Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN TETAP

PRAKTIKUM TEKNOLOGI BIOPROSES

IDENTITAS PRAKTIKAN
Nama : Dian Firdaus
NIM : 03031281419075.
Shift/Kelompok : Senin Pagi/5.

I. JUDUL PERCOBAAN : Pembuatan Tempe.

II. TUJUAN PERCOBAAN


1. Mengetahui pengaruh kandungan air terhadap hasil tempe.
2. Mengetahui perbedaan hasil tempe dari jenis kacang yang berbeda.
3. Mengetahui kondisi operasi dalam pembuatan tempe.

III. DASAR TEORI

3.1. Tempe
Tempe dapat didefinisikan sebagai suatu massa hasil fermentasi kapang
dengan bahan baku biji-bijian yang terikat bersama oleh miselium kapang
tersebut. Tempe juga diklasifikasikan sebagai salah satu contoh produk fermentasi
kacang-kacangan dan/atau serealia yang menghasilkan protein nabati bertekstur
pengganti daging. Tempe dihasilkan dengan pemasakan dan pengupasan kedelai
serta inokulasi beberapa galur Rhizopus yang berbeda (R. oligosporus, R. oryzae,
dan R. stolonifer). Fermentasi pada tempe merupakan fermentasi kultur padat
yang melibatkan kapang, bakteri, dan juga khamir. Tempe yang baik dapat
dicirikan oleh permukaan yang ditutupi oleh miselium kapang secara merata,
kompak dan berwarna putih, antara butiran kacang dipenuhi oleh miselium dengan
ikatan yang kuat dan merata sehingga bila diiris tempe tersebut tidak hancur .
Fermentasi pada tempe merupakan jenis fermentasi yang dilakukan
untuk meningkatkan kualitas nilai gizi dan karakter pada analisa organoleptik.
Tempe di Indonesia pada umumnya terbuat dari kedelai. Tempe memiliki
beberapa keunggulan dibandingkan dengan kedelai. Isoflavon kedelai yang
dilaporkan dapat mencegah carcinoma payudara manusia dan sel kanker lambung

1
2

meningkat jumlahnya pada tempe. Komponen isoflavon pada tempe yang lain
adalah asam 3-hidroksiantranilat (HAA) yang efektif dalam mencegah
autooksidasi kedelai dan memiliki aktivitas antioksidatif yang tinggi baik di dalam
air, alkohol, maupun membran eritrosit. HAA tidak ditemukan dalam kedelai
namun diproduksi selama inkubasi Rhizopus oligosporus. Tempe sangat stabil
terhadap ketengikan. Minyak mentah yang diekstrak dengan heksana yang
dibandingkan dengan alkohol (2:1) dari tempe dilaporkan lebih stabil terhadap
oksidasi daripada minyak yang diekstrak dari kedelai.
Fermentasi tempe merombak protein menjadi asam-asam amino bebas
dan meningkatkan kadar peptida sehingga protein tempe memiliki kuantitas dan
kualitas lebih baik serta lebih mudah diserap dibandingkan protein kedelai.
Protein tempe merupakan salah satu alternatif protein hewani yang sangat
memadai. Di samping itu tempe juga dapat menghasilkan antibakteri yang tidak
dimiliki oleh kedelai. Fermentasi pada tempe juga meningkatkan kualitas dan
kuantitas zat-zat gizi kedelai asalnya antara lain vitamin B2, vitamin B12, niasin,
asam pantotenat, asam amino bebas, asam lemak bebas, fosfor, dan zat besi.
Metabolisme kapang dan bakteri selama proses fermentasi dapat
meningkatkan kandungan grup vitamin B, terutama riboflavin, niasin, vitamin B6,
dan vitamin B12. Beberapa galur Rhizopus memproduksi betakaroten sehingga
tempe yang difermentasi dengan kultur terseleksi dapat menjadi alternatif solusi di
berbagai negara-negara yang penduduknya mengalami kekurangan vitamin A.
Tempe juga mengandung ergosterol, prekursor vitamin D2, hasil aktivitas kapang
Rhizopus sp. yang tidak terdapat pada kedelai asalnya. Tempe dapat
menanggulangi anemia gizi besi dan berpotensi mencegah kanker. Tempe mampu
mencegah dan menanggulangi hiperkolesterolemia serta penyakit-penyakit yang
terkait seperti penyakit jantung dan atherosclerosis.

