Anda di halaman 1dari 59

Kepada Yth.

Tinjauan Kepustakaan Dibacakan Pada tanggal:


Katarak & Bedah Refraktif 20 Agustus 2019

KONDISI SULIT PADA MANUAL SMALL INCISION CATARACT


SURGERY DAN PENANGANAN KOMPLIKASI

PENYAJI

Dr. Herdy Veristian

PEMBIMBING

Dr. Harsani Lampus, Sp.M

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS - 1
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .............................................................................................. i


BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................... 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 2
2.1. Teknik Operasi MSICS ...................................................................... 2
2.1.1. Instrumen .............................................................................. 2
2.1.2. Bridle Suture dan Conjungtival Flap ...................................... 3
2.1.3. Konstruksi Tunnel Pada MSICS ............................................ 4
2.1.4. Kapsulotomi ........................................................................ 10
2.1.5. Prosedur hidro ..................................................................... 13
2.1.6. Prolapse Nukleus ke Bilik Mata Depan ................................ 14
2.1.7. Ekstraksi Nukleus ................................................................ 14
2.1.8. Aspirasi Korteks dan Implantasi IOL ................................... 15
2.1.9. Penutupan Luka ................................................................... 17
2.2. Penanganan Komplikasi Pada MSICS ............................................ 18
2.2.1. Komplikasi Intra Operasi Pada MSICS ............................... 18
2.2.1.1. Konstruksi Luka .................................................... 18
2.2.1.2. Lipatan Pada Membran Decemet ........................... 20
2.2.1.3. Hidrasi Konjungtiva .............................................. 22
2.2.1.4. Parasintesis ........................................................... 22
2.2.1.5. Kapsulotomi .......................................................... 22
2.2.1.6. Hidrodiseksi .......................................................... 24
2.2.1.7. Prolaps Nukleus .................................................... 25
2.2.1.8. Ekstraksi Lensa ..................................................... 27
2.2.1.9. Hifema .................................................................. 28
2.2.1.10. Trauma Pada Iris ................................................. 28
2.2.1.11. Miosis Intra Operasi ............................................ 30
2.2.1.12. Dialisis Zonul ...................................................... 31
2.2.1.13. Ruptur Kapsul Posterior ...................................... 32
2.2.1.14. Residual Korteks ................................................. 33

i
2.2.1.15. Nukleus Drop ...................................................... 34
2.2.1.16. Tekanan Positif ................................................... 34
2.2.1.17. Perdarahan Ekspulsif ........................................... 35
2.2.2. Komplikasi Pasca Operasi Pada MSICS.............................. 36
2.2.2.1. Komplikasi Penyembuhan Luka Pasca Operasi ..... 37
2.2.2.2. Komplikasi Pada Kornea ....................................... 38
2.2.2.3. Uveitis................................................................... 39
2.2.2.4. Peningkatan TIO Pasca Operasi............................. 39
2.3. Keadaan Sulit Pada MSICS ............................................................. 40
2.3.1. Katarak Hipermatur ............................................................ 40
2.3.2. Katarak Polaris Posterior ..................................................... 41
2.3.3. Pupil Kecil ........................................................................... 42
2.3.4. Pseudoeksfoliasi .................................................................. 43
2.3.5. Katarak Traumatik ............................................................... 44
2.3.6. Katarak dengan Miopia Tinggi............................................. 45
2.3.7. Katarak Pasca Uveitis .......................................................... 45
2.3.8. Operasi Katarak Disertai dengan Gangguan Zonul ............... 45
2.4. Konversi Pada Teknik Operasi MSICS .......................................... 48
2.4.1. Indikasi Konversi ................................................................. 48
2.4.1.1. Prematur Entry ..................................................... 49
2.4.1.2. Pupil Kecil ............................................................ 49
2.4.1.3. Komplikasi pada zonula dan kapsul ....................... 49
2.4.1.4. Nukleus yang besar dan keras ................................ 50
2.4.2. Teknik Konversi .................................................................. 50
BAB III. PENUTUP ................................................................................ 52
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Katarak merupakan penyebab utama kebutaan yang dapat disembuhkan,


dengan angka 51% kebutaan dunia, yang mewakili sekitar 20 juta orang (2010).
Prevalensai katarak bergantung pada usia, tingkat fasilitas kesehatan, wilayah atau
negara, populasi perkotaan atau pedesaan yang diteliti. 1 Prevalensai katarak yang
tidak di operasi pada orang berusia ≥60 adalah 58% di India utara dan 53% di
India selatan (P = 0,001).2 Di Indonesia, tingkat prevalensai katarak untuk orang
dewasa berusia 21 hingga 29 tahun adalah 1,1%, meningkat menjadi 82,8% untuk
mereka yang berusia >60 tahun. Peningkatan katarak berhubungan dengan
rendahnya tingkat pendidikan (P <0,001). 3

Penanganan yang tepat pada katarak adalah operasi. Menuturt WHO,


target hasil pasca operasi katarak setidaknya 80% atau setidaknya 90% dengan
BCVA (best corrected visual aquity).4 Teknik manual small incision cataract
surgery (MSICS) kontemporer pertama kali dipopulerkan oleh Ruit dkk pada
tahun 1999.5 Kemudian, pada tahun 1992 Blumenthal menggambarkan teknik
extra capsular cataract surgey (ECCE) manual yang kemudian sebagai dasar untuk
pengembangan selanjutnya dalam MSICS. 5

Teknik operasi katarak MSICS merupakan bentuk ECCE dengan beban


biaya rendah yang banyak digunakan di negara berkembang. Dibandingkan
dengan ECCE, MSICS memiliki kelebihan berupa stabilitas luka yang lebih baik,
lebih kurangnya risiko induksi astigmatisma, kenyamanan pasien yang lebih baik
dengan rehabilitas visual yang lebih dini. Dibandingkan teknik operasi lain seperti
fakoemulsifikasi, MSICS dapat digunakan dalam segala jenis katarak, waktu
operasi yang lebih singkat, lebih sedikit kebutuhan akan teknologi dan biaya yang
lebih rendah.5-9

Meskipun MSICS memiliki banyak kelebihan, ahli bedah mata perlu terus
berlatih meningkatkan kemampuan teknik operasi yang baik serta waspada pada
beberapa komplikasi yang mungkin terjadi. Tinjauan kepustakaan ini akan
membahas komplikasi yang mungkin terjadi dan penangannya pada MSICS.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teknik Operasi MSICS

Teknik operasi katarak MSICS merupakan bentuk ekstraksi katarak


ekstrakapsular (ECCE) dengan beban biaya rendah yang banyak digunakan di
negara berkembang. Dibandingkan dengan ECCE, MSICS memiliki kelebihan
berupa stabilitas luka yang lebih baik, lebih kurangnya risiko induksi
astigmatisma, kenyamanan pasien yang lebih baik dengan rehabilitas visual yang
lebih dini dan berkurangnya kemungkinan kolaps dari bilik mata anterior.10

MSICS juga memiliki beberapa keunggulan dibandingkan teknik operasi katarak


yang lebih mutahir seperti dapat dilakukan pada seluruh jenis katarak dan seluruh
kelompok usia. Teknik kapsulotomi Continuous curvilinear (circular)
capsulorhexis (CCC) yang gagal dapat dikonversi menjadi teknik can opener,
pasien dengan pupil kecil dapat lebih mudah dilakukan pembedahan daripada
dengan teknik Phacoemulsification, SICS juga lebih mudah dilakukan pada
keadaan dimana kornea mata pasien tidak begitu jernih. 10

Dalam kondisi sumber daya yang minimal, MSICS memiliki beberapa


keuntungan dibandingkan teknik operasi lain seperti fakoemulsifikasi, termasuk
waktu operasi yang lebih singkat, lebih sedikit kebutuhan akan teknologi dan
biaya yang lebih rendah.5-9 Investigasi terbaru menunjukkan hasil yang sebanding
dan tingkat komplikasi antara pasien yang menjalani fakoemulsifikasi dan MSICS
dengan penempatan lensa intraokular pada bilik mata belakang.11-14

2.1.1. Instrumen

Instrumen yang diperlukan pada MSICS pada dasarnya digunakan untuk


konstuksi tunnel, Hydroprocedurs dan ekstraksi nukleus. Selain instrumen yang
digunakan pada operasi katarak rutin, ada instrumen yang penting dalam prosedur
teknik MSICS. Berikut instrumen yang diperlukan berdasarkan tahapan prosedur
MSICS :6

2
a. Konstruksi tunnel : Razor blade and holder / 15 blade, Crescent knife,
Keratome -3.2 mm – 5.2 mm.

b. Side port entry : Super blade 15° .

c. Kapsulotomi : Jarum 26 – 30 G / cystotome, Capsulorhexis forceps.

d. Prosedur hidro : Hydrodissection cannula.

e. Prolapse nukleus ke Bilik Mata Depan : Sinskey hook /


Hydrodissection cannula, Cyclodialysis spatula, Kuglen’s Hook.

f. Pemisahan nukleus : Nukleus bisector / trisector / divider.

g. Ekstraksi nukleus : Irrigating vectis (23G) / Sinskey hook.

h. Aspirasi korteks lensa : Simcoe cannula / J-shaped cannula.

i. Kaliper

2.1.2. Bridle Suture dan Conjungtival Flap

2.1.2.1. Bridle Suture

Bridle suture ditempatkan pada dasarnya untuk melakukan manuver bola mata
selama berbagai prosedur bedah dan juga membantu mengangkat posisi bola mata
yang dalam. Tahap ini penting dalam manual sics karena merupakan langkah
penting yang tidak hanya memberikan fiksasi bola mata selama langkah awal
operasi seperti tunneling dan parasintesis, tetapi juga memberikan kekuatan kontra
selama prosedur seperti ekstraksi nukleus dan epinukleus, sehingga meningkatkan
efisiensi pada teknik ini.6

Pada posisi tunnel pada umumnya yaitu di area superior, bridle suture dikaitkan di
bawah tendon muskulus rektus superior. Pada kondisi tunnel di area temporal
maka dapat dikaitkan pada muskulus rektus lateralis.

Proses pemasangan bridle suture, dengan mengunakan forceps menjepit


konjungtiva, fasia tenon dan melewati bagian bawah tempat tendon melekat ( ± 10
mm dari superior limbus di arah jam 12 (Gambar 2.1). Untuk mempermudah

3
proses ini maka bola mata diposisikan mengarah ke bawah dengan bantuan
muscle hook atau menggunakan sepasang forceps yang atraumatik. Dinilai
berhasil apabila suture terletak tepat di belakng insersi tendon. Perhatikan secara
seksama dan hati-hati saat proses pemasangan untuk menghindari perforasi sklera
iatrogenik dan kerusakan otot.

2.1.2.2. Conjungtival Flap

Conjungtival flap yang dibuat untuk mengekspos sklera disarankan tidak terlalu
lebar. Dengan menggunakan forceps, konjungtiva digenggam dan dengan gunting
yang melengkung (conjungtival scissors) membuat lubang atau potongan kecil di
dekat limbus, secara perlahan bebaskan sklera dari tenon dan membentuk flap
konjungtiva dengan ukuran sklera yang terekspose ± 8 mm panjang dan 4 mm
lebar. Dengan menggunakan kauter bipolar seperlunya untuk kontrol perdarahan. 6

A. B.

Gambar 2.1. A. Bridal suture ; B. Conjungtival flap

2.1.3. Konstruksi Tunnel Pada MSICS

Paul Ernest memperkenalkan konsep tunnel dengan membentuk tepi kornea


sehingga dapat mencegah kebocoran cairan dari bilik mata depan dan membuat
konstruksi luka semakin kedap ketika tekanan intra okular kembali normal.
Teknik konstruksi tunnel ini dikenal dengan prosedur tiga tahap / tiga sayatan (
three step/three plane ). Pada prosedur tiga tahap ini memotong dan memisahkan
kornea tepat di stroma sehingga bagian internal dari luka di kornea terdiri dari

4
endotel, membran decemet dan sebagian stroma kornea (Gambar 2.2).
Keuntungan dengan teknik tiga tahap ini :

a. Apabila terjadi perdarahan koroid eksplusif, cukup dengan mengeluarkan


instrumen dari bola mata dan secara otomatis luka akan tertutup dan
mempertahankan tekanan bola mata.

b. Apabila ada gangguan sistem respirasi atau kardiovaskuler, dapat dilakukan


penghentian operasi semantara mengatasi masalah sistemik dan dapat segera
dilanjutkan ketika kondisi pasien telah stabil.

c. Konstruksi luka yang baik memungkinkan pasien melakukan kegiatan pasca


operasi yang lebih baik dan dapat terhindar terjadinya hipotoni.

d. Rendahnya angka kejadian hifema.

e. Tidak memerlukan penjahitan, sensasi benda asing pasca operasi dapat


dihindari.

Gambar 2.2. three step/three plane

Instrumen yang diperlukan :

a. Kaliper

b. Razor Blade / No. 15 super blade

c. Crescent knife

5
d. Keratome 3.2mm -5.2 mm

Insisi yang ideal berlokasi 2.0 – 3.0 mm dari batas anterior limbus, dengan
kedalaman satu per tiga hingga setengah ketebalan sklera, dan tinggi bibir pada
pemotongan di kornea 1.5 mm. Komponen pada insisi pembentukan tunnel adalah
(Gambar 2.3) :

a. Insisi sklera eksternal

b. Tunnel sklero-kornea

c. Insisi kornea internal

Gambar 2.3. Komponen insisi pembentukan tunnel

2.1.3.1. Tunnel Superior

Pengertian secara detail dan latihan yang rutin merupakan kunci keberhasilan
dalam proses pembuatan tunnel :6

i. Panjang Luka : Panjang luka pada sklera dapat diartikan jarak


antara awal insisi sampai akhir insisi pada sklera yang membentuk
panjang luka pada sklera.

ii. Lebar Tunnel : Jarak tunnel yang dibentuk dari insisi awal pada
sklera menyusur hingga batasan tinggi bibir yang ingin dibentuk
(1.5 mm dari limbus pada stroma kornea). Jarak terbaik dari limbus
adalah 2 mm dan jarak terjauh antara limbus ke garis luka pada
sklera adalah 4 mm. Perlu diingat bahwa jarak yang terlalu dekat

6
dapat menginduksi terjadinya astigmatisme. (panjang tunnel
diwakili dalam lebar pada konstruksi luka)

iii. Kedalaman konstruksi : Merupakan tebal dari jaringan atau flap


yang dibuat. Ketebalan optimal adalah 0.2-0.3 mm. Pengukuran
bisa dengan mengukur ketebalan pada pisau yang biasa digunakan
saat melakukan insisi awal (intial grooving). Apabila terlalu tipis
membuat konstruksi luka mudah robek dalam segala tahapan
manipulasi dan dapat menginduksi terjadinya astigmatisme.
Apabila terlalu tebal meningkatkan resiko terjadinya prematur
entry dan hifema jika bibir kornea bagian dlam terlalu tipis.

A. Insisi Sklera Internal

Flap konjungtiva yang dibuat harus proposional dengan kebutuhan lebar luka pada
insisi sklera. Membuat insisi panjang ± 6.00 - 6.50 mm, jarak dari limbus 1.5 - 2
mm. Alat yang dapat digunakan adalah razor blade / #15 surgical blade / crescent
knife bergantung pengalaman operator. Bentuk sayatan dapat berupa garis lurus,
garis pararel dengan lumbus atau frown-shaped. Frown-shaped memberikan hasil
yang lebih baik dalam menghindari induksi astigmatisme, Begitu pula saat
mengapilkasikan kauter sebaiknya secara tipis dan hati-hati.

B. Tunnel Sklero-Kornea

Proses pembuatan tunnel menggunakan crescent knife dan harus dengan gerakan
menggeliat (wriggling) kemudian menyapu (swiping) ke arah kanan dan kiri luka
spanjang dan selebar yang diinginkan. Ketebalan tunnel harus sama dan
panjangnya harus mencapai kornea 1-1.5 mm. Terlihatnya bagian crescent di
bawah flap sklera dapat dijadikan acuan bahwa ketebelan yang dibuat tidak terlalu
dalam. Selama proses tunnel posisi ujung pisau harus mengarah ke atas mengikuti
kontur bola mata agar menghindari terjadinya prematur entry.

7
C. Side Port Entry (Parasintesis)

Side port dibuat menggunakan 15° blade di arah jam 10 atau tidak terlalu dekat
dengan tunnel. Teknik side port entry harus sejajar dengan iris dengan lebar 2mm.
Berikut peranan side port :

a. Tempat injeksi viskoelastik.

b. Tempat melakukan kapsulotomi (bergantung kenyamanan operator).

c. Aspirasi kortek di area bawah insisi.

d. Membentuk bilik mata depan pada tahap akhir operasi.

e. Tempat instrumen untuk teknik bimanual (prolaps nukleus).

D. Insisi Kornea Internal

Insisi pada sisi dalam kornea menggunakan keratom 3.2mm – 5.2 mm. Insisi
diawali dengan memasukkan keratom melalui tunnel hingga menyetuh puncak
atau akhir dari tunnel pada stroma kornea. Lakukan gerakan menukik ke arah
bawah hingga merubah tampilan bentuk kornea, baru melakukan insisi awal tegak
lurus ke dalam bilik mata depan. Kemudian lakukan gerakan maju mundur untuk
memotong ke arah kiri dan kanan secara sejajar dan sama tinggi. Hasil yang baik
membentuk garis lurus pada potongan kornea bagian dalam.

2.1.3.2. Tunnel Temporal

Pada beberapa situasi posisi tunnel perlu dilakukan pada daerah temporal, seperti :

a. Astigmatisme (against the rule).

b. Terdapat bleb filter di area superior.

c. Terdapat jaringan partu di daerah superior akibat manuver atau tindakan


sebelumnya. Misalnya pada konsisi afakia yang memerlukan pemasangan IOL
sekunder.

8
d. Pada konsisi soket mata yang sangat dalam yang mempersulit pembuatan
tunnel superior atau manuver lainya.

Prosedur operasi disarankan :

a. Prinsip pembuatan tunnel sama dengan di daerah superior.

b. Jarak insisi pada kornea harus lebih ke anterior agar lebih kedap. (perbedaan
lebar pada meridian horisontal di limbus lebih kecil)

c. Side port entry pada arah jam 7.

d. Kauterisasi harus dilakukan dengan baik.

Keuntungan tunnel dari posisi temporal :

a. Pada pasien dengan astigmatisme “against the rule” dapat memperbaiki


astigmatisma dengan berbagai alasan. Astigmatisme “against the rule”
sebagian besar terdapat pada lansia dan selanjutnya meningkat apabila insisi
tunnel dilakukan di arah jam 12. Selanjutnya, tekanan pada kelopak mata
akan menginduksi astigmatisme pada populasi lansia. Karena bentuk kornea
elips, insisi pada arah jam 12 akan lebih dekat ke pusat kornea daripada insisi
temporal yang akan lebih netral secara astigmatik, lebih jauh dari pusat
kornea.

b. Lokasi temporal memungkinkan ruang kerja yang lebih baik daripada karena
tidak adanya alis yang menghalangi, terutama dalam kasus soket yang dalam.

c. Bola mata yang sejajar dengan sumbu mikroskop, cahaya merah/red reflex
tampak lebih jelas dari sisi temporal dan memberikan visibilitas yang lebih
baik.

2.1.4. Kapsulotomi

Lensa dewasa berukuran normal 9 mm secara ekuatorial Dengan


mempertimbangkan bahwa insersi zonula sekitar 1.5mm pada permukaan anterior
9
lensa, maka segala prosedur kapsulotomi dapat dilakukan dengan aman di zona
tengah (5.5-6mm), yang disebut "zonular free area ".

Gambar 2.3. A. Kapsulotomi teknik Can Opener; B. Kapsulotomi teknik CCC

2.1.4.1. Kapsulotomi Teknik Canopener

Kapsulotomi dengan teknik rhexis / CCC merupakan teknik rhexis yang paling
ideal pada MSICS, namun teknik canopener dapat dilakukan dalam situasi
tertentu di mana capsulorhexis sulit, yaitu :

a. Katarak matur.

b. Pupil kecil.

c. Kalsiffikasi atau fibrosis pada kapsul anterior.

d. Klasifikasi sklerosis nuklear Grade III dan Grade IV. Dalam kasus ini,
kapsulotomi canopener lebih disarankan daripada capsulorhexis dan akan
memfasilitasi prolaps nukleus lebih mudah ke bilik mata depan, dan
pertimbangan terjadinya dialisis zonular jika memaksa nukleus besar keluar
dari kantong lensa.

Bahkan saat mempelajari capsulorhexis, konversi menjadi kapsulotomi canopener


dapat dilakukan pada setiap tahap dan melakukan ekstensi perifer pada rhexis.
Bagi para pemula yang belum ahli mengunakan teknik rhexis, canopener dapat
menjadi pilihan awal.

10
Keuntungan mengunakan teknik canopener :

a. Diameter yang konsisten sesuai keinginan.

b. Memudahkan kapsulotomi pada kasus pupil kecil.

c. Pada kasus katarak traumatik dan terjadi robekan yang irregular pada kapsul
anterior.

d. Pembersihan korteks pada arah jam 12 lebih mudah.

Kerugian teknik canopener :

a. Meningkatkan kemungkinan robekan pada kapsul anterior.

b. Trauma pada zonule lebih besar pada titik-titik tertentu pada tahap prolaps
nukleus.

c. Sulit mempertahankan IOL di tengah.

Gambar 2.4. Teknik Kapsulotomi Can Opener

2.1.4.2. Kapsuloreksis CCC (Continuous Curvalinear Capsulorhexis)

CCC merupakan teknik yang ideal untuk kapsulotomi, namun ada beberapa
kondisi yang tidak memungkinkan dilakukan CCC. Berikut keuntungan teknik
rehxis CCC :

a. CCC yang proposional akan memudahkan prolaps nukleus ke bilik mata


depan.

11
b. Fiksasi IOL dalam kantung lensa lebih terjaga.

c. Memudahkan aspirasi korteks dikarenakan pinggiran kapsul yang rata, dan


mengurangi resiko terjadinya PCO dikemudian hari.

d. Minimal trauma pada zonul.

e. Apabila terjadi ruptur kapsul posterior, ccc yang baik akan memudahkan
pemasangan IOL pada sulkus.

Kerugian teknik CCC :

a. Teknik lebih sulit dipelajari.

b. Rhexis yang tidak adekuat atau terlalu kecil akan mempersulit langkah
selanjutnya.

c. Kurang aman pada kasus pupil kecil.

d. Sindrom distensi kantung lensa.

