Anda di halaman 1dari 14

KONJUNGTIVITIS VIRAL

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Remedial


Bagian Ilmu Penyakit Mata

Oleh:
Siti Wulansari
(4151171428)

Perceptor:
Dr. Awan Buana,dr., Sp.M., M.kes

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI


FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
CIMAHI
2020
DAFTAR ISI

JUDUL..........................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR..................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................1
1.1 Latar Belakang........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................2
2.1 Anatomi konjungtiva...............................................................................2
2.2 Histologi..................................................................................................3
2.3 Perdarahan dan persarafan......................................................................4
2.4 Konjungtivitis Viral................................................................................4
2.4.1 Definisi...........................................................................................4
2.4.2 Etiologi dan Faktor Risiko .............................................................5
2.4.3 Patofisiologi....................................................................................5
2.4.4 Epidemiologi..................................................................................6
2.4.5 Manifestasi Klinis...........................................................................6
2.4.6 Komplikasi.....................................................................................7
2.4.7 Penatalaksanaan..............................................................................8
2.4.8 Prognosis........................................................................................8
BAB III KESIMPULAN.............................................................................9
DAFTAR PUSTAKA................................................................................10
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Konjungtivitis adalah inflamasi jaringan konjungtiva yang dapat
disebabkan oleh invasi mikroorganisme, reaksi hipersensitivitas atau perubahan
degeneratif di konjungtiva. Pasien biasanya mengeluh mata merah, edema
konjungtiva dan keluar sekret berlebih. 1 Konjungtivitis disebabkan oleh mikro-
organisme (terutama virus dan bakteri atau campuran keduanya) ditularkan
melalui kontak dan udara. Terdapat beberapa bentuk konjungtivitis tertentu yang
terjadi pada kelompok usia tertentu. Pada anak, sering terjadi konjungtivitis
vernal, sedangkan konjungtivitis atopik dan alergika sering terjadi pada dewasa
muda. Sekitar 1-3% pengguna kontak lensa terkena konjungtivitis papiler dan
10% neonatus mengalami konjungtivitis dengan berbagai penyebab.
Konjungtivitis juga dapat dikelompokkan berdasarkan waktu yaitu akut
dan kronik. Pada kondisi akut, gejala terjadi hingga empat minggu, sedangkan
pada konjungtivitis kronik, gejala lebih dari empat minggu. Konjungtivitis sering
terjadi bersama atau sesudah infeksi saluran napas dan umumnya terdapat riwayat
kontak dengan pasien konjungtivitis viral. Penyebaran virus umumnya terjadi
melalui tangan, peralatan mandi yang digunakan bersama, bantal kepala yang
digunakan bersama atau kontak dengan alat pemeriksaan mata yang
terkontaminasi.1,2
Konjungtivitis viral merupakan penyakit mata merah yang paling sering
dijumpai di masyarakat dan praktik dokter sehari-hari. Pada populasi dewasa,
80% kasus konjungtivitis akut disebabkan oleh virus.1,2 Gejala konjungtivitis viral
biasanya ringan, dapat sembuh sendiri dan tidak disertai penurunan tajam
penglihatan sehingga dapat ditatalaksana di pelayanan kesehatan primer.
Meskipun demikian, terdapat kasus yang bersifat mengancam penglihatan
sehingga perlu segera dirujuk ke rumah sakit atau dokter spesialis mata untuk tata
laksana lebih lanjut.2,3 Konjungtivitis viral sangat menular sehingga pasien perlu
mendapat edukasi agar tidak menjadi sumber infeksi bagi lingkungannya.1,4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Konjungtiva


Konjungtiva merupakan membran mukosa tipis dan transparan yang
melapisi bagian anterior bola mata dan bagian dalam palpebra. Konjungtiva dibagi
tiga bagian yaitu konjungtiva palpebra, konjungtiva bulbar dan forniks.
Konjungtiva palpebra melapisi bagian dalam palpebra, dibagi lagi menjadi
tiga bagian yaitu marginal, tarsal dan orbital. Bagian marginal terletak di tepi
palpebra hingga 2mm ke dalam palpebra, bagian tarsal melekat di tarsal plate,
sedangkan bagian orbital terletak di antara konjungtiva tarsal dan forniks. Di
konjungtiva palpebra terdapat kelenjar henle dan sel goblet yang memproduksi
musin. Konjungtiva bulbar melapisi bagian anterior bola mata dan dipisahkan
dengan sklera anterior oleh jaringan episklera. Konjungtiva yang berbatasan
dengan kornea disebut limbal conjunctiva.
Di konjungtiva bulbar terdapat kelenjar manz dan sel goblet. Konjungtiva
forniks merupakan penghubung konjungtiva palpebra dengan konjungtiva bulbar.
Daerah tersebut memiliki kelenjar lakrimal aksesoris yaitu kelenjar krause dan
wolfring yang menghasilkan komponen akuos air mata.2,4

