Anda di halaman 1dari 52

AKUT MIOKARD INFARK

DI SUSUN OLEH

NAMA : TANIA HARTATI RAHMAN

NIM : 093STYC17

KELAS : A2 TK II/ 3

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM PROGRAM
STUDI ILMU KEPERAWATAN JENJANG S1
MATARAM
2018
1. Pengertian

Infark miocardium mengacu pada proses rusaknya jaringan jantung akibat


suplai darah yang tidak adekuat sehingga aliran darah koroner berkurang.
(Bruner & Sudarth, 2002).

Infark miokard akut adalah suatu keadaan nekrosis otot jantung akibat
ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen yang terjadi secara
mendadak. Penyebab paling sering adalah adanya sumbatan koroner. Sehingga
terjadi gangguan aliran darah yang diawali dengan hipoksia miokard,
(Setianto,et.al.,2003).

Infark Miokard Akut adalah penyakit jantung yang disebabkan oleh karena
sumbatan arteri koroner (Hudak & Gallo;1997). Sumbatan akut terjadi oleh
karena adanya aterosklerotik pada dindng arteri koroner, sehingga menyumbat
aliran darah ke jaringan otot jantung. Aterosklerotik adalah suatu penyakit pada
arteri-arteri besar dan sedang dimana lesi lemak yang disebut Plak Ateromatosa
timbul pada permukaan dalam dinding arteri. Sehingga mempersempit bahkan
menyumbat suplai aliran darah ke arteri bagian distal (Hudak & Gallo;1997)

Infark Miokard Akut (AMI) adalah nekrosis miokard akibat aliran darah
ke otot jantung terganggu (S. Harun, Ilmu Penyakit dalam edisi ketiga FK UI,
hal 1098).

2. Etiologi

Intinya AMI terjadi jika suplai oksigen yang tidak sesuai dengan
kebutuhan tidak tertangani dengan bak sehingga menyebabkan kematian sel-sel
jantung tersebut. Beberapa hal yang menimbulkan gangguan oksigenasi
tersebut diantaranya :

a. Berkurangnya suplai oksigen ke miokard.


Menurunnya suplai oksigen disebabkan oleh tiga faktor, antara lain :
1) Faktor pembuluh darah
Hal ini berkaitan dengan kepatenan pembuluh darah sebagai jalan darah
mencapai sel-sel jantung. Beberapa hal yang bisa mengganggu
kepatenan pembuluh darah diantaranya : atherosclerosis, spasme, dan
arteritis.
Spasme pembuluh darah bisa juga terjadi pada orang yang tidak
memiliki riwayat penyakit jantung sebelumnya, dan biasanya
dihubungkan dengan beberapa hal antara lain :
a) Mengkonsumsi obat-obatan tertentu
b) Stress emosional atau nyeri
c) Terpapar suhu dingin yang ekstrim
d) Merokok
2) Faktor Sirkulasi
Sirkulasi berkaitan dengan kelancaran peredaran darah dari jantung
keseluruh tubuh sampai kembali lagi ke jantung. Sehingga hal ini tidak
akan lepas dari faktor pemompaan dan volume darah yang dipompakan.
Kondisi yang menyebabkan gangguan pada sirkulasi diantaranya
kondisi hipotensi. Stenosis maupun isufisiensi yang terjadi pada katup-
katup jantung (aorta, mitrlalis, maupun trikuspidalis) menyebabkan
menurunnya Cardiac Out Put (COP). Penurunan COP yang dikuti oleh
penurunan sirkulasi menyebabkan beberapa bagian tubuh tidak tersuplai
darah dengan adekuat, termasuk dalam hal ini otot jantung.
3) Faktor Darah
Darah merupakan pengankut oksigen menuju seluruh bagian tubuh. Jika
daya angkut darah berkurang, maka sebagus apapun jalan (pembuluh
darah) dan pemompaan jantung maka hal tersebut tidak cukup
membantu. Hal-hal yang menyebabkan terganggunya daya angkut darah
antara lain : anemia, hipoksemia dan polisitemia.
b. Meningkatnya kebutuhan oksigen tubuh
Pada orang normal meningkatnya kebitihan oksigen mampu dikompensasi
diantaranya dengan meningkatkan denyut jantung untuk meningkatkan
COP. Akan tetapi jika orang tersebut telah mengidap penyakit jantung,
mekanisme kompensasi justru pada akhirnya makin memperberat
kondisinya karena kebutuhan oksigen semakin meningkat, sedangkan
suplai oksigen tidak bertambah.
Oleh karena itu segala aktivitas yang menyebabkan meningkatnya
kebutuhan oksigen akan memicu terjadinya infark. Misalnya : aktivitas
berlebih, emosi, makan terlalu banyak dan lain-lain. Hipertropi niokard
bisa memicu terjadinya infark karena semakin banyak sel yang harus
disuplai oksigen, sedangkan asupan oksigen menurun akibat dari
pemompaan yang tidak efektive.
3. Faktor Risiko
Secara garis besar terdapat dua jenis faktor risiko bagi setiap orang
untuk terkena AMI, yaitu faktor risiko yang bisa dimodifikasi dan faktor risiko
yang tidak bisa dimodifikasi.
a. Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi
Merupakan faktor risiko yang bisa dikendalikan sehingga dapat intervensi
tertentu maka bisa dihilangkan. Yang termasuk dalam kelompok ini
diantaranya :
1) Merokok
Peran rokok dalam penyakit jantung koroner ini antara lain :
menimbulkan aterosklerosis, peningkatan trombogenesis dan
vasokontriksi, peningkatan tekanan darah, pemicu aritmia jantung,
meningkatkan kebutuhan oksigen jantung, dan penurunan kapasitas
pengangkutan oksigen. Merokok 20 batang rokok atau lebih dalam
sehari bisa meningkatkan risiko 2-3 kali disbanding yang tidak
merokok.
2) Konsumsi alkohol
Meskipun ada dasar teori mengenai efek protektif alkohol dosis rendah
hingga moderat, dimana ia bisa meningkatkan trombolisis endogen,
mengurangi adhesi platelet, dan meningkatkan kadar HDL dalam
sirkulasi, akan tetapi semuanya masih controlversial. Tidak semua
literature mendukung konsep ini, bahkan peningkatan dosis alkohol
dikaitkan dengan peningkatan mortalitas cardiovaskular karena aritmia,
hipertensi sistemik dan kardiomiopati dilatasi.
3) Infeksi
Infeksi Chlamydia pneumoniae, organisme gram negative intraseluler
dan penyebab umum penyakit saluran pernafasan, tampaknya
berhubungan dengan penyakit koroner aterosklerotik.
4) Hipertensi sistemik
Hipertensi sistemik menyebabkan meningkatnya after load yang secara
tidak langsung akan meningkatkan beban kerja jantung. Kondisi seperti
ini akan memicu hipertropi ventrikel kiri sebagai kompensasi dari
meningkatnya after load yang pada akhirnya meningkatkan kebutuhan
oksigen jantung.
5) Obesitas
Terdapat hubungan yang erat antara berat badan, penngkatan tekanan
darah, peningkatan kolesterol darah, DM tidak tergantung insulin, dan
tingkat aktivitas yang rendah.
6) Kurang olahraga
Aktivitas aerobic yang tidak teratur akan menurunkan risiko terkena
penyakit jantung koroner, yaitu sebesar 20-40%.
7) Penyakit Diabetes
Risiko terjadinya penyakit jantung koroner pada pasien dengan DM
sebesar 2-4 lebih tinggi dibandngkan orang biasa. Hal ini berkaitan
adanya abnormalitas metabolisme lipid, obesitas, hipertensi sistemik,
peningkatan trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi platelet dan
peningkatan trombogenesis).
b. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi
Merupakan faktor risiko yang tidak bisa dirubah atau dikendalikan, yaitu
diantaranya :
1) Usia
Risiko meningkat pada pria diatas 45 tahun dan wanita diatas 55 tahun
(umumnya setelah menopause)
2) Jenis kelamin
Morbiditas akibat penyakit jantung koroner (PJK) pada laki-laki dua
kali lebih besar dibandingkan pada perempuan, hal ini berkaitan dengan
estrogen endogen yang bersifat protective pada perempuan. Hal ini
terbukti insidensi PJK maningkat dengan cepat dan akhirnya setara
dengan laki pada wanita setelah masa menopause.
3) Riwayat keluarga
Riwayat anggota keluarga sedarah yang mengalami PJK sebelum usia
70 tahun merupakan faktor risiko independent untuk terjadinya PJK.
Agregasi PJK keluarga menandakan adanya predisposisi genetik pada
keadaan ini. Terdapat bukti bahwa riwayat positif pada keluarga
mempengaruhi onset penderita PJK pada keluarga dekat.
4) RAS
Insidensi kematian akibat PJK pada orang Asia yang tinggal di Inggris
lebih tinggi dbandingkan dengan penduduk lokal, sedangkan angka
yang rendah terdapat pada RAS apro-karibia.
5) Geografi
Tingkat kematian akibat PJK lebih tinggi di Irlandia Utara, Skotlandia,
dan bagian Inggris Utara dan dapat merefleksikan perbedaan diet,
kemurnian air, merokok, struktur sosio-ekonomi, dan kehidupan urban.
6) Tipe kepribadian
Tipe kepribadian yang memiliki sifat agresif, kompetitif, kasar, sinis,
gila hormat, ambisius, dan gampang marah sangat rentan untuk terkena
PJK. Terdapat hubungan antara stress dengan abnormalitas
metabolisme lipid.
7) Kelas sosial
Tingkat kematian akibat PJK tiga kali lebih tinggi pada pekerja kasar
laki-laki terlatih dibandingkan dengan kelompok pekerja profesi (misal
dokter, pengacara dll). Selain itu frekuensi istri pekerja kasar ternyata 2
kali lebih besar untuk mengalami kematian dini akibat PJK
dibandingkan istri pekerja profesional/non-manual.
4. Patofisiologi
AMI terjadi ketika iskemia yang terjadi berlangsung cukup lama yaitu
lebih dari 30-45 menit sehingga menyebabkan kerusakan seluler yang
irreversibel. Bagian jantung yang terkena infark akan berhenti berkontraksi
selamanya.
Iskemia yang terjadi paling banyak disebabkan oleh penyakit arteri
koroner/ coronary artery disease (CAD). Pada penyakit ini terdapat materi
lemak (plaque) yang telah terbentuk dalam beberapa tahun di dalam lumen
arteri koronaria (arteri yang mensuplay darah dan oksigen pada jantung).
Plaque dapat rupture sehingga menyebabkan terbentuknya bekuan darah pada
permukaan plaque. Jika bekuan menjadi cukup besar, maka bisa menghambat
aliran darah baik total maupun sebagian pada arteri koroner.
Terbendungnya aliran darah menghambat darah yang kaya oksigen
mencapai bagian otot jantung yang disuplai oleh arteri tersebut. Kurangnya
oksigen akan merusak otot jantung. Jika sumbatan itu tidak ditangani dengan
cepat, otot jantung yang rusak itu akan mulai mati. Selain disebabkan oleh
terbentuknya sumbatan oleh plaque ternyata infark juga bisa terjadi pada orang
dengan arteri koroner normal (5%). Diasumsikan bahwa spasme arteri koroner
berperan dalam beberapa kasus ini.
Spasme yang terjadi bisa dipicu oleh beberapa hal antara lain :
mengkonsumsi obat-obatan tertentu, stress emosional, merokok, dan paparan
suhu dingin yang ekstrim. Spasme bisa terjadi pada pembuluh darah yang
mengalami aterosklerotik sehingga bisa menimbulkan oklusi kritis sehingga
bisa menimbulkan infark jika terlambat dalam penanganannya.
Letak infark ditentukan juga oleh letak sumbatan arteri koroner yang
mensuplai darah ke jantung. Terdapat dua arteri koroner besar yaitu arteri
koroner kanan dan kiri. Kemudian arteri koroner kiri bercabang menjadi dua
yaitu Desenden Anterior dan arteri sirkumpeks kiri. Arteri koronaria Desenden
Anteior kiri berjalan melalui bawah anterior dinding ke arah afeks jantung.
Bagian ini menyuplai aliran dua pertiga dari septum intraventrikel, sebagian
besar apeks, dan ventrikel kiri anterior.
Sedangkan cabang sirkumpleks kiri berjalan dari koroner kiri kearah
dinding lateral kiri dan ventrikel kiri. Daerah yang disuplai meliputi atrium kiri,
seluruh dinding posterior, dan sepertiga septum intraventrikel posterior.
Selanjutnya srteri koroner berjalan dari aorta sisi kanan arteri pulmonal kearah
dinding lateral kanan sampai ke posterior janting. Bagian jantung yang disuplai
meliputi : atrium kanan, ventrikel kanan, nodus SA, nodus AV, septum
interventrikel posterior superior, bagian atrium kiri, dan permukaan
diafragmatik ventrikel kiri.
Berdasarkan hal di atas maka dapat diketahui jika infark anterior
kemungkinan disebabkan gangguan pada cabang desenden anterior kiri,
sedangkan infark inferior bisa disebabkan oleh lesi pada arteri koroner kanan.
Berdasarkan ketebalan dinding otot jantung yang terkena maka infark
bisa dibedakan menjadi infark transmural dan subendokardial. Kerusakan pada
seluruh lapisan miokardium disebut infark transmural, sedangkan jika hanya
mengenai lapisan bagian dalam saja disebut infark subendokardial. Infark
miokardium akan mengurangi fungsi ventrikel karena otot yang nekrosis akan
kehilangan daya kontraksinya begitupun otot yang mengalami iskemi
(disekeliling daerah infark). Secara fungsional infark miokardium
menyebabkan perubahan-perubahan sebagai berikut.
a. Daya kontraksi menurun
b. Gerakan dinding abnormal (daerah yang terkena infark akan menonjol
keluar saat yang lain melakukan kontraksi)
c. Perubahan daya kembang dinding ventrikel
d. Penurunan volume sekuncup
e. Penurunan fraksi ejeks.

