Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Pendahuluan
Tuberkulosis atau TB masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi
tantangan global. Indonesia merupakan negara pertama diantara negara-negara dengan beban
TB yang tinggi di wilayah Asia Tenggara yang berhasil mencapai target global untuk TB pada
tahun 2006, yaitu 70% penemuan kasus baru TB BTA positif dan 85% kesembuhan. Saat ini
Indonesia berada di urutan kedua diantara negara dengan beban TB tertinggi di dunia.
[CITATION Kem15 \l 1033 ]

2.1.2 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya.[ CITATION Kem12 \l 1033 ]

2.1.3 Epidemiologi
Insidens TB secara global dilaporkan menurun dengan laju 2,2% pada tahun 2010-
2011. Walaupun dengan kemajuan yang cukup berarti ini, beban global akibat TB masih
tetap besar. Diperkirakan pada tahun 2011 insidens kasus TB mencapai 8,7 juta (termasuk
1,1 juta dengan koinfeksi HIV) dan 990 ribu orang meninggal karena TB. Secara global
diperkirakan insidens TB resisten obat adalah 3,7% kasus baru dan 20% kasus dengan
riwayat pengobatan. Sekitar 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia terjadi
di negara berkembang.[ CITATION Kem11 \l 1033 ]
Hasil Riskesdas tahun 2013 memaparkan morbiditas TB menurut karakteristik
sosiodemografi. Berdasarkan karakteristik tersebut, besaran masalah TB antar kelompok
pada tiap karakteristik menunjukan perbedaan, dimana kelompok tertentu memiliki
prevalensi lebih besar dibanding kelompok lain. [CITATION Ris13 \l 1033 ]

Tabel 1. Prevalensi TB menurut Karakteristik berdasarkan Pendidikan dan Kuantil


Indeks Kepemilikan
Sumber :
Badan Litbangkes, Kemenkes RI, 2014

Dari seluruh penduduk yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan, hanya 44.4%
diobati dengan obat program. Lima provinsi terbanyak yang mengobati TB dengan obat
program adalah DKI Jakarta (68.9%). DI Yogyakarta (67,3%), Jawa Barat (56,2%),
Sulawesi Barat (54,2%) dan Jawa Tengah (50.4%). [CITATION Ris13 \l 1033 ]

Grafik 1. Prevalensi TB Paru Menurut Provinsi, Indonesia 2007 dan 2013

Sumber: Riset Kesehatan Dasar 2013

Berdasarkan karakteristik penduduk, prevalensi TB paru cenderung meningkat dengan


bertambahnya umur, pada pendidikan rendah, tidak bekerja. Prevalensi TB paru terendah
pada kuintil teratas. [CITATION Ris13 \l 1033 ]
Table 2. Prevalensi TB menurut Karakteristik berdasarkan Umur dan Pekerjaan

Sumber : Badan Litbangkes,Kemenkes RI, 2014

Berdasarkan hasil laporan triwulan penemuan Pasien TB di Puskesmas Kecamatan


Cilincing didapatkan pada tahun 2016 jumlah pasien yg terdaftar dan dinyatakan BTA positif
sebanyak 21 pasien, pasien yang dinyatakan sembuh 16 pasien, pasien default 2orang. Pada
tahun 2017 perfalensi pasien dengan BTA positif tertinggi pada umur 25-44 tahun.

2.1.4 Morfologi dan Struktur Bakteri


Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh infeksi kuman
(basil) Mycobacterium tuberculosis. Organisme ini termasuk ordo Actinomycetalis, familia
Mycobacteriaceae dan genus Mycobacterium. Genus Mycobacterium memiliki beberapa
spesies diantaranya Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan infeksi pada manusia.
Basil tuberkulosis berbentuk batang ramping lurus, tapi kadang-kadang agak melengkung,
dengan ukuran panjang 2 μm-4 μm dan lebar 0,2 μm–0,5 μm. Organisme ini tidak bergerak,
tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul, bila diwarnai akan terlihat berbentuk manik-
manik atau granuler. Sebagian besar basil tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga
menyerang organ tubuh lain. Mycobacterium tuberculosis merupakan mikobakteria tahan
asam dan merupakan mikobakteria aerob obligat dan mendapat energi dari oksidasi berbagai
senyawa karbon sederhana. Dibutuhkan waktu 18 jam untuk menggandakan diri dan
pertumbuhan pada media kultur biasanya dapat dilihat dalam waktu 6-8 minggu. Suhu
optimal untuk tumbuh pada 37ºC dan pH 6,4-7,0. Jika dipanaskan pada suhu 60ºC akan mati
dalam waktu 15-20 menit. Kuman ini sangat rentan terhadap sinar matahari dan radiasi sinar
ultraviolet. Selnya terdiri dari rantai panjang glikolipid dan phospoglican yang kaya akan
mikolat (Mycosida) yang melindungi sel mikobakteria dari lisosom serta menahan pewarna
fuschin setelah disiram dengan asam (basil tahan asam). [CITATION Jan15 \l 1033 ]

Gambar 1. Gambaran Mycobacterium Tuberculosis Pada Pewarnaan Ziehl-Neelsen

Sumber: Jawetz Melnick & Adelbergs Medical Microbiology, 2015.

2.1.4 Patogenesis
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan
paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau
afek primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda
dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening
menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah
bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis
regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu
nasib sebagai berikut [CITATION Per11 \l 1033 ] :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik,
sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
 Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat
penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang
membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan,
dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus
yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada
lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
 Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus
 Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini sangat
bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti
yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti
tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran
ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang,
ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini
mungkin berakhir dengan :
- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis tuberkuloma)
atau
- Meninggal

Tuberkulosis Post-Primer:
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-
primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang
bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis
menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem
kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai
dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun
lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang
pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut [CITATION Per11 \l 1033 ] :
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat
2. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras,
terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga
sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan
kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan
muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis,
kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini :
 Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang
pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas
 Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin pula
aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
 Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity,
atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga
kelihatan seperti bintang (stellate shaped).

Gambar 2. Skema perkembangan sarang tuberculosis post primer dan perjalanan


penyembuhannya

Sumber : Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, 2006.


2.1.5 Klasifikasi
Pasien juga di klasifikasikan menurut [CITATION Kem14 \l 1033 ]
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi dalam[CITATION
Per11 \l 1033 ]
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
• Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif
• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif
b. Tuberkulosis Paru BTA (-)
• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik
dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons
dengan pemberian antibiotik spektrum luas
• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
M.tuberculosis positif
• Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa
2. Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya
a. Pasien Baru TB
Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan TB sebelumnya atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (28 dosis harian).
b. Pasien yang pernah diobati TB
 Kasus Kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap,dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karna reinfeksi
lagi)
Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten
dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut
harus membawa surat rujukan/pindah

Pasien yang diobati kembali setelah gagal


Pasien tb yg pernah di obati dan di nyatakan gagal pada pengobatan terakhir
Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)
Pasien yg pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (sebelumnya di
kenal dengan default)
c. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak di ketahui
3. Berdasarkan letak Anatomi
a. Tuberkulosis Paru
Adalah TB yg terjadi pada parenkim paru. TB milier dianggap TB paru karena
adanya lesi pada jaringan Paru
b. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
kelenjar limfe,abdomen, , kulit, sendi, selaput otot, tulang,

4. Klasifikasi berdasarkan status HIV


 Kasus TB dengan HIV positif adalah kasus TB konfirmasi bakteriologis atau
klinis yang memiliki hasil positif untuk tes infeksi HIV yang dilakukan pada
saat ditegakkan diagnosis TB atau memiliki bukti dokumentasi bahwa pasien
telah terdaftar di register HIV atau obat antiretroviral (ARV) atau praterapi
ARV.
 Kasus TB dengan HIV negatif adalah kasus TB konfirmasi bakteriologis
atau klinis yang memiliki hasil negatif untuk tes HIV yang dilakukan pada saat
ditegakkan diagnosis TB. Bila pasien ini diketahui HIV positif di kemudian
hari harus disesuaikan klasifikasinya.
 Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui adalah kasus TB konfirmasi
bakteriologis atau klinis yang tidak memiliki hasil tes HIV dan tidak memiliki
bukti dokumentasi telah terdaftar dalam register HIV. Bila pasien ini diketahui
HIV positif dikemudian hari harus disesuaikan klasifikasinya.

2.1.6 Manifestasi Klinis


Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau
gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.[CITATION Per11 \l 1033 ]
a. Gejala Respiratorik
 batuk ≥ 3 minggu
 batuk darah
 sesak napas
 nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala
yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat
medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita
mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan
selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari
kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis,
sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada
pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

b. Gejala Sistemik
• Demam
• gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun

2.1.7 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru.
Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)
menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apex dan segmen posterior , serta daerah apex lobus inferior. Pada
pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas
melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.[CITATION
Per11 \l 1033 ]

A. Pemeriksaan Dahak mikroskopis langsung


Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan penentukan potensi penularan. Cara pengambilan dahak 2 kali dengan
minimal satu kali dahak pagi hari. Pemeriksaan mikroskopis dahak cukup dilakukan
dengan dua spesimen dahak (Sewaktu dan Pagi = SP) dan bila minimal salah satu
spesimen dahak hasilnya BTA positif maka diagnosis TB dapat ditegakkan. [ CITATION
Kem12 \l 1033 ]

B. Pemeriksaan biakan
Pemeriksaan biakan dahak merupakan baku emas untuk mendiagnosis TB. Ada dua
macam media yang digunakan dalam pemeriksaan biakan yaitu media padat dan media
cair. Waktu pemeriksaan dengan media cair lebih singkat dibandingkan dengan media
padat. Namun, kuman TB merupakan kuman yang lambat dalam pertumbuhan
sehingga biakan memerlukan waktu sekitar 6 – 8 minggu. Pemeriksaan biakan
memerlukan waktu cukup lama sehingga bila penegakan diagnosis TB pada ODHA
hanya mengandalkan pada pemeriksaan biakan maka dapat mengakibatkan angka
kematian TB pada ODHA meningkat.

C. Pemeriksaan Uji Kepekaan Obat


Bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M.Tb terhadap OAT. Untuk
memperluas akses terhadap penemuan pasien TB dengan resisten OAT, Kemenkes RI
telah menyediakan tes cepat yaitu GaneXpert ke fasilitas kesehatan (laboratorium dan
RS) diseluruh provinsi. [CITATION Kem14 \l 1033 ]

D. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-
lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai
sebagai lesi TB aktif :
 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
 Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif


 Fibrotik
 Kalsifikasi
 Schwarte
E. Uji Tuberkulin

2.1.8.Diagnosis
A. Diagnosis TB Paru:
 Dalam upaya pengendalian TB nasional, maka diagnosis TB paru pada orang dewasa
harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. pemeriksaan
bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan dan
tes cepat.
 Apabila pemeriksaan bakteriologis hasilnya negative, maka penegakan diagnosis TB
dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang
(setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter
yang terlatih TB).
 Pada sarana terbatas penegakan diagnosis secara klinis dilakukan setelah pemberian
terapi antibiotika spectrum luas (non OAT dan Non Kuinolon) yang tidak
memberikan perbaikan klinis.
 Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.
 Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.
Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran spesifik pada TB paru , sehingga
dapat menyebabkan terjadinya overdiagnosis ataupun Underdiagnosis[ CITATION
Kem14 \l 1033 ]
B. Diagnosis TB Ekstra Paru
 Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,
bakteriologis dan atau histopatologi dari contoh uji yang di ambil dari organ tubuh
yang terkena. [ CITATION Kem14 \l 1033 ]

