TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Pendahuluan
Tuberkulosis atau TB masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi
tantangan global. Indonesia merupakan negara pertama diantara negara-negara dengan beban
TB yang tinggi di wilayah Asia Tenggara yang berhasil mencapai target global untuk TB pada
tahun 2006, yaitu 70% penemuan kasus baru TB BTA positif dan 85% kesembuhan. Saat ini
Indonesia berada di urutan kedua diantara negara dengan beban TB tertinggi di dunia.
[CITATION Kem15 \l 1033 ]
2.1.2 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya.[ CITATION Kem12 \l 1033 ]
2.1.3 Epidemiologi
Insidens TB secara global dilaporkan menurun dengan laju 2,2% pada tahun 2010-
2011. Walaupun dengan kemajuan yang cukup berarti ini, beban global akibat TB masih
tetap besar. Diperkirakan pada tahun 2011 insidens kasus TB mencapai 8,7 juta (termasuk
1,1 juta dengan koinfeksi HIV) dan 990 ribu orang meninggal karena TB. Secara global
diperkirakan insidens TB resisten obat adalah 3,7% kasus baru dan 20% kasus dengan
riwayat pengobatan. Sekitar 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia terjadi
di negara berkembang.[ CITATION Kem11 \l 1033 ]
Hasil Riskesdas tahun 2013 memaparkan morbiditas TB menurut karakteristik
sosiodemografi. Berdasarkan karakteristik tersebut, besaran masalah TB antar kelompok
pada tiap karakteristik menunjukan perbedaan, dimana kelompok tertentu memiliki
prevalensi lebih besar dibanding kelompok lain. [CITATION Ris13 \l 1033 ]
Dari seluruh penduduk yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan, hanya 44.4%
diobati dengan obat program. Lima provinsi terbanyak yang mengobati TB dengan obat
program adalah DKI Jakarta (68.9%). DI Yogyakarta (67,3%), Jawa Barat (56,2%),
Sulawesi Barat (54,2%) dan Jawa Tengah (50.4%). [CITATION Ris13 \l 1033 ]
2.1.4 Patogenesis
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan
paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau
afek primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda
dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening
menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah
bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis
regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu
nasib sebagai berikut [CITATION Per11 \l 1033 ] :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik,
sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat
penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang
membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan,
dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus
yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada
lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus
Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini sangat
bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti
yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti
tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran
ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang,
ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini
mungkin berakhir dengan :
- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis tuberkuloma)
atau
- Meninggal
Tuberkulosis Post-Primer:
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-
primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang
bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis
menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem
kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai
dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun
lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang
pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut [CITATION Per11 \l 1033 ] :
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat
2. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras,
terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga
sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan
kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan
muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis,
kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini :
Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang
pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas
Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin pula
aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity,
atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga
kelihatan seperti bintang (stellate shaped).
b. Gejala Sistemik
• Demam
• gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
B. Pemeriksaan biakan
Pemeriksaan biakan dahak merupakan baku emas untuk mendiagnosis TB. Ada dua
macam media yang digunakan dalam pemeriksaan biakan yaitu media padat dan media
cair. Waktu pemeriksaan dengan media cair lebih singkat dibandingkan dengan media
padat. Namun, kuman TB merupakan kuman yang lambat dalam pertumbuhan
sehingga biakan memerlukan waktu sekitar 6 – 8 minggu. Pemeriksaan biakan
memerlukan waktu cukup lama sehingga bila penegakan diagnosis TB pada ODHA
hanya mengandalkan pada pemeriksaan biakan maka dapat mengakibatkan angka
kematian TB pada ODHA meningkat.
D. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-
lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai
sebagai lesi TB aktif :
Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
2.1.8.Diagnosis
A. Diagnosis TB Paru:
Dalam upaya pengendalian TB nasional, maka diagnosis TB paru pada orang dewasa
harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. pemeriksaan
bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan dan
tes cepat.
Apabila pemeriksaan bakteriologis hasilnya negative, maka penegakan diagnosis TB
dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang
(setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter
yang terlatih TB).
Pada sarana terbatas penegakan diagnosis secara klinis dilakukan setelah pemberian
terapi antibiotika spectrum luas (non OAT dan Non Kuinolon) yang tidak
memberikan perbaikan klinis.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.
Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran spesifik pada TB paru , sehingga
dapat menyebabkan terjadinya overdiagnosis ataupun Underdiagnosis[ CITATION
Kem14 \l 1033 ]
B. Diagnosis TB Ekstra Paru
Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,
bakteriologis dan atau histopatologi dari contoh uji yang di ambil dari organ tubuh
yang terkena. [ CITATION Kem14 \l 1033 ]
Gambar 3. Alur Diagnosis dan Tindak Lanjut TB Paru pada Pasien Dewasa
(dimodifikasi dari : Treatment of tuberculosis Guidelines For Nasional Programme,
WHO, 2003)
Sumber :
Petunjuk Teknis
Menejemen dan
Tatalaksanan TB
Anak, 2016.
2.1.9 Tatalaksana
A. Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
dengan maksud [ CITATION Kem14 \l 1033 ]
a. Tahap Awal
Pengobatan di berikan setiap hari. Dimaksud secara efektif menurunkan jumlah
kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian
kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan
pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan 2
bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit,
daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan dua minggu.
b. Tahap Lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang paling penting untuk membunuh
sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khusunya kuman persisten sehingga pasien
dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.
B. Panduan OAT yang digunakan di Indonesia (sesuai rekomendasi WHO dan ISTC)
Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberculosis di
Indonesia adalah:[ CITATION Kem14 \l 1033 ]
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/ 5(HR)3E3
Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S) / 4-10 HR
Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di Indonesia terdiri
dari OAT line ke-2 yaitu Kanamisin,Kapreomisin, Levoflosasin, Etionamide,
Sikloserin, Moksifloksasin, dan PAS.
b. TB Di Luar Paru
Paduan obat 2 RHZE/ 10 RH.
Prinsip pengobatan sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya
pengobatan untuk TB tulang, TB sendi dan TB kelenjar, meningitis pada
bayi dan anak lama pengobatan 12 bulan.
Pada TB diluar paru lebih sering dilakukan tindakan bedah. Tindakan bedah
dilakukan untuk :
Mendapatkan bahan / spesimen untuk pemeriksaan (diagnosis)
Pengobatan : perikarditis konstriktiva
kompresi medula spinalis pada penyakit Pott's
3. Hepatitis Kronis
Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis, pemeriksaan
fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. Apabila hasil
pemeriksaan fungsi hati >3 x normal sebelum memulai pengobatan, paduan
OAT berikut ini dapat dipertimbangkan:
a) 2 obat yang hepatotoksik
2 HRSE / 6 HR
9 HRE
b) 1 obat yang hepatotoksik
2 HES / 10 HE
c) Tanpa obat yang hepatotoksik
18-24 SE ditambah salah satu golongan fluorokuinolon
(ciprofloxasin tidak direkomendasikan karena potensimya sangat
lemah).
Semakin berat atau tidak stabil penyakit hati yang diderita pasien TB, harus
menggunakan semakin sedikit OAT yang hepatotoksik.
Konsultasi dengan seorang dokter spesialis sangat dianjurkan,
Pemantauan klinis dan LFT harus selalu dilakukan dengan seksama,
Pada panduan OAT dengan penggunaan etambutol lebih dari 2 bulan
diperlukan evaluasi gangguan penglihatan
Gambar 17. Penilaian Tingkat Kegagalan Fungsi Ginjal Pada Penyakit Ginjal
Kronis.
TB Resistan Obat
Menurut WHO saat ini Indonesia menduduki peringkat ke delapan dari 27
negara dengan jumlah kasus Multi Drug Resistance (MDR) tertinggi. Data
Global TB Report tahun 2013 menunjukkan angka TB MDR pada pasien yang
belum pernah mendapat pengobatan OAT sebelumnya sekitar 1,9 % dan sekitar
12 % bagi yang pernah mendapatkan pengobatan OAT sebelumnya. TB
dikatakan resistan obat jika terdapat resistensi terhadap OAT.
Kategori resistansi terhadap OAT yaitu :
a. Mono resistan (TB MR) : resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama
saja
b. Poli resistan (TB PR) : resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
c. Multi Drug Resistan (TB MDR) : resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan
d. Extensive Drug Resistan (TB XDR) : adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT gol. Fluorokuionolon dan minimal salah
satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan
Amikasin)
e. Resistan Rifampisin (TB RR) : resistan terhadap Rifampisin dengan atau
tanpa resistansi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode
genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional)
2.1.8 Komplikasi
- Batuk darah
- Pneumotoraks
- Luluh paru
- Gagal napas
- Gagal jantung
- Efusi pleura
2.1.9 Pencegahan
Salah satu upaya pencegahan mencegah kesakitan atau sakit yang berat adalah
dengan memberikan kekebalan berupa vaksinasi dan pengobatan pencegahan
(profilaksis). A. Pemberian Kekebalan (Imunisasi) BCG Vaksin BCG (Bacille
Calmette-Guérin) adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang berasal dari
Mycobacterium bovis. Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan Program Pengembangan
Imunisasi diberikan pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin BCG pada bayi > 2 bulan
harus didahului dengan uji tuberkulin. Petunjuk pemberian vaksinasi BCG mengacu
pada Pedoman Program Pemberian Imunisasi Kemenkes. Secara umum perlindungan
vaksin BCG efektif untuk mencegah terjadinya TB berat seperti TB milier dan TB
meningitis yang sering didapatkan pada usia muda. Vaksinasi BCG ulang tidak
direkomendasikan karena tidak terbukti memberi perlindungan tambahan
Pengobatan Pencegahan dengan INH Sebagai salah satu upaya pencegahan TB
aktif pada ODHA, pemberian pengobatan pencegahan dengan Isoniazid (PP INH) dapat
diberikan pada ODHA yang tidak terbukti TB aktif dan tidak ada kontraindikasi
terhadap INH. Dosis INH yang diberikan adalah 300 mg
Pengobatan pencegahan dengan Rifapentine dan Isoniazid Saat ini telah
terdapat pilihan pengobatan pencegahan dengan Rifapentin dan Isoniazid. Sebagai
catatan, obat ini tidak direkomendasikan penggunaannya pada anak berusia < 2 tahun
dan anak dengan HIV AIDS dalam pengobatan ARV. a. Pemberian Pengobatan
Pencegahan dengan Isoniazid (PP INH) pada ODHA Pengobatan Pencegahan dengan
INH (PP INH) bertujuan untuk mencegah TB aktif pada ODHA, sehingga dapat
menurunkan beban TB pada ODHA. Jika pada ODHA tidak terbukti TB dan tidak ada
kontraindikasi, maka PPINH diberikan yaitu INH diberikan dengan dosis 300 mg/hari
dan B6 dengan dosis 25mg/hari sebanyak 180 dosis atau 6 bulan. b. Pemberian
Pengobatan Pencegahan dengan Kotrimoksasol (PPK) pada ODHA Pengobatan
pencegahan dengan kotrimoksasol bertujuan untuk mengurangi angka kesakitan dan
kematian pada ODHA dengan atau tanpa TB akibat IO. Pengobatan pencegahan dengan
kotrimoksasol relatif aman dan harus diberikan sesuai dengan Pedoman Nasional PDP
serta dapat diberikan di unit DOTS atau di unit PDP.
DAFTAR PUSTAKA
1. Amin, Z., Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru. Dalam:Sudoyo, A., W., dkk. Buku Ajar
Ilmu penyakit Dalam Jilid III. Ed 5. Jakarta : FKUI; 2230-2239
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2013). Riset Kesehatan Dasar.
jakarta: Kemenkes 2013.