Teknik rhexis CCC :

a. Potongan awal : dapat menggunakan sistotom 26 G atau forceps. Diawalai


pada tengah kapsul dan mengarah ke perifer atau dimulai dari perifer
bergantung kenyamanan dan pengalaman operator.

b. Membuat falp : membuat flap 2/3 dari setengah diameter kapsul apabila
memulai dari tengah dan membuat flap ke arah berlawanan jarum jam. Saat
pemotongan awal dan pembuatan flap jangan menekan terlalu dalam karena
akan menyebabkan materi lensa keluar dan akan mempersulit pandangan dan
proses merobek kapsul.

c. Merobek flap : merobek flap bisa dengan kekuatan atau gerakan merobek atau
dengan menggeser. (shearing force atau ripping force). Tenaga yang
digunakan sifatnya tidak menekan ke arah dalam. Disarankan menggunakan
shearing force pada pangkal flap karena lebih mudah mengendalikan robekan.
Dalam proses ini flap harus terus terbentuk hingga ingin mengakhiri rhexis.
12
d. Mengakhiri rhexis : Menggunakan gerakan dari luar ke dalam.

Gambar 2.5. Mengakhiri rhexis pada teknik CCC

2.1.4.3. Kapsuloreksis Envelope

Teknik kapsulotomi ini lebih tepat digunakan untuk katarak hipermatur


(kebocoran morgagnian).

2.1.5. Prosedur hidro

Prosedur hidro merupakan teknik untuk melepaskan nukleus dari kapsul lensa
yang telah dilakukan kapsulotomi tanpa manipulasi yang berlebihan pada zonula.
Terdiri dari hidrodiseksi (memisahkan kapsul dengan korteks) dan hidrodelineasi
(memisahkan nukleus dengan korteks)

Teknik hidrodiseksi prosedur ini sebaiknya dilakukan setelah mencuci isi


viskoelastik untuk menghindari tekanan yang berlebihan dan daapat menyebabkan
ruptur kapsul posterior. Canul disisipkan tepat di bawah kapsul anterior (hasil
rehxis) dengan arah mengikuti bentuk lensa dan tidak melewati ekuator lensa.
Injeksi air secara perlahan dan adekuat. Prosedur yang baik disertai adanya red
refleks dapat memberikan gambaran golden ring.

Pada kondisi pupil kecil sebelum hidrodiseksi dapat dilakukan ccc tahap ke 2 dan
melakukan hidro minimal di beberapa sisi rhexis yang berlawanan. Terkadang
dapat terjadi pupil snap sign (kontraksi pupil selama hidrodiseksi) terjadi

13
penurunan ukuran pupil hingga 30%, yang merupakan akibat dari hidrodiseksi
(vigorous hydrodisection) yang dicurigai terjadi ruptur kapsul posterior.

Gambar 2.6. Hidrodiseksi di bawah kapsul anterior sedikit lebih dalam dari
margin rhexis

2.1.6. Prolapse Nukleus ke Bilik Mata Depan

Prolaps nukleus ke bilik mata depan hanya dilakukan pada teknik MSIC. Tekink
prolaps nukleus akan berbeda bergantung pada teknik kapsulotomi yang dipakai
dan keadaan kantung kapsul dan zonula.

2.1.7. Ekstraksi Nukleus

Ekastraksi nukleus hanya dapat dilakukan apabila nukleus sudah berada pada bilik
mata depan. Nukleus dapat dikeluarkan melalui beberapa teknik, diantaranya :

a. Teknik irigasi vectis

b. Teknik phacodandwich

c. Teknik phacofracture

d. Teknik modifikasi blumenthal

e. Teknik kail ikan (fish hook)

14
Teknik irigasi vectis merupakan cara yang paling efektif, dan lebih dari 95%
dipakai oleh ahli bedah mata karena mengkombinasikan kekuatan mekanik dan
hidrostatik untuk pengeluaran nukleus.

2.1.8. Aspirasi Korteks dan Implantasi IOL

Pembersihan kortikal yang menyeluruh meminimalkan kejadian iritis pasca


operasi, setelah pembentukan katarak dan edema makula sistoid. Prasyarat untuk
pembersihan kortikal yang baik adalah hidrodiseksi menyeluruh. Aspirasi korteks
pada SICS dengan teknik manual dilakukan dengan cara yang sama seperti dalam
ECCE kecuali untuk beberapa situasi khusus yang perlu ditangani secara berbeda.
Epinukleus utuh jika ada di dalam kantung dapat dimanipulasi dengan salah satu
cara:

a. Dapat dibalik keluar dari kantung dengan menyuntikkan kanula atau mengairi
vektis di bawah tepi kapur anterior dan mengangkat keluar epinukleus ke
dalam anten. ruang belakang. (Gambar 4.8-1) Oleh karena itu, epinukleus
yang prolaps dapat diekstraksi dengan menekan bibir sklerus inferior dengan
kanula simcoe dan menarik jahitan rektus superior pada waktu yang
bersamaan.

b. Epinukleus juga dapat dimanipulasi dengan melakukan viskodeksi. Bahan


viskoelastik disuntikkan di bawah tepi kapsuler, di antara kapsul dan inti dan
dikeluarkan dari kantong ke dalam pelat anterior dan diekstraksi melalui
tunnel setelahnya.

2.1.8.1. Manajemen Korteks Pada Arah Jam 12

Aspirasi korteks pada arah jam 12 sulit jika melalui tunnel karena keterbatasan
yang disebabkan oleh:

a. Scleral tunnel yang ditempatkan di posterior.

b. Capsulorhexis.

15
Berbagai metode untuk mengelola korteks jam 12o 'adalah:

a. Aspirasi pendekatan korteks-sideport melalui pendekatan sideport atau dengan


kanula lain dari pilihan dokter bedah.

b. Kanula berbentuk J

c. Memanggil IOL di dalam tas akan memindahkan korteks ke ruang anterior


dan selanjutnya dapat disedot.

d. Irigasi bimanual dan aspirasi melalui dua entri port sisi dibuat pada posisi jam
10 dan 2 '. dapat dilakukan dengan kanula simultan.

2.1.8.2. Aspirasi Korteks Pada Pupil Kecil.

Hal ini dipermudah dengan:

a. Aspirasi melalui entri port samping.

b. Aspirasi melalui ireidektomi superior.

2.1.8.3. Implantasi IOL

Karena ukuran kmapsulotomi berkisar 6mm atau lebih, lebih baik untuk
menempatkan IOL optik berukuran 6.0mm, juga dimungkinkan untuk
menempatkan IOL diameter lebih kecil (5.0 atau 5.5mm) di kasus katarak lunak,
katarak traumatis pada individu muda di mana nukleusnya lunak, dimana teknik
phacofracture digunakan untuk ekstraksi inti, implantasi PCIOL sekunder dan
pertukaran IOL.

Dengan kapsulotomi teknik canopener, implantasi pada dasarnya sama dengan


ekstraksi ekstrakapsular rutin. Penggunaan viskoelastik yang memadai, dan
kemiringan IOL yang tepat selama pemasangan memungkinkan penempatan 'di
dalam kantung'. Dalam kasus capsulorhexis, tekniknya yang digunakan sebaiknya
setelah ruang anterior dan kantung diisi dengan viskoelastik, forceps McPherson
atau forceps memegang lensa digunakan untuk menahan optik IOL dan

16
menempatkan haptik inferior dalam kantong kapsuler. Kemudian optik superior
dengan menggerakkan optik menuju posisi arah jam 6.

Masalah umum yang dihadapi oleh ahli bedah SICS selama operasi yaitu, pupil
sering menjadi kecil setelah ekstraksi nukleus dan menggangu pandangan margin
rhexis. Karenanya penempatan lensa intraokular 'dalam kantong' memerlukan
pengalaman dan kehati-hatian bahwa kantong tersebut harus diisi dengan bahan
viskoelastik, dan IOL ditanamkan dengan dorongan yang lebih dalam dengan
menggunakan sinskey untuk penempatan IOL.

Untuk memastikan IOL terdapat dalam kantung lensa operator dapat menggeser
iris dan mengkonfirmasi penempatan "di dalam kantung". Petunjuk lain untuk
mengkonfirmasi implantasi di dalam kantong adalah garis peregangan yang
terlihat pada kapsul posterior. Dalam kasus ini, karena kantong kapsuler lebih
besar, ada kemungkinan retensi bahan viskoelastik antara permukaan posterior
PCIOL dan kantong kapsuler yang menyebabkan peningkatan TIO segera pasca
operasi. Sebelum luka ditutup, operator harus berhati-hati untuk membersihkan
bahan viskoelastik dari ruang anterior dan kantong kapsuler terutama di belakang
IOL.

2.1.9. Penutupan Luka

Konstruksi luka dengan teknik three plane incision terbukti memberikan efek
kedap terhadap konstruksi luka. Pada beberap kondisi penjahitan diperlukan
apabila :

a. Tunnel pada sklera terlalu panjang ( > 6.5 mm ). Meskipun luka kedap
penjahitan dilakukan untuk menghindari terjadinya astigmatisme “againts the
rule astigmatism” pasca operasi.

b. Terjadi kebocoran pada tunnel.

c. Prematur entry.

d. Kasus operasi kombinasi (misalnya SICS dengan trabekulektomi).

e. Kasus katarak pada anak-anak ( berkaitan dengan sklera yang tipis).

17
Penjahitan luka dapat ditempatkan secara vertikal dan horisontal. Penempatan
vertikal terutama digunakan untuk penutupan luka namun akan membentuk jarak
antara sklera dan kornea pada bibir internal luka dan dapat mengurangi besaran
nilai astigmatisme akibat operasi.

Penjahitan secara horisontal akan membuat tunnel pada sklera menjadi lebih datar
dan lebih kedap. Penjahitan ini kurang disukai karena lebih besar menyebabkan
astigmatisme. Terdapat 2 bentuk penjahitan, yaitu :6

a. Shepherd’s single horizontal suture (terutama digunakan pada tunnel sklera


berukuran 5 mm namun terjadi kebocoran)

b. Fine’s infinity suture.

2.2. Penanganan Komplikasi Pada MSICS

2.2.1. Komplikasi Intraoperasi Pada MSICS

Meskipun MSICS memiliki banyak keuntungan, setiap dokter bedah mata harus
tetap waspada akan terjadinya komplikasi dalam setiap tahapan operasi. Berikut
kompikasi yang mungkin dapat muncul dan penangananya :

2.2.1.1. Konstruksi Luka

Tujuan pembuatan luka adalah terciptanya luka operasi yang kedap. Luka dengan
konstruksi yang tidak baik akan menciptakan masalah atau membuat operasi
menjadi lebih sulit. Komplikasi yang mungkin didapatkan berrhubungan dengan
lokasi luka, panjang dan dalam dari insisi antara lain :6

A. Lokasi luka

Insisi idealnya berada pada jarak 2 – 3 mm dari batas posterior dari garis biru.
Perubahan posisi mendekat atau mejauh dari limbus memiliki beberapa

18
keuntungan pada beberapa situasi, tetapi juga dapat mengakibatkan efek yang
tidak diinginkan.

Penempatan insisi yang lebih kearah anterior mengakibatkan kurangnya


kekedapan insisi yang berakibat kebocoran luka. Hal ini dapat ditangani dengan
menggunakan jahitan

Penempatan insisi dibagian posterior insisi mengakibatkan tunnel yang terlalu


lebar dan berakibat kepada risiko perdarahan dan premature entry dan
mengakibatkan sulitnya melahirkan nukleus dan manipulasi instrument. Solusinya
adalah dengan membuat jahitan untuk premature entry.

B. Panjang luka

Dalam memikirkan stabilistas luka dan astigmatisma yang mungkin


terjadi, seorang ahli bedah harus membuat insisi sependek mungkin. Tetapi,
panjang minimum dari insisi ditentukan oleh dua hal yaitu ukuran dan kerasnya
nukleus dan ukuran dari lensa intraocular. Insisi yang pendek mengakibatkan
sulitnya melahirkan lensa dan berakibat kepada kerusakan endotel dan iris.
Penanganan yang dapat dilakukan antara lain memperbesar insisi dengan
keratome.6 Insisi yang terlalu panjang berakibat kepada kebocoran luka dan
induksi astigmatisma. Solusinya adalah dengan membuat jahitan. Astigmatisma
juga dapat diatasi dengan membuat insisi pada daerah temporal daripada daerah
superior.15

C. Dalamnya jahitan

Idealnya, dalamnya insisi adalah ½ hingga 1/3 dari kedalaman sclera. Beberapa
kondisi mengakibatkan sulitnya ahli bedah untuk menemukan daerah yang tepat
pada sclera dan kornea. Misalnya miopia (sckera yang tipis), riwayat pembedahan
(scar) dan socket yang dalam sulit mengatur instrument.

Komplikasinya antara lain :6

19
a. Button- holing ini terjadi karena diseksi superfisial dari flap sclera.
Meninggalkan diseksi ini dan membuat diseksi yang lebih dalam pada sisi
berlawanan dari insisi tunnel biasanya cukup untuk mengatasi komplikasi ini.

b. Premature entry. Ketika hal ini terjadi, diseksi pada area ini harus dihentikan
dan membuat diseksi baru dimulai dari ujung lain pada tunnel dengan
kedalaman yang lebih dangkal, di sapukan kearah lateral. Jahitan pada tunnel
ini dilakukan pada akhir dari pembedahan

c. Scleral disinsertion. Insisi groove yang sangat dalam dapat mengakibatkan


disinsersi sclera dengan pemisahan secara utuh dari sclera inferior dari sclera
superior pada insisi. Kecuali terdapat jembatan jaringan, tidak ada penyokong
sklera dari groove ke limbus. Pada kasus disinsersi sclera, mungkin tidak perlu
untuk menggunakan jahitan radial untuk mengamankan ujung dari insisi pada
sisi lain dari groove scleral. Disinsersi sclera dapat dicegah dengan membuat
insisi groove pada hanya sebagian ketebalan, dengan penggunaan rasional dari
insisi bebas atau dengan pisau dengan pengaman yang dirancang untuk tujuan
ini.

2.2.1.2. Lipatan Pada Membran Decemet

Setiap insisi penetrasi kedalam kornea atau objek dimasukkan kedalam insisi
kornea dapat mengakibatkan Descement Membrane Strip (DM strip). DM strip
penuh dapat terjadi ketika cairan atau viscoelastic disuntikkan melalui parasintesis
dan ujung cannula tida diletakkan pada bilik mata anterior tetapi pada kanal
kornea dari parasintesis. Cairan yang disuntukkan mengakibatkan hidrodiseksi
interlammelar dari kornea, membuat adanya ruang antara stroma dalam dan DM. 6

Biasanya, membrane descement yang terkupas tidak langsung diketahui oleh ahli
bedah pada durante operasi, terutama ketika membrannya mengapung dengan
bagian yang longgar pada bilik mata depan. Biasanya membrane yang terlepas ini
diperkirakan sebagai kapsul anterior dan tidak sengaja dikeluarkan. Hal ini
mengakibatkan komplikasi yang dapat diatasi menjadi komplikasi yang tidak
dapat diatasi dan mengakibatkan opasitas korneal permanent. 6

20
Keadaan ini lebih buruk jika terjadi pada pasien dengan kelainan lapisan endotel
kornea. Sebuah penelitian yang dilakukan pada 8 mata menemukan bahwa
kombinasi antara Descemet’s stripping endothelial keratoplasty dan medium
incision cataract surgery. Pembuatan tunnel yang lebar dan glide pada bilik mata
anterior menurunkan risiko trauma pada kornea dan secara umum memberikan
hasil yang lebih baik.16

Tindakan yang dianjurkan :

a. keadaan ini dapat dihindari dengan penggunaan instrument yang hati – hati.
Jika diketahui dini, injeksi udara pada daerah yang terjadi detachment dapat
menempelkan kembali robekan. Pada kasus detachment descement yang kecil,
gelembung udara cukup untuk memperbaiki hal ini. Sangat penting bahwa
gelembung udara ditempatkan pada bilik mata anterior adalah gelembung
yang ketat.

b. Apabila terjadi kebocoran dari udara melalui luka, maka, luka tersebut harus
dijahit lagi hingga terdapat luka yang kedap. Pada kasus dimana detachment
terjadi pada setengah inferior dari kornea, maka, gelembung udara tidak
berguna dalam hal ini. Membrane descement ditempelkan kembali dengan
menggunakan viscoelastic.

c. Pada robekan detachment yang luas, jahitan full thickness kornea diperlukan.
Jika pengelupasan ini lebih besar dari aera pupil, hal ini dapat mengakibatkan
komplikasi besar dan mengakibatkan dekompensasi kornea yang tidak dapat
diperbaiki.6

2.2.1.3. Hidrasi Konjungtiva

Ketika peritomi konjungtiva tidak adekuat, cairan yang keluar dari luka dapat
masuk kedalam kapsul tenon. Hal ini akan menghidrasi konjungtiva dan
mengakibatkan pembengkakan massif dan gangguan penglihatan pada bilik mata
anterior ketika prsedur dilakukan. Ini dapat diatasi dengan membuat insisi

21
konjungtiva 1 – 2 mm posterior untuk membiarkan regresi cairan. Ini harus
dilakukan sebelum hidrasi konjungtival irreversible terjadi. 6

2.2.1.4. Parasintesis

Side port tambahan dibuat dengan menggunakan insisi stab pada sisi kanan atau
kiri, bergantung kepada pilihan operator. Apabila terlalu dekat dengan sentral
kornea mengakibatkan DM stripping, terlalu perifer ke sclera mengakibatkan
perdarahan, terlalu kecil untuk instrument mengakibatkan DM stripping, terlalu
besar mengakibatkan kebocoran.6

2.2.1.5. Kapsulotomi

Continuous curvilinear capsulorhexis adalah teknik yang lebih disukai untuk


membuka kapsul anterior dan mendapatkan akses ke nukleus. Ketika membuat
capsulorhexis, komplikasi serius yang mungkin terjadi adalah ekstensi ke perifer
yang jika tidak diperhatikan dapat mengakibatkan robekan kapsul posterior.6

Beberapa kemungkinan komplikasi yang terjadi pada saat kapsulotomi antara lain
:6

a. Runaway rhexis. Jika ekstensi perifer terjadi, protocol berikut ini dapat
digunakan:

i. Bentuk lagi bilik mata depan dengan material viscoelastic


untuk menempatkan diafragma lensa posterior, kemudian
bebaskan tarikan centrifugal pada zonula dan kapsul.

ii. Pegang lipatan yang dekat dengan robekan dan tarik lipatan
tersebut kearah sentral.

iii. Gunakan forsep kapsul untuk control yang lebih baik dari
rhexis.

iv. Potong kapsul yang didekat perifer dengan cystitome untuk


menghilangkan tarikan sentrifugal dari kapsul.

22
v. Angkat flap yang berlawanan, jika perlu dengan membuat
insisi kecil pada kapsul dengan gunting Vannas.

vi. Lanjutkan dengan arah yang berlawanan.

vii. Jika semua ini gagal, konversi ke canopener capsulotomi.

b. Ukuran dari capsulorhexis: ukuran dari capsulorhexis seharusnya dibuat cukup


disesuaikan dengan ukuran dari nukleus. Penanganan untuk ukuran terlalu
besar atau kecil antara lain:

i. Ukuran capsulorhexis yang terlalu kecil dapat menyebabkan


kesulitan dalam prolapse nukleus dan dan aspirasi korteks.
Keadaan ini merupakan faktor predisposisi terhadap robekan
kapsul posterior, zonular dialysis dan tersisanya korteks lensa.

ii. Ukuran capsulorhexis yang terlalu besar dapat mengakibatkan


masalah dalam menempatkan IOL in the bag. Jika batas dari
rhexis tidak terlihat pada satu sisi akan mempersulit
penempatan IOL. Hal ini kan mengakibatkan desentrasi IOL
ketika 1 haptic berada di dalam kantong sedangkan haptic
lainnya berada di dalam sulcus. Kondisi ini disebut in/out
situation.

2.2.1.6. Hidrodiseksi

23
Hidrodiseksi yang benar seharusnya membuat terlepasnya perlengketan korteks
dari kapsul. Namun, hal ini jarang tercapai, namun jika tercapai, maka tidak perlu
dilakukan pembersihan korteks setelah melahirkan nukleus. Idealnya hidrodiseksi
dilakukan di keempat kuadran. Jika prosedur hidrodiseksi dilakukan dengan paksa
di tempat lain, terdapat risiko yang terpendam dari tekanan pada kapsul posterior
yang mengarah ke rupturnya kapsul posterior dan kemungkinan terjadinya
nukleus drop.6

Pada 30 persen dari kasus katarak polar posterior, terdapat rupture kapsul
posterior (PCR) kongenital. Bahkan pada hidrodiseksi normal dalam kasus –
kasus ini dapat mengakibatkan PCR yang mengarah ke nukleus drop. Pada kasus
seperti ini, diseksi tanpa hydro dan hidrodelineation digunakan. Ini dicapai dengan
menyapu spatula cyclodialisis dibawah cincin kapsul anterior hingga kutub dari
lensa berada pada semua sisi.6

Komplikasi yang mungkin muncul ketika tahap hydro antara lain :6

a. Perpisahan kantong kortikal kapsul yang tidak baik.

b. Sindrom misdirection fluid.

c. Kerusakan zonula.

d. Robekan kapsul posterior.

e. Nukleus drop.

f. Sindroma blockade kapsul.

Pelepasan kantung korteks kapsular yang kurang baik terjadi pada hidrodiseksi
yang tidak sempurna dan mengakibatkan rotasi nukleus lebih sulit terjadi.
Hidrodiseksi pada tiap kuadran untuk 360 derajat dikombinasikan dengan gaya
rotasi bimanual pada nukleus atau dengan viscodissection yang lembut dapat
mengatasi situasi ini.6

24
Fluid misdirection terjadi jika kanul hidrodiseksi tidak tepat diletakkan di dalam
iris tetapi superior pada kapsul anterior. Injeksi dari normal salin dapat melewati
hingga ke zonula kedalam vitreous body. Peningkatan secara tiba – tiba dari
volume segmen posterior dan hidrasi vitreous kemudian menyebabkan
pendangkalan dari bilik mata anterior. Keadaan yang mirip terjadi jika viscoelastic
tertinggal di dalam mata.6

Sindroma blok kapsular. Pada beberapa keadaan, lensa dapat mengambang


anterior dan tertutup dari kapsul posterior, menjebak cairan, membuat tekanan dan
robekan pada kapsul anterior dan posterior. Hal ini bisa terjadi jika capsulorhexis
terlalu kecil atau dengan hidrodiseksi yang terlalu kasar. Hal ini bisa dihindari
dengan:6

a. Membuat ukuran rhexis yang baik.

b. Hidrodiseksi yang pelan.

c. Menekan bagian tengah nukleus setelah hidrodiseksi.

d. Menekan bibir posterior dari insisi untuk melepaskan normal salin dan
viskoelastis.