Gambar 3. Alur Diagnosis dan Tindak Lanjut TB Paru pada Pasien Dewasa
(dimodifikasi dari : Treatment of tuberculosis Guidelines For Nasional Programme,
WHO, 2003)

C. Diagnosis TB Paru pada Anak


Dalam menegakkan diagnosis TB pada anak, semua prosedur diagnosis dapat dikerjaan,
namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnosis yang tersedia, dapat menggunakan
suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring. System skoring tersebut di
kembangkan di uji coba melalui tiga tahap penelitian oleh para ahli yang berasal dari IDAI,
Kemenkes dan di dukung oleh WHO dan di sepakati sebagai salah satu cara untuk
mempermudah penegakan diagnosis TB pada Anak terutama di fasilitas kesehatan dasar.
[ CITATION Kem16 \l 1033 ]
Gambar 4. Sistem Skoring Gejala Dan Pemeriksaan Penunjang TB Di Faskes
Sumber : Petunjuk Teknis Menejemen dan Tatalaksanan TB Anak, 2016.

Parameter Sistem Skoring [ CITATION Kem16 \l 1033 ]


1. Penentuan status gizi
a. Berat badan dan panjang/ Tinggi badan dinilai saat pasien datang (moment
opname)
b. Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. penentuan stats gizi untuk
anak usia ≤ 6 tahun merujuk pada buku KIA kemenkes 2016. Sedangkan
untuk anak usia > 6 tahun merujuk pada standar WHO 2005 yaitu IMT/U
c. Bila BB kurang diberikan upaya perbaiikan gizi dan evaluasi selama 1-2
bulan.
2. Penegakan diagnosis
a. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥6 (skor maksimal 13)
b. Anak dengan skoring 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif
dan hasil uji tuberkulin positif tetapi TANPA gejala klinis maka di lakukan
observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak tersebut.
c. Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak BTA (+) atau uji tuberkulin
dengan ditambah 3 gejala klinis lainnya, diobati sebagai TB Anak.
d. Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala klinis
lain pada faskes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat di diagnosis,
diterapi dan di pantau sebagai TB anak. Pemantauan di lakukan 2 bulan terapi
awal. Apabila terdapat perbaikan klinis, maka terapi OAT diteruskan sampai
selesai.
Gambar 5. Alur Diagnosis TB anak

Sumber :
Petunjuk Teknis
Menejemen dan
Tatalaksanan TB
Anak, 2016.

2.1.9 Tatalaksana
A. Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
dengan maksud [ CITATION Kem14 \l 1033 ]
a. Tahap Awal
Pengobatan di berikan setiap hari. Dimaksud secara efektif menurunkan jumlah
kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian
kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan
pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan 2
bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit,
daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan dua minggu.
b. Tahap Lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang paling penting untuk membunuh
sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khusunya kuman persisten sehingga pasien
dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.

B. Panduan OAT yang digunakan di Indonesia (sesuai rekomendasi WHO dan ISTC)
Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberculosis di
Indonesia adalah:[ CITATION Kem14 \l 1033 ]
 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/ 5(HR)3E3
 Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S) / 4-10 HR
 Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di Indonesia terdiri
dari OAT line ke-2 yaitu Kanamisin,Kapreomisin, Levoflosasin, Etionamide,
Sikloserin, Moksifloksasin, dan PAS.

C. Panduan OAT-KDT Lini Pertama


I. Kategori 1 = 2(HRZE)/4(HR)3
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :
 Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis
 Pasien TB paru terdiagnosis klinis
 Pasien TB ekstra paru

Gambar 6 . Dosis Panduan OAT KDT kategori 1= 2(HRZE)/4(HR)3


Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014

Gambar 7. Dosis Panduan OAT Kombipak Kategori 1 = 2HRZE/4H3R3


Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014

Gambar 8. Kisaran Dosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa

Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014

II. Kategori 2 = 2(HRZE)S/(HRZE)/ 5(HR)3E3


Panduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya
(pengobatan ulang):
 Pasien kambuh
 Pasien gagal pada pengobatan dengan panduan OAT kategori 1 sebelumnya
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)

Gambar 9. Dosis Panduan OAT KDT kategori 2


2(HRZE)S/(HRZE)/ 5(HR)3E3
Gambar 10 . Dosis Panduan OAT kombipak kategori 2
2HRZES/HRZE/5H3R3E3.

Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014

III. TB pada Anak


Gambar 11. Algoritma Tatalaksana TB Anak
Sumber : Buku Petunjuk Teknis Manejemen dan Tatalaksana TB Anak, 2016

Panduan OAT Anak


a. Pengobatan TB pada Anak dibagi 2 tahap [ CITATION Kem16 \l 1033 ]
o Tahap Awal selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal 3
macam obat, tergantung hasil pemeriksaan baktriologis dan berat ringannya
penyakit
o Tahap lanjutan selama 4-10 bulan selanjutnya tergantung hasil pemeriksaan
baktriologis dan berat ringannya penyakit
b. Panduan OAT untuk anak yang digunakan oleh program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah
o Kategori Anak dengan 3 macam obat : 2RHZ/4HR

Gambar 12. Dosis OAT untuk Anak


Sumber : Buku Petunjuk Teknis Manejemen dan Tatalaksana TB Anak, 2016

Untuk mempermudah permberian OAT dan meningkatkan keteraturan


minum obat, panduan OAT disediakan dalam bentuk KDT/FDC.

Gambar 13 . Dosis OAT KDT pada Anak

SSumber : Buku Petunjuk Teknis Manejemen dan Tatalaksana TB Anak, 2016

D. Pemantauan Kemajuan dan Hasil Pengobatan TB


Ringkasan tindak lanjut berdasarkan hasil pemeriksaan ulang dahak untuk
memantau kemajuan hasil pengobatan [ CITATION Kem14 \l 1033 ]
i. Apabila Hasil Pemeriksaan Pada Akhir Tahap Awal Negative
 Pada pasien baru maupun pengobatan ulang, segara diberikan dosis
pengobatan tahap lanjutan
 Selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal (pada bulan
ke 5 dan akhir pengobatan)
ii. Apabila Hasil Pemeriksaan Pada Akhir Tahap Awal Positif
 Pada Pasien Baru ( Katagori 1)
Segara diberikan dosis tahap lanjutan. Lakukan pemeriksaan ulang dahak
kembali setelah pemberian obat OAT tahap lanjutan satu bulan. Apabila hasil
pemeriksaan dahak ulang tetap positif, lakukan pemeriksaan uji kepekaan
obat. Dan apabila tidak memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat,
lanjutkan pengobatan dan periksan ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5
 Pada pasien dengan pengobatan ulang (Kategori 2)
Pasien dinyatakan sebagai terduga TB MDR. Lakukan pemeriksaan uji
kepekaan obat atau di rujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR.
iii. Pada Bulan ke 5 atau lebih
 Apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya negative, lanjutkan
pengobatan sampai seluruh dosis pengobatan selesai diberikan
 Apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya positif, pengobatan di
nyatakan gagal dan pasien di nyatakan sebagai pasien TB MDR.

Gambar 14. Pemeriksaan Dahak Ulang untuk Pemantauan Hasil Pengobatan

Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014

Gambar 15. Tatalaksana Pasien yang Berobat tidak teratur


Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014
Gambar 16. Hasil Pengobatan Pasien TB

Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014


E. Pengobatan TB pada keadaan Khusus
a. TB Milier
o Rawat inap
o Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
o Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik, radiologik dan
evaluasi pengobatan , maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang sampai
dengan 7 bulan 2RHZE/ 7 RH
o Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan
 Tanda / gejala meningitis
 Sesak napas
 Tanda / gejala toksik
 Demam tinggi
o Kortikosteroid: prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 5-10 mg setiap 5-7
hari, lama pemberian 4 - 6 minggu.

