BRONKOPNEUMONIA
Disusun oleh:
Pembimbing:
KABUPATEN BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan yang Maha Esa atas berkat rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah presentasi kasus mengenai “Bronkopneumonia”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam Program Internsip
Dokter Indonesia di Rumah Sakit Umum Daerah Cicalengka, Kabupaten Bandung.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
3.6 Klasifikasi.................................................................................................. 22
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR TABEL
Tabel 3.3. Pemeriksaan Fisik Yang Didapatkan Pada Kasus Pneumonia pada
Anak Berdasarkan Kelompok Usia .................................................... 20
Tabel 3.4. Klasifikasi Derajat Berat Pneumonia pada Anak Usia 2 bulan-5 tahun
............................................................................................................ 22
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
dibawah 5 tahun atau 5,5 juta disebabkan pnemonia dan berdasarkan sampel
sistem registrasi Balitbangkes tahun 2016 jumlah lebih dari 800.000 anak di
Indonesia.3,8 Penyebab utama virus pneumoni pada anak adalah Respiratory
Syncytial Virus (RSV) yang mencakup 15-40% kasus diikuti virus inflamasi A
dan B, parainfluenza, human metapneumovirus dan adenovirus.1
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
– Nama : By. Ny. SA
– Tanggal lahir / Usia : 19-04-2021 / 3 bulan
– Alamat : Cikuya, Cicalengka
– Suku bangsa : Sunda
– Jenis Kelamin : Laki-laki
– Tanggal masuk RS : 9 Juli 2021
– Tanggal pemeriksaan : 13 Juni 2021
2.2 Anamnesis
Keluhan utama : Sesak napas
Pasien lahir dari ibu P1A0 cukup bulan secara normal, langsung
menangis, BBL 2900 gr. Riwayat imunisasi dasar belum sesuai dengan
3
usianya. Riwayat ASI eksklusif (-). Pasien diberi ASI + sufor karena ASI ibu
sedikit.
Riwayat pengobatan
Keluhan pasien belum diobati sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat intake
Pasien diberikan ASI + sufor
Riwayat imunisasi
0 Bulan: Hep. B
1 Bulan: BCG + polio 0
2 Bulan: DPT 1 + polio 1
4
2.3 Pemeriksaan Fisik
Antropometri :
TB/U : z ≤ -3
5
BB/TB :2≥z≥0
Status Generalis:
6
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (2/6/2021)
Hemoglobin 9.6g/dL
Hematokrit 30%
Leukosit 5900 sel/mm3
Trombosit 453000 sel/mm3
Hitung jenis
- Basofil 0%
- Eosinofil 3%
- Neutrofil batang 0%
- Neutrofil segmen 17%
- Limfosit 73%
- Monosit 7%
Gula darah sewaktu 101mg/dL
2.6 Tatalaksana
Umum :
– Infus Kaen 1B 520ml/24 jam
– Pasang NGT
Khusus :
– Paracetamol 4x0,6ml / NGT
– Clanexy 3x150 mg iv
7
– Diet ASI 8x60ml / NGT
– Dexamethasone 2 x 0,6mg iv
8
-Nebu velutin / 2 resp / -PCT 4x0,6ml/NGT
8 jam -Diet ASI 8x30ml/NGT
-Pasang NGT
-PCT 4x0,6ml/NGT
-Diet ASI 8x15ml/NGT
12/07/2021 13/07/2021
S Sesak dan batuk Sesak dan batuk berkurang.
berkurang. Saat pagi ini Pasien tidak mengalami demam.
tidak demam, terakhir
demam kemarin malam.