Gambar 2.1 Konjungtiva

2
2.2 Histologi
Konjungtiva terdiri atas tiga lapisan yang secara histologi berbeda, yaitu
lapisan epitelium, adenoid, dan fibrosa.
Lapisan epitelium merupakan lapisan terluar konjungtiva dengan struktur
yang bervariasi di setiap regio. Epitel konjungtiva marginal terdiri atas lima lapis
epitel gepeng berlapis dan pada konjungtiva tarsal terdiri atas dua lapis epitel
silindris dan gepeng. Konjungtiva forniks dan bulbar terdiri atas tiga lapis epitel
yaitu sel silindris, sel polihedral, dan sel kuboid, sedangkan konjungtiva limbal
terdiri atas berlapis-lapis sel gepeng.4,5
Lapisan adenoid merupakan lapisan limfoid yang berfungsi dalam respons
imun di permukaan mata. Lapisan itu disebut conjunctiva-associated lymphoid
tissue (CALT); terdiri atas limfosit dan leukosit yang dapat berinteraksi dengan
mukosa sel epitel melalui sinyal resiprokal yang dimediasi oleh growth factor,
sitokin dan neuropeptida.4,5
Lapisan fibrosa terdiri atas jaringan kolagen dan fibrosa serta pembuluh
darah dan konjungtiva. Konjungtiva palpebra diperdarahi oleh pembuluh darah
palpebra, sedangkan konjungtiva bulbar memperoleh darah dari arteri siliaris
anterior. Persarafan sensorik konjungtiva berasal dari cabang nervus kranialis V.2

Gambar 2.2 Histologi Konjungtiva

3
4

2.3 Perdarahan dan Persarafan


Konjungtiva mendapat suplai aliran darah baik mealui arteri maupun vena.
Pembuluh darah arteri yang menyuplai konjungtiva berasal dari cabang arteri
ophtalmikus, yaitu arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis. Pembuluh darah
vena umumnya mengikuti pola arteri, dimana vena konjungtiva posterior
mengaliri vena pada kelopak mata dan vena konjungtiva anterior mengaliri ciliari
anterior menuju vena ophthalmikus (Haq, 2013).
Pembuluh limfe konjungtiva tersusun di dalam lapisan superfisial dan
profundus dan bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus
limfatikus. Persarafan konjungtiva dari percabangan (oftalmik) pertama nervus 5
dengan relatif sedikit serabut nyeri (Garcia-Ferrer,2008).

2.4 Konjungtivitis Viral


2.4.1 Definisi
Konjungtivitis merupakan suatu keadaan dimana terjadi inflamasi atau
peradangan pada konjungtiva. Hal ini disebabkan karena lokasi anatomis
konjungtiva sebagai struktur terluar mata sehingga konjungtiva sangat mudah
terpapar oleh agen infeksi, baik endogen (reaksi hipersensitivitas dan autoimun)
maupun eksogen (bakteri, virus, jamur). 
Konjungtivitis viral adalah inflamasi pada jaringan konjungtiva yang
disebabkan oleh virus.

2.4.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Penyebab tersering konjungtivitis akut adalah virus. Infeksi virus tertentu
cenderung mengenai konjungtiva misalnya pharyngoconjunctival fever sedangkan
virus lainnya lebih sering menginfeksi kornea misalnya virus herpes simpleks.
Konjungtivitis virus meliputi konjungtivitis adenovirus, konjungtivitis herpes
simpleks, konjungtivitis herpes-zooster, konjungtivitis pox virus, konjungtivitis
miksovirus, konjungtivitis paramiksovirus, dan konjungtivitis arbovirus.1,2

Konjungtivitis sering terjadi bersama atau sesudah infeksi saluran napas


dan umumnya terdapat riwayat kontak dengan pasien konjungtivitis viral.
Penyebaran virus umumnya terjadi melalui tangan, peralatan mandi yang
digunakan bersama, bantal kepala yang digunakan bersama atau kontak dengan
alat pemeriksaan mata yang terkontaminasi.

