat berikatan dengan fast expressed pada sel target dan memicu
apoptosis8. Sel T CD8+ juga memproduksi sitokin (IFN-γ) yang terlibat dalam reaksi
inflamasi dalam DTH, khususnya terhadap infeksi virus dan terpapar oleh beberapa
agen kontak8.
a. Gejala subjektif
Nyeri, fotofobia ringan - berat, lakrimasi dan blepharospasm.1,8
b. Tanda objektif
Injeksi konjungtiva, blepharitis, jaringan parut kornea .Limbal putih kecil atau
nodul konjungtiva yang terkait dengan hiperemia lokal yang hebat.
Investigasi untuk tuberkulosis umumnya diindikasikan hanya di daerah endemik atau
di hadapan faktor risiko tertentu.1
c. Histopatologi
Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan kumpulan sel leukosit netrofil yang
dikelilingi oleh sel limfosit, sel makrofag, dan sel datia berinti banyak. Flikten
merupakan infiltrasi selular subepitel yang terutama terdiri atas sel monocular
limfosit. Pembuluh darah yang memperdarahi flikten mengalami proliferasi endotel
dan sel epitel dibagian atas mengalami degenerasi1
d. Laboratorium
Dapat dilakukan pemeriksaan tinja jika dicurigai helmintiasis, pemeriksaan
darah untuk mengetahui infeksi, dan kultur konjungtiva. Pemeriksaan sekret dengan
pewarnaan gram dapat membantu mengidentifikasi penyebab maupun infeksi
sekunder1.
2.8 Penatalaksaan
Pada pasien dengan penyakit menular seperti tuberkulosis dan klamidia, infeksi
yang mendasarinya harus ditangani dan diobati dengan tepat. Chlamydia diinduksi
keratokonjungtivitis phyctenular harus diobati dengan azitromisin atau doksisiklin.
Pasien dengan tes tuberkulin positif harus dirujuk untuk menerima pengobatan sistemik
tuberkulosis yang tepat. Kontak dekat juga harus dievaluasi dan diperlakukan dengan
tepat.
Penyebab primer dari penyakit ini harus diketahui dan ditangani terlebih dahulu,
misalnya riwayat TB atau infeksi lain melalui pencarian infeksi fokal di telinga, hidung,
tenggorokan, atau gigi. Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah, urine, feses
maupun foto toraks seringkali dilibatkan dalam usaha tersebut.
2.9 Komplikasi
Keratokonjungtivitis Phyctenular dapat menyebabkan ulkus, scar dan gangguan
visus ringan sampai berat, hingga perforasi kornea. 2
2.10 Prognosis
Dengan penatalaksanaan yang komprehensif, umumnya konjungtivitis flikten akan
sembuh spontan dalam 1-2 minggu dan tidak meninggalkan bekas kecuali flikten pada
limbus1.
Prognosis menjadi relatif lebih buruk jika terjadi flikten pada kornea, abses kornea
karena infeksi sekunder bakteri, dan perforasi kornea dalam luas yang terbatas7. Namun
beberapa keadaan penyulit tersebut dapat diatasi dengan penatalaksanaan yang memadai.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Konjungtivitis flikten adalah radang pada konjungtiva dengan pembentukan satu atau
lebih tonjolan kecil (flikten), yang diakibatkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe IV.
Gejala klinis biasanya ringan, berupa lakrimasi berlebihan, mata merah setempat, dan
iritasi dengan rasa sakit. Blefarospasme dapat terjadi jika terdapat pus mukopuruluen karena
infeksi bakteri. Konjungtivitis fliktenularis harus dibedakan dengan kondisi serupa yang juga
bersifat superfisial melalui prosedur anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi secara seksama.
Dasar dari penatalaksanaan penyakit ini adalah mengatasi penyakit yang mendasarinya
dengan proses diagnostik dan terapi yang komprehensif. Korstikosteroid topikal dapat
mempercepat penyembuhan dan sering diberikan bersamaan dengan antibiotik topikal. Pada
kasus rekurensi dapat diberikan tetrasiklin oral dan mengobati penyebab terkait.5