O KU: CM, sakit sedang KU: CM, sakit sedang
HR: 122x/menit HR: 124x/menit
RR: 36x/menit RR: 36x/menit
S: 36,6C S: 36,6C
SpO2: 99% SpO2: 98%
9
P -Kaen 1B 520ml/24 jam -Kaen 1B 520ml/24 jam
- Clanexy 3x150mg iv -Diet ASI 8x60ml/NGT
-PCT 4x0,6ml/NGT -Dexametasone 2x0,6mg iv
-Diet ASI 8x30ml/NGT -Fisioterapi
-Clanexy 3x150mg iv
2.8 Prognosis
– Quo ad vitam: ad bonam
– Quo ad functionam: dubia ad bonam
2.9 Resume
Penderita dikeluhkan sesak napas sejak 4 hari SMRS. Keluhan sesak
napas disetai adanya suara mengorok namun tidak ada suara mengi. Tidak
kebiruan di sekitar mulut atau ujung jari tangan atau kaki. Keluhan disertai
batuk sejak 4 hari SMRS. Keluhan juga disertai demam pada 4 hari SMRS
yang tidak terlalu tinggi, siang dan malam sama. Keluhan sesak napas tidak
disertai dengan muntah, kejang, maupun penurunan kesadaran. BAB dan BAK
tidak ada keluhan.
Pasien lahir dari ibu P1A0 cukup bulan secara normal, langsung
menangis, BBL 2900 gr. Riwayat imunisasi sampai 2 bulan. Intake: ASI +
sufor. Selama masa kehamilan ibu pasien rutin kontrol ke bidan sebulan sekali
untuk mendapatkan vitamin, penambah darah, dan kalsium. Riwayat sakit
seperti batuk, pilek, demam, dan ruam kemerahan saat hamil tidak ada.
10
Riwayat terpapar zat kimia, radiasi, maupun konsumsi jamu saat hamil tidak
ada.
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
3.2 Epidemiologi
12
kesehatan Indonesia prevalensi pneumonia balita di Indonesia meningkat dari
7,6% pada tahun 2002 menjadi 11,2% pada tahun 2007. Diketahui Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 juga menunjukkan angka prevalensi
pneumonia pada balita tinggi yaitu 45 dari 100 balita. Sementara Berdasarkan
laporan WHO tahun 2017 15% dari kematian anak dibawah 5 tahun atau 5,5
juta disebabkan pnemonia dan berdasarkan sampel sistem registrasi
Balitbangkes tahun 2016 jumlah lebih dari 800.000 anak di Indonesia.3,8
Penyebab utama virus pneumoni pada anak adalah Respiratory Syncytial Virus
(RSV) yang mencakup 15-40% kasus diikuti virus inflamasi A dan B,
parainfluenza, human metapneumovirus dan adenovirus.1
- Haemopilus influenza
- Staphylococcus aureus
- Klebsiella pneumoniae
13
Tabel 3.1. Etiologi Bronkopneumonia berdasarkan Usia9
Virus
Cytomegalovirus (CMV)
Herpes simplex virus (HSV)
3 minggu - 3 Bakteri Bakteri
bulan Chamydia trachomatis Bordetella pertussis
S.pneumonia H. Influenzoe tipe B dan non-
typeable
Moraxella catarrhalis
Virus
Staphylococcus aeureus
Adenovirus U.urealyticum
Influenza virus
Parainfluenza Virus
virus1,2,3
Chytomegalovirus (CMV)
Respiratory syncytial
virus (RSV)
4 bulan – 5 Bakteri Bakteri
tahun Chlamydia Influenzaa tipe B
trachomatis M.catarrhalis
Mycoplasma Mycobacterium tuberculosis
pneumoniae Neisseria meningitis
S.pneumoniae S.aureus
Virus Virus
Adenovirus Varicella-zaster virus
Influenza virus
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Respiratory syncytial
virus (RSV)
6 tahun- 18 Bakteri Bakteri
tahun C.pneumoniae H.influenza
M.pneumoniae Legionella spesies
S.pneumaniae M.tubercolosis
S.aureus
14
Virus
Adenovirus
Epstein-Bar virus
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Refrensi : Garna, H., Nataprawira, H.2014. pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak. Universitas Padjajaran. Indonesia
15
mengaktifkan jalur komplemen yang bekerjasama dengan mediator
inflamasi untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan
permeabilitas kapiler paru yang akan menyebabkan perpindahakn eksudat
plasma ke dalam ruang interstisial sehingga terjadi pembengkakan dan
edema antra kapiler dan alveolus. Hal ini akan menghambat pertukaran
oksigen dan karbondioksida yang akan mengakibatkan penurunan saturasi
oksigen hemoglobin.