2.2.1.7. Prolaps Nukleus

Satu dari beberapa langkah yang diperlukan dalam manual SICS adalah
memprolapskan dan melahirkan nukleus. Langkah- langkah ini sulit terutama
pada katarak yang sangat lembut dan pada sclerosis nuclear. Beberapa titik
penting yang perlu diketahui oleh ahli bedah sebelum melakukan prolapse nukleus
adalah :6

a. Status kornea.

b. Status pupil.

c. Densitas katarak.

d. Integritas dari zonula.

e. Ukuran tunnel (kesalahan ukuran nukleus dan tunnel).

25
Kegagalan dalam memperhatikan poin – poin di atas dan tidak membuat
pembedahan sesuai prosedur yang sesuai dapat mengakibatkan :6

a. Kerusakan endotel.

b. Iridodialisis.

c. Kerusakan iris.

d. Dialisis zonular.

e. Robekan kapsul posterior.

Kesulitan dalam memprolapskan nukleus dari kantung kedalam kapsul anterior


merupakan hal yang sering terjadi bagi ahli bedah yang baru dalam pada prosedur
ini.Pada beberapa kasus, bahkan ahli bedah berpengalaman dapat menemui
kesulitan pada fase ini. Hal itu disebabkan oleh :6

a. Prosedur hidro yang tidak sempurna. Ini dapat dihindari dengan membuat
hidrodiseksi yang benar dan dengan memasukkan hook sinskey kedalam
substansi nukleus tetapi tidak terlalu dalam yang dapat mengakibatkan
robekan kapsul posterior. Bersihkan epinukleus superficial dan korteks untuk
dapat memperoleh penglihatan yang jelas pada nukleus.

b. Capsulorhexis yang kecil dengan nukleus yang besar.

c. Sinekia diantara iris, kapsul dan massa nukleus. Pupil middilatasi perlu
mendapat perhatian dari ahli bedah akan kemungkinan terjadinya adhesi yang
yang dapat terjadi pada satu tempat atau di beberapa tempat. Penting untuk
meyakinkan bebasnya nukleus jika tidak, tarikan zonular mengacu kepada
robekan zonular, subluksasi atau dislokasi lensa.

d. Nukleus yang sangat lembut. Daripada prolapse, ahli bedah dapat menggali
korteks dan material epinuclear dengan sinskey hook, obstruksi penglihatan
dan pengurangan material yang tersedia untuk mengendalikan nukleus.

26
e. Nukleus hard brown wooden. Ini adalah katarak nuclear hipermatur berukuran
besar. Dengan konsistensi abnormal dari kapsul yang dapat terpecah – pecah
dan membuat proses capsulorhexis sulit, mengakibatkan nukleus drop dan
robekan kapsul posterior. Ini dapat dihindari dengan maneuver yang lembut,
penggunaan viscoelastic dan prolapse yang hati – hati dari polus superior
nukleus.

f. Pupil kecil. Pada pupil kecil atau konstriksi, operator dapat menggunakan
teknik bimanual untuk memprolapskan nukleus atau menggunakan strategi
pupil kecil.

2.2.1.8. Ekstraksi Lensa

Setelah nukleus di prolapskan kedalam bilik mata anterior, operator bisa


mendapatkan permasalahan dalam melahirkan lensa antara lain :6

a. Kerusakan endotel.

b. Rupturnya kapsul posterior dengan Vectis.

c. Sandwich iris dapat terjadi ketika iris pada arah jam 6 terperangkap diantara
Vectis inferior dan nukleus dibagian superior. Ini dapat terjadi jika salah
menempatkan Vectis karena sulitnya melihat posisi karena katarak yang keras.
Sebagai akibatnya, dapat terjadi dialysis inferior dan diikuti perdarahan.

Pada kasus dimana terdapat masalah, operator tidak perlu ragu untuk
memperbesar tunnel dan untuk melahirkan lesa dan perlu menempatkan satu
jahitan jika tunnel yang dibuat lebih dari 6.5 mm. Permasalahan diatas lebih
sering ditemukan pada keadaan :6

a. Tunnel kecil.

b. Tunnel irregular.

c. Hidrodiseksi yang tidak sempurna.

d. Kebocoran bilik ata anterior melalui main port dan sideport yang irregular.

27
e. Premature entry pada bilik mta anterior dengan prolapse iris menyumbat
outletnya.

f. Vitreous dalam bilik mata anterior.

2.2.1.9. Hifema

Hifema dapat disebabkan baik pada tahap awal dari pembedahan dengan insisi
sclera pada bagian posterior atau karena insisi yang dalam. Ini dapat juga terjadi
kemudian mengikuti luka pada iris terutama karena iridodialisis ketika melahirkan
lensa.6

Tindakan yang dianjurkan : Penanganan dari hifema dapat dilakukan dengan


peletakkan tunnel yang baik, penempatan Vectis yang baik sehingga diafragma
iris terjadga, dengan penggunaan viskoelastik dapat mencegah komplikasi ini.6

2.2.1.10. Trauma Pada Iris

Trauma pada iris dapat terjadi karena.6 Trauma langsung pada iris- robekan
sphincter/iridodialisis.

Robekan sfingter pupil dapat terjadi ketika :6

a. melahirkan lensa pada pupil kaku seperti pseudoexfoliation dan katarak


komplikata

b. Irigasi/aspirasi dari material korteks oleh kanula simcoe.

A. Iridodialisis.

Setelah prolapse nukleus, ketika Vectis diletakkan dibawah nukleus, jika operator
tidak berhati – hati, iris dapat terjepit diantara Vectis dan nukleus dan berakibat
pada iridodialisis6

28
Tindakan yang dianjurkan : Jika kecil misalnya kurang dari 1 jam, dapat dibiarkan
saja. Tetapi jika lebih lebar dari 1 jam, iridodialisis harus diperbaiki dengan
jahitan McCannel.6

B. Iris Prolapse.

Prolapse iris (pada premature entry) dapat mengakibatkan terjadinya hilangnya


pigmen iris, pupil yang melemah, perdarahan iris, irregularitas pupil dan mungkin
systoid macular edema.6

Tindakan yang dianjurkan :6

a. Reposisi dengan hati-hati.

b. Pembersihan korteks lebih baik dilakukan saat parasentesis.

29
c. Iridektomi perifer mungkin diperlukan.

d. Perbaikan iris (misalnya jahitan McCannel) pada kasus dengan iridodialisis


besar.

e. Menjahit tunnel pada kasus premature entry.

f. Steroid dan NSAIDs postoperative.

2.2.1.11. Miosis Intra Operasi

Penanganan berlebihan pada iris ketika melahirkan lensa atau instrumentasi


mengarah kepada konstriksi pupil. Hal ini berakibat :6

a. Sulitnya memprolapskan nukleus kedalam bilik mata anterior.

b. Ketika ekstraksi lentis, terjadi peningkatan risiko trauma iris.

c. Kesulitan dalam mengeluarkan sisa korteks dan epinukleus, kemudian terjadi


peningkatan risiko dari robekan kapsul posterior.

Tindakan yang dianjurkan : 6

a. Hindari atau kurangi manipulasi pada iris.

b. Irigasi permukaan posterior dari iris (irigasi dengan cairan yang mengandung
adrenalin).

c. Gunakan strategi pupil kecil seperti sphincterotomies multiple dan gunakan


hooks iris jika pupil konstriksi sebelum prolapse nukleus kedalam bilik mata
anterior.

2.2.1.12. Dialisis Zonul

Dialisis zonular dapat terjadi karena pembedahan sebagai akibat dari trauma yang
sudah ada atau berhubungan kelainan spesifik seperti pseudoexfoliation dan
sindrom marfan.

30
Ketika terjadi dalam operasi, dialysis zonular dapat disebabkan oleh :6

a. Traumatic kapsulotomi.

b. Manuver yang terlalu banyak pada nukleus.

c. Kejadian tak terduga keetika mengaspirasi kapsul anterior atau posterior


dengan I/A capsul.

d. Tenaga berlebihan dalam penanaman implant.

e. Hiroprosedur inadequate, oleh karena itu nukleus tidak terlepas sempurna.

f. Pembukaan rhexis kecil dengan nukleus besar yang disproportionate.

g. Gerakan buta dari nukleus yang disebabkan visualisasi yang buruk sebagai
akibat dari korteks yang longgar.

Deteksi dari robekan zonular : Jika nukleus tampak bebas dan berrotasi in the bag
tetapi tidak prolapse kedalam bilik mata depan dan menunjukkan kemiringan
kearah bawah atau ke satu sisi, operator harus mencurigai adanya dehiscence.6

Tindakan yang dianjurkan : 6

a. Konversi rhexis menjadi canopener dengan membuat potongan yang


terrelaksasi.

b. Manipulasi dengan lembut dari nukleus, perbesar ukuran tunnel untuk


membiarkan prolapse bebas dan lahirnya nukleus. Injeksikan viscoelastic
kedalam bag untuk menekan area yang terlepas dari bag ke perifer ke suklus
silier.

c. Lakukan vitrektomi jika gangguan vitreus ditemukan.

d. Jika dialysis zonular terbatas pada satu kuadran, iol yang diletakkan di
posterior chamber harus di letakkan dalam sulkus silier pada sudut yang benar
dari dialysis.

31
e. Jika dialysis zonular lebih dari dua quadran, seluruh kapsul dan korteks
sebaiknya di keluarkan, diikuti miosis dan IOL pada bilik mata anterior di
implantasikan.

2.2.1.13. Ruptur Kapsul Posterior

Robekan kapsul posterior dapat menjadi komplikasi paling signifikan yang


ditemukan oleh ahli bedah. Namun, jika robekan terjadi, penanganan yang baik
biasanya memperbolehkan prosedur yang sukses dengan penempatan yang aman
dari IOL bilik mata posterior. i

Robekan kapsul posterior dapat terjadi pada situasi dibawah ini :6

a. Hidrodiseksi yang terlalu kuat.

b. Ketika prolapse nukleus, rupture yang tidak disengaja pada kapsul posterior
dengan hook sinskey.

c. Rupture yang tidak disengaja dari kapsul posterior ketika aspirasi korteks.

d. Manipulasi berlebihan dari rotasi nukleus yang keras dengan minimal korteks
di sekitar bag, mengacu kepada terjadinya rupture capsul posterior.

Tindakan yang dianjurkan :6

a. Jangan hidrasi vitreousnya. Rendahkan botol infus dan gunakan cairan irigasi
sesedikit mungkin. jika tidak ada gangguan vitreous, blok robekan dengan
injeksi viscoelastic diatas bidang dari kapsul posterior. Korteks yang tersisa
jika ada diaspirasi dibawah viscoelastic tanpa infuse (aspirasi kering).

b. Robekan kapsul posterior dengan gangguan vitrous ditangani dengan :6

i. Tamponade dengan air, healon.

ii. Automated anterior vitrectomy.

iii. Bimanual vitrektomi (memasukkan irigasi melalui satu lubang


dan aspirasi dan vitrektomi dari lubang lain).

32
Sebagian besar pasien dengan komplikasi Robekan kapsul posterior masih
memiliki visus yang memuaskan setelah operasi dengan penanganan yang
adekuat.17

2.2.1.14. Residual Korteks

Material korteks dapat menyebabkan inflammasi postoperative, glaucoma


sekunder dan Posterior Cataract opacity. Residual kortex dapat terjadi pada 6%
dari hasil operasi mata.18 Kondisi yang membuat slit dalam mengeluarkan korteks
adalah:6

a. Pupil kecil dan kaku.

b. Kanul I/A yang cacat.

c. Tekanan vitreous positif.

d. Capsulorhexis kecil.

e. Robekan kapsul posterior.