3.2. Teknologi Pembuatan Tempe


Teknologi pembuatan tempe, seperti halnya teknologi pembuatan
makanan tradisional lainnya, berkembang secara turun temurun, dari mulut ke
mulut dan berubah karena pengalaman. Teknologi pembuatan tempe tradisional
sangat beragam. Selain urutan dalam tahap produksi yang relatif bervariasi, pada
3

perkembangannya terjadi modifikasi pada setiap tahap produksi pada tempe.


Modifikasi tersebut antara lain dapat berupa waktu dan teknik perendaman, jenis
dan cara penambahan ragi tempe, waktu perebusan dan tambahan proses
pemanasan pada tahap lain, jenis bahan pembungkus dan cara membungkus, serta
waktu dan cara memeram. Perendaman yang dapat dilakukan dalam teknologi
pembuatan tempe tradisional ini dilakukan dengan tujuan pengasaman kedelai
secara alami. Pengasaman ini dapat dilakukan pula secara kimiawi dengan cara
perendaman atau perebusan kedelai dalam bahan pengasam.
Pembagian metode pembuatan tempe ini juga dapat dilakukan
berdasarkan cara pengupasannya yaitu metode pengupasan basah dan metode
pengupasan kering. Metode pengupasan kering dilakukan untuk produsen dan
industri tempe skala menengah dan besar, sedangkan pengrajin tempe pada skala
kecil umumnya menggunakan metode pengupasan basah. Kedelai merupakan
sumber nutrisi yang rendah biaya yang kaya protein. Nilai nutrisi kedelai dibatasi
oleh beberapa komponen antinutrisi dan komponen toksik. Perendaman,
pengupasan, dan perebusan secara efektif meningkatkan nilai nutrisi kedelai.
Pemanasan basah menghancurkan tripsin inhibitor. Pengupasan menghilangkan
kandungan tanin. Fermentasi kedelai dalam pembuatan tempe mereduksi fitat
hingga 30,7%. Kombinasi perlakuan perendaman, pengupasan, pemanasan, dan
fermentasi oleh Rhizopus Oligosporus menghilangkan hampir semua stakiosa,
yaitu oligosakarida kedelai yang sering menyebabkan flatulensi.

3.3. Cita Rasa Tempe


Fermentasi merupakan salah satu proses pembentukan cita rasa dalam
bahan makanan. Kapang Rhizopus oligosporus yang biasa digunakan dalam
pembuatan tempe memiliki kemampuan untuk tumbuh dengan pesat, dapat
menghasilkan enzim-enzim proteolitik dan lipolitik yang mengubah komponen-
komponen kedelai dan menghasilkan aroma yang khas. Salah satu faktor
penghambat kedelai sebagai makanan, khususnya untuk bangsa Barat adalah
aroma dan rasa kedelai atau beany flavor and taste. Oleh adanya aktivitas
mikroorganisme aroma kedelai diubah menjadi aroma khas tempe yang lebih
dapat diterima. Peranan fermentasi tempe dalam pembentukan cita rasanya
4

ditunjukkan dengan perubahan komponen volatilee selama fermentasi tempe baik


secara kuantitatif maupun kualitatif. Enzim yang dihasilkan kapang tempe
memacu perubahan kimia yang terjadi selama fermentasi tempe.
Komponen volatile pada kedelai yang teridentifikasi dengan jumlah yang
cukup tinggi berasal dari golongan asam karboksilat, senyawa ester alifatik,
alkohol alifatik, aldehid alifatik, terpenoid, hidrokarbon, dan beberapa senyawa
pirazin. Degradasi komponen volatile tersebut sangat berkontribusi terhadap
aroma tempe yang dihasilkan. Tempe yang segar memiliki penampakan fisik
berwarna putih bersih dan tidak memiliki aroma kacang-kacangan seperti pada
kedelai. Tempe tidak umum dikonsumsi dalam bentuk mentah melainkan dapat
dikonsumsi setelah mengalami pengolahan. Pengolahan panas yang dapat
mempengaruhi cita rasa bahan pangan melalui reaksi Maillard.
Pengolahan pada tempe tidak akan menghilangkan deskripsi rasa asam
dan pahit pada tempe. Tempe mentah dan tempe rebus tidak bergaram terdapat
dalam kelompok atribut rasa yang sama dan juga kelompok atribut aroma yang
berbeda. Tempe rebus dapat digambarkan dengan adanya atribut aroma yang sama
dengan tempe mentah tetapi dengan intensitas yang lebih rendah dan aroma pada
tempe rebus akan lebih dominan. Hasil deskripsi tempe oleh panelis terlatih dan
tidak terlatih tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.

