Kerajaan Pajang adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai
kelanjutan Kerajaan Demak. Kompleks keraton, yang sekarang tinggal batas-batas fondasinya
saja, berada di perbatasan Kelurahan Pajang, Kota Solo dan Desa Makam haji, Karatsura,
Sukoharjo.
Arya Pangiri
Arya Pangiri adalah putra Sunan Prawoto raja keempat Demak, yang tewas dibunuh
Arya Penangsang tahun 1549. Ia kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di Jepara.
Arya Penangsang kemudian tewas oleh sayembara yang diadakan Hadiwijaya bupati
Pajang. Sejak itu, Pajang menjadi kerajaan berdaulat di mana Demak sebagai bawahannya.
Setelah dewasa, Arya Pangiri dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua Sultan
Hadiwijaya dan dijadikan sebagai bupati Demak.
Sepeninggal Sultan Hadiwijaya akhir tahun 1582 terjadi permasalahan takhta di
Pajang. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan Arya Pangiri dengan
dukungan Sunan Kudus. Alasan Sunan Kudus adalah usia Pangeran Benawa lebih muda
daripada istri Pangiri, sehingga tidak pantas menjadi raja.
Pangeran Benawa yang berhati lembut merelakan takhta Pajang dikuasai Arya Pangiri
sedangkan ia sendiri kemudian menjadi bupati Jipang Panolan (bekas negeri Arya
Penangsang).
Tokoh Sunan Kudus yang diberitakan Babad Tanah Jawi perlu dikoreksi, karena
Sunan Kudus sendiri sudah meninggal tahun 1550. Mungkin tokoh yang mendukung Arya
Pangiri tersebut adalah penggantinya, yaitu Panembahan Kudus, atau mungkin Pangeran
Kudus Arya Pangiri menjadi raja Pajang sejak awal tahun 1583 bergelar Sultan
Ngawantipura. Ia dikisahkan hanya peduli pada usaha untuk menaklukkan Mataram daripada
menciptakan kesejahteraan rakyatnya. Dia melanggar wasiat mertuanya (Hadiwijaya) supaya
tidak membenci Sutawijaya. Ia bahkan membentuk pasukan yang terdiri atas orang-orang
bayaran dari Bali, Bugis, dan Makassar untuk menyerbu Mataram.
Arya Pangiri juga berlaku tidak adil terhadap penduduk asli Pajang. Ia mendatangkan
orang-orang Demak untuk menggeser kedudukan para pejabat Pajang. Bahkan, rakyat Pajang
juga tersisih oleh kedatangan penduduk Demak. Akibatnya, banyak warga Pajang yang
berubah menjadi perampok karena kehilangan mata pencaharian. Sebagian lagi pindah ke
Jipang mengabdi pada Pangeran Benawa.
Pangeran Benawa
Pangeran Benawa adalah raja ketiga Kesultanan Pajang yang memerintah tahun 1586-
1587, bergelar Sultan Prabuwijaya. Pangeran Benawa adalah putra Sultan Hadiwijaya alias
Jaka Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak
angkat ayahnya, yang mendirikan Kesultanan Mataram.
Pangeran Benawa memiliki putri bernama Dyah Banowati yang menikah dengan Mas
Jolang putra Sutawijaya. Dyah Banowati bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian melahirkan
Sultan Agung, raja terbesar Mataram.
Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki putra bernama Pangeran Radin, yang
kelak menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan
Surakarta. Pangeran Benawa dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Ia pernah ditugasi
ayahnya untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya terhadap Pajang. Waktu itu Benawa
berangkat bersama Arya Pamalad (kakak iparnya yang menjadi adipati Tuban) dan Patih
Mancanegara.
Sutawijaya menjamu ketiga tamunya dengan pesta. Putra sulung Sutawijaya yang
bernama Raden Rangga tidak sengaja membunuh seorang prajurit Tuban, membuat Arya
Pamalad mengajak rombongan pulang.
Sesampai di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, bahwa
Mataram berniat memberontak terhadap Pajang. Sementara itu Benawa melaporkan kebaikan
Sutawijaya, bahwa terbunuhnya prajurit Tuban karena ulahnya sendiri.
Sutawijaya akhirnya terbukti memerangi Pajang tahun 1582, dan berakhir dengan
kematian Sultan Hadiwijaya. Pangeran Benawa yang seharusnya naik takhta disingkirkan
oleh kakak iparnya, yaitu Arya Pangiri adipati Demak.
Benawa kemudian menjadi adipati Jipang Panolan. Pada tahun 1586 ia bersekutu
dengan Sutawijaya untuk menurunkan Arya Pangiri dari takhta, karena kakak iparnya itu
dianggap kurang adil dalam memerintah.
Dikisahkan, Arya Pangiri hanya sibuk menyusun usaha balas dendam terhadap
Mataram. Orang-orang Demak juga berdatangan, sehingga warga asli Pajang banyak yang
tersisih. Akibatnya, penduduk Pajang sebagian menjadi penjahat karena kehilangan mata
pencaharian, dan sebagian lagi mengungsi ke Jipang.