Tindakan yang dianjurkan :

a. Hidrodiseksi yang baik harus dilakukan.

b. Semua materi korteks harus di keluarkan sebisa mungkin. Jika pengeluaran


materi korteks memiliki risiko tinggi terjadinya robekan kapsul posterior,
beberapa pecahan dapat ditinggalkan.

c. Gunakan side port untuk aspirasi korteks pada arah jam 12.

2.2.1.15. Nukleus Drop

Dislokasi posterior dari nukleus ke ruang vitreous merupakan komplikasi yang


sangat ditakutkan. Situasi ini perlu ditangani segera atau sebagai intervensi
sekunder oleh spesialis vitreoretinal.6

33
Tindakan yang dianjurkan :

a. Penanganan nukleus drop dapat dilakukan injeksi viscoelastic dibawah


nukleus dengan bantuan beberapa instrument seperti Vectis. Perlakukan ini
kemudian dikonversi kedalam limbal section routine dan nukleus
dikeluarkan.6

b. Ketika nukleus tenggelam kedalam vitreous, tidak perlu diambil. Kasus ini
harus langsung dirujuk ke ahli vitreoretinal. 6

2.2.1.16. Tekanan Positif

Salah satu keuntungan dari insisi tunnel adalah mata menjadi lebih kurang rentan
terhadap komplikasi ini. Jika ini terjadi, tunnel akan sangat membantu dalam
menangani situasi ini. Tekanan vitreous positif dapat diketahui dari displacement
anterior dari kapsul posterior dan iris menekan ruangan dalam bilik mata anterior.
Jika tidak diperiksa, ruang anterior dapat kolaps.

Meskipun tidak secara langsung berbahaya untuk mata, signifikansi dari tekanan
vitreous positif membuat pembedahan menjadi lebih sulit. Lebih sedikit ruangan
untuk maneuver di bilik mata anterior, dengan kesulitan aspirasi korteks dan
peningkatan kemungkinan prolapse iris. Bahaya dari ketidak sengajaan dalam
membaut robekan kapsul posterior lebih mudah terjadi dalam kejadian ini. Satu
langkah penting dalam menangani tekanan positif adalah dengan mengidentifikasi
penyebabnya, yang biasanya dapat dengan mudah di eliminasi. 6

Penyebab yang memungkinkan dari tekanan vitreous positif antara lain: 6

a. Speculum atau instrumenlain yang memberikan tekanan kepada bola mata.

b. Tarikan berlebihan pada jahitan bridle.

c. Blockade facial yang buruk.

d. Valsava manoeuvre (batuk atau tegang) terutama pada orang – orang dengan
leher yang pendek.

34
e. Pasien gemuk.

f. Volume besar dari solusi anestesi yang digunakan pada blockade silier.

Tindakan yang dianjurkan :6

a. Cek jahitan speculum/ bridle (tali kontrol).

b. Pastikan bahwa pasien berbaring dengan nyaman.

c. Untuk batuk, berikan antitusif sebelum operasi dilaksanakan.

d. Gunakan viscoelastic untuk membentuk bilik mata anterior.

e. Gunakan lubang side port untuk cortical clean up. Dengan tunnel yang
terkonstruksi dengan baik, ini akan cukup untuk membentuk bilik mata
anterior dan kantong kapsul.

f. Reposisi iris dengan lembut, jahit tunnel dan parasentesis.

g. Jika perdarahan choroidal dicurigai (hilangnya kilauan merah), hentikan


operasi. Pastikan semua luka tertutup sempurna dan berikan mannitol
intravena.

2.2.1.17. Perdarahan Ekspulsif

Kondisi ini jarang terjadi pada insisi tunnel. Biasanya perdarah choroidal terjadi
local dan terbatas. Namun, pada tunnel dengan posisi yang salah, dapat
memberikan komplikasi. Ini terjadi seiring dengan prolapsnya jaringan melalui
luka, hilangnya cahaya merah dan bola mata yang keras. Mata biasanya berada
dalam bahaya kebutaan karena Central retinal Artery Occlusion atau konsekuensi
dari perdarahan choroidal. Komplikasi ini lebih sedikit dibandingkan dengan
menggunakan teknik operasi extracapsular cataract extraction. 19

Tindakan yang dianjurkan, tidak perduli ditahap mana dari pembedahan,


perdarahan expulsive merupakan indikasi operasi harus dihentikan jahitan harus
dilakukan dan mannitol intravena diberikan sesuai dengan berat badan. Ketika
tekanan intraocular menurun, segmen posterior dikaji kembali.6
35
Gambar

2.2.2. Komplikasi Pascaoperasi Pada MSICS

Dalam hal pencapaian hasil operasi terbaik dalam operasi katarak, penanganan
pasca operasi yang adekuat dan penanganan komplikasi pasca operasi merupakan
hal yang sangat penting. Komplikasi pasca operasi pada MSICS hampir sama
dengan teknik operasi lain seperti fakoemulsifikasi dan ECCE.

Komplikasi segera pasca operasi :

a. Kebocoran luka / tunnel.

b. Komplikasi pada kornea (Lipatan/lepasnya membran decemet, kerusakan


endotel kornea).

c. Iritis pasca operasi.

d. Peningkatan TIO pasca operasi.

Komplikasi lanjut pasca operasi :

a. Dekompensasi kornea.

b. Uveitis.

c. Komplikasi pada kantung lensa /kapsul.

d. Malposisi IOL.

e. PCO (Posterior chamber opacification).

f. CME (Cystoid Macular Edema).

g. Endoftalmitis.

36
2.2.2.1. Komplikasi Penyembuhan Luka Pasca Operasi

Komplikasi penyembuhan luka dapat didefinisikan sebagai keadaan dimana


terbukanya kembali sebagian atau seluruhnya luka operasi. Keadaan ini sebagai
akibat kegagalan proses penyembuhan luka operasi.20

Faktor predisposisi :

a. Kauterisasi berlebihan pada sklera hingga nekrosis sklera.

b. Sobekan pada bagian atap tunnel (button holing).

c. Prematur entry.

d. Fragmen korteks atau nukleus pada tunnel.

e. Penempatan jahitan yang kurrang tepat (jika dilakukan penjahitan).

f. Peningkatan TIO pasca operasi.

g. Penyakit sistemik (kelainan kolagen vaskular).

h. Kebocoran pada luka parasintesis.

Apabila terjadi gangguan penyembuhan luka dapat menyebabkan kebocoran pada


luka, penyerapan cairan pada bleb dan prolaps iris. Apabila hal ini terjadi
penangan yang harus segera dilakukan :

a. Patching

b. Ekspolrasi luka dan lakukan penjahitan pada luka.

2.2.2.2. Komplikasi Pada Kornea

Komplikasi pada kornea merupakan komplikasi yang sangat sering terjadi,


terutama untuk dokter bedah mata yang masih pemula.

Faktor Predisposisi :

37
a. Kerusakan saat insisi kornea dan side port entry.

b. Saat memutar lensa.

c. Saat ekstraksi nukleus.

d. Penggunaan instrumen yang berlebihan seperti pada teknik phacofracture atau


phacosandwich.

e. Saat proses irigasi dan aspirasi.

Komplikasi pada kornea :

a. Edema kornea.

b. Keratopati striate.

c. Keratopati bulosa.

d. Lipatan membran decemet (tidak terdeteksi saat operasi)

e. Erosi pada epitel berkelanjutan.

Penanganan pada komplikasi kornea mengandalkan terapi medikamentosa. Pada


kasus edema kornea terapi yang perlu diberikan :

a. Topikal kortikosteroid untuk mengontrol inflamasi.

b. Sikloplegik digunakan untuk mendilatasi dan relaksasi.

c. Terapi keadaan yang dapat memperburuk kondisi seperti defek pada epitel
yang dapat menurunkan fungsi hidrasi (deturgescence of cornea) pada stroma
kornea dan kejernihan kornea.

d. Anti glaukoma dapat diberikan seperti beta bloker topikal dan sistemik
acetazolamide untuk keadaan epitheliel bedewing (deposit leukosit pada
kornea).

e. Pemberian anti osmotik apabila edema tidak dapat terkontrol dalam jangka
waktu yang lama dengan terapi diatas.

38
Dokter bedah mata sebaiknya mempertimbangkan keratoplasi apabila kondisi
tidak membaik paling tidak dalam waktu tiga bulan.

2.2.2.3. Uveitis

Faktor predisposisi :

a. Manipulasi yang berlebihan saat prosedur operasi, terutama saat prolaps


nukleus dan ekstraksi nukleus melalui tunnel.

b. Residual materi korteks.

Penaganan yang perlu diperhatikan apabila terjadi uveitis :

a. Antibiotik dan steroid topikal.

b. Sikloplegik.

c. NSAID topikal.

2.2.2.4. Peningkatan TIO Pasca Operasi

Selain faktor predisposisi yang dapat meningkatkan TIO pada umumnya,


viskoelastik yang tertinggal dalam kantung lensa dapat menyebabkan peningkatan
TIO. Peningkatan TIO transien dapat pula terjadi akibat distensi yang berlebihan
saat membentuk bilik mata depan sesaat sebelum mengakhiri operasi.

Penanganan yang diperlukan adalah dengan memberikan terapi anti glaukoma


topikal dan sistemik (bila diperlukan). Jika TIO tetap tinggi maka diperlakukan
sebagai pseudofakia glaukoma kronik baik terapi medikamentosa maupun terapi
operasi.

2.3. Keadaan Sulit Pada MSICS

39
Prosedur operasi katarak sering kali menantang meskipun operator sudah sangat
berpengalaman. Berikut kondisi yang menjadi tantangan para dokter bedah mata :

a. Katarak hipermatur

b. Katarak polatis posterior

c. Pupil yang kecil

d. Pseudoeksfoliasi

e. Katarak traumatik

f. Katarak dengan komplikasi

g. Katarak dengan subluksasi

2.3.1. Katarak Hipermatur

Pada kasus katarak hipermatur dapat terjadi kebocoran katarak (morgagnian


cataract) atau dengan nukleus keras disrtai sklerosis luas. Berikut beberapa
kesulitan yang ditemukan pada katarak hipermatur :

a. Kapsulotomi : Rhexis pada kapsul akan lebih sulit dikarenakan tidak adanya
gambaran kemerahan (red glow/red reflex) dan sulit mengidentifikasi kapsul.
Tekanan intra lentikular juga meningkatkan resiko terjadinya robekan
(runaway rhexis) pada kapsul anterior. Apabila terjadi kebocoran materi
korteks lensa selama proses kapsulotomi akan mempersulit lapangan pandang
terutama saat penekanan awal saat melakukan kapsulotomi.

b. Variasi ukuran dan tingkat kekerasan yang berbeda-beda pada katarak


hipermatur mempersulit saat proses ekstraksi lensa.

c. Fibrosis pada kapsul posterior.

Prosedur operasi disarankan :

a. Membuat potongan yang lebih besar saat membuat tunnel.