3.4. Pengasaman Alami


Meskipun teknologi pembuatan tempe sangat beragam, ada hal-hal dasar
yang diterapkan oleh semua pengrajin, salah satunya adalah pengasaman. Di
Indonesia, pengasaman biasanya dilakukan secara alami yaitu dengan perendaman
kedelai beserta kulitnya, sehingga bakteri yang ada pada kulit kedelai tumbuh dan
menghasilkan berbagai asam seperti asam sitrat, asam laktat, dan asam asetat.
Yang penting dalam proses pengasaman ini adalah proses penurunan pH sehingga
keasaman biji kedelai dan air rendaman mencapai nilai pH 3,5-5.
Proses pembuatan tempe melibatkan tahap perebusan yang akan
mengeliminasi sebagian besar mikroorganisme, namun kemungkinan terjadinya
rekontaminasi tetap ada. Rhizopus oligosporus ini dapat menghambat sebagian
besar mikroorganisme, namun bakteri patogen tertentu masih dapat hidup apabila
5

digunakan kultur murni R. oligosporus. Bakteri asam laktat (BAL) akan


memberikan kontribusi yang penting dalam proses fermentasi dan juga dapat
menjamin keamanan tempe yang akan dihasilkan.
Selama pengasaman alami berlangsung, terjadi fermentasi asam laktat
yang menghambat pertumbuhan patogen dan mikroba pembusuk pada tempe.
Pada proses pengasaman alami ini jenis mikroorganisme yang umum ditemukan
adalah jenis-jenis bakteri pembentuk asam-asam organik yaitu bakteri dari
kelompok Enterobacillus seperti Lactobacillus sp., L. Plantarum dan sebagainya.
Lactobacillus plantarum dan BAL yang lain menghambat pertumbuhan bakteri
patogen selama fermentasi tempe dan mempunyai efek inhibisi yang lebih tinggi
pada kondisi asam. BAL yang mendominasi selama perendaman ini
meningkatkan asam-asam organik secara signifikan. Pengasaman kedelai terjadi
secara alami selama proses perendaman pada daerah tropis. Selama periode
perendaman pertumbuhan bakteri banyak berperan dan menurunkan pH hingga
mencapai nilai pH 4,5-5,3. Fungsi utama pengasaman adalah mendukung
pertumbuhan bakteri dan menghambat pertumbuhan beberapa bakteri patogen dan
pembusuk. Namun demikian, proses pengasaman alami yang dilakukan dengan
perendaman kedelai dalam air selama semalam juga dapat menurunkan zat-zat
inhibitor pertumbuhan kapang dan mempermudah pencernaan atau hidrolisis
protein kedelai pada tahap fermentasi berikutnya. Proses fermentasi pada
pengasaman alami ini penting dalam menghasilkan tempe dengan flavor, daya
cerna, nilai nutrisi atau gizi dan keawetan yang baik.
Hal lain yang mendasari pentingnya aplikasi pengasaman terhadap
kedelai yang akan digunakan dalam proses pembuatan tempe adalah karena
kapang tempe memiliki aktivitas proteolitik yang tinggi. Deaminasi yang
mengikuti hidrolisis melepaskan amonia yang akan meningkatkan nilai pH. Nilai
pH lebih dari 7,0 merupakan kondisi di mana amonia bebas terdapat dalam jumlah
yang cukup untuk membunuh kapang. Nilai pH awal yang lebih rendah
memerlukan waktu fermentasi yang lebih lama sebelum amonia dibebaskan dalam
jumlah yang cukup besar untuk membunuh kapang. Fermentasi bakteri selama
perendaman mengubah senyawa isoflavon kedelai menjadi antioksidan yang lebih
6