b. TB Di Luar Paru
 Paduan obat 2 RHZE/ 10 RH.
 Prinsip pengobatan sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya
pengobatan untuk TB tulang, TB sendi dan TB kelenjar, meningitis pada
bayi dan anak lama pengobatan 12 bulan.
Pada TB diluar paru lebih sering dilakukan tindakan bedah. Tindakan bedah
dilakukan untuk :
 Mendapatkan bahan / spesimen untuk pemeriksaan (diagnosis)
 Pengobatan : perikarditis konstriktiva
kompresi medula spinalis pada penyakit Pott's

Pemberian kortikosteroid diperuntukkan pada perikarditis TB untuk


mencegah konstriksi jantung, dan pada meningits TB untuk menurunkan gejala
sisa neurologik.

c. Kehamilan, Menyusui dan Pemakai Kontrasepsi Hormonal


[ CITATION Per11 \l 1033 ]
 Obat anti TB lini pertama (RHZE) aman digunakan selama kehamilan, kecuali
streptomisin yang bersifat ototoksik pada fetus.
 Pasien TB yang sedang menyusui boleh mendapatkan pengobatan TB karena
pengobatan yang tepat merupakan cara untuk memutus transmisi kuman TB
pada bayi. Ibu dan bayi dapat digabung.
 Bati diperiksan untuk kemungkinan TB aktif, apabila tidak terjadi maka bayi
sebaiknya diberikan INH preventive therapy selanjutnya vaksinasi BCG
 Suplemen piridoksin direkomendasikan pada pasien hamil atau sedang
menyusui (yang mendapatkan INH)
 Pada pasien TB yg menyusui, OAT dan ASI tetap dapat diberikan walaupun
beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetapi konsentrasinya kecil
dan tidak menyebabkan toksik pada bayi.
 Tidak ada indikasi pengguguran pada penderita TB dengan kehamilan
 Pada perempuan usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan
rifampisin dianjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, karena
dapat terjadi interaksi obat yang menyebabkan efektiviti obat kontrasepsi
hormonal berkurang.

d. Pasien TB dengan Kelainan Hati


1. Pasien TB dengan Hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik,
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Sebaiknya dirujuk
ke fasyankes rujukan untuk penatalaksanaan spesialistik.
2. Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan paduan pengobatan OAT yang
biasa digunakan apabila tidak ada kondisi kronis :
 Pembawa virus hepatitis
 Riwayat penyakit hepatitis akut
 Saat ini masih sebagai pecandu alkohol
Reaksi hepatotoksis terhadap OAT umumnya terjadi pada pasien dengan
kondisi tersebut diatas sehingga harus diwaspadai.

3. Hepatitis Kronis
Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis, pemeriksaan
fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. Apabila hasil
pemeriksaan fungsi hati >3 x normal sebelum memulai pengobatan, paduan
OAT berikut ini dapat dipertimbangkan:
a) 2 obat yang hepatotoksik
 2 HRSE / 6 HR
 9 HRE
b) 1 obat yang hepatotoksik
 2 HES / 10 HE
c) Tanpa obat yang hepatotoksik
 18-24 SE ditambah salah satu golongan fluorokuinolon
(ciprofloxasin tidak direkomendasikan karena potensimya sangat
lemah).
Semakin berat atau tidak stabil penyakit hati yang diderita pasien TB, harus
menggunakan semakin sedikit OAT yang hepatotoksik.
 Konsultasi dengan seorang dokter spesialis sangat dianjurkan,
 Pemantauan klinis dan LFT harus selalu dilakukan dengan seksama,
 Pada panduan OAT dengan penggunaan etambutol lebih dari 2 bulan
diperlukan evaluasi gangguan penglihatan

4. Hepatitis Imbas Obat


 Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik
(drug induced hepatitis)
Tatalaksana hepatitis imbas obat tergantung pada:
 Fase pengobatan TB (tahap awal atau lanjutan)
 Berat gangguan pada hepar
 Beratnya penyakit TB
 Kemampuan atau kapasitas kesehatan dalam tatalaksana efek samping
akibat OAT
Penatalaksanaan
 Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala / mual, muntah [+]) = OAT Stop
 Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT ≥ 3 kali; OAT stop
 Bila klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan:
Bilirubin > 2 → OAT Stop
SGOT, SGPT > 5 kali : OAT stop
SGOT, SGPT > 3 kali → teruskan pengobatan, dengan pengawasan

e. TB Paru dangan Gagal Ginjal


Paduan OAT yang dianjurkan adalah pada pasien TB dengan gagal ginjal atau
gangguan fungsi ginjal yang berat: 2 HRZE/4 HR. H dan R diekskresi melalui
empedu sehingga tidak perlu dilakukan perubahan dosis. Dosis Z dan E harus
disesuaikan karena diekskresi melalui ginjal. Dosis pemberian 3 x /minggu bagi Z :
25 mg/kg BB dan E : 15 mg/kg BB. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
atau gagal ginjal, perlu diberikan tambahan Piridoksin (vit. B6) untuk mencegah
terjadinya neuropati perifer. Hindari penggunaan Streptomisin dan apabila harus
diberikan, dosis yang digunakan: 15 mg/kgBB, 2 atau 3 x /minggu dengan
maksimum dosis 1 gr untuk setiap kali pemberian dan kadar dalam darah harus
selalu dipantau. Pasien dengan penyakit ginjal sangat berisiko untuk terkena TB
khususnya pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Secara umum, risiko untuk
mengalami efek samping obat pada pengobatan pasien TB dengan gagal kronis
lebih besar dibanding pada pasien TB dengan fungsi ginjal yang masih normal.
Kerjasama dengan dokter yang ahli dalam penatalaksanaan pasien dengan
gangguan fungsi ginjal sangat diperlukan. Sebagai acuan, tingkat kegagalan fungsi
ginjal pada penyakit ginjal kronis dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Gambar 17. Penilaian Tingkat Kegagalan Fungsi Ginjal Pada Penyakit Ginjal
Kronis.

Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014

Gambar 18. Dosis yang dianjurkan pada pengobatan pasien TB dengan


penyakit ginjal kronis.

Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014


f. Pasien TB dengan Diabetes Melitus
TB merupakan salah satu faktor risiko tersering pada seseorang dengan Diabetes
mellitus.
Anjuran pengobatan TB pada pasien dengan Diabetes melitus:
 Paduan OAT yang diberikan pada prinsipnya sama dengan paduan OAT bagi
pasien TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah terkontrol
 Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat
dilanjutkan sampai 9 bulan
 Hati hati efek samping dengan penggunaan Etambutol karena pasien DM
sering mengalami komplikasi kelainan pada mata
 Perlu diperhatikan penggunaan Rifampisin karena akan mengurangi
efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu
ditingkatkan
 Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesai untuk mendeteksi dini bila
terjadi kekambuhan

F. Efek Samping OAT


Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014

TB Resistan Obat
Menurut WHO saat ini Indonesia menduduki peringkat ke delapan dari 27
negara dengan jumlah kasus Multi Drug Resistance (MDR) tertinggi. Data
Global TB Report tahun 2013 menunjukkan angka TB MDR pada pasien yang
belum pernah mendapat pengobatan OAT sebelumnya sekitar 1,9 % dan sekitar
12 % bagi yang pernah mendapatkan pengobatan OAT sebelumnya. TB
dikatakan resistan obat jika terdapat resistensi terhadap OAT.
Kategori resistansi terhadap OAT yaitu :
a. Mono resistan (TB MR) : resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama
saja
b. Poli resistan (TB PR) : resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
c. Multi Drug Resistan (TB MDR) : resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan
d. Extensive Drug Resistan (TB XDR) : adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT gol. Fluorokuionolon dan minimal salah
satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan
Amikasin)
e. Resistan Rifampisin (TB RR) : resistan terhadap Rifampisin dengan atau
tanpa resistansi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode
genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional)

2.1.8 Komplikasi
- Batuk darah
- Pneumotoraks
- Luluh paru
- Gagal napas
- Gagal jantung
- Efusi pleura

2.1.9 Pencegahan
Salah satu upaya pencegahan mencegah kesakitan atau sakit yang berat adalah
dengan memberikan kekebalan berupa vaksinasi dan pengobatan pencegahan
(profilaksis). A. Pemberian Kekebalan (Imunisasi) BCG Vaksin BCG (Bacille
Calmette-Guérin) adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang berasal dari
Mycobacterium bovis. Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan Program Pengembangan
Imunisasi diberikan pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin BCG pada bayi > 2 bulan
harus didahului dengan uji tuberkulin. Petunjuk pemberian vaksinasi BCG mengacu
pada Pedoman Program Pemberian Imunisasi Kemenkes. Secara umum perlindungan
vaksin BCG efektif untuk mencegah terjadinya TB berat seperti TB milier dan TB
meningitis yang sering didapatkan pada usia muda. Vaksinasi BCG ulang tidak
direkomendasikan karena tidak terbukti memberi perlindungan tambahan
Pengobatan Pencegahan dengan INH Sebagai salah satu upaya pencegahan TB
aktif pada ODHA, pemberian pengobatan pencegahan dengan Isoniazid (PP INH) dapat
diberikan pada ODHA yang tidak terbukti TB aktif dan tidak ada kontraindikasi
terhadap INH. Dosis INH yang diberikan adalah 300 mg
Pengobatan pencegahan dengan Rifapentine dan Isoniazid Saat ini telah
terdapat pilihan pengobatan pencegahan dengan Rifapentin dan Isoniazid. Sebagai
catatan, obat ini tidak direkomendasikan penggunaannya pada anak berusia < 2 tahun
dan anak dengan HIV AIDS dalam pengobatan ARV. a. Pemberian Pengobatan
Pencegahan dengan Isoniazid (PP INH) pada ODHA Pengobatan Pencegahan dengan
INH (PP INH) bertujuan untuk mencegah TB aktif pada ODHA, sehingga dapat
menurunkan beban TB pada ODHA. Jika pada ODHA tidak terbukti TB dan tidak ada
kontraindikasi, maka PPINH diberikan yaitu INH diberikan dengan dosis 300 mg/hari
dan B6 dengan dosis 25mg/hari sebanyak 180 dosis atau 6 bulan. b. Pemberian
Pengobatan Pencegahan dengan Kotrimoksasol (PPK) pada ODHA Pengobatan
pencegahan dengan kotrimoksasol bertujuan untuk mengurangi angka kesakitan dan
kematian pada ODHA dengan atau tanpa TB akibat IO. Pengobatan pencegahan dengan
kotrimoksasol relatif aman dan harus diberikan sesuai dengan Pedoman Nasional PDP
serta dapat diberikan di unit DOTS atau di unit PDP.
DAFTAR PUSTAKA

1. Amin, Z., Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru. Dalam:Sudoyo, A., W., dkk. Buku Ajar
Ilmu penyakit Dalam Jilid III. Ed 5. Jakarta : FKUI; 2230-2239
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2013). Riset Kesehatan Dasar.
jakarta: Kemenkes 2013.

3. Carroll, J. B. (2015). Jawetz Melnick & Adelbergs Medical Microbiology, 27 Edition.


LANGE.

4. Kemenkes RI. (2014). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:


Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

5. Kemenkes RI. (2016). Petunjuk Teknis Menajemen dan Tatalaksana TB Anak .


Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan .

6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2011). Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

7.. Wieslaw,J.,et al, 2001. TB Manual National Tuberculosis Programme


Guidelines.Availablefrom: www.euro.who.int/data/assets/.../E75464.pdf

8.. Wong, P.C., 2008. Current Management of Pulmonary Tuberculosis. Medical


Buletin. 13 (12); 24-26

9... World Health Organization (WHO). 2013. Tuberculosis. Available from:


www.who.co.id World Health Organization (WHO). 2012. Global Tuberculosis
Report. Availablefrom:(www.who.int)

Anda mungkin juga menyukai