Gangguan fungsional yang terjadi tergantung pada beberapa faktor di


bawah ini :

a. Ukuran infark, jika mencapai 40% bisa menyebabkan syok kardiogenik


b. Lokasi infark, dinding anterior mengurangi fungsi mekanik jantung
lebih besar dibandingkan jika terjadi pada bagian inferior
c. Sirkulasi kolateral, berkembang sebagai respon terhadap iskemi kronik
dan hiperferfusi regional untuk memperbaiki aliran darah yang menuju
miokardium. Sehingga semakin banyak sirkulasi kolateral, maka
gangguan yang terjadi minimal.
d. Mekanisme kompensasi, bertujuan untuk mempertahankan curah
jantung dan perfusi perifer. Gangguan akan mulai terasa ketika
mekanisme kompensasi jantung tudak berfungsi dengan baik.
5. Manifestasi Klinis
Keluhan yang khas ialah nyeri dada retrosternal, seperti diremas-remas,
ditekan, ditusuk, panas atau ditindih barang berat. Nyeri dapat menjalar ke
lengan (umumnya kiri), bahu, leher, rahang bahkan ke punggung dan
epigastrium. Nyeri berlangsung lebih lama dari angina pectoris dan tak
responsif terhadap nitrogliserin. Kadang-kadang, terutama pada pasien diabetes
dan orang tua, tidak ditemukan nyeri sama sekali. Nyeri dapat disertai perasaan
mual, muntah, sesak, pusing, keringat dingin, berdebar-debar atau sinkope.
Pasien sering tampak ketakutan. Walaupun IMA dapat merupakan manifestasi
pertama penyakit jantung koroner namun bila anamnesis dlakukan teliti hal ini
sering sebenarnya sudah didahului keluhan-keluhan angina, perasaan tidak
enak di dada atau epigastrium.
Kelainan pada pemeriksaan fisik tidak ada yang spesifik dan dapat
normal. Dapat ditemui BJ yakni S2 yang pecah, paradoksal dan irama gallop.
Adanya krepitasi basal menunjukkan adanya bendungan paru-paru. Takikardi,
kulit yang pucat, dingin dan hipotensi ditemukan pada kasus yang relatif lebih
berat, kadang-kadang ditemukan pulsasi diskinetik yang tampak atau berada di
dinding dada pada IMA inferior.
Tanda dan gejala infark miokard (TRIAGE AMI) adalah :
a. Klinis
1) Nyeri dada yangterjadi secara mendadak dan terus-menerus tidak mereda,
biasanya di atas region sternal bawah dan abdomen bagian atas, ini
merupakan gejala utama.
2) Keparahan nyeri dapat meningkat secara menetap sampai nyeri tidak
tertahankan lagi.
3) Nyeri tersebut sangat sakit, seperti tertusuk-tusuk yang dapat menjalar ke
bahu dan terus ke bawah menuju lengan (biasanya lengan kiri)\
4) Nyeri mual secara spontan (tidak terjadi setelah kegiatan atau gangguan
emosional), menetap selama beberapa jam atau hari, dan tidak hilang
dengan bantuan istirahat atau nitrogliserin (NGT).
5) Nyeri dapat menjalar ke arah rahang dan leher.
6) Nyeri sering disertai dengan sesak nafas, pucat, dingin, diaforesis berat,
pening atau kepala terasa melayang dan mual muntah.
7) Pasien dengan diabetes mellitus tidak akan mengalami nyeri yang hebat
karena neuropati yang menyertai diabetes dapat mengganggu
neuroreseptor (menumpulkan pengalaman nyeri).
b. Laboraturium
Pemeriksaan enzim jantung
1) CPK-MB/CPK, Isoenzim yang ditemukan pada otot jantung meningkat
antara 4-6 jam, memuncak dalam 12-24 jam, kembali normal dalam 36-
48 jam.
2) LDH/HBDH, meningkat dalam 12-24 jam dan memakan waktu lama
untuk kembali normal.
3) AST/SGOT, meningkat (kurang nyata/khusus) terjadi dalam 6-12 jam,
memuncak dalam 24 jam, kembali normal dalam 3 atau 4 hari.
c. EKG
Perubahan EKG yang terjadi pada fase awal adanya gelombang T tinggi dan
simetris. Setelah ini terdapat elevasi segmen ST. Perubahan yang terjadi
kemudan ialah adanya gelombang Q/QS yang menandakan adanya nekrosis.
6. Pemeriksaan Penunjang
Penegakan diagnosa serangan jantung berdasarkan gejala, riwayat
kesehatan pribadi dan keluarga, serta hasil test diagnostic.
a. EKG (electrocardiogram)
Pada EKG 12 lead, jaringan iskemik tetapi masih berfungsi akan
menghasilkan perubahan gelombang T, menyebabkan inervasi saat aliran
listrik diarahkan menjauh dari jaringan iskemik, lebih serius lagi, jaringan
iskemik akan mengubah segmen ST menyebabkan depresi ST.
Pada infark, miokard yang mati tidak mengkonduksi listrik dan gagal
untuk repolarisasi secara normal, mengakibatkan elevasi segmen ST. Saat
nekrosis terbentuk, dengan penyembuhan cincin iskemik disekitar area
nekrotik, gelombang Q terbenruk. Area nekrotik adalah jaringan parut yang
tak aktif secara elektrikal, tetapi zona nekrotik akan menggambarkan
perubahan gelombang T saat iskemik terjadi lagi. Pada awal infark miokard,
elevasi ST disertai dengan gelombang T tinggi. Selama berjam-jam atau
berhari-hari berikutnya, gelombang T membalik. Sesuai dengan umur infark
miokard, gelombang Q menetap dan segmen ST kembali normal.
Gambaran spesifik pada rekaman EKG
Daerah infark Perubahan EKG
Anterior Elevasi segmen ST pada lead V3-V4, perubahan
resiprokal (depresi ST) pada lead II, III, aVF.
Inferior Elevasi segmen T pada lead II, III, aVF, perubahan
resiprokal (depresi ST) V1-V6, I, aVL.
Lateral Elevasi segmen ST pada I, aVL, V5-V6.
Posterior Perubahan resiprokal (depresi ST) pada II, III, aVF,
terutama gelombang R pada V1-V2.
Ventrikel kanan Perubahan gambaran dinding inferior.

b. Test Laboratorium Darah

Selama serangan, sel-sel otot jantung mati dan pecah sehingga protein-
protein tertentu keluar masuk aliran darah.