aktif. Proses perendaman yang panjang juga dapat memungkinkan pertumbuhan


bakteri-bakteri lain penghasil vitamin seperti vitamin B2, B6, niasin, biotin, asam
folat, asam pantotenat dan bahkan vitamin B12, vitamin dengan struktur molekul
sangat kompleks yang umumnya terdapat pada produk-produk pangan hewani dan
jarang ditemukan pada produk pangan nabati. Kemampuan BAL yang akan
memproduksi senyawa-senyawa antimikroba yang telah lama digunakan dalam
proses pengawetan pangan. Fermentasi oleh BAL mengurangi jumlah karbohidrat
yang tersedia dan menghasilkan komponen organik dengan bobot molekul rendah
yang menunjukkan aktivitas antimikroba. Asam laktat, salah satu agen inhibisi
yang dihasilkan BAL, merupakan produk akhir utama dari katabolisme
karbohidrat. Karena dari proses konversi sumber karbon ini dihasilkan setidaknya
50% asam laktat, maka grup bakteri ini dinamakan bakteri asam laktat .
Fermentasi yang melibatkan BAL (Bakteri Asam Laktat) dikarakterisasi
dengan akumulasi asam-asam organik yang menyebabkan penurunan pH.
Komponen-komponen tersebut pada umumnya berupa asam laktat, asam asetat,
dan asam propionat . Prinsip pengawetan dari fermentasi asam laktat terutama
hasil dari aktivitas antimikroba asam-asam organik yang dihasilkan selama
metabolisme BAL. Pengasaman dan efek inhibisi yang lain dari BAL menekan
mikroflora alami seperti koliform, Klebsiella pneumoniae, dan khamir sehingga
dengan demikian memperpanjang masa simpan tempe.
Fermentasi asam laktat pada dasarnya terbagi menjadi dua yaitu
homofermentasi dan heterofermentasi. Homofermentasi memproduksi asam laktat
sedangkan heterofermentasi memproduksi asam laktat, asam asetat,
karbondioksida, dan/atau etanol. Selama proses pembuatan tempe pada iklim
tropika seperti di Indonesia, heterofermentasi asam laktat berlangsung sangat
aktif. Hal ini ditandai dengan terbentuknya buih dari gas CO 2. Karbondioksida
(CO2) terbentuk sebagai hasil dari heterofermentasi BAL terhadap heksosa. Gas
CO2 memiliki efek antimikroba ganda karena selain memiliki aktivitas
antimikroba, gas CO2 juga dapat memberikan kondisi lingkungan anaerobik yang
dapat menghambat pertumbuhan mikroba aerofilik. Dalam kondisi aerobik, BAL
(Bakteri Asam Laktat) mampu membentuk hidrogen peroksida. Apabila dalam
7

media tidak tersedia heme, BAL (Bakteri Asam Laktat) tidak akan memproduksi
katalase untuk menghilangkan hidrogen peroksida dan dengan demikian
menyebabkan akumulasi hidrogen peroksida. Efek bakterisidal dari hidrogen
peroksida disebabkan oleh efek oksidasi terhadap sel bakteri, protein sel yang
memiliki grup sulfihidril, dan struktur lipid membran sel.
Asam organik utama yang ditemukan setelah tahap perendaman adalah
asam laktat yaitu sekitar 80% dari seluruh asam organik yang ditemukan dalam air
rendaman. Demikian pula setelah perendaman selama 24 jam pada suhu 30oC,
asam organik utama yang ditemukan dalam air rendaman kedelai hasil
pengasaman alami teknologi backsloping adalah asam laktat (2.1% weight/volume
air rendaman), sedangkan asam asetat (0,3% weight/volume air rendaman) dan
asam sitrat (0,5% weight/volume air rendaman) ditemukan pula dalam jumlah
lebih sedikit. Pengasaman alami dengan perendaman kedelai tidak mempengaruhi
citarasa tempe yang dihasilkan karena kapang Rhizopus dapat memproduksi
amonia dalam jumlah yang cukup untuk menetralisir asam. Proses pemasakan
dalam air (kedelai : air = 1 : 6.5) setelah perendaman untuk menurunkan
konsentrasi asam laktat dan asam asetat hingga 45% dan 51% .