2.4.3 Patofisiologi
Mikroorganisme masuk ke dalam tubuh dengan cara adhesi, evasi, dan
invasi. Adhesi adalah penempelan molekul mikroorganisme ke epitel mata yang
dimediasi oleh protein permukaan mikroorganisme. Evasi adalah upaya
mikroorganisme untuk menembus pertahanan sistem imun.2 Hampir semua
mikroorganisme hanya menginvasi bila terdapat kerusakan epitel kecuali beberapa
bakteri seperti Neissseria gonorhoeae dan Shigella spp. Pada infeksi virus, adhesi
sekaligus memfasilitasi proses invasi melalui interaksi molekul virus dengan sel
hospes seperti interaksi kapsul adenovirus dengan integrin sel hospes yang
menyebabkan proses endositosis virus oleh sel. 2 Mikroorganisme juga dapat
bertahan melewati sistem pertahanan tubuh dan bereplikasi seperti pada infeksi
HSV, virus varisela serta herpes zoster namun sebagian besar infeksi lainnya
dapat dieradikasi oleh sistem imun tubuh.2

2.4.4 Epidemiologi
Data epidemiologi menunjukkan bahwa konjungtivitis dapat ditemukan
secara global dan merupakan salah satu penyakit mata yang umum. Konjungtivitis
viral adalah penyebab utama, diikuti dengan konjungtivitis bakterial di posisi
kedua.6 
Di Amerika Serikat diperkirakan ada sekitar 6 juta kasus baru
konjungtivitis viral per tahunnya. Konjungtivitis viral dapat bersifat sporadik
maupun epidemik (misalnya di sekolah, di rumah sakit, di klinik). Adenovirus
merupakan penyebab di hampir 90% kasus konjungtivitis viral. Insidensi
konjungtivitis bakterial di Amerika Serikat adalah 135 kasus per 10.000 populasi
per tahun.6,7,8
Di Indonesia konjungtivitis masuk ke dalam 10 besar penyakit terbanyak
pada pasien rawat jalan di rumah sakit pada tahun 2009, dengan jumlah

5
6

kunjungan sebanyak 135.749. Pada tahun 2010 angka kunjungan menurun


menjadi 87.513 dengan jumlah kasus baru sebanyak 68.026 kasus.9,10

2.4.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis utama konjungtivitis virus adalah hiperemia akut,
fotofobia, mata berarir (watery discharge) serta edema pada kelopak mata. Pada
konjungtivitis virus jenis demam faringokonjungtival umumnya ditemukan
demam 38,3°C-40°C, sakit tenggorokan dan konjungtivitis folikular pada satu
atau dua mata. Folikel sering mencolok pada kedua konjungtiva dan mukosa
faring. Limfadenopati preaurikular (tidak nyeri tekan) merupakan tanda yang
khas. Konjungtivitis virus jenis ini lebih sering ditemukan pada anak-anak dan
mudah menular melalui kolam renang ber-khlor rendah, bisa unilateral maupun
bilateral.
Keratokonjungtivitis epidemika umumnya bersifat bilateral. Awalnya
hanya mengenai satu mata saja dan biasanya mata pertama yang terkena
cenderung lebih parah. Temuan klinis pada pasien ini adalah injeksi konjungtiva,
nyeri sedang, dan mata berair yang dalam 5-14 hari akan diikuti oleh fotofobia,
keratitis epitel dan kekeruhan pada subepitelialnya. Sensasi kornea normal dan
nodus preaurikular positif adalah tanda yang khas. Pada anak-anak, mungkin
terdapat gejala sistemik infeksi virus, seperti demam, sakit tenggorokan, otitis
media dan diare.
Keratokonjungtivitis virus herpes simpleks biasanya mengenai anak kecil
dan ditandai dengan injeksi unilateral, iritasi, sekret mukoid, nyeri dan fotofobia
ringan. Penyakit ini terjadi pada infeksi primer HSV atau saat episode kambuh
herpes mata, sering disertai keratitis herpes simpleks dan lesi-lesi kornea bersatu
membentuk ulkus dendritik.
Pada konjungtivitis hemoragika akut, terjadi nyeri, fotofobia, sensasi
benda asing, mata berair, kemerahan, edema palpebra hingga perdarahan
subkonjungtiva. Perdarahan yang terjadi umumnya difus, dimana pada fase awal
berupa bintik-bintik, mulai dari konjungtiva bulbaris superior dan menyebar ke
bawah. Kebanyakan pasien juga mengalami limfadenopati preaurikular, folikel
konjungtiva dan keratitis epitel.