Kreatinin Pospokinasi (CPK) termasuk dalam hal ini CPK-MB


terdeteksi setelah 6-8 jam, mencapai puncak setelah 24 jam dan kembali
menjadi normal setelah 24 jam berikutnya.

LDH (Laktat Dehidrogenisasi) terjadi pada tahap lanjut infark


miokard yaitu setelah 24 jam kemudian mencapai puncak dalam 3-6 hari.
Masih dapat dideteksi sampai dengan 2 minggu. Iso enzim LDH lebih
spesifik dibandingkan CPK-MB akan tetapi penggunaan klinisnya masih
kalah akurat dengan nilai Troponin, terutama Troponin T. Seperti yang kita
ketahui bahwa ternyata isoenzim CPK-MB maupun LDH selain ditemukan
pada otot jantung juga bisa ditemukan pada otot skeletal.

Troponin T & I merupakan protein merupakan tanda paling spesifik


cedera otot jantung, terutama Troponin T (TnT). Tn T sudah terdeteksi 3-4
jam pasca kerusakan miokard dan masih tetap tinggi dalam serum selama 1-
3 minggu. Pengukuran serial enzim jantung diukur setiap selama tiga hari
pertama; peningkatan bermakna jika nilainya 2 kali batas tertinggi nilai
normal.

Ketidakseimbangan Elektrolit dapat mempengaruhi konduksi dan


kontraktilitas, misal hipokalemi, hiperkalemi.

Leukosit (10.000-20.000) biasanya tampak pada hari ke-2 setelah IMA


berhubungan dengan proses inflamasi.

Kolesterol atau Trigliserida serum meningkat, menunjukkan


arteriosclerosis sebagai penyebab AMI.

Kecepatan sedimentasi meningkat pada ke-2 dan ke-3 setelah AMI,


menunjukkan inflamasi.

GDA dapat menunjukkan hypoksia atau proses penyakit paru akut atau
kronis.

c. Tes Radiologis

Coronary angiography merupakan pemeriksaan khusus dengan sinar x


pada jantung dan pembuluh darah. Sering dilakukan selama serangan untuk
menemukan letak sumbatan pada arteri koroner. Kateter dimasukkan
melalui arteri pada lengan atau paha menuju jantung. Prosedur ini
dinamakan kateterisasi jantung, yang merupakan bagian dari angiografi
koroner. Zat kontras yang terlihat melalui sinar x diinjeksikan melalui ujung
kateter pada aliran darah. Zat kontras itu memungkinkan dokter dapat
mempelajari aliran darah yang melewati pembuluh darah dan jantung. Jika
ditemukan sumbatan, tindakan lain yang dinamakan angiosplasty, dapat
dilakukan untuk memulihkan aliran darah pada arteri tersebut. Kadang-
kadang akan ditempatkan stent (pipa kecil yang berpori) dalam arteri untuk
menjaga arteri tetap terbuka.

Foto dada, mungkin normal atau menunjukkan pembesaran jantung


diduga GJK atau aneurisma ventrikuler.
Pencitraan darah jantung (MUGA), mengevaluasi penampilan
ventrikel khusus dan umum, gerakan dinding regional dan fraksi ejeksi
(aliran darah).

Angiografi koroner, menggambarkan penyempitan atau sumbatan


arteri koroner. Biasanya dilakukan sehubungan dengan pengukuran tekanan
serambi dan mengkaji fungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi). Prosedur tidak
selalu dilakukan pada fase AMI kecuali mendekati bedah jantung
angioplasty atau emergensi.

Digital subtraksion angiografi (PSA), teknik yang digunakan untuk


menggambarkan pembuluh darah yang mengarah ke atau dari jantung.

Nuklear Magnetic Resonance (NMR), memungkinkan visualisasi


aliran darah, serambi jantung atau katup ventrikel, lesivaskuler,
pembentukan plak, area nekrosis atau infark dan bekuan darah.

7. Komplikasi
a. Aritmia

Karena aritmia lazim ditemukan pada fase akut IMA, hal ini dapat pula
dipandang sebagai bagian perjalanan penyakit IMA. Aritmia perlu diobati
bila menyebabkan gangguan hemodinamik, meningkatkan kebutuhan
oksigen miokard dengan akibat mudahnya perluasan infark atau bila
merupakan predisposisi untuk terjadinya aritmia yang lebih gawat seperti
takikardia ventrikel, fibrilasi ventrikel atau asistol. Di lain pihak
kemungkinan efek samping pengobatan juga harus dipertimbangkan. Karena
prevalensi aritmia terutama tersering pada 24 jam pertama sesudah serangan
dan banyak berkurang pada hari-hari berikutnya, jelaslah pada hari pertama
IMA merupakan masa-masa terpenting. Dalam kenyataannya penurunan
angka-angka kematian IMA pada era permulaan CCU terutama disebabkan
karena pengobatan dan pencegahan aritmia yang efektif di unit perawatan
intensif penyakit jantung koroner.

b. Bradikardia Sinus
Umumnya disebabkan oleh vagotonia dan sering menyertai IMA
inferior atau posterior. Bila hal ini menyebabkan keluhan hipotensi, gagal
jantung atau bila disertai peningkatan intabilitas ventrikel diberi pengobatan
dengan sulfas atropin intravena.
c. Irama Nodal
Irama nodal umumnya timbul karena protective escape mechanisme dan
tak perlu diobati, kecuali bila amat lambat serta menyebabkan gangguan
hemodinamik. Dalam hal terakhir ini dapat diberi atropin atau dipasang pacu
jantung temporer.
d. Asistolik
Pada keadaan asistolik harus segera dilakukan resusitas kardiopulmonal
serebral dan dpasang pacu jantung transtorakal. Harus dibedakan dengan
fibrilasi ventrikel halus karena pada belakangan ini defribrilasi dapat
menolong. Pemberian adrenalin dan kalsium klorida atau kalsium glukonas
harus dicoba.
e. Takikardia Sinus

Takikardia sinus ditemukan pada sepertiga kasus IMA dan umumnya


sekunder akibat peningkatan tonus saraf simpatis, gagal jantung, nyeri dada,
perikarditis dan lain-lain. Pengobatan ditujukan kepada kelainan dasar.
Sering berhasil hanya dengan memberi obat analgesik. Tekikardia sinus
yang menetap akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokard dan
menyebabkan perluasan infark.

f. Kontraksi Atrium Prematur

Bila kontraksi atrium prematur jarang, pengobatan tidak perlu.


Kontraksi atrium prematur dapat sekunder akibat gagal jantung atau dalam
hal ini pengobatan gagal jantung akan ikut menghilangkan kontraksi
tersebut.

g. Ruptur miokardial

Otot jantung yang mengalami kerusakan akan menjadi lemah, sehingga


kadang mengalami robekan karena tekanan dari aksi pompa jantung. 2
bagian jantung yang sering mengalami robekan selama atau setelah suatu
serangan jantung adalah dinding otot jantung dan otot yang mengendalikan
pembukaan dan penutupan salah satu katup jantung (katup mitralis). Jika
ototnya robek, maka katup tidak dapat berfungsi sehingga secara tiba-tiba
terjadi gagal jantung yang berat. Otot jantung pada dinding yang membatasi
kedua ventrikel (septum) atau otot pada dinding luar jantung juga bisa
mengalami robekan. Robekan septu kadang dapat diperbaiki melalui
pembedahan, tetapi robekan pada dinding luar hampir selalu menyebabkan
kematian. Otot jantung yang mengalami kerusakan karena serangan jantung
tidak akan berkontraksi dengan bak meskipun tidak mengalami robekan.
Otot yang rusak ini digantikan oleh jaringan parut fibrosa yang kaku dan
tidak dapat berkontraksi. Kadang bagian ini akan menggembung pada saat
seharusnya berkontraksi. Untuk mengurangi luasnya daerah yang tidak
berfungsi ini bisa diberikan ACE-inhibitor. Otot yang rusak bisa membentuk
penonjolan kecil pada dinding jantung (aneurisma). Adanya aneurisma bisa
diketahui dari gambaran EKG yang tidak normal, dan untuk memperkuat
dugaan ini bisa dilakukan ekokardiogram. Aneurisma tidak akan mengalami
robekan, tetapi bisa menyebabkan irama jantung yang tidak teratur dan bisa
menyebabkan berkurangnya kemampuan memompa jantung. Darah yang
melalui aneurisma akan mengalir lebih lambat, karena itu bisa terbentuk
bekuan di dalam ruang-ruang jantung.

h. Bekuan darah
Pada sekitar 20-60% orang yang pernah mengalami serangan jantung,
terbentuk bekuan darah di dalam jantung. Pada 5% dari penderita ini,
bekuan bisa pecah, mengalir di dalam arteri dan tersangkut di
pembuluh darah yang lebih kecil diseluruh tubuh, menyebabkan
tersumbatnya aliran darah ke sebagian dari otak (menyebabkan stroke)
atau ke organ lainnya. Untuk menemukan adanya bekuan di dalam
jantung atau untuk mengetahui faktor predisposisi yang dimiliki oleh
penderita, dilakukan ekokardiogram. Untuk membantu mencegah
pembentukan bekuan darah ini, seringkali diberikan antikoagulan
(misalnya heparin dan warfarain). Obat ini biasanya diminum selama
3-6 bulan setelah serangan jantung.
8. Penatalaksanaan
Prinsip Umum Penatalaksanaan AMI :
a. Diagnosa
Berdasarkan riwayat penyakit dan keluhan/tanda-tanda EKG awal tidak
menentukan, hanya 24-60% dari AMI ditemukan dengan EKG awal yang
menunjukkan luka akut (Acute injury)
b. Diet makanan lunak atau saring serta rendah garam (bila ada gagal jantung)
c. Terapi oksigen
1) Hipoksia menimbulkan metabolisme anaerob dan metabolik asidosis,
yang akan menurunkan efektifitas obat-obatan dan terapi elektrik
(DC shock)
2) Pemberian oksigen menurunkan perluasan daerah iskemik
3) Penolong harus siap dengan bantuan pernafasan bila diperlukan
d. Monitor EKG
Kejadian VF sangat tinggi pada beberapa jam pertama AMI. Penyebab
utama kematian beberapa jam pertama AMI adalah aritmia jantung 3.
Elevasi segmen ST > atau = 0,1 mV pada 2 atau lebih hantaran dari area
yang terserang (anterior, lateral, inferior), merupakan indikasi adanya
serangan miokard karena iskemia akut.
e. Akses Intravena
1) Larutan fisiologis atau RL dengan jarum infus besar atau bisa juga
dengan pasang infus dekstrosa 5% untuk persiapan pemberian obat
intravena.
2) Bila pada kejadian henti jantung, nafas tak ada, saluran infus
terpasang, maka vena cubiti anterior dan vena jugularis eksterna
merupakan pilihan pertama untuk dipasang aliran infus.

f. Penghilang rasa sakit


1) Keuntungan : Menurunkan kegelisahan dan rasa sakit, dapat
menurunkan tekanan darah dan frekuensi denyut nadi, menurunkan
kebutuhan O2, menurunkan risiko terjadinya aritmia.
2) Terapi
Preparat nitrat : tablet di bawah lidah atau spray. Nitrogliserin IV
untuk sakit dada iskemik berat dan tekanan darah > 100 mmHg
Morphin 9 jika nitrat tidak berhasil atau pada sakit dada berat dengan
dosis kecil IV (1-3 mg), diulang setiap 5 menit nitrasi sampai sakit
dada hilang.
3) Komplikasi
Hipotensi, Aritmia karena perfusi kurang pada miokard atau
reperfusi. Penghilang rasa sakit merupakan prioritas obat-obat yang
diberikan.
g. Pemberian Obat
Obat-obatan yang digunakan pada pasien dengan AMI diantaranya :
1) Obat-obatan trombolitik
Obat-obatan ini ditujukan untuk memperbaiki kembari aliran darah
pembuluh darah koroner, sehingga referfusi dapat mencegah
kerusakan miokard lebih lanjut.
Obat-obatan ini digunakan untuk melarutkan bekuan darah yang
menyumbat arteri koroner. Waktu paling efektive pemberiannya
adalah 1 jam setelah timbul gejala pertama dan tidak boleh lebih
dari 12 jam pasca serangan. Selain itu tidak boleh diberikan pada
pasien di atas 75 tahun contohnya adalah streptokinase.
2) Beta Blocker
Obat-obatan ini menurunkan beban kerja jantung. Bisa juga
digunakan untuk mengurangi nyeri dada atau ketidaknyamanan dan
juga mencegah serangan jantung tambahan. Beta bloker juga bisa
digunakan untuk memperbaki aritmia. Terdapat dua jenis yaitu
cardioselective (metoprolol, atenolol, dan acebutol) dan non-
cardioselective (propanol, pindolol, dan nadolol)
3) Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) Inhibitors
Obat-obatan ini menurunkan tekanan darah dan mengurangi cedera
pada otot jantung. Obat ini juga dapat digunakan untuk
memperlambat kelemahan pada otot jantung. Musalnya captopril
4) Obat-obatan antikoagulan
Obat-obatan ini mengencerkan darah dan mencegah pembentukan
bekuan darah pada arteri. Misal : heparin dan enoksaparin.
5) Obat-obatan Antiplatelet
Obat-obatan ini (misal aspirin dan clopidogrel) menghentikan
platelet untuk membentuk bekuan yang tidak diinginkan.

Kategori Sub Kategori Obat Obat Generik


Obat
Obat Antikoagulan, Antiplatelet & Aspirin
jantung, Fibrinolitik Clopidogrel
pembuluh Heparin
darah dan Enoxaparin
darah Bivalirudin
Abciximab
Tirofiban
Eptifibatide
Obat Anti angina Nitroglycerin
Beta Bloker Metoprolol
Esmolol
Bisoprolol
Carvedilol
ACE Inhibitor Captopril
Enalapril
Lisinopril
Quinapril
Ramipril
Antagonis Angiotensin II Iosartan
Candesartan
Valsartan
Antikoagulan, Antiplatelet & Alteplase
Fibrinolitik Streptokinase
Reteplase
tenecteplase
Obat yang Obat Anti Angina Morphine
bekerja pada Isosorbide dinitrate
saraf & otot

h. Tindakan Medis
Jika obat-obatan tidak mampu menangani/menghentikan serangan jantung,
maka dapat dilakukan tindakan medis, yaitu antara lain :
1) Angioplasti
Tindakan non-bedah ini dapat dilakukan dengan membuka arteri
koroner yang tersumbat oleh bekuan darah. Selama angioplasty
kateter dengan balon pada ujungnya dimasukan melalui pembuluh
darah menuju arteri koroner yang tersumbat. Kemudian balon
dikembangkan untuk mendorong plaq melawan dinding arteri.
Melebarnya bagian dalam arteri akan mengembalikan aliran darah.
Pada angioplasti, dapat diletakan tabung kecil (stent) dalam arteri
yang tersumbat sehingga menjaganya tetap terbuka. Beberapa stent
biasanya dilapisi obat-obatan yang mencegah terjadinya bendungan
ulang pada arteri.
2) CABG (Coronary Artery Bypass Grafting)
Merupakan tindakan pembedahan dimana arteri atau vena diambil
dari bagian tubuh lain kemudian disambungkan untuk membentuk
jalan pintas melewati arteri koroner yang tersumbat. Sehingga
menyediakan jalan baru untuk aliran darah yang menuju sel-sel otot
jantung.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
a. Identitas
Perlu ditanyakan : nama, umur, jenis kelamin, alamat, suku, agama,
nomor register, pendidikan, tanggal MRS, serta pekerjaan yang
berhubungan dengan stress atau sebab dari lingkungan yang tidak
menyenangkan. Identitas tersebut digunakan untuk membedakan
antara pasien yang satu dengan yang lain dan untuk mementukan
resiko penyakit jantung koroner yaitu laki-laki umur di atas 35 tahun
dan wanita lebih dari 50 tahun (William C Shoemarker, 2011 : 143).
b. Alasan Masuk Rumah Sakit
Penderita dengan infark miokard akut mengalami nyeri dada, perut,
punggung, atau lambung yang tidak khas, mual atau pusing, sesak
napas dan kesulitan bernapas. (Ni Luh Gede Y, 2011 : 94).
c. Keluhan Utama
Pasien Infark Miokard Akut mengeluh nyeri pada dada substernal,
yang rasanya tajam dan menekan sangat nyeri, terus menerus dan
dangkal. Nyeri dapat menyebar ke belakang sternum sampai dada
kiri, lengan kiri, leher, rahang, atau bahu kiri. Nyeri miokard kadang-
kadang sulit dilokalisasi dan nyeri mungkin dirasakan sampai 30
menit tidak hilang dengan istirahat atau pemberian nitrogliserin
(Ni Luh Gede Y, 2011 : 94).
d. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada pasien infark miokard akut mengeluh nyeri pada bagian
dada yang dirasakan lebih dari 30 menit, nyeri dapat menyebar
samapi lengan kiri, rahang dan bahu yang disertai rasa mual, muntah,
badan lemah dan pusing. (Ni Luh Gede Y, 2011 : 94).
e. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada klien infark miokard akut perlu dikaji mungkin pernah
mempunyai riwayat diabetes mellitus, karena diabetes mellitus terjadi
hilangnya sel endotel vaskuler berakibat berkurangnya produksi nitri
oksida sehingga terjadi spasme otot polos dinding pembuluh darah.
Hipersenti yang sebagian diakibatkan dengan adanya penyempitan
pada arteri renalis dan hipo perfusi ginjal dan kedua hal ini
disebabkan lesi arteri oleh arteroma dan memberikan komplikasi
trombo emboli (J.C.E Underwood, 2012 : 130).
f. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit jantung keluarga, diabetes mellitus, peningkatan
kolesterol darah, kegemukan, hipertensi, yang berisiko diturunkan
secara genetik berdasarkan kebiasaan keluarganya. (Ni Luh Gede Y,
2011 : 94)
g. Riwayat Psikososial
Rasa takut, gelisah dan cemas merupakan psikologis yang sering
muncul pada klien dan keluarga. Hal ini terjadi karena rasa sakit,
yang dirasakan oleh klien. Perubahan psikologis tersebut juga
muncul akibat kurangnya pengetahuan terhadap penyebab, proses
dan penanganan penyakit infark miokard akut. Hal ini terjadi
dikarenakan klien kurang kooperatif dengan perawat. (Ni Luh Gede
Y, 2011 : 94)
h. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Pada pemeriksaan keadaan umum, kesadaran klien IMA
biasanya baik atau compos mentis (CM) dan akan berubah
sesuai tingkatan gangguan yang melibatkan perfusi sistem
saraf pusat. (Muttaqin, 2010:78)
2. Tanda-Tanda Vital
Didapatkan tanda-tanda vital, suhu tubuh meningkat
dan menurun, nadi meningkat lebih dari 20 x/menit. (Huda
Nurarif, Kusuma, 2015 : 25)
3. Pemeriksaan Fisik Persistem
a) Sistem Persyarafan
Kesadaran pasien kompos mentis, pusing, berdenyut,
sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi. (Bararah dan
Jauhar, 2013 : 123)
b) Sistem Penglihatan
Pada pasien infark miokard akut penglihatan
terganggu dan terjadi perubahan pupil. (Bararah dan
Jauhar, 2013 : 123)
c) Sistem Pernafasan
Biasanya pasien infark miokard akut mengalami penyakit
paru kronis, nafas pendek, batuk, perubahan
kecepatan/kedalaman pernafasan, bunyi nafas tambahan
(krekels, ronki, mengi), mungkin menunjukkan komplikasi
pernafasan seperti pada gagal jantung kiri (edema paru)
atau fenomena romboembolitik pulmonal, hemoptysis.
(Bararah dan Jauhar, 2013 : 123)
d) Sistem Pendengaran
Tidak ditemukan gangguan pada sistem pendengaran
(Bararah dan Jauhar, 2013 : 123)
e) Sistem Pencernaan
Pasien biasanya hilang nafsu makan, anoreksia, tidak
toleran terhadap makanan, mual muntah,perubahan berat
badan, perubahan kelembaban kulit. (Bararah dan Jauhar,
2013 : 123)
f) Sistem Perkemihan
Pasien biasanya oliguria, haluaran urine menurun
bila curah jantung menurun berat. (Bararah dan Jauhar,
2013 : 123)
g) Sistem Kardiovaskuler
Biasanya bunyi jantung irama tidak teratur, bunyi ekstra,
denyut menurun. (Bararah dan Jauhar, 2013 : 123)
h) Sistem Endokrin
Pasien infark miokard akut biasanya tidak terdapat
gangguan pada sistem endokrin. (Bararah dan Jauhar,
2013 : 123)
i) Sistem Muskuluskeletal
Biasanya pada pasien infark miokard akut terjadi
nyeri, pergerakan ekstremitas menurun dan tonus otot
menurun. (Huda Nurarif dan Kusuma,2015 : 25)
j) Sistem Integumen
Pada pasien infark miokard akut turgor kulit menurun,
kulit pucat, sianosis. (Bararah dan Jauhar, 2013 : 123)
k) Sistem Reproduksi
Tidak ditemukan gangguan pada sistem pendengaran
(Bararah dan Jauhar, 2013 : 124).
4. Pada Pemeriksaan EKG
a) Fase hiperakut (beberapa jam permulaan serangan0
Elevasi yang curam dari segmen ST
Gelombang T yang tinggi dan lebar
VAT memanjang
Gelombang Q tampak
b) Fase perkembangan penuh (1-2 hari kemudan)
Gelombang Q patologis
Elevasi segmen ST yang cembung ke atas
Gelombang T yang terbalik (arrowhead)
c) Fase resolusi ( beberapa minggu/bulan kemudian)
Gelombang Q patologis
tetap ada
Segmen ST mungkin sudah kembali iseolektris
Gelombang T mungkin sudah menjadi normal
Pada pemeriksaan darah (enzim jantung CK & LDH)
1) CKMB berupa serum creatinine kinase (CK) dan fraksi MB
merupakan indikator penting dari nekrosis miokard
creatinine kinase (CK) meninngkat pada 6-8 jam setelah
awitan infark dan memuncak antara 24 & 28 jam pertama.
Pada 2-4 hari setelah awitan AMI normal.
2) Dehidrogenase laktat (LDH) mulai tampak pada serum
setelah 24 jam pertama setelah awitan dan akan selama 7-
10 hari.
3) Petanda biokimia seperti troponin l (Tnl) dan troponin
T (TnT) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dari
pada CKMB. Troponin C, Tnl dan TnT berkaitan dengan
konstraksi dari sel miokard. (Huda Nurarif dan Kusuma,
2015 : 25)
5. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaannya adalah mengembalikan aliran
darah koroner untuk menyelamatkan jantung dari infark
miokard, membatasi luasnya infark miokard, dan
mempertahankan fungsi jantung.
Pada prinsipnya, terapi pada kasus ini di tujukan untuk
mengatasi nyeri angina dengan cepat, intensif dan mencegah
berlanjutnya iskemia serta terjadinya infark miokard akut dan
kematian mendadak. Oleh karena setiap kasus berbeda derajat
keparahan atau rriwayat penyakitnya, maka cara terapi
yang baik adalah individualisasi dan bertahap, dimulai dengan
masuk rumah sakit (ICCU) dan istirahat total (bed rest). (Huda
Nurarif dan Kusuma, 2015 : 25).
B. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia miokard akibat oklusi arteri
koroner dengan hilang atau terbatasnya aliran darah ke arah
miokardium dan nekrosis dari miokardium.
Definisi : pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang actual
atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian
rupa (International Association for the study of Pain) : awitan yang
tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir
yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung < 6 bulan.
Batasan Karakteristik :
Perubahan selera makan, perubahan tekanan darah, perubahan
frekuensi jantung, perubahan frekuensi pernapasan, laporan isyarat,
diaphoresis, perilaku distraksi (mis, berjalan mondarmandir mencari
orang lain dan atau aktivitas lain, aktivitas yang berulang),
mengekspresikan perilaku (mis. Gelisah, merengek, menangis),
masker wajah (mis. Mata kurang bercahaya, tampak kacau, gerakan
mata berpencar atau tetap pada satu focus meringis), sikap
melindungi area nyeri, focus menyempit (mis. gangguan persepsi
nyeri, hambatan proses berfikir, penurunan interaksi dengan orang
dan lingkungan), indikasi nyeri yang dapat diamati,
perubahan posisi untuk menghindari nyeri, sikap tubuh
melindungi, dilatasi pupil, melaporkan nyeri secara verbal,
gangguan tidur.

Faktor yang Berhubungan :

Agen cedera (misal biologis, zat kimia, fisik, psikologi)

b. Penurunan curah jantung b.d perubahan initropik negative pada


jantung karena iskemia, cedera, atau infark pada miokardium,
dibuktikan oleh perubahan tingkat kesadaran, kelemahan, puisng,
hilangnya nadi perifer, suara jantung abnormal, gangguan
hemodinamik, dan henti jantung paru.
Definisi : Ketidakadekuatan darah yang dipompa oleh jantung
untuk memenuhi kebutuhan metabolic tubuh.
Batasan Karakteristik :

Perubahan frekuensi/irama jantung : aritmia, bradikardi, takikardi,


perubahan EKG, palpitasi.

Perubahan preload : penurunan tekanan vena sentral (central venous


pressure, CVP), penurunan tekanan arteri paru (pulmonary artery
wedge pressure, PAWP), edema, keletihan, peningkatan CVP,
peningkatan PAWP, distensi vena jugular, murmur, peningkatan
berat badan.
Perubahan afterload : kulit lembab, penurunan nadi perifer,
penurunan resistansi vascular paru (pulmonary vascular resistence,
PVR), penurunan resistansivaskular sistemik (sistemik vascular
resistence, SVR), dyspnea, peningkatan PVR, peningkatan SVR.
Oliguria, pengisian kapiler memanjang, perubahan warna kulit,
variasi pada pembacaan tekanan darah.

Perubahan kontraktilitas : batuk, crackle, penurunan indeks jantung,


penurunan fraksi ejeksi, ortopnea, dyspnea paroksimal nocturnal,
penurunan LVSWI (left ventricular stroke work index), penurunan
stroke volume index (SVI), bunyi S3, Bunyi S4.

Perilaku/emosi : ansietas, gelisah

Faktor yang Berhubungan :

Perubahan afterload, perubahan kontraktilitas, perubahan


frekuensi jantung, perubahan preload, perubahan irama, perubahan
volume.

c. Gangguan pertukaran gas yang b.d penurunan curah jantung


yang ditunjukkan oleh sianosis, pengisian kapiler yang terganggu,
penurunan tekanan oksigen arteri (PaO2), dan dyspnea.
Definisi : kelebihan atau deficit pada oksigenasi dan atau eliminasi
karbon dioksida pada membrane alveolar kapiler.
Batasan Karakteristik :

pH darah arteri abnormal, pH arteri abnormal, pernapasan abnormal


(mis. kecepatan, irama, kedalaman), warna kulit abnormal (msi.
Pucat, kehitaman), konfusi, sianosis (pada neonatus saja),
penurunan karbon dioksida, diaforesis, dyspnea, sakit kepala saat
bangun, hiperkapnia, hipoksemia, hipoksia, iritabilitas, napas
cuping hidung, gelisah, samnolen, takikardi, gangguan penglihatan.