3.5. Limbah Industri Tempe


Limbah pada industri pangan dapat menimbulkan masalah karena
mengandung sejumlah besar nutrisi-nutrisi sehingga dapat bertindak sebagai
sumber makanan untuk pertumbuhan mikroba. Umumnya, limbah industri pangan
tidak membahayakan bagi kesehatan masyarakat, karena tidak terlibat langsung
dalam proses perpindahan penyakit . Akan tetapi limbah pada industri pangan
dapat berperan sebagai pasokan makanan yang berlimpah bagi mikroorganisme,
yang apabila berkembang biak dengan cepat akan mereduksi oksigen terlarut
dalam air dan dapat menimbulkan bau yang tidak diinginkan.
Konsumsi kedelai yang diolah menjadi tempe di Kabupaten Bogor
sekitar 13 ton per tahun. Dari jumlah ini limbah padat yang dihasilkan sekitar 9,36
ton per tahun dan limbah cairnya diperkirakan sekitar 130 m2 per tahun. Limbah
padat berupa kulit kedelai dihasilkan pada tahap pengupasan, sedangkan limbah
cair dihasilkan pada tahap perebusan, perendaman (pengasaman alami), dan
8

pencucian. Limbah padat industri tempe telah dimanfaatkan sebagai medium


fermentasi dan makanan ternak yang baik dan ekonomis karena nilai proteinnya.
Limbah cair yang merupakan limbah utama industri tempe dibuang secara
langsung ke saluran yang ada atau ke sungai, kolam, maupun danau. Limbah cair
hasil pengasaman alami berupa air rendaman kedelai mempunyai bau yang asam
sehingga tidak jarang limbah pada produksi tempe ini menjadi sumber protes
masyarakat sekitar pabrik. Air limbah rendaman kedelai banyak mengandung
bahan organik terlarut seperti gula dan protein. Air limbah rendaman kedelai
mengandung bakteri penghasil asam laktat seperti Lactobacillus sp. dan bakteri
lain seperti bakteri pembusuk yang secara alami terdapat dalam air rendaman.
Kandungan bahan organik dan mikroorganisme dalam air limbah
rendaman kedelai meningkatkan nilai BOD (Biological Oxygen Demand) dan
menghabiskan oksigen terlarut dalam air. Apabila suplai oksigen terus menurun,
keseimbangan ekologi air terganggu bahkan dapat menyebabkan kematian ikan
dan biota perairan lainnya. Air limbah rendaman kedelai juga bersifat asam (pH
3,5-5,2), karena pada tahap perendaman terjadi proses pengasaman. Peningkatan
keasaman tersebut selain mengganggu kehidupan hewan air di sekitarnya juga
bersifat korosif dan dapat menyebabkan pengkaratan pada pipa-pipa besi.
Konsep perlindungan lingkungan yang dianut oleh industri selama ini
adalah penanganan dan pembuangan limbah yang disebut konsep End of Pipe
Treatment (EOPT). Konsep End of Pipe Treatment (EOPT) memiliki kelemahan
yaitu kebutuhan akan biaya yang tinggi dan teknologi yang canggih sehingga sulit
untuk diterapkan di industri kecil dan menengah. Kemungkinan konsep alternatif
yang lebih murah dan relatif lebih mudah yang disebut konsep teknologi produksi
bersih. Konsep teknologi produksi bersih mencegah pencemaran lingkungan sejak
pada sumber asalnya. Keberhasilan penerapan teknologi produksi bersih dapat
dicapai dengan lima jalur yaitu penerapan house keeping yang baik, modifikasi
peralatan, substitusi, bahan baku, modifikasi produk, dan inovasi teknologi.
Pengasaman secara kimiawi dapat digolongkan dalam usaha aplikasi teknologi
bersih dengan cara inovasi teknologi sebagai alternatif solusi untuk masalah
lingkungan yang ditimbulkan pengasaman alami.
9

Bahan pengasam juga memiliki keasaman yang tinggi sehingga bersifat


korosif dan dapat menyebabkan pengkaratan pada pipa-pipa besi. Namun
demikian limbah hasil pengasaman kimiawi dapat digunakan kembali sebagai
bahan pengasam untuk proses pengasaman berikutnya. Selain itu, limbah hasil
pengasaman kimiawi tidak mengandung bahan organik dan mikroorganisme
sebanyak limbah cair hasil perendaman alami. Bahan organik dan
mikroorganisme menghabiskan oksigen terlarut dalam air dan meningkatkan BOD
sehingga mengganggu kehidupan biota air.

3.6. Pengasaman Kimiawi


Keunggulan nutrisi dan sifat fungsional tempe telah menarik perhatian
dunia sehingga permintaan akan tempe di dunia internasional juga semakin
meningkat. Ketertarikan dunia internasional bersama dengan sifat tempe yang
sangat mudah rusak mendorong negara industri, seperti Jepang untuk memulai
produksi tempe di negaranya sendiri. Di negara beriklim subtropis, pengasaman
alami selama perendaman tidak selalu terjadi atau sangat lambat. Pada kondisi
suhu yang cukup dingin, fermentasi asam laktat pada umumnya kurang dapat
berjalan dengan baik, sehingga untuk mencapai pH yang diinginkan perlu
dilakukan pengasaman kimiawi dengan penambahan bahan pengasam.
Berkembangnya proses pengasaman kimiawi didasarkan pada tujuan
utama pengasaman kedelai dalam proses pembuatan tempe yaitu dapat
menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri patogen dan bakteri pembusuk dan
memberikan kondisi lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan kapang. Hal ini
dapat dicapai dengan menambahkan bahan pengasam yang merupakan bahan
tambahan pangan (BTP) yang diperbolehkan oleh peraturan.
Efek antimikroba yang asam tidak hanya diperoleh dari penurunan nilai
keasaman (pH). Aktivitas antimikroba dari asam organik ditentukan oleh nilai pH,
konstanta disosiasi (pKa) dan konsentrasi asam . Penggunaan asidulan secara
efektif tergantung pKa ataupun pH dimana 50% dari total asam akan terdisosiasi.
Pada umumnya, asam-asam organik ini memiliki konstanta disosiasi sekitar 3-5.
Oleh karena itu, asam organik yang umumnya memiliki aktivitas antimikroba
yang lebih kuat pada pH rendah daripada pH netral.
10

Asam dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu asam lipofilik dan asam
karboksilat. Asam lipofilik seperti asam asetat dan turunannya, asam propionat,
asam laktat, dan asam kaprilat merupakan komponen yang relatif nonpolar.
Komponen ini umumnya ditambahkan ke dalam bahan pangan karena properti
antimikroba yang dimilikinya. Asam karboksilat lebih polar daripada asam
lipofilik dan umumnya digunakan karena efek secondary (rasa, pengkelat ion
logam, reaksi sinergis dengan antioksidan, mengkontrol pembentukan gel pektin,
mencegah pencoklatan) daripada efek antimikrobanya.
Efek antimikroba dari asam sangat bergantung pada pH dan pada bentuk
tidak terdisosiasi asam tersebut. Bagian yang tidak terdisosiasi dari suatu molekul
dipercaya merupakan faktor yang bertanggungjawab terhadap efek antimikroba.
Bentuk terdisosiasi asam lemah, tidak dapat menembus dinding sel
mikroorganisme. Bentuk tidak terdisosiasi dari asam lemah dapat menembus
bagian dalam sel dengan cepat karena kelarutannya dalam lemak sehingga mampu
berdifusi melewati plasma membran dan berdisosiasi di dalam sel.
Asam lipofilik dalam bentuk tidak terdisosiasi dapat menembus sel
mikroba, dan pada pH intraseluler yang lebih tinggi, terdisosiasi memproduksi ion
hidrogen, dan menggangu fungsi metabolisme esensial seperti translokasi substrat
dan fosforilasi oksidatif, serta menurunkan pH intraseluler mikroba. Oleh karena
itu, penggunaan asam yang bertujuan untuk pengawetan lebih baik digunakan
pada nilai pH yang mendekati pKa. Pada suatu nilai pH, asam yang memiliki nilai
pKa tertinggi, akan memiliki bentuk tidak terdisosiasi lebih banyak dan dengan
demikian memiliki aktivitas antimikroba yang lebih tinggi.
Selama ini asam laktat merupakan pilihan yang utama sebagai bahan
pengasam dalam pembuatan tempe. Jika tidak mungkin memperoleh asam laktat,
asam cuka dapat digunakan sebagai alternatif. Jumlah asam yang ditambahkan
beragam tergantung suhu dan nilai pH akhir kedelai prefermentasi. Penggunaan
bahan pengasam menambah biaya produksi namun mempersingkat waktu
produksi tempe. Pengasaman kimiawi menguntungkan untuk produksi tempe
skala industri karena hanya membutuhkan waktu 2-3 jam bila dibandingkan
dengan cara tradisional yang membutuhkan waktu 20-30 jam.

Anda mungkin juga menyukai