2. Stadium Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)
Lobus dan lobulus yang terkena menjadi padat dan tidak
mengandung udara, warna menjadi merah dan pada perabaan seperti
hepar. Dalam alveolus didapatkan fibrin, leukosit, neutrophil, eksudat dan
banyak sekali eritrosit dan kuman. Stadium ini berlangsung singkat.
3. Stadium Hepatisasi Kelabu (3-8 hari)
Lobus masih tetap padat dan berubah warna menjadi pucat kelabu.
Hal ini terjadi karena sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang
terinfeksi. Permukaan pleura menjadi suram karena diliputi oleh fibrin.
Alveolus terisi fibrin dan leukosit, tempat terjadi fagositosis
pneumococcus dan kapiler tidak lagi menjadi kongestif
4. Stadium Resolusi (7-11 hari)
Terjadi ketika respon imun dan inflamasi mereda, sisa-sisa sel
fibrin dan eksudasi menjadi lisis. Eksudat berkurang. Dalam alveolus
makrofag bertambah dan leukosit mengalami nekrosis serta degenerasi
lemak. Fibrin diresorbsi dan menghilang. Proses kerusakan yang terjadi
dapat dibatasi dengan pemberian anitbiotik sedini mungkin agar sistem
bronkopulmonal yang tidak terkena dapat diselamatkan.
16
Gambar 3.1. Patofisiologi & patogenesis bronkopneumonia10
3.5 Diagnosis
3.5.1 Anamnesis
Tabel 3.2. Anamnesis pada pasien bronkopneumonia11
17
tahun
Ekspirasi memanjang
Hiperinflasi dinding dada
Gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai
Tidak merespon dengan bronkodilator
Asma Riwayat wheezing berulang
Gagal Jantung Peningkatan tekanan vena jugularis
Denyut apeks jantung bergeser ke kiri
Gallop
Murmur
Ronkhi pada basal paru
Hepatomegali
Penyakit Jantung Sulit makan atau menyusu
Bawaan Sianosis
Murmur
Hepatomegali
Efusi/Empiema Bila masif terdapat tanda pendorongan organ
intratoraks
Perkusi redup
Tuberkulosis Riwayat kontak positif dengan pasien TB
dewasa
Uji tuberculin positif (210 mm, pada keadaan
imunosupresi 25 mm
Pertumbuhan buruk/kurus atau BB turun
Demam 22 minggu tanpa sebab yang jelas
Batuk kronis 23 minggu
Pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila,
inguinal yang spesifik.
Pembengkakan tulang/sendi punggung,
18
panggul, lutut, phalang
Pertusis Batuk paroksismal yang diikuti dengan whoop,
muntah, sianosis atau apneu
Bisa terjadi tanpa adanya demam
Imunisasi DPT tidak ada/tidak lengkap
Klinis baik di antara episode batuk
Benda Asing Riwayat tiba-tiba tersedak
Stridor atau distress pernapasan tiba-tiba
Wheezing atau suara pernapasan menurun
yang
bersifat fokal
Pneumotoraks Terjadi mendadak
Hipersonor pada perkusi di satu sisi dada
Pergeseran mediastinum
Referensi :WHO. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit
19
Pneumonia, yakni :
20
3.5.3 Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologis : Foto Toraks proyeksi postero-anterior (PA) atau
antero-posterior (AP) foto AP terutama dilakukan pada anak-anak
atau pasien yang kurang kooperatif. Gambaran foto toraks yang
didapatkan berupa :
Konsolidasi lobar atau segmental disertai air bronchogram
Corakan bronkovaskular bertambah
Peribronchial cuffing
Hiperaerasi
Bila berat dapat terjadi patchy consolidation karena ateletaksis
2. Laboratorium
Leukosit : >15.000 ul dengan dominasi neutrophil
Diagnosis pasti pneumonia bakterial → isolasi mikroorganisme
dari paru- paru, cairan pleura, atau darah. Pengambilan
spesimen dari paru merupakan tindakan yang sangat invasif,
sehingga tidak rutin diindikasikan dan dilakukan.