Faktor yang Berhubungan :


Perubahan membrane alveolar kapiler, ventilasi perfusi.

d. Ketakutan
Definisi : respon terhadap persepsi ancaman yang secara sadar
dikenali sebagai sebuah bahaya.
Batasan Karakteristik :
Melaporkan isyarat/peringatan, melaporkan kegelisahan,
melaporkan rasa takut, melaporkan penurunan kepercayaan
diri, melaporkan ansietas, melaporkan kegembiraan,
melaporkan peningkatan ketegangan, melaporkan
kepanikan, melaporkan teror.
Kognitif : penurunan kemampuan belajar, penurunan
kemampuan memecahkan masalah, penurunan produktivitas,
mengidentifikasikan objek ketakutan, stimulasi diyakini merupakan
ancaman.
Perilaku : perilaku menyerang, perilaku menghindar,
impulsive, peningkatan kewaspadaan, focus menyempit pada
sumber-sumber ketakutan.
Fisiologis : anoreksia, diare, mulut kering, dyspnea, letih,
peningkatan keringat, peningkatan denyut nadi, peningkatan
frekuensi napas, peningkatan tekanan darah sistolik, kaku otot,
mual, muntah, pucat, dilatasi pupil.
Faktor yang Berhubungan :
Berasal dari luar (mis. kebisingan tiba-tiba, ketinggian, nyeri,
penurunan dukungan fisik), Berasal dari dalam (neurotransmitter),
kendala bebas, respon belajar (mis. conditioning, mencontoh dari
atau identifikasi dengan orang lain), stimulus fobik, gangguan
sensorik, berpisah dari sistem pendukung dalam situasi yang
berpotensi menimbulkan stress (mis. rawat inap, prosedur rumah
sakit), tidak familiar dengan pengalaman lingkungan.
e. Konstipasi
Definisi : penurunan pada frekuensi normal defekasi yang disertai
oleh kesulitan atau pengeluaran tidak lengkap feses atau
pengeluaran feses yang kering, keras dan banyak. Berasal dari
luar (mis. kebisingan tiba-tiba, ketinggian, nyeri, penurunan
dukungan fisik), Berasal dari dalam (neurotransmitter), kendala
bebas, respon belajar (mis. conditioning, mencontoh dari atau
identifikasi dengan orang lain), stimulus fobik, gangguan
sensorik, berpisah dari sistem pendukung dalam situasi yang
berpotensi menimbulkan stress (mis. rawat inap, prosedur rumah
sakit), tidak familiar dengan pengalaman lingkungan.
Batasan Karakteristik :
Nyeri abdomen, nyeri tekan abdomen dengan teraba resistensi
otot, anoreksia, penampilan tidak khas pada lansia (mis. perubahan
pada status metal, inkontinensia urinarius, jatuh yang tidak
penyebabnya, peningkatan suhu tubuh), borbogirigmi, darah
merah pada feses, perubahan pada pola defekasi, penurunan
frekuensi, penurunan volume feses, distensi abdomen, rasa rektal
penuh, rasa tekanan rektal, keletihan umum, feses keras dan
berbentuk, sakit kepala, bising usus hiperaktif, bising usus hipoaktif,
peningkatan tekanan abdomen, tidak dapat makan, mual,
rembesan feses cair, nyeri pada saat defekasi, massa abdomen yang
dapat diraba, adanya feses lunak seperti pasta di dalam rectum,
perkusi abdomen pekak, sering flatus, mengejan pada saat defekasi,
tidak dapat mengeluarkan feses, muntah.
Faktor yang Berhubungan :
Fungsional : kelemahan otot abdomen, kebiasaan mengabaikan
dorongan defekasi, ketidakadekuatan toileting (mis. batasan waktu,
posisi untuk defekasi, privasi), kurang aktivitas fisik, kebiasaan
defekasi tidak teratur, perubahan lingkungan saat ini.
Psikologis : depresi, stress emosi, konfusi mental.
Farmakologis : antasida mengandung aluminium, atikolinergik,
antikonvulsan, antidepresan, agens antilipemik, garam bismuth,
kalsium karbonat, penyekat saluran kalsium, diuretic, garam besi,
penyalahgunaan laksatif, agen antiinflamasi non steroid, opiate,
fenotiazid, sedative, simpatomimemik.
Mekanis : ketidakseimbangan elektrolit, kemoroid, penyakit
hirschprung, gangguan neurologis, obesitas, opstruksi pasca
bedah, kehamilan, pembesaran prostat, abses rektal, fisura anak
rektal, struktur anak rektal, prolaps rektal, ulkus rektal, rektokel,
tumor.
Fisiologis : perubahan pola makan, perubahan makanan, penurunan
motilitas traktus gastrointestinal, dehidrasi, ketidakadekuatan gigi
geligi, ketidakadekuatan hygiene oral, asupan serat tidak cukup,
asupan cairan tidak cukup, kebiasaan makan buruk (Huda Nurarif,
Kusuma, 2013 dan Bararah, Jauhar, 2013 : 245).
C. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut
Tujuan :
1. Memperlihatkan pengendalian nyeri
2. Menunjukkan tingkat nyeri

NOC

1. Tingkat Kenyamanan : Tingkat persepsi positif terhadap


kemudahan fisik dan psikologis

2. Pengendalian nyeri :Tindakan individu untuk mengendalikan nyeri

3. Tingkat nyeri : Keparahan nyeri yang dapat diamati atau


dilaporkan

Kriteria hasil

1. Menunjukkan nyeri

2. Menunjukkan tingkat nyeri

Intervensi NIC :

Aktivitas Keperawatan
Pengkajian

1. Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan pertama untuk


mengumpulkan informasi pengkajian.

2. Minta pasien untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan pada


skala 0 sampai 10 (0 = tidak ada nyeri atau ketidaknyamanan, 10 =
nyeri hebat)

3. Gunakan bagan alir nyeri untuk memantau peredaan nyeri


oleh analgesic dan kemungkinan efek sampingnya.

4. Kaji dampak agama, budaya, kepercayaan, dan lingkungan


terhadap nyeri dan respons pasien.

5. Dalam mengkaji nyeri pasien, gunakan kata-kata yang sesuai


usia dan tingkatan perkembangan pasien.

6. Manajemen Nyeri (NIC) :

Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif meliputi lokasi,


karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
atau keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya.

Observasi isyarat non verbal ketidaknyamanan, khususnya pada


mereka yang tidak mampu berkomunikasi efektif.

Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga

1. Sertakan dalam instruksi pemulangan pasien obat khusus yang


harus diminum, frekuensi pemberian, kemungkinan efek samping,
kemungkinan interaksi obat, kewaspadaan khusus saat
mengonsumsi obat tersebut (misalnya, pembatasan aktivitas,
fisik, pembatasan diet), dan nama orang yang harus dihubungi
bila mengalami nyeri membandel.

2. Instruksikan pasien untuk menginformasikan kepada perawat


jika peredaan nyeri tidak dapat dicapai.

3. Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat


meningkatkan nyeri dan tawarkan strategi koping yang disarankan.

4. Perbaiki kesalahan persepsi tentang analgesik narkotik atau opioid


(misalnya risiko ketergantungan atau overdosis)

5. Manajemen Nyeri (NIC) : Berikan informasi tentang nyeri, seperti


penyebab nyeri, berapa lama akan berlangsung, dan antisipasi
ketidaknyamanan akibat prosedur.

6. Manajemen Nyeri (NIC) :

Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis (misalnya, umpan


balik biologis, transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS),
hypnosis, relaksasi, imajinasi terbimbing, terapi music, distraksi,
terapi bermain, terapi aktivitas, akupresur, kompres hangat atau
dingin, dan masase) sebelum, setelah, dan, jika
memungkinkan selama aktivitas yang menimbulkan nyeri,
sebelum nyeri terjadi atau meningkat dan bersama penggunaan
tindakan peredaan nyeri yang lain.

Aktivitas Kolaboratif

1. Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian opiat yang


terjadwal (misalnya, setiap 4 jam selama 36 jam) atau PCA

2. Manajemen Nyeri (NIC) :

Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri menjadi lebih


berat.
Laporkan kepada dokter jika tindakan tidak berhasil atau jika
keluhan saat ini merupakan perubahan yang bermakna dari
pengalaman nyeri apsien di masa lalu.

Aktivitas Lain

1. Sesuaikan frekuensi dosis sesuai indikasi melalui pengkajian


nyeri dan efek samping.

2. Bantu pasien mengidentifikasi tindakan kenyamanan yang


efektif di masa lalu seperti, distraksi, relaksasi, atau kompres
hangat/dingin.

3. Hadir di dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa nyaman


dan aktivitas lain untuk membantu relaksasi, meliputi tindakan
sebagai berikut:

Lakukan perubahan posisi, masase punggung, dan relaksasi

Ganti linen tempat tidur, bila diperlukan

Berikan perawatan dengan tidak terburu-buru, dengan sikap yang


mendukung Libatkan pasien dalam pengambilan keputusan
yang menyangkut aktivitas perawatan

4. Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas, bukan pada


nyeri dan rasa tidak nyaman dengan melakukan pengalihan melalui
televisi, radio, tape, dan interaksi dengan pengunjung

5. Gunakan pendekatan yang positif untuk mengoptimalkan respons


pasien terhadap analgesik (misalnya “Obat ini akan mengurangi nyeri
Anda”)

6. Eksplorasi perasaan takut ketagihan. Untuk meyakinakan


pasien, tanyakan “jika tidak mengalami nyeri, apakah anda tetap
membutuhkan obat ini ?”