40
b. Pada Katarak Putih untuk mempermudah melihat kapsul dapat menggunakan
trypan blue yang memberikan warna pada kapsul anterior.

c. Saat penekanan atau tusukan awal pada kaspulotomi segera perluas rhexis,
(Gambar. ) Apabila ada kebocoran korteks lensa (milky white lensa cortex)
segera lakukan pencucian untuk membersihkan. Kemudian menggunakan
viscoelastiscs diinjeksi ke dalam bilik mata depan dan ke dalam kantung
kapsul. Kapsulotomi diperluas dengan menggunakan gunting vannas,
membuat lipatan dari masing-masing sisi berbentuk seperti amplop (envelope
kapsulotomi technique). Prolaps nukleus dilakukan ke bilik mata depan
dengan prosedur hidro atau dengan ekspresi visco. Ekstraksi lensa dapat
dilakukan kemudian dengan vectis untuk nukleus yang kecil atau
menggunakan teknik phacofracture atau phacosandwich.

2.3.2. Katarak Polaris Posterior

Katarak polaris posterior memiliki karateristik yang berbatas tegas, terletak di


posterior pada visual axis, densitas keputihan, dan onion whorl patterned. Dapat
terjadi kongenital (Congenital Posterior Capsular Dehiscence) pada 10-25 %
kasus. Capsular dehisence dapat terjadi pula akibat prosedur hidro dan terjadi
dislokasi nukleus ke vitreus (Gambar. ).

Evaluasi pre operasi sangatlah penting terutama saat pemeriksaan slit lamp yang
dapat menditeksi lesi berbentuk koin (CPCD). Edukasi dan informasi yang akurat
kepada pasien harus dilakukan tentang tingginya terjadi komplikasi pada kondisi
pasien.

Prosedur operasi disarankan :

a. Rhexis saat kapsulotomi berukuran 5-6 mm.

b. Jangan melakukan prosedur hidrodiseksi, gunakan cyclodialysis spatula di


bawah kapsul posterior untuk melepaskan korteks dari kapsul.

41
c. Hidrodelienasi disarankan untuk membentuk lapisan pelindung pada
epinukleus. Meskipun tidak semua kasus katarak polaris posterior memiliki
defek pada kapsul posterior, sebaiknya perlakukan dengan kondisi terburuk.

d. Setelah Hidrodelineasi nukleus sentral akan prolaps ke bilik mata depan dan
lakukan ekstraksi dengan vectis.

e. Aspirasi epinukleus dengan hati-hati.

2.3.3. Pupil Kecil

Kondisi pupil kecil meskipun pre operasi adekuat, merupakan tantangan bagi
seluruh dokter bedah mata. Kondisi ini perlu dibedakan dengan pupil yang
mengecil selama proses operasi dikarenakan manipulasi pada iris. Pupil kecil pada
kasus ini pada umumnya kaku / rigid dan memberikan tahanan meskipun
dilakukan dilatasi secara pasif menggunakan instrumen. Kondisi ini akan
mempersulit saat pemeriksaan katarak, kapsulotomi dan ekstraksi nukleus.
Berikut penyebab terjadinya pupil kecil :

a. Senile Miosis

b. Pseudoeksfoliasi

c. Terapi glaukoma (miotik)

d. Diabetes

e. Katarak pasca uveitis

f. Trauma

Prosedur operasi disarankan :

a. Midriatikum intra kameral ( adrenalin ).

b. Viskoelastik akan membantu proses dilatasi secara mekanik, melepaskan


sinekia posterior, membentuk bilik mata depan, meningkatkan visibilitas

42
apabila terjadi perdarahan, terutama setelah dilakukan iridectomy atau
sphincterectomy.

c. Peregangan secara mekanik dapat dilakukan dengan iris retraktor (hook)


berbahan silikon. Dipasangkan dan dikaitkan pada libus. Biasanya spat
digunakan hingga 4 iris retraktor. Iris retraktor dapat dilepaskan sbelum
prosedur pemasang IOL.

2.3.4. Pseudoeksfoliasi

Pada pseudoeksfoliasi resiko terjadinya komplikasi intra operasi dan pasca operasi
sangat besar. Terutama dikarenakan kelemahan pada zonula yang memungkinkan
terjadinya phacodenosis. Sleian itu pada pseudoeksfoliasi juga terjadi pupil kecil
dan kaku, endotel kornea yang tidak sehat adhesi perifer dari iridocapsular,
meningkatnya resiko ruptur kapsul posterior dan tingginya angka kejadian iritis
dan pembentukan membran fibrin. Pada beberapa kasus dapat terjadi glaukoma
pseudoeksfoliasi.

Prosedur operasi yang disarankan :

a. Penanganan pupil kecil sperti penanganan pupil kecil yang telah di bahas di
atas.

b. Kapsulotomi dilakukan secara perlahan dan hati-hati dengan manipulasi


mininmal pada zonula.

c. Prosedur ekstraksi lensa dapat menggunakan vectis jika lensa kecil atau
dengan mengunakan teknik phacofracture jika lensa besar.

d. Viscoelastic digunakan untuk melindungi endotel.

e. Pemasangan IOL pada kantung lensa atau pada sulkus tergantung pada kondisi
zonula. Hindari penggunaan IOL anterior.

2.3.5. Katarak Traumatik

43
Pada kasus trauma pemeriksaan dan penanganan sebelum tindakan operasi harus
dilakukan dengan teliti, seperti robrkan pada kornea dan sklera, subluksasi lensa,
kemungkinan benda asing, dan pemeriksaan segmen posterior menggunakan B
scan jika terjadi kekeruhan di segmen posterior. Penangan kasus trauma
bergantung pada kondisi masing-masing kasus. Pada kasus luka tembus dan umur
perlu juga dipertimbangkan ukuran dan tingkat kekerasan nukleus. Edukasi
tentang prognosis hasil pasca operasi harus diberikan secara jelas dan lengkap.

Prosedur operasi disarankan :

a. Pada kasus luka perforasi atau luka terbuka,Facial block perlu dilakukan
sebelum ciliary block.

b. Pada kasus hipertoni gunakan manitol intra vena 30 menit sebelum tindakan
operasi sesuai dosis berat badan.

c. Prosedur pemijatan bola mata merupakan kontrindikasi.

d. Apabila ada robekan pada kornea atau sklera terlebih dahuli dilakukan
penjahitan dan kedap.

e. Apabila curiga ruptur pada kapsul posterior, prosedur aspirasi pada daerah ini
dilakukan pada akhir proses secara hati-hati.

f. Viterektomi dilakukan pada setiap tahap apabila ditemukan adanya vitreus.

g. Pemasangan IOL posterior dalam kantung harus dengan pertimbangan lokasi


dan besarnya robekan pada kapsul dan yang terutama berdasarkan pengalaman
operator. Pada kasus robekan yang luas sebaiknya tidak dipasang IOL.
Pemasangan IOL sekunder dapat dilakukan tiga bulan kemudian ketika
fibrosis kapsular terjadi.

2.3.6. Katarak dengan Miopia Tinggi

Teknik MSICS terbukti aman pada kondisi miopia tinggi dengan katarak. Tetapi
mengingat tingkat kekakuan sklera yang rendah maka sebaiknya penjahitan pada
luka tunnel dilakukan untuk penutupan luka yang lebih aman

44
.

2.3.7. Katarak Pasca Uveitis

Tindakan operasi pada kasus katarak pasca uveitis harus dilakukan setelah mata
tenang dan sudah tidak terjadi reaksi inflamasi, setidaknya dilakukan 6 hingga 8
minggu setelahnya. Terapi antibiotika sitstemik dan kortikosteriod diberikan
sbelum tindakan operasi.

Prosedur operasi disarankan :

a. Sinekiolisis harus dilakukan dengan viskoelastik.

b. Cyclodialysis dengan menggunakan spatula atau gunting vannas.

c. IOL dilapisi terlebih dahulu dengan heparin untuk menurunkan reaksi


inflamasi dan presipitasi sel.

d. Pasca operasi : Berikan midriatikum kerja pendek serta steroid topikal dan
sitemik untuk mengontrol reaksi inflamasi.

2.3.8. Operasi Katarak Disertai dengan Gangguan Zonul

Zonula yang lemah merupakan penyulit dan tantangan bagi dokter bedah mata.
Dari tahapan kapsulotomi hingga aspirasi sisa vicoelastics sebelum operasi selesai
selalu memiliki resiko terjadinya robekan zonul. Komplikasi intra operasi seperti
vitreus yang bocor dan subluksasi lensa dapat terjadi. Kestabilan posisi IOL
berada tepat di tengah dan ketahanan jangka panjang juga merupakan hal yang
penting. Berikut beberapa keadaan terjadinya gangguan pada zonula :

a. Trauma

b. Pseudoeksfoliasi

c. Sindroma Marfan

d. Homosistenuria

e. Sindroma Weil-Marchesani

45
Evaluasi pre operasi mengharuskan operator untuk menditeksi dan
mengbambarkan defek pada zonul, lokasi defek pada zonul serta ada tidaknya
vitreus pada bilik mata depan.

Pada kondisi zonular dehiscence pengguanan cin-cin terbuka PPMA dengan


kedua lubang kecil di masing2 ujung (CTR/Capsular Tension Ring) dapat
membantu untuk meregangkan ekuator kapsul lensa dan menahan posisi kapsul
lensa. Tersedia dalam ukuran 10/12, 11/13, 12/14 (diameter dalam kapsul/luar
kapsul). Pada kasus mata miopik menggunakan ukuran terbesar (Gambar. ).

CTR dipersiapkan pada setiap tindakan operasi mata. Pada kasus subluksasi lensa
CTR dipasangkan dalam kaspul setelah dilakukan prosedur hidro (hidrodiseksi).
Jika dialisi zonul terditeksi slama proses operasi maka CTR dipasangkan segera
sejak terditeksi. Pemasangan CTR dapat mengguanakan injektor atau dengan
forceps yang tidak bergigi / atraumatik. Pemasangan CTR sebaiknya melalui
parasintesis dibandingkan dari tunnel. Dan pemasangan dimulai pada daerah yang
lemah. Berikut tindakan pencegahan yang perlu :

a. Saat insersi CTR harus dirasakan tanpa tahanan. Memaksakan tahanan akan
menyebabkan robekan atau jatuhnya kapsul ke dlam vitreus.

b. Jika margin pada hasil rhexis tidak dapat terlihat, CTR dipasangkan pada
sulkus siliaris.

46
c. Lapisan korteks dapat terjepit dengan adanya CTR. Bersihkan korteks
menggunakan simcoe dengan menarik korteks ke arah yang dapat tebebas
secara hati-hati.

d. Pertimbangan penggunaan IOL anterior.

e. Pasien harus diberikan informasi dan edukasi tentang kemungkinan


penggunaan jahitan IOL, CTR atau kegagalan implantasi lensa sebelum
operasi disetujui.

Prosedur operasi disarankan :

a. Anestesi peribulbar.

b. Insisi sklera harus menjauhi posisi zonul yang lemah.

c. Penggunaan viskoelastik molekul berat secukupnya pada area dialisis yang


digunakan untuk memberikan partisi antara area lisis dengan bilik mata depan.

d. Kapsulotomi dimulai pada area yang jauh dari lokasi lemah, dengan hati-hati
dan minimal menekan ke arah bawah. Ukuran rhexis harus cukup luas untuk
malekukan manipulasi lensa di tahap selanjutnya tanpa memberikan tekanan
yang besar pada zonula.

e. CTR dipasang setelah hidrodiseksi dan diletakkan dalam kapsul.

f. Apabila terdapat materi vitreus pada bilik mata depan dapat dibersihkan
dengan teknik bimanual viterektomi dan mengisi bilik mata depan
viskoelastik.

g. Saat prosedur prolaps neukleus ke anterior maka nukleus pertama yang


dikeluarkan adalah yang bersebrangan dengan posisi sbuluksasi atau sisi
lemah dari zonul.

h. Ekstraksi lensa sebaiknya meminimalkan tekanan, teknik sandwich dapat


menjadi pilihan terbaik.

i. IOL dipasangkan dalam kapsul apabila CTR sudah menyangga kapsul dengan
baik. Tetapi apabila daerah lemah meluas sebaiknya pertimbangkan

47
pemasangan IOL pada sulkus. Jika kondisi tidak memungkinkan, pemasangan
IOL sebaiknya ditunda untuk pemasangan IOL sekunder.

2.4. Konversi Pada Teknik Operasi MSICS

2.4.1. Indikasi Konversi

Terlepas dari semua kelebihan dari teknik MSICS, ada kalanya kondisi penyulit
dapat muncul saat dokter bedah mata melakukan prosedur MSCIS yang rutin
dilakukan dan mengharuskan melakukan konversi ke ECCE. Keadaan penyulit
tentunya akan dihadapi selama proses pembelajaran dan diwajibkan setiap dokter
bedah mata dapat mengatasi penyulit dan komplikasi tersebut. Kebutuhan
melakukan konversi dapat muncul secara tak terduga baik karena kesalahan teknis
pada langkah yang ditentukan atau pada dasarnya kasus yang sulit. Berikut
indikasi kapan konversi perlu dilakukan :

a. Prematur Entry

b. Pupil kecil dan kaku

c. Komplikasi pada zonula dan kapsul

d. Nukleus yang besar dan keras

2.4.1.1. Prematur Entry

48
Prematur entry mengakibatkan konstruksi luka yang tidak stabil dan dapat disertai
dengan prolaps iris. Sebagai contoh apabila terjadi sebaiknya lakukan penjahitan
pada konstruksi luka dan lanjutkan dengan prosedur ECCE dengan pemotongan
pada limbus. Dapat pula dilakukan lakukan penjahitan pada konstruksi luka
prematur dan membuat tunnel baru lebih ke anterior atau temporal.

2.4.1.2. Pupil Kecil

Kondisi pupil yang kecil dapat menjadi semakin kecil selama prosedur MSICS
disebabkan karena proses trauma pada iris dalam tiap tahapan. Kondisi ini akan
mempersulit pada proses kapsulotomi, prosedur hidro (hidrodiseksi) dan
menmindahkan nukleus ke bilik mata depan. Apabila menemukan kondisi seoerti
ini disarankan untuk melakukan konversi ke ECCE.

2.4.1.3. Komplikasi pada zonula dan kapsul

Robekan kapsul posterior dapat muncul saat melakukan pemindahan nukleus ke


bilik mata depan, ekstraksi nukleus atau saat aspirasi korteks. Komplikasi tak
terduga ini dapat disertai gangguan pada vitreus. Ketidakmampuan dan kegagalan
untuk menditeksi adanya robekan kapsul dan kegagalan memutuskan untuk
melakukan konversi dengan segera akan menyebabkan komplikasi lain berupa
jatuhnya nukleus ke kavum vitreus (nukleus drop).

Robekan pada kapsul posterior dengan gangguan pada viteus dapat muncul
terutama saat prosedur hidrasi pada katarak polaris psterior. Dan merupakan
indikasi untuk melakukan konversi ke ECCE.

Dialisis zonula dapat muncul saat proses pemindahan nukleus atau saat ekstraksi
nukleus terutama pada kasus pseudoeksfoliasi, pupil kecil dan kondisi zonul yang
lemah. Ini menyebabkan terlepasnya zonul terutama pada zonul inferior dan
merupakan indikasi dilakukanya konversi ke ECCE.

2.4.1.4. Nukleus yang besar dan keras

49
Katarak hipermatur sering kali mengecoh dan terkadamg disertai nukleus
kecoklatan yang besar. Kondisi seperti ini perlu dicurigai adanya dialisis zonul
dan kapsul yang tipis.

Pada saat menemukan katarak yang keras, meskipun sudah dilakukan pelebaran
pada tunnel. Kemungkinan untuk melakukan konversi ke ECCE pun meningkat
apabila dokter bedah mata tidak terbiasa dengan teknik phacofracture atau
phacosandwich yang diindikasikan pada beberapa kasus katarak.

Situasi nukleus yang besar dan keras sebaiknya dilakukan konversi ke ECCE
untuk menghindari kompllikasi seperti ruptur kapsul posterior dan nukleus drop.

2.4.2. Teknik Konversi

Saat melakukan tiap tahap prosedur MSICS dan menemukan indikasi untuk
melakukan konversi, segera lakukan konveri dengan memperhatikan hal-hal
berikut :

a. Pada pupil yang kecil, lakukan sphincterectomy (single atau multiple).

b. Pada pupil yang kaku disertai dengan katarak kecoklatan yang besar, lakukan
sector iridectomy untuk mempermudah ekstraksi nukleus.

c. Pada rhexis yang kecil dibandingkan dengan nukleusnya, lakukan konversi


rhexis dengan teknik canopener dan dengan menggunakan gunting vannas
lakukan potongan relaksasi rhexis pada 2 atau 3 lokasi.

d. Pada kondisi nukleus sudah di bilik mata depan dan sulit melakukan ekstraksi
lensa, lakukan pelebaran tunnel atau melakukan konversi ke pemotongan luka
hingga ke limbal (regular limbal section). Pemotongan dilakukan
menggunakan gunting kornea dari masing masing sisi tunnel hingga ke limbus
sesuai panjang yang diinginkan. Penutupan luka dilakukan dengan penjahitan
(gambar ).

Perlu diingat bahwa indikasi untuk melakukan konversi adalah relatif dan sangat
bergantung pada pengalaman dan kemampuan dokter bedah mata dalam
menangani kondisi sulit yang dihadapi selama prosedur operasi.

50
A. B.

Gambar A. Pemotongan dari tunnel hingga ke limbus; B. Penjahitan pada luka


potongan

51
BAB III
PENUTUP

Terlepas dari semua kelebihan dari teknik MSICS, ada kalanya kondisi
penyulit dapat muncul saat dokter bedah mata melakukan prosedur MSCIS yang
rutin dilakukan dan mengharuskan melakukan konversi ke ECCE.

Perlu diingat bahwa indikasi untuk melakukan konversi adalah relatif dan
sangat bergantung pada pengalaman dan kemampuan dokter bedah mata dalam
menangani kondisi sulit yang dihadapi selama prosedur operasi. Penanganan yang
sukses dari komplikasi membutuhkan kombinasi dari deteksi dini, pengetahuan
dan pengalaman. Langkah yang cepat, tenang dan penuh perhitungan merupakan
sebuah keharusan dalam menghadapi komplikasi ini.

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Chua J, Lim B, Fenwick EK, Gan AT, Tan AG, Lamoureux E, Mitchell P,
Wang JJ, Wong TY, Cheng CY. Prevalence, risk factors, and impact of
undiagnosed visually significant cataract: the Singapore Epidemiology of
Eye Diseases Study. PloS one. 2017 Jan 27;12(1):e0170804.

2. Vashist P, Talwar B, Gogoi M, Maraini G. Prevalence of cataract in older


population in India. Ophthalmology. 2011; 118(2-19):272–278.

3. Husain R, Tong L, Fong A, Cheng JF, How A. Prevalence of cataract in


rural Indonesia. Ophthalmology. 2005; 112(7):1255-62.

4. Bigyabati R, Victor R, Rajkumari B. A comparative study of the amount


of astigmatism following conventional extracapsular cataract extraction
and manual small incision cataract surgery. J. Evid. Based Med. Healthc.
2016; 3(47), 2342-2345. DOI: 10.18410/jebmh/2016/517.

5. Blumenthal M, Ashkenazi I, Assia E, Cahane M. Ophthalmic Surg,


1992;23(10):699-701.

6. Natchiar. Manual Small Incision Cataract Surgery: An alternative


technique to instrumental phacoemulsification. Second edition. India,
Thilagam Offset Printers; 2000.

7. Kongsap P. Visual outcome of manual small-incision cataract surgery:


comparison of modified Blumenthal and Ruit techniques. Int J
Ophthalmol, 2011;4(1):62-5).

8. Ruit S, Tabin GC, Nissman SA, et al. Low-cost high-volume extracapsular


cataract extraction with posterior-chamber intraocular lensa implantation
in Nepal. Ophthalmol, 1999; 106(10):1887-92.

9. Ruit S, Paudyal G, Gurung R, et al. An innovation in developing world


cataract surgery: sutureless extracapsular cataract extraction with
intraocular lensa implantation. Clin Experiment Ophthalmol, 2000;
28(4):274-9.

53
10. Signes-Soler I, Javaloy J, Munoz G, Moya T, Montalban R, Albarran C.
Safety and efficacy of the transition from extracapsular cataract extraction
to manual small incision cataract surgery in prevention of blindness
campaigns. Middle East African journal of ophthalmology. 2016
Apr;23(2):187.

11. Ruit S, Tabin G, Chang D, et al. A prospective randomized clinical trial of


phacoemulsification vs manual sutureless small-incision cataract surgery
in Nepal. Am J Ophthalmol, 2007;143:32-8.

12. Khanna RC, Kaza S, Palamaner SSG, Sangwan VS. Comparative


outcomes of manual small-incision cataract surgery and
phacoemulsification performed by ophthalmology trainees in a tertiary eye
care hospital in India: a retrospective cohort design. BMJ Open, 2012;2(5).

13. Gogate PM, Kulkarni SR, Krishnaiah S. Safety and efficacy of


phacoemulsification compared with manual small-incision cataract surgery
by a randomized controlled clinical trial: six-week results. Ophthalmol,
2005;112(5):869-74.

14. Riaz Y, de Silva SR, Evans JR. Manual small incision cataract surgery
(MSICS) with posterior chamber intraocular lensa versus
phacoemulsification with posterior chamber intraocular lensa for age-
related cataract. Cochrane Database Syst Rev, 2103;10.

15. Hemlata Yadav, Vaishali Rai. “A Study of Comparison Astigmatism


Following Manual Small Incision CataractSurgery: Superior versus
Temporal Approach”. Journal of Evolution of Medical and Dental
Sciences 2014; Vol. 3,Issue 23, June 09; Page: 6430-6434, DOI:
10.14260/jemds/2014/2759

16. Young AL, Chow PP, Jhanji V. Manual medium incision cataract surgery
with Descemet’s stripping endothelial keratoplasty: a novel triple
procedure. International scholarly research notices. 2015 Jan 12;2015.

54
17. Trinavarat A, Neerucha V. Visual outcome after cataract surgery
complicated by posterior capsule rupture. J Med Assoc Thai. 2012 Apr
1;95(Suppl 4):S30-5.

18. Bhikoo R, Vellara H, Lolokabaira S, Murray N, Sikivou B, McGhee C.


Short‐term outcomes of small incision cataract surgery provided by a
regional population in the Pacific. Clinical & Experimental
Ophthalmology. 2017 Apr 19.

19. Signes-Soler I, Javaloy J, Munoz G, Moya T, Montalban R, Albarran C.


Safety and efficacy of the transition from extracapsular cataract extraction
to manual small incision cataract surgery in prevention of blindness
campaigns. Middle East African journal of ophthalmology. 2016
Apr;23(2):187

55
56

Anda mungkin juga menyukai