Kultur darah : dilakukan pada semua anak yang dicurigai
menderita pneumonia bakteri, pneumonia berat, pneumonia
dengan komplikasi. Hasil positif hanya didapatkan pada 10-30%
kasus
Pemeriksaan C-reactive protein : perlu dipertimbangkan pada
pneumonia dengan komplikasi dan dapat bermanfaat untuk
melihat respons antibiotik. Namun pemeriksaan ini tidak dapat
membedakan pneumonia akibat virus atau bakteri. Rapid test :
untuk mendeteksi antigen bakteri, namun spesifisitas dan
sensitivitas rendah.
21
Gambar 3.2. Konsolidasi, corakan bronkovaskular
bertambah, air bronkogram
3.6 Klasifikasi
Tabel 3.4. Klasifikasi Derajat Berat Pneumonia pada
Anak Usia 2 bulan-5 tahun9
22
≤60x/menit pada anak usia <2 bulan
≤50 x/menit pada anak usia 2-11 bulan
≤40x/menit pada anak usia 1-5 tahun
Tanpa ada tanda-tanda pneumonia berat
Tidak ada tanda pneumonia Batuk atau "flu" ;
bukan pneumonia
Referensi : WHO. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.
3.7 Tatalaksana
Berdasarkan Pedoman Kesehatan Anak WHO, tatalaksana pada
dibedakan berdasarkan klasifikasi derajatnya.
23
Pada bronkopneumonia berat diberikan oksigen dan saturasi oksigen
dipantau menggunakan pulse oxymetri. Terapi oksigen dilakukan karena
saturasi oksigen pasien pada pemeriksaan fisik didapatkan <90%. Pada terapi
oksigen pada anak, gunakan nasal prongs. Hal ini dikarenakan nasal prongs
dapat menghantarkan oksigen lebih baikp pada anak-anak. Dan pemberian
oksigen dilakukan sampai tanda hipoksia (retraksi dinding dada dan takipneu)
tidak ditemukan lagi.
1. Bayi dan anak yang mengalami hipoksia mungkin tidak tampak sianosis
2. Agitasi yang menjadi indikasi hipoksia
3. Saturasi oksigen <90% dan pada penderita dengan distress napas
24
dan pantau setelah 20 menit. Pilihan bronkodilator kerja cepat adalah dengan
salbutamol nebulisasi atau salbutamol dengan metered dose inhaler (MDI).
Tanda adanya perbaikan dengan pemberian bronkodilator kerja cepat dapat
dilihat dari berkurangnya distress naapas dan retraksi dinding dada juga
berkurang.
Pastikan pula terapi cairan pada anak, terutama pada anak yang tidak
mampu mempertahankan asupan cairan karena sesak dan kelelahan. Pantau
pula kadar elektrolit serum anak. Anjurkan pula pemberian ASI dan cairan
oral.
Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa NGT dan berikan cairan
rumatan, namun jika asupan cairan oral mencukupi maka pipa NGT tidak
diperlukan karena akan. meningkatkan resiko terjadinya pneumonia aspirasi.
Berikan pula makanan pada anak segera setelah anak bisa menelan makanan,
berikan sesuai kemampuan anak dalam menerima makanan.
Anak harus diperiksa oleh perawat paling sedikit setiap 3 jam dan
diperiksa oleh dokter minimal 1 kali per hari. Jika tidak ada komplikasi maka
keadaan klinis anak akan tampak mengalami perbaikan dalam 2 hari. Pada
prinsipnya, semua pasien pediatrik dengan gangguan fisiologis yang
membutuhkan pemantauan ketat tanda vital dan sistem organ (setidaknya
setiap <4 jam sekali) dengan prediksi akan mengalami perbaikan merupakan
kriteria untuk dirawat di PICU.