2.4.6 Penatalaksanaan
Non Farmakologi
Bila konjungtivitis disebabkan oleh mikroorganisme, pasien harus diajari
bagaimana cara menghindari kontaminasi mata yang sehat atau mata orang lain.
Perawat dapat memberikan intruksi pada pasien untuk tidak menggosok mata
yang sakit dan kemudian menyentuh mata yang sehat, mencuci tangan setelah
setiap kali memegang mata yang sakit, dan menggunakan kain lap, handuk, dan
sapu tangan baru yang terpisah untuk membersihkan mata yang sakit.
Farmakologi
Konjungtivitis virus biasanya akan sembuh dengan sendirinya, namun
pemberian kompres dingin, air mata artifisial atau antihistamin topikal bermanfaat
untuk meredakan gejala. Terapi antiviral tidak diperlukan kecuali untuk
konjungtivitis herpetik yaitu asiklovir oral 400mg/hari untuk virus herpes
simpleks dan 800mg/hari untuk herpes zoster selama 7-10 hari. Pemberian
antibiotik topikal tidak dianjurkan karena tidak mencegah infeksi sekunder dan
dapat memperburuk gejala klinis akibat reaksi alergi dan reaksi toksik serta
tertundanya kemungkinan diagnosis penyakit mata lain. Cara pemakaian obat
tetes mata perlu diperhatikan untuk mencegah risiko penyebaran infeksi ke mata
yang sehat. Selain itu, pemakaian antibiotik yang tidak perlu berdampak terhadap
peningkatan resistensi antibiotik juga perlu dipertimbangkan.8,11

Walaupun akan sembuh sendiri, penatalaksanaan konjungtivitis virus


dapat dibantu dengan pemberian air mata buatan (tetes mata) dan kompres dingin.
Antibiotik dapat dipertimbangkan jika konjungtivitis tidak sembuh setelah 10 hari
dan diduga terdapat superinfeksi bakteri.4,8 Penggunaan deksametason 0,1%
topikal membantu mengurangi peradangan konjungtiva.12,13

7
8

2.4.7 Komplikasi
Konjungtivitis virus bisa berkembang menjadi kronis, seperti
blefarokonjungtivitis. Komplikasi lainnya bisa berupa timbulnya pseudomembran,
dan timbul parut linear halus atau parut datar, dan keterlibatan kornea serta timbul
vesikel pada kulit (Vaughan, 2010).

2.4.8 Prognosis
Prognosis konjungtivitis virus adalah baik karena akan sembuh dengan
sendirinya. Meskipun demikian untuk mencegah penularan perlu diperhatikan
kebersihan diri dan lingkungan. Bila gejala belum reda dalam 7-10 hari dan terjadi
komplikasi pada kornea sebaiknya pasien dirujuk ke dokter spesialis mata.1,6,8
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Konjungtivitis merupakan suatu keadaan dimana terjadi inflamasi atau
peradangan pada konjungtiva. Hal ini disebabkan karena lokasi anatomis
konjungtiva sebagai struktur terluar mata sehingga konjungtiva sangat mudah
terpapar oleh agen infeksi, baik endogen (reaksi hipersensitivitas dan autoimun)
maupun eksogen (bakteri, virus, jamur). 
Konjungtivitis viral adalah inflamasi pada jaringan konjungtiva yang
disebabkan oleh virus. Penyebab tersering konjungtivitis akut adalah virus. Infeksi
virus tertentu cenderung mengenai konjungtiva misalnya pharyngoconjunctival
fever sedangkan virus lainnya lebih sering menginfeksi kornea misalnya virus
herpes simpleks. Konjungtivitis virus meliputi konjungtivitis adenovirus,
konjungtivitis herpes simpleks, konjungtivitis herpes-zooster, konjungtivitis pox
virus, konjungtivitis miksovirus, konjungtivitis paramiksovirus, dan konjungtivitis
arbovirus.
Manifestasi klinis utama konjungtivitis virus adalah hiperemia akut,
fotofobia, mata berarir (watery discharge) serta edema pada kelopak mata. Pada
konjungtivitis virus jenis demam faringokonjungtival umumnya ditemukan
demam 38,3°C-40°C, sakit tenggorokan dan konjungtivitis folikular pada satu
atau dua mata. Folikel sering mencolok pada kedua konjungtiva dan mukosa
faring. Limfadenopati preaurikular (tidak nyeri tekan) merupakan tanda yang
khas. Konjungtivitis virus jenis ini lebih sering ditemukan pada anak-anak dan
mudah menular melalui kolam renang ber-khlor rendah, bisa unilateral maupun
bilateral.
Pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis konjungtivitis viral
memiliki sensitivitas 89% dan spesifisitas 94% untuk adenovirus. Tes tersebut
dapat mendeteksi virus penyebab konjungtivitis dan mencegah pemberian
antibiotik yang tidak diperlukan. Deteksi antigen dapat mencegah lebih dari satu
juta kasus penyalahgunaan antibiotik dan menghemat sampai 429 USD setiap