7. Manfaat Nyeri (NIC) :


Libatkan pasien dalam modalitas peredaan nyeri, jika memungkinkan

Kendalikan faktor lingkungan yang dapat memengaruhi respon


pasien terhadap ketidaknyamanan (misalnya suhu ruangan,
pencahayaan, dan kegaduhan).

Pastikan pemberian analgesia terapi atau strategi


nonfarmakologis sebelum melakukan prosedur yang menimbulkan
nyeri.

b. Penurunan curah jantung b.d perubahan initropik negative pada


jantung karena iskemia, cedera, atau infark pada miokardium,
dibuktikan oleh perubahan tingkat kesadaran, kelemahan, puisng,
hilangnya nadi perifer, suara jantung abnormal, gangguan
hemodinamik, dan henti jantung paru.
Tujuan :
1. Menunjukkan curah jantung yang memuaskan, dibuktikan oleh
efektivitas pompa jantung.
2. Menunjukkan status sirkulasi, dibuktikan oleh indicator sebagai
berikut : gangguan ekstrem berat, sedang, ringan atau tidak
mengalami gangguan.
NOC
1. Tingkat keparahan kehilangan darah
2. Efektivitas pompa jantung
3. Status sirkulasi
4. Perfusi jaringan : organ abdomen
5. Status tanda vital
Kriteria Hasil :
1. Menunjukkan curah jantung yang memuaskan, dibuktikan
dengan keefektifan pompa jantung, status sirkulasi, perfusi
jaringan (organ abdomen), dan perfusi jaringan (perifer).
2. Menunjukkan status sirkulasi, dibuktikan denan indicator
kegawatan.
Intervensi NOC :
1. Reduksi perdrahan : membatasi kehilangan volume darah
selama episode perdarahan.
2. Perawatan jantung : membatasi komplikasi akibat ketidak
seeimbangan antara suplai dan kbutuhan oksigen miokard pada
pasien yang mengalami gejala kerusakan fungsi jantung.
3. Perawatan jantung, akut : membatasi komplikasi untuk
pasien yang sedang mengalami episode ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen miokard yang
mengakibaatkan kerusakan fungsi jantung.
4. Promosi perfusi serebral : menngkatkan perfusi yang adekuat
dan membatasi komplikassi untuk pasien yang mengalami atau
beresiko mengalami ketidak adekuatan perfusi serebral.
5. Perawatan sirkulasi : insufisiensi arteri : meningkatkan sirkulasi
arteri.
6. Perawatan sirkulasi : alat bantu mekanis : memberi dukungan
temporer sirkulasi melalui penggunaan alat atau pompa mekanis.
7. Perawatan sirkulasi : insuvisensi vena : meningkatkan sirkulasi
vena
8. Perawatan embolus : paru : membatasi komplikasi untuk pasien
yang mengalami, atau beresiko mengalami sumbatan sirkulasi paru.
9. Regulasi hemodinamik : mengoptimalkan frekuensi jantung,
preload afterload, dan kontraktilitas.
Aktifitas Keperawatan
Pada umumnya tindakan keperawatan untuk diagnosis ini berfokus
pada pemantauan tanda – tanda vital dan gejala penurunan curah
jantung, pengkajian peyebab yang mendasari mis, hipovolemia,
disritmia, pelksanaan protokol atau program dokter untuk
mengatasi penurunan curah jantung, dan pelaksanaan tindakan
dukungan, seperti perubahan posisi dan hidrasi.
Pengkajian
1. Kaji dan dokumentasikan tekanan darah, aanya sinosis, status
pernfasan, dan status mental.
2. Pantau tanda kelebihan cairan (misalnya, edema dependen,
kenaika berat badan)
3. Kaji toleransi aktivitas pasien dengan memerhatikan adanya
awitan nafas pendek, nyeri, palpitasi atau limbung
4. Evaluasi respon pasien terhadap terapi oksigen
5. Kaji kerusakan kognitif
6. Regulasi hemodinamik (NIC) : Pantau fungsi pacemaker jika
perlu
Pentau denyut perifer, pengisian ulang kapiler, dan suhu
serta warna ektsremitas.
Pantau asupan dan haluaran, haluaran urine dan berat badan pasien
jika perlu.
Pantau resistensi vaskuler sistemik dan paru, jika perlu.
Auskultasi suara paru terhadap bunyi crakle atau suara napas
tambahan lainnya.
Pantau dan dokumentasikan frekuensi jantung, irama dan nadi.
Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga
1. Jelaskan tujuan pemberian oksigen per nasal kanul atau sungkup
2. Instruksikan mengenai pemeliharaan keakuratan asupan dan
haluaran
3. Ajarkan penggunaan, dosis, frekuensi, dan efek samping obat
4. Ajarkan untuk melaporkan dan menggambarkan awitan
palpitasi dan nyeri, durasi, faktor pencetus, daerah, kualitas, dan
intensitas
5. Instruksikan pasien dan keluarga dalam perencaan untuk
perawatan di rumah, meliputi pembatasan aktifitas pembatasan
diet, dan penggunaan alat terapeutik
6. Berikan informasi tentang teknik penurunan stres, seperti
biofeedback, relaksasi otot progresif, meditasi dan latihan fisik
7. Ajarkan kebutuhan untuk menimbang berat badan setiap hari.
Aktivitas kolaboratif
1. Konsultasikan dengan dokter menyangkut parameter
pemberian atau penghentian obat tekanan darah
2. Berikan dan titrasikan obat antiaritmia, inotropik,
nitrogliserin,dan fasodilator untuk memprtahankan
kontraktilitas,preload dan afterload sesuai dengan program
medis atau protocol
3. Berikan anti koagulan untuk mencegah pembentukan trombus
perifer, sesuai dengan program atau protocol
4. Tingkatkan penurunan afterload (misalnya, dengan pompa balon
intra aorta) sesuai dengan program medis / protokol
5. Lakukan perujukan ke perawat ke petugas sosial, maanajer kasus,
atau layanan kesehatan komunitas dan layanan kesehatan di rumah
6. Lakukan perujukan ke petugas sosial untuk engevaluasi
kemampuan membayar obat yang di resepkan.
7. Lakukan perujukan ke pusat rehabiitasi jantung jika di perlukan.
Aktivitas lain
1. Ubah posisi klien ke posisi datar atau trendelenburg ketika
tekanan darah pasien berada pada rentang lebih rendah dibandingkan
dengan yang biasanya.
2. Untuk hipotensi yang tiba – tiba, berat atau lama, pasang akses
intravena untuk pemberian cairan intravena atau obat untuk
meningkatkan tekanan darah.
3. Hubungkan efek nilai laboratorium, oksigen, obat, aktivitas,
ansietas dan / atau nyeri pada disritmia.
4. Jangan mengukur suhu dari rektum.
5. Ubah posisi pasien setiap dua jam atau pertahankan aktifitas lain
yang sesuai di butuhkan atau di butuhkan untuk menurunkan stasis
sirkulasi perifer.
6. Regulasi hemodinamik (NIC)
7. Minimalkan atau hilangkan stresor lingkungan
Pasang kateter urine,jika di perlukan.
c. Gangguan pertukaran gas yang b.d penurunan curah jantung yang
ditunjukkan oleh sianosis, pengisian kapiler yang terganggu,
penurunan tekanan oksigen arteri (PaO2), dan dyspnea.
Tujuan :
1. Gangguan pertukaran gas akan berkurang.
2. Status penapasan : pertukaran gas tidak akan terganggu yang
dibuktikan oleh indicator gangguan.
3. Status pernapasan : ventilasi tidak akan terganggu yang dibuktikan
oleh indicator gangguan.
NOC
1. Respons Alergi : Sistemik : keparahan respon hipersensitivitas
imun sistemik terhadap antigen lingkungan tertentu.
2. Keseimbangan Elektrolit dan Asam Basa : keseimbangan elektrolit
dan non elektrolit dalam kompartemen intrasel dan ekstrasel tubuh.
3. Respon Ventilasi Mekanis : Orang Dewasa : Pertukaran alveolar
dan perfusi jaringan yang disokong oleh ventilasi mekanis.
4. Status Pernapasan : Pertukaran Gas : Pertukaran CO2 atau O2 di
alveoli untuk mempertahankan konsentrasi gas darah arteri.
Kriteria hasil :
1. Gangguan pertukaran gas akan terkurangi yang dibuktikan dengan
status pernapasan
2. Status pernapasan : pertukaaran gas tidak akan terganggu
dibuktikan dengan indicator gangguan.
Intervensi NIC :
1. Manajemen Asam Basa: Meningkatkan keseimbangan asam
basa dan mencegah komplikasi akibat ketidakseimbangan asam basa.
2. Manajemen Asam Basa : Asidosis Respiratori : Meningkatkan
keseimbangan asam basa dan mencegah komplikasi akibat kadar
pCO2 serum yang lebih tinggi dari yang diharapkan
3. Manajemen Jalan Napas : Memfasilitasi kepatenan jalan napas
4. Manajemen anafilaksis : Meningkatkan keadekuatan ventilasi
dan perfusi ringan untuk individu yang mengalami reaksi alergi
(antigen-antibodi) berat
5. Manajemen Asma : Mengidentifikasi, mengatasi, dan mencegah
reaksi terhadap inflamasi/konstriksi di jalan napas
6. Manajemen elektrolit : Meningkatkan keseimbangan
elektrolit dan mencegah komplikasi akibat kadar elektrolit serum
yang tidak normal atau di luar harapan Pemantauan Tanda Vital :
Mengumpulkan dan menganalisis data kardiovaskular, pernapasan,
dan suhu tubuh untuk menentukan dan mencegah komplikasi.
Pengkajian
1. Kaji suara paru, frekuensi napas, kedalaman dan usaha napas dan
produksi sputum sebagai indicator keefektifan penggunaan alat
penunjang
2. Pantau saturasi O2 dengan oksimeter nadi
3. Pantau hasil gas darah (misalnya kadar PaO2 yang rendah, dan
PaCO2 yang tinggi menunjukkan perburukan pernapasan)
4. Pantau kadar elektrolit
5. Pantau status mental (misalnya tingkat kesadaran, gelisah dan
konfusi)
6. Peningkatan frekuensi pemantauan pada saat pasien tampak
somnolen
7. Observasi terhadap sianosis terutama membrane mukosa mulut
Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga
1. Jelaskan penggunaan alat bantu yang diperlukan
(oksigen,pengisap, spirometer)
2. Ajarkan kepada pasien teknik bernapas dan relaksasi
3. Jelaskan kepada pasien dan keluarga alasan pemberian
oksigen dan tindakan lainnya.
Aktivitas Kolaboratif
1. Konsultasikan dengan dokter tentang pentingnya pemeriksaan
gas darah arteri (GDA) dan penggunaan alat bantu yang
dianjurkan sesuai dengan adanya perubahan kondisi pasien.
2. Laporkan perubahan pada data pengkajian terkait (misalnya
sensorium pasien, suara napas, pola napas, analisis gas darah, efek
obat)
3. Berikan obat yang diresepkan (misalnya natrium
bikarbonat) untuk mempertahankan keseimbangan asam basa
4. Persiapkan pasien untuk ventilasi mekanis, bila perlu
5. Pengaturan hemodinamik (NIC) : Berikan obat antiaritmia, jika
perlu
Aktivitas Lain
1. Jelaskan kepada pasien sebelum memulai pelaksanaan
prosedur untuk menurunkan ansietas dan meningkatkan rasa kendali
2. Beri penenangan kepada pasien selama periode gangguan atau
kecemasan
3. Lakukan hygiene oral secara teratur
4. Lakukan tindakan untuk menurunkan konsumsi oksigen
(misalnya pengendalian demam dan nyeri, mengurangi ansietas).
5. Apabila oksigen diprogramkan bagi pasien yang memiliki
masalah pernapasan kronis, pantau aliran oksigen dan pernapasan
secara hati-hati karena adanya risiko depresi pernapasan akibat
oksigen.

d. Ketakutan

Tujuan :

1. Mencari informasi untuk menurunkan ketakutan

2. Menghindari sumber ketakutan bila mungkin

3. Menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan ketakutan

4. Memantau penurunan durasi episode


NOC

1. Tingkat ketakutan : Keparahan manifestasi rasa takut, ketegangan,


atau kegelisahan yang berasal dari sumber yang dapat dikenali

2. Tingkat Ketakutan : Anak-anak : Keparahan manifestasi rasa takut,


ketegangan, atau kegelisahan yang berasal dari sumber yang dapat
dikenali pada anak-anak dari usia 1 tahun sampai 17 tahun

3. Pengendalian Diri Terhadap ketakutan : Tindakan individu untuk


mengurangi atau menurunkan perasaan tidak mampu akibat rasa takut
ketegangan atau kegelisahan yang berasal dari sumber yang dapat
dikenali.

Kriteria Hasil :

1. Mencari informasi untuk mengurangi ketakutan

2. Menghindari sumber ketakutan bila mungkin

3. Menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan ketakutan

4. Mempertahankan control terhadap kehidupan

Intervensi NOC :

Pengurangan Ansietas : Meminimalkan rasa cemas, nyeri, firasat atau


kesulitan yang berhubungan dengan perkiraan sumber bahaya yang tidak
teridentifikasi.

Teknik Penenangan : Menurunkan ansietas pada pasien yang mengalami


distress akut.

Peningkatan Koping : Membantu pasien beradaptasi dengan


persepsi stressor, perubahan atau ancaman yang mengganggu
pemenuhan tuntutan hidup dan peran Kehadiran : Bersama dengan yang
lain, baik secara fisik maupun psikologis selama dibutuhkan
Peningkatan Keamanan : Meningkatkan perasaan aman fisik dan
psikologis pasien

Aktivitas Keperawatan

Pengkajian

1. Kaji respon takut subjektif dan objektif pasien

2. Peningkatan koping (NIC) : Nilai pemahaman pasien terhadap proses


penyakitnya.

Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga

1. Jelaskan semua pemeriksaan dan pengobatan kepada pasien/keluarga

2. Bantu klien membedakan antara ketakutan rsional dan yang tidak


rasional

3. Ajarkan pasien dan keluarga bagaimana menggunakan imajinasi


terbimbing ketika mereka merasa ketakutan.

Aktivitas Kolaboratif

1. Kaji kebutuhan untuk layanan sosialatau intervensi psikiatrik

2. Dorong diskusi antara pasien dan dokter tentang ketakutan pasien

3. Adakan konferensi perawatan multidisiplin untuk membuat rencana


perawatan

Aktivitas lain

1. Sering berikan penguatan positif bila pasien mendemonstrasikan


perilaku yang dapat menurunkan atau mengurangi rasa takut

2. Tetap bersama pasien selama menghadapi situasi baru atau ketika


pasien merasa sangat ketakutan

3. Jauhkan sumber ketakutan pasien apabila memungkinkan


4. Sampaikan penerimaan terhadap persepsi ketakutan pasien untuk
mendukung komunikasi terbuka mengenai sumber ketakutan

5. Berikan perawatan yang berkelanjutan melalui penugasan dan


penggunaan rencana perawatan

6. Sering berikan penguatan verbal dan non verbal yang dapat


membantu menurunkan ketakutan pasien.

e. Konstipasi

Tujuan :

1. Konstipasi menurun, yang dibuktikan oleh defekasi

Pola eliminasi

Feses lemak dan berbentuk

Mengeluarkan feses tanpa bantuan

2. Konstipasi menurun yang dibuktikan oleh defekasi

Darah di dalam feses

Nyeri saat defekasi

NOC

1. Defekasi : pembentukan dan pengeluaran feses

2. Hidrasi : kecukupan air di dalam kompartemen intrasel dan ekstrasel


tubuh

3. Pengendalian gejala : tindakan personal untuk meminimalkan


persepsi perubahan negative pada fungsi fisik dan emosi

Kriteria hasil
Konstipasi tidak ada yang diindikasikan dengan gangguan eliminasi
defekasi

Intervensi NIC :

1. Manajemen Defekasi : Membentuk dan mempertahankan pola


eliminasi defekasi yang teratur.
2. Manajemen Konstipasi/Impaksi : Mencegah dan mengatasi
konstipasi/impaksi
3. Manajemen Cairan : Meningkatkan keseimbangan cairan dan
mencegah komplikasi akibat kadar cairan yang tidak normal atau
tidak diinginkan
4. Manajemen Cairan/Elektrolit : Mengatur dan mencegah komplikasi
akibat perubahan kadar cairan dan atau elektrolit

Aktivitas Keperawatan

Pada umumnya, tindakan keperawatan untuk diagnosis ini berfokus pada


pengkajian untuk dan mengatasi penyebab konstipasi, dan
seringkali mencakup kebiasaan eliminasi yang rutin, hidrasi, latihan
fisik atau mobilitas dan diet tinggi serat.

Pengkajian

1. Dapatkan data dasar mengenai program defekasi, aktivitas,


pengobatan, dan pola kebiasaan pasien

2. Kaji dan dokumentasikan

Warna dan konsistensi feses pertama pascaoperasi

Frekuensi, warna dan konsistensi feses

Keluarnya flatus

Adanya impaksi
Ada atau tidak ada bising usus dan distensi abdomen pada keempat
kuadran abdomen

3. Manajemen Konstipasi/Impaksi (NIC)

1. Pantau tanda dan gejala rupture usus atau peritonitis


2. Identifikasi faktor (misalnya, pengobatan, tirah baring, dan diet)
yang dapat menyebabkan atau berkontribusi terhadap konstipasi

Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga

1. Informasikan kepada pasien kemungkinan konstipasi akibat obat

2. Instrusikan pasien mengenai bantuan eliminasi defekasi yang dapat


meningkatkan pola defekasi yang optimal di rumah

3. Ajarkan kepada pasien tentang efek diet (misalnya cairan dan


serat) pada eliminasi

4. Instruksikan pasien tentang konsekuensi penggunaan laksatif jangka


panjang

Aktivitas Kolaboratif

1. Konsultasi dengan ahli gizi untuk meningkatkan serat dan cairan


dalam diet

2. Minta program dari dokter untuk memberikan bantuan eliminasi,


seperti diet tinggi serat, pelunak feses, enema, dan laksatif

Aktivitas Lain

1. Anjurkan pasien untuk meminta obat nyeri sebelum defekasi untuk


memfasilitasi pengeluaran feses tanpa nyeri.

2. Anjurkan aktivitas optimal untuk merangsang eliminasi defekasi


pasien.

3. Berikan privasi dan keamanan untuk pasien selama eliminasi defekasi.


4. Berikan perawatan dalam sikap yang menerima, tidak menghakimi.

5. Sediakan cairan sesuai dengan pilihan pasien.


23
24
25
15
DAFTAR PUSTAKA

Kasron.2012.Buku Ajar Gangguan Sistem Kardiovaskuler.Yogyakarta.Nuha


Medika

http://samoke2012.files.wordpress.com/2015/10/askep-
ima.pdf&sa=U&ved=0ahUKEwi-hsX35-
feAhuTbo8KHU0yBt4QFggLMAA&usg=AOvVaw1hj8Jr-O0WgkL-t7Tzv0F5

16
17
18

Anda mungkin juga menyukai