25
b Pelayanan PICU sekunder
PICU sekunder memberikan standar PICU yang tinggi dan
mendukung peran RS lain yang telah ditentukan, seperti penangan pada
pneumonia, diare, dengue, malaria, measles, sepsis bakterial yang berat,
kasus bedah, pengelolaan trauma, dan lain sebagainya. PICU mampu
memberikan tunjangan ventilasi mekanis lebih lama dan melakukan
bantuan hidup lain yang tidak terlalu kompleks.
c Pelayanan PICU tersier
Merupakan rujukan tertinggi untuk PICU. PICU tersier dapat
menyediakan perawatan pediatrik definitif yang bersifat kompleks,
progresif, berubah dengan cepat, baik bersidat medis, operatif, gangguan
traumatic, termasuk kelainan genetic/bawaan yang membutuhkan
pendekatan multidisipliner. Pelayanan yang diberikan antara lain adalah
bantuan hidup multi-sistem yang kompleks dengan jangka waktu tidak
terbatas, ventilasi mekanik, bantuan renal ekstrakorporal dan pemantauan
kardiovaskular Invasif dalam jangka panjang.
Prioritas pasien PICU:
a Pasien prioritas 1 : meliputi anak sakit kritis yang dengan terapi intensif
dapat sembuh sempurna dan dapat tumbuh dan berkembang sesuai potensi
genetiknya
b Pasien prioritas 2: meliputi anak sakit kritis dengan penyakit dasar yang
secara medis saat ini belum dapat ditanggulangi namun dengan terapi
intensif dapat menanggulangi keadaan kritis sepenuhnya, hingga anak
kembali pada keadaan sebelum dirawat di PICU
c Pasien prioritas 3 : meliputi anak sakit kritis dengan penyakit dasar yang
menyebabkan anak tidak mempunyai kontak dengan lingkungannya secara
permanen dan tidak mengalami tumbuh kembang
d Pasien prioritas 4 : meliputi anak sakit kritis dengan prognosis sangat
buruk sehingga dengan terapi intensif pun proses kematian tidak dapat
dicegah (bukan indikasi rawat PICU)
26
Sehingga, pasien ini membutuhkan ruang rawat Picu dikarenakan
harus dilakukan pemantauan baik oleh dokter dan perawat. Pasien ini juga
termasuk ke dalam pasien prioritas 1 untuk masuk ke ruang rawat PICU.
3.8 Pencegahan
1. Vaksinasi dengan vaksin DTP, campak, pneumokokus dan H.influenzae
2. Vaksin influenza untuk bayi >6 bulan dan usia remaja
3. Untuk orangtua dan pengasuh bayi <6 bulan disarankan untuk diberikan
vaksin influenza dan pertusis
3.9 Komplikasi
Jika tidak terjadi perbaikan dalam 48 jam, atau kondisi anak semakin
memburuk, kemungkinan terjadi komplikasi atau adanya diagnosis lain. Jika
memungkinkan, lakukan foto toraks ulang untuk mencari komplikasi.
1. Pneumonia stafilokokus
Terjadi perburukan klinis secara cepat walaupun sudah diterapi, ditandai
dengan adanya pneumatookel atau pneumotoraks dengan efusi pleura pada
foto toraks. Ditemukan pula kokus gram positif yang banyak pada apusan
sputum. infeksi kulit yang disertai pus/pustula mendukung diagnosis.
2. Empiema
Dapat dicurigai jika terdapat demam persisten, adanya tanda Klinis danos
toraks yang mendukung, yakni :
a Adanya pendorongan organ intratoraks jika terjadi empiema masih
b Perkusi pekak
27
c Adanya cairan pada satu atau kedua sisi dada
d Demam menetap walaupun diberikan antibiotic dan cairan pleura
menjadi keruh/purulen
Pada empiema harus dilakukan drainase, dan tatalaksana selanjutnya
bergantung pada karakteristik cairan.