9
10

tahunnya. Akurasi diagnosis konjungtivitis viral tanpa pemeriksaan laboratorium


kurang dari 50% dan banyak terjadi salah diagnosis sebagai konjungtivitis bakteri.
Meskipun demikian, pemeriksaan laboratorium sangat jarang dilakukan karena
deteksi antigen belum tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Sementara
itu, kultur dari sekret konjungtiva memerlukan waktu tiga hari sehingga menunda
terapi.
Konjungtivitis virus biasanya akan sembuh dengan sendirinya, namun
pemberian kompres dingin, air mata artifisial atau antihistamin topikal bermanfaat
untuk meredakan gejala. Terapi antiviral tidak diperlukan kecuali untuk
konjungtivitis herpetik yaitu asiklovir oral 400mg/hari untuk virus herpes
simpleks dan 800mg/hari untuk herpes zoster selama 7-10 hari.
DAFTAR PUSTAKA

1. Azari AA, Barney NP. Conjunctivitis:a systemic review of diagnosis and


treatment. JAMA.2013;310(6):1721-9.

2. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. External disease and cornea. Italia:
American Academy of Ophtalmology; 2014.

3. Nari J, Allen LH, Bursztyn LLCD. Accuracy of referral diagnosis to an


emergency eye clinic. Can J Ophthalmol. 2017; article in press.

4. Tsai JC, Denniston AKO, Murray PI, Huang JJ, Aldad TS. Oxford
American handbook of ophthalmology. New York: Oxford University
Press; 2011.

5. Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. Edisi ke-4. New Delhi:


New Age International; 2007.

6. Karpecki, P. M. (2015). Kanski’s Clinical Ophthalmology : A Systematic


Approach. Optometry and Vision Science, 92(10),
e386.doi:10.1097/opx.0000000000000737

7. Scott IU, Dahl AA. Viral conjunctivitis (pink


eye). https://emedicine.medscape.com/article/1191370-overview#a4

8. Azari, A. A., & Barney, N. P. (2013). Conjunctivitis. JAMA, 310(16),


1721.doi:10.1001/jama.2013.280318

9. Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia


2009. http://www.pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/pro
fil-kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2009.pdf 

10. Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia


2010. http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-
kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2010.pdf  

11. Scherer LD, Finan C, Simancek D, Finkelstein JI, Tarini BA. Effect of
“pink eye” label on parents’ intent to use antibiotics and perceived
contagiousness. Sage journals. 2015;55(6):542-8.

11
12

12. Pinto RDP, Lira RPC, Abe RY, Zacchia RS, Felix JPF, Pereira AVF, et al.
Dexamethasone/povidone eye drops versus artificial tears for treatment of
presumed viral conjunctivitis: a randomized clinical trial. Current Eye
Research. 2014;40(9):870-7.

13. Asena L, Ozdemir ES, Burcu A, Ercan E, Colak M, Altinors DD.


Comparison of clinical outcome with different treatment regimens in acute
adenoviral keratokonjuctivitis. Eye. 2017;1:1-7.

Anda mungkin juga menyukai