Persekutuan Benawa dan Sutawijaya terjalin. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang
berhasil mengalahkan Pajang. Arya Pangiri dipulangkan ke Demak. Benawa menawarkan
takhta Pajang kepada Sutawijaya. Namun Sutawijaya menolaknya. Ia hanya meminta
beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram. Sejak itu, Pangeran Benawa naik takhta
menjadi raja baru di Pajang bergelar Sultan Prabuwijaya.
Aspek Politik
Arya Penangsang membuat saluran air melingkari Jipang Panolan dan dihubungkan
dengan Bengawan Solo. Karena pada sore hari air Bengawan Solo pasang maka air di
saluran juga mengalami pasang. Oleh karena itu saluran tersebut dikenal dengan nama
Bengawan Sore. Sebetulnya Arya Penangsang sudah tidak berhak mengklaim tahta Demak
kepada Sultan Hadiwijaya, karena Pajang adalah sebuah kerajaan tersendiri. Akan tetapi
dendamnya kepada putera dan mantu Sultan Trenggono belum pupus. Dia kembali mengirim
pembunuh gelap untuk membunuh Sultan Hadiwijaya, mengulangi keberhasilan pembunuhan
terhadap Sunan Prawata. Akan tetapi pembunuhan tersebut tidak berhasil.
Dikisahkan Sunan Kalijaga memohon kepada Sunan Kudus agar para sepuh, Wali
sebagai ulama dapat menempatkan diri sebagai orang tua. Tidak ikut campur dalam urusan
“rumah tangga” anak-anak. Biarkanlah Arya Penangsang dan Hadiwijaya menyelesaikan
persoalanya sendiri. Dan yang sepuh sebagai pengamat. Sunattulah akan berlaku bagi mereka
berdua, ‘Sing becik ketitik sing ala ketara’. Wali lebih baik mensyi’arkan agama tanpa
menggunakan kekuasaan. Biarkanlah urusan tata negara dilakukan oleh ahlinya masing-
masing. Wali adalah ahli da’wah bukan ahli tata negara. Jangan sampai para Wali terpecah
belah karena berpihak kepada salah satu diantara mereka. Apa kata rakyat jelata, jika melihat
para Wali ‘udreg-udregan’, sibuk berkelahi sendiri.
Hampir semua Guru menyampaikan: “Setelah tidak ada aku nanti, mungkin pentolan-
pentolan kelompokku sudah tidak punya ‘clash of vision’, tetapi mereka tetap punya ‘clash of
minds’, ‘clash of egoes’, mereka merasa bahwa tindakan yang dipilihnya benar menurut
pemahamannya, dan kalian akan melihat banyaknya aliran muncul”. seandainya Guru masih
hidup maka kebenaran dapat ditanyakan dan tidak akan ada permasalahan. Mereka yang gila
kekuasaan menggunakan pemahaman terhadap wasiat Guru sebagai alat untuk membangun
kekuasaan. Yang terjadi bukan perang berdasarkan perbedaan keyakinan, tetapi perebutan
kekuasaan menggunakan perbedaan pemahaman atau keyakinan sebagai alat yang ampuh.
Dikisahkan Sunan Kudus sebagai Guru Sultan Hadiwijaya, mengundang Sultan untuk
datang ke Kudus untuk mendinginkan suasana. Pada saat itu terjadi perang mulut antara Arya
Penangsang dan Sultan Hadiwijaya dan mereka saling menghunus keris. Konon Sunan Kudus
berteriak: “Apa-apaan kalian! Penangsang cepat sarungkan senjatamu, dan masalahmu akan
selesai!” Arya Penangsang patuh dan menyarungkan keris ‘Setan Kober’nya. Setelah
pertemuan usai, konon Sunan Kudus menyayangkan Arya Penangsang, maksud Sunan Kudus
adalah menyarungkan keris ke tubuh Sultan Hadiwijaya dan masalah akan selesai.
Akhirnya Arya Penangsang dengan kuda ‘Gagak Rimang’nya dipancing dengan kuda
betina Sutawijaya yang berada di luar Bengawan Sore atas saran penasehat Ki Gede
Pemanahan dan ki Penjawi. Dan, Arya Penangsang menaiki ‘Gagak Rimang’ yang
bersemangat menyeberangi Bengawan Sore. Begitu berada di luar Bengawan Sore kesaktian
Arya Penangsang berkurang yang akhirnya dia dapat terbunuh. Atas jasanya Ki Penjawi
diberi tanah di Pati dan Ki Gede Pemanahan diberi tanah di Mentaok, Mataram. Sutawijaya
adalah putra Ki Gede Pemanahan dan merupakan putra angkat Sultan Hadiwijaya sebelum
putra kandungnya, Pangeran Benawa lahir. Sutawijaya konon dikawinkan dengan putri
Sultan sehingga Sutawijaya yang akhirnya menjadi Sultan Pertama Mataram yang bergelar
Panembahan Senopati, anak keturunannya masih berdarah Raja Majapahit.