28
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien tidak memiliki riwayat ASI eksklusif yang merupakan faktor risiko
terjadinya bronkopneumonia. Menurut hasil penelitian yang berjudul Pemberian
ASI untuk Mengurangi Risiko Morbiditas dan Mortalitas Pneumonia pada Anak
di Bawah Dua Tahun pada tahun 2013 oleh Laura, dkk., Pemberian ASI yang
kurang optimal meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas pneumonia di
seluruh kelompok usia. Secara khusus, kematian pneumonia lebih tinggi pada bayi
yang tidak diberi ASI eksklusif dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI
eksklusif usia 0-5 bulan.12 Faktor risiko lain yang ada pada kasus ini adalah ayah
yang merokok serta ibu pasien yang sebelumnya menderita batuk pilek. Paparan
asap rokok pada anak-anak membuat klirens mukosiliar menurun. Klirens
mukosiliar adalah mekanisme pertahanan pertama dari paru-paru yang berfungsi
sebagai pelindung lapisan lendir, lapisan cairan permukaan jalan pernapasan dan
silia pada permukaan sel silia.13
29
kekebalan lokal di dalam paru-paru, sehingga risiko terjadi pneumonia lebih
besar.14
Terapi antibiotik pada kasus ini adalah Clanexy 3x150 mg iv. Dosis co-
amoxiclav pada kasus 20-30mg/kgBB setiap 8 jam. Artinya pemberian clanexy
3x150 mg iv sudah tepat. Menurut WHO, pada penelitian, pemberian co-
amoxyclav pada kasus pneumonia lebih efektif dari pada pemberian amoxicilin.
Dengan pemberian co-amoxyclav angka kesembuhan 10x lebih banyak.15 Pasien
juga diberikan Infus Kaen 1B 520ml/24 jam. Berat badan pasien adalah 5,2 kg.
Menurut rumus Holliday segar, kebutuhan cairan anak di bawah 10 kg adalah 100
ml x BB anak/24 jam. Lalu pasien diberikan Paracetamol 4x0,6ml / NGT dengan
dosis 10-15mg/kgBB karena sebelumnya pasien mengalami demam 38,4C. Pasien
diberi Diet ASI 8x60ml / NGT. Kebutuhan kalori pasien adalah 572 kcal per hari,
jika dikonversikan sebanyak 820cc ASI/hari. Tetapi, pada kasus ini, nafsu makan
pasien berkurang sehingga pemberian ASI diberi secara bertahap. Ibu pasien juga
mengatakan bahwa ASI yang keluar hanya sedikit. Selain itu pasien juga
diberikan Dexamethasone 2 x 0,6mg iv. Penelitian menilai pemberian
dexamethasone sebagai terapi adjuvan untuk mempercepat waktu pemulihan anak
dengan pneumonia sehingga dapat mempersingkat lama rawat di rumah sakit.
Kortikosteroid merupakan inhibitor kuat dari kaskade inflamasi dan menekan
ekspresi sitokin proinflamasi, termasuk sitokin yang terlibat dalam respon
inflamasi pada pneumonia. Hal ini telah dievaluasi dalam banyak randomized
controlled trial (RCT) selama beberapa dekade.16
30
BAB V
SIMPULAN
31
DAFTAR PUSTAKA
32
literature review and meta-analysis. [internet]. 2013 [cited 12 July, 2021].
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3847465/
13. Elwany S, Ibrahim AA, Mandour Z, Talaat I. Effect of passive smoking on the
ultrastructure of the nasal mucosa in children. Laryngoscope; May 2012.
122(5):965-9.
14. Does Measles Vaccination Reduce the Risk of Acute Respiratory Infection
(ARI) and Diarrhea in Children: A Multi-Country Study? [internet]. 2016
[cited 12 July, 2021]. Available from:
https://www.researchgate.net/publication/312307285_Does_Measles_Vaccina
tion_Reduce_the_Risk_of_Acute_Respiratory_Infection_ARI_and_Diarrhea_i
n_Children_A_Multi-Country_Study
15. Revised WHO Classification and Treatment of Pneumonia in Children at
Health Facilities. [internet] 2014 [cited 12 July, 2021].Available from:
https://www.who.int/publications/i/item/9789241507813
16. Horita N, Otsuka T, Haranaga S, Namkoong H, Miki M, et al. Adjunctive
Systemic Corticosteroids for Hospitalized Community-Acquired Pneumonia.
Systematic Review and Meta-Analysis 2015 Update. Sci Rep; 2015: 5: 14061.
33