Anda di halaman 1dari 17

Laki-laki 50 tahun Datang dengan Keluhan Berdebar-debar

Marco Tanzil – 102014142


Raditya Karuna Linanda – 102016046
Della Nabila – 102016190
Nia Uktriae – 102014113
Lolita Lorentia – 102016128
Vilya Lorensa Hosal – 102016040
Ali Hanapiah – 102016237
Priscilla Sari – 102016252
Magdalena Sri Febiolita – 102013260
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta
Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510, Indonesia

Abstrak
Penyakit jantung tiroid adalah penyakit jantung yang disebabkan oleh pengaruh hormon tiroid.
Insiden penyakit ini cukup tinggi di masyarakat dan dapat mengenai segala usia. Penyebab
terbanyak ialah struma difus toksik, biasanya mengenai usia 20 – 40 tahun. Pasien sering
mengalami palpitasi, irama jantung yang tidak teratur, dan sesak saat beraktivitas. Pada pasien
lanjut usia yang memiliki dasar penyakit arteri koroner, angina pektoris dapat terjadi bersamaan
dengan onset hipertiroidisme. Selain itu, pasien dengan hipertiroidisme dapat menunjukkan
tanda-tanda gagal jantung kongestif tanpa kelainan jantung sebelumnya. Diagnosis penyakit
jantung tiroid dapat ditegakkan dan dipastikan dengan pemeriksaan kadar hormon tiroid bebas,
yaitu kadar FT4 yang tinggi dan TSH yang sangat rendah.

Kata kunci: penyakit jantung tiroid, diagnosis, penatalaksanaan

Abstract

Thyroid heart disease is a heart disease caused by the effect of thyroid hormone. The incidence
is still high among general population and may affect people of all ages. The most common
etiology is Graves’s disease that occurs frequently in adults from 20-40 years of age. Patients
commonly have palpitation and dyspnea. In elderly with coronary arterial disease, angina
pectoris may occur simultaneously with the onset of hyperthyroidism. In addition, patients with
hyperthyroidism may show symptoms of heart failure without any signs of heart disease before.
Keywords: thyroid heart disease, diagnosis, treatment

Pendahuluan

Hipertiroid merupakan suatu kondisi gangguan kelenjar tiroid yang memiliki manifestasi pada
sistem kardiovaskuler salah satu diantaranya adalah atrial fibrilasi. Hal ini disebabkan karena
secara fisiologis hormon tiroid sendiri memiliki efek terhadap sistem kardiovaskuler yaitu
meliputi efek langsung hormon tiroid terhadap jantung, efek hormon tiroid terhadap sistem
saraf simpatis dan efek sekunder terhadap perubahan hemodinamik. Atrial fibrilasi sendiri
merupakan suatu kondisi yang menyebabkan tingginya angka mortalitas jika dihubungkan
dengan tingginya frekuensi emboli. Penyakit jantung tiroid adalah penyakit jantung yang
disebabkan oleh pengaruh hormon tiroid. Pengaruh biokimiawi hormon tiroid pada jantung
terjadi terutama pada hipertirodisme. Gejala dan tanda gagal jantung meliputi sesak nafas
terutama pada malam hari, batuk malam hari, sesak saat beraktivitas, distensi vena leher, ronki
kardiomegali, edema paru akut, suara jantung ketiga, refluks hepatojugular, edema ekstremitas,
hepatomegali, efusi pleura, penurunan kapasitas vital sepertiga normal, dan takikardi.
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan ialah pemeriksaan kadar free T4 (FT4) dan thyroid
stimulating hormone (TSH) untuk hipertiroid. Pemeriksaan penunjang lainnya yang
dibutuhkan ialah foto toraks, elektrokardiografi, dan ekokardiografi untuk melihat gangguan
pada jantung. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis penyakit jantung hipertiroid dapat
ditegakkan dan dipastikan dengan pemeriksaan kadar hormon tiroid bebas, yaitu kadar FT4
yang tinggi dan TSH yang sangat rendah. Gagal jantung sebagai akibat komplikasi hipertiroid
dapat ditegakkan dengan menggunakan kriteria Framingham. Penatalaksanaan penyakit
kardiovaskular pada hipertiroidisme ialah secepatnya menurunkan kondisi hipermetabolik
dengan pemberian obat antitiroid untuk menurunkan kadar hormon tiroid dan menangani
manifestasi kardiovaskular lainnya seperti menurunkan kecepatan irama jantung dan
pemberian obat-obatan anti hipertensi.

Anamnesis

Anamnesis harus mencakup penilaian gaya hidup seseorang serta pengaruh penyakit
jantung terhadap kegiatan sehari-hari bila lebih bertujuan pada perawatan penderita. Riwayat
pasien sebaiknya mencakup juga riwayat keluarga dan insiden penyakit kardiovaskular pada
keluarga tingkat pertama (orang tua dan anak). Biasanya saat melakukan anamnesis dengan
penderita penyakit jantung akan dijumpai gejala dan tanda penyakit jantung seperti:1
1. Angina
Angina atau nyeri dada disebabkan karena kekurangan oksigen atau iskemia
miokardium. Angina dapat dijumpai sebagai nyeri yang dijalarkan atau nyeri yang
berasal dari mandibula, legan atas atau pertengahan punggung.
2. Dispnea
Dispnea atau sulit bernafas disebabkan meningkatnya usaha bernapas yang terjadi akibat
kongesti pembuluh darah paru dan perubahan kemampuan pengembangan paru.
Ortopnea merupakan kesulitan bernapas pada posisi berbaring. Dispnea nokturnal
paroksismal atau dispnea yang terjadi sewaktu tidur terjadi akibat kegagalan ventrikel
kiri.
3. Palpitasi
Palpitasi atau berdebar terjadi karena perubahan kecepatan, keteraturan, atau kekuatan
kontraksi jantung.
4. Edema perifer
Edema perifder terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang intertisial.
5. Sinkop
Sinkop atau kehilangan kesadaran sesaat disebabkan akibat aliran darah otak yang tidak
adekuat.
6. Kelelahan dan kelemahan,
Kelelahan dan kelemahan terjadi akibat curah jantung yang rendah dan perfusi lairan
darah perifer yang berkurang.
Faktor pencetus gejala dan tanda penyakit jantung, serta faktor yang dapat
menanggulanginya harus ditentukan. Angina biasanya terjadi apabila pasien beraktivitas dan
berkurang dengan istirahat. Dispnea dihubungkan dengan kegiatan fisik, tetapi perubahan
posisi tubuh dan redistribusi cairan tubuh sesuai gravitasi yang mengikutiya dapat mencetuskan
dispenia. Ortopnea dapat dikurangi dengan meninggikan dada dengan bantal. Selain itu derajat
gangguan yang berkaitan dengan gejala-gejala itu juga harus ditentukan. New York Heart
Association telah membuat pedoman sesuai dengan tingkat aktivitas fisik yang dapat
menimbulkan gejala.2

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus ditujukan untuk menetapkan adanya gagal jantung dan mencari
kemungkinan penyebabnya. Pemeriksaan fisik pada sistem kardiovaskular dilakukan dengan
cara menilai tekanan dan pulsasi vena jugularis, denyut karotis, inspeksi, palpasi, perkusi,
auskultasi dan tanda-tanda vital.3,4

Tekanan vena jugularis (JVP) memberikan informasi yang sangat berguna tentang
status volume cairan tubuh pasien dan fungsi jantungnya. JVP mencerminkan tekanan dalam
atrium kanan atau tekanan vena sentral, dan sebaliknya JVP dinilai dari pulsasi pada vena
jugularis interna kanan. Vena jugularis dan pulsasinya sulit dilihat pada anak usia kurang dari
12 tahun.4

Denyut karotis akan memberikan informasi yang berharga mengenai fungsi jantung dan
khususnya berguna untuk mendeteksi stenosis atau insufisiensi katup aorta. Gunakan waktu
untuk menilai kualitas caortid upstroke, amplitudo serta konturnya, dan ada-tidaknya thrills
atau bruits. Untuk menilai amplitudo dan kontur, pasien harus berbaring dengan kepala ranjang
tetap tinggi dengan sudut sekitar 300.4

Pada saat melakukan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi pasien harus berbaring
terlentang sementara tubuh bagian atas ditinggikan dengan menaikan kepala ranjang atau meja-
periksa hingga sudut 300. Inspeksi yang cermat pada anterior dapat mengungkapkan lokasi
iktus kordis atau apical impulse (PMI) atau yang lebih jarang lagi gerakan ventrikel pada S 3
atau S4 sisi kiri. Penerangan dari samping akan memberikan lapang pandang yang paling jelas
untuk melakukan observasi ini.4

Gunakan palpasi untuk memastikan karakteristik iktus kordis. Palpasi juga berguna
untuk mendeteksi thrills dan gerakan ventrikel pada S3 atau S4. Pastikan untuk memeriksa
ventrikel kanan dengan melakukan palpasi daerah ventrikel kanan pada tepi kiri bawah os sterni
dan pada daerah subsifoideus, palpasi daerah arteri pulmonalis pada ruang sela iga ke-2 kiri
dan palpasi daerah aorta pada ruang sela iga ke-2 kanan. Palpasi untuk mengecek thrills
dilakukan dengan cara menekan permukaan ventral jari tangan anda secara kuat pada dada
pasien. Jika pada auskultasi berikutnya ditemukan bising yang keras, kembalilah dan periksa
daerah tersebut sekali lagi untuk menemukan thrills.4

Iktus kordis mempresentasikan pulsasi dini ventrikel kiri yang cepat pada saat denyutan
ini bergerak ke anterior ketika terjadi kontraksi dan menyentuh dinding dada. Pada beberapa
kelainan seperti pembesaran ventrikel kanan, dilatasi arteri pulmonalis dan aneurisma aorta
dapat menimbulkan pulsasi yang lebih meninjol daripada denyutan apeks kordis. Pada saat
inspeksi dan palpasi kita harus melakukan pengkajian terhadap lokasi, diameter, amplitudo,
dan durasi iktus kordis.4
Perkusi dapat menunjukkan tempat untuk mencari iktus kordis jika kita tidak
menemukannya saat inspeksi dan palpasi. Pekak jantung sering menempati daerah yang luas.
Dengan memulainya dari sisi sebelah kiri dada, lakukan perkusi mulai dari bunyi
sonor(resonan) paru ke arah pekak jantung pada ruang sela iga ke-3, ke-4, ke-5 dan mungkin
pula ke-6. Selain itu, perkusi juga dapat menentukan besar dari suatu jantung.4

Auskultasi bunyi dan bising jantung merupakan keterampilan yang penting dan sangat
bermanfaat dalam pemeriksaan fisik yang secara langsung akan mengarahkan anda pada
beberapa diagnosis klinis. Dengarkan jantung pasien dengan stetoskop anda pada ruang sela
iga ke-2 kanan di dekat tulang sternum, di sepanjang tepi kiri sternum pada setiap ruang sela
iga mulai dari ruang sela iga ke-2 hingga ke-5, dan pada apeks kordis. Ruangan tempat
pemeriksaan haru stenang dan tidak berisik. Anda harus pula melakukan auskultasi pada setiap
daerah tempat terdeteksinya kelainan dan pada daerah di sekitar tempat terdengarnya bising
jantung untuk menentukan letak bunyi-bunyi tersebut terdengar paling keras dan ke daerah
mana bunyi menjalar. Jika terdengar bising jantung, anda harus belajar mengenali dan
mendeskripsikan waktu, bentuk, lokasi intensitas maksimal, radiasi atau transmisinya dari
lokasi ini, intensitas, nada, dan kualitasnya. Contoh dari bising jantung adalah bising
midsistolik, bising pansistolik (holosistolik), bising sistolik akhir, bising diastolik awal, bising
middiastolik dan bising diastolik akhir.4

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dipakai ialah EKG, x-ray toraks, Echocardiography,


pemeriksaan biomarker NT pro-BNP serum, serta AGD dan lab dasar. Hasil ekg pada gagal
jantung dapat menunjukan gelombang P yang bifasik atau berlekuk. Gelombang P menunjukan
kelainan pada atrium, selain itu ada gambaran ventricular strain, persistent S serta rasio R/S
>1. Gelombang Q menunjukan adanya kerusakan miokard. Ada pula terlihat gelombang T
terbalik. Hal ini menunjukan adanya kerusakan pada miokard juga. Gagal jantung memang
dapat disebabkan banyak hal dan yang paling sering ialah pasca penyakit jantung iskemik.
Selain itu didapatkan keadaan perbesaran ventrikel kiri, perbesaran ventrikel kiri bisa berupa
dilatasi (hipertrofi ekssentris) ataupun hipertrofi konsentris di mana jari-jari ventrikel dapat
normal ataupun berkurang. 5

Pada rontgen toraks kita bisa mendapatkan ukuran jantung. Pada gagal jantung kronis,
biasanya ukuran jantung membesar sehingga didapatkan hasil kardiomegali. Hal ini terjadi
karena dilatasi ataupun hipertrofi. Selain itu, melalui foto toraks dapat diketahui mengenai
corak vaskuler paru. Hal ini penting karena pada kongesti pulmonal akibat gagal jantung kiri
terlihat gambaran oedem paru (Pletora), dan kranialisasi yakni bercak putih seperti infiltrat.

Melalui echo jantung kita baru dapat melihat perbedaan yang jelas mengenai kelainan
apa yang terjadi. Hal yang tidak bisa dibedakan melalui anamnesis dan fisik diagnostic seperti
sistol atau diastole akan bisa diukur melalui echo dopler ini. Selain itu pemeriksaan BNP
berfungsi untuk melihat beban (overload) yang telah terjadi pada jantung. BNP dihasilkan oleh
ventrikel, jika kadarnya > 300 pg/ml maka kita bisa mengindikasikan beban jantung yang naik
sehingga ventrikel menghasilkan zat tersebut lebih banyak.

Analisa gas darah ditujukan untuk menilai kondisi saturasi oksigen pasien. Karena
gagal jantung ini akan pastinya mempengaruhi perfusi yang tentu member dampak terhadap
metabolism, sehingga os akan merasa sesak napas walaupun ventilasi baik. Lab dasar untuk
mencaru penyakit sistemik yang mendasari.

Diagnosis kerja yang didapatkan ialah Gagal Jantuk Kronis, hal ini dikatakan kronis
ialah karena dikatakan bahwa pasien mengalami gejala ini memberat sejak 1 hari. Selain itu
sejak 5 jam yang lalu sesak terus menerus. Hal ini mengindikasikan bahwa gejala sudah
berlangsung lebih dari sehari dan baru memberat sejak sehari. Kemungkinan lain ialah
mungkin juga penyakit kronis ini mengalami eksaserbasi akut. Gejala sesak napas ini serta
diikuti perbaikan ketika istirahat merupakan salah satu cirri khas dari gagal jantung. Pasien
sudah mengalami sesak terus menerus menandakan dekompensasi dari jantungnya, ditambah
lagi kita mendapatkan bunyi gallop yang merupakan cirri khas gagal jantung dekompensata.

AHF atau GGA ditujukan kepada suatu kondisi gagal jantung akut yang cepat dan
progresif dalam memompa darah yang memerlukan terapi cepat. Hal ini dapat timbul pada
orang yang belum maupun sudah memiliki riwayat sakit jantung sebelumnya. Hal ini yang
membedakannya dengan CHF atau GGK. Dimana pada gagal jantung kronik (GGK) keadan
relative stabil, namun tetap memberikan gejala klinik baik terkompensasi maupun
dekompensasi.5 Thyroid Ultrasonograpi berfungsi untuk mendeteksi nodul jika radioiodine
uptake tidak dapat dilakukan. Pemeriksaan laboratorium yaitu T3 (Total T3, Free T3 by
analoque methode, Free T3 by dialysis) , T4 (Total T4, Free T4 by analoque methode, Free T4
by dialysis) , TSH, thyrotropin, Thyroid antibody.

Diagnosis Banding

 Struma Nodusa Toksik (Plummer’s disease)


Penyebab :
 Defisiensi yodium yang menyebabkan penurunan level T4
 Aktivasi reseptor TSH
 Mutasi somatik reseptor TSH

Gejala klinisnya, penderita mungkin mengalami aritmia dan gagal jantung yang resisten
terhadap terapi digitalis.Penderita dapat pula memperlihatkan bukti-bukti penurunan berat
badan, lemah, dan pengecilan otot.Biasanya ditemukan goiter multi noduler pada pasien-pasien
tersebut yang berbeda dengan pembesaran tiroid difus pada pasien penyakit Grave’s. Antibodi
antitiroid tidak ditemukan, dan pada laboratorium terjadi penurunan TSH serum dan hormon
tiroid yang meningkat.

 Penyakit Graves
Penyakit Graves (goiter difusa toksika) merupakan penyebab tersering hipertiroidisme
adalah suatu penyakit autoimun yang biasanya ditandai oleh produksi autoantibodi yang
memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid. Penderita penyakit Graves memiliki gejala-
gejala khas dari hipertiroidisme dan gejala tambahan khusus yaitu pembesaran kelenjar
tiroid/struma difus, oftamopati (eksoftalmus/ mata menonjol) dan kadang-kadang dengan
dermopati. Penyakit Graves merupakan bentuk tiroktoksikosis (hipertiroid) yang paling sering
dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur, sering ditemukan pada
wanita dari pada pria. Tanda dan gejala penyakit Graves yang paling mudah dikenali ialah
adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis (hipersekresi kelenjar tiroid/
hipertiroidisme) dan sering disertai oftalmopati, serta disertai dermopati, meskipun jarang.

Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti. Namun
demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam mekanisme yang belum
diketahui secara pasti meningkatnya risiko menderita penyakit Graves. Berdasarkan ciri-ciri
penyakitnya, penyakit Graves dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan
ditemukannya antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone - Receptor
Antibody /TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi.2 Selain “trias graves” penyakit graves ditandai
dengan palpitasi, tremor halus, kelemahan otot proksimal, dispneau, nafsu makan meningkat,
intoleransi panas, konsentrasi menurun, mudah lelah, labilitas, hiperdefekasi, berat badan
menurun, takikardi, atrium fibrilasi.
 Tirotoksikosis
Hipertiroid atau tirotoksikosis merupakan gangguan sekresi hormon tiroid oleh kelenjar tiroid,
dimana terjadi peningkatan produksi atau pengeluaran hormon tiroid. Hipertiroid ini paling
banyak disebabkan oleh penyakit Graves, meskipun hipertiroid dapat disebabkan beberapa
4,5,6
penyebab selain penyakit Graves . Akibat sekresi produksi atau pengeluaran simpanan
hormon tiroid yaitu Triiodotironin (T3) dan Tetraiodotironin (T4) oleh sel-sel kelenjar tiroid
maka sel-sel ini akan mengalami penambahan jumlah sel atau hyperplasia, sehingga penderita
hipertiroid ini sebagian besar kelenjar tiroidnya menjadi goiter atau pembesaran kelenjar tiroid.
Diagnosis
Atrial Fibrilasi
Atrial Fibrilasi (AF) merupakan suatu irama yang tidak teratur dengan frekuensi ratarata (350-
600 kali/menit) dimana tidak ditemukan gelombang P pada elektrokardiografi (EKG). Rata-
rata ventriculer rate pasien AF yang telah diterapi sekitar 140-160 kali/menit. Pada AF,
gelombang P tidak terlihat pada EKG, hal ini disebabkan amplitudo gelombang P rendah dan
tertutupi oleh gelombang QRS dan gelombang T.
AF merupakan suatu kondisi aritmia yang berbahaya oleh karena : (1) ventrikel rate yang cepat
dapat mengganggu cardiac output dan berefek terhadap hipotensi dan kongesti `paru khususnya
pada pasien dengan hipertiroid dan kekakuan ventrikel kiri dimana kontraksi atrial yang normal
dapat secara signifikan menurunkan pengisiian ventrikel kiri dan stroke volume, (2) Hilangnya
kontraksi atrial yang menyebabkan stasis darah pada atrium dan dapat meningkatkan resiko
trombus, khususnya pada atrium kiri. Emboli pada atrium kiri merupakan penyebab stroke.
Atrial fibrilasi (AF) biasanya menyebabkan ventrikel berkontraksi lebih cepat dari biasanya.
Ketika ini terjadi, ventrikel tidak memiliki cukup waktu untuk mengisi sepenuhnya dengan
darah untuk memompa ke paru-paru dan tubuh.

Epidemiologi Atrial Fibrilasi pada Hipertiroid

Prevalensi AF di Amerika Serikat ± 2,2 juta pasien pertahun dan jumlah ini meningkat ±
160.000 kasus baru /tahun. Prevalensi AF meningkat sesuai dengan peningkatan usia yaitu <
1% pada usia < 50 tahun sedangkan pada usia > 80 tahun sekitar 9%. Laki-laki lebih banyak
dibanding perempuan. Prevalensi hipertiroid di Inggris pada praktek umum 25-30 kasus dalam
10.000 wanita, di rumah sakit 3 kasus dalam 10.000 wanita. Prevalensi hipertiroid 10 kali lebih
sering pada wanita dibanding pria (wanita : 20-27 kasus dalam 1.000 wanita, pria : 1-5 per
1.000 pria ). Data dari Whickham survey pada pemeriksaan penyaring kesehatan dengan Free
Thyroxine Index (FT4) menunjukkan prevalensi hipertiroid pada masyarakat sebanyak 2 %.
Sedang prevalensi hipertiroid di Indonesia belum diketahui. Pada usia muda umumnya
disebabkan oleh penyakit Graves, sedangkan struma multinodular toksik umumnya timbul
pada usia tua. Didaerah pantai dan kota insidennya lebih tinggi dibandingkan daerah
pegunungan atau dipedesaan. 7

Prevalensi atrial fibrilasi pada hipertiroid antara 2%-20%. Sedangkan jika dikaitkan dengan
umur, 15% pasien dengan usia >70 tahun. Pada pasien atrial fibrilasi yang tidak diseleksi
prevalesi hipertiroid < 1% .

Etiologi Atrial Fibrilasi pada Hipertiroid

Atrial Fibrilasi (AF) disebabkan oleh hal yang berhubungan dengan kardia ataupun non kardia.
Adapun beberapa penyebab kardia diantaranya penyakit jantung koroner, kardiomiopati
dilatasi, kardiomiopati hipertropik, penyakit katup jantung dan aritmia jantung. Sedangkan
penyebab AF yang berasal dari non kardia yaitu selain hipertiroid diantaranya hipertensi
sistemik, diabetes melitus, penyakit paru serta neurogenik.

Klasifikasi

Berdasarkan laju respon ventrikel, atrial fibrilasi dibagi menjadi :

AF respon cepat (rapid response) dimana laju ventrikel lebih dari 100 kali permenit

AF respon lambat (slow response) dimana laju ventrikel lebih kurang dari 60 kali permenit

AF respon normal (normo response) dimana laju ventrikel antara 60-100 kali permenit.

Klasifikasi menurut American Heart Assoiation (AHA), atrial fibriasi (AF) dibedakan
menjadi 4 jenis, yaitu :

AF deteksi pertama yaitu tahap dimana belum pernah terdeteksi AF sebelumnya dan baru
pertama kali terdeteksi.

AF paroksimal bila atrial fibrilasi berlangsung kurang dari 7 hari. Lebih kurang 50% atrial
fibrilasi paroksimal akan kembali ke irama sinus secara spontan dalam waktu 24 jam. Atrium
fibrilasi yang episode pertamanya kurang dari 48 jam juga disebut AF Paroksimal.

AF persisten bila atrial fibrilasi menetap lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 7 hari. Pada AF
persisten diperlukan kardioversi untuk mengembalikan ke irama sinus.

AF kronik atau permanen bila atrial fibrilasi berlangsung lebih dari 7 hari. Biasanya dengan
kardioversi pun sulit untuk mengembalikan ke irama sinus (resisten).
Patofisiologi Atrial Fibrilasi

Atrial fibrilasi terjadi karena eksitasi dan recovery yang sangat tidak teratur dari atrium. Oleh
karena itu impuls listrik yang timbul dari atrium juga sangat cepat dan sama sekali tidak teratur.
Bentuk gelombang fibrilasi dapat sangat kasar dengan amplitudo >1 mm atau halus sehingga
gelombangnya tidak terlihat nyata. Biasanya hanya sedikit dari impuls tersebut yang sampai
ventrikel kanan karena dihambat nodus AV untuk melindungi ventrikel, agar denyut ventrikel
tidak terlalu cepat sehingga menimbulkan denyut ventrikel 80150kali/menit.

Mekanisme elektrofisiologis fibrilasi atrial diduga karena reentry (masuknya kembali)


berbagai gelombang eksitasi yang mengelilingi atrium, sebagai akibat penyebaran (dispersion)
yang nonuniform dari kerefraktorian atrium. Secara pasti mekanisme ini belum dapat diketahui,
namun kejadiannya mungkin diinisiasi oleh beberapa faktor pencetus seperti kontraksi
prematur atrium, terutama pada penderita yang memiliki substrat pokok yang rentan pada
atrium. Ada kalanya fibrilasi atrium dapat disebabkan olah peletusan fokus atrium secara
rnendadak. Sedikit banyaknya sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode
refractory, besarnya ruang atrium dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa dianalogikan, bahwa
pada pembesaran atrium biasanya akan disertai dengan pemendekan periode refractory dan
terjadi penurunan kecepatan konduksi. Ketiga faktor tersebut yang akan meningkatkan sinyal
elektrik dan menimbulkan peningkatan depolarisasi serta mencetuskan terjadinya atrial
fibrilasi.6

Secara normal bagian atrium yang saling berbatasan mempunyai periode refrakter yang sama
(waktu setelah depolarisasi ketika miokardium tidak dapat direstimulisasi) dan menyebabkan
penyebaran gelombang yang terdepolarisasi secara teratur diseluruh atrium. Reentry dan
fibrilasi atrial dipermudah jika bagian atrium yang saling berbatasan memiliki periode refrakter
yang berbeda, sehingga sebuah gelombang yang terdepolarisasi menjadi terpecah karena
menghadapi baik refrakter maupun miokardium yang mudah terangsang, Hal ini membuat
gelombang yang terdahulu membalik dan menstimulasi miokardium yang sebelumnya
refrakter, tapi sekarang terepolarisasi, sehingga menyebabkan perambatan yang tak henti-
hentinya dari gelombang terdahulu dan reentry (Houge and Hyder, 2000). Hormon tiroid
memberikan efek multipel pada jantung. Sebagian disebabkan oleh kerja langsung T3 pada
miosit, tetapi interaksi antara hormon-hormon tiroid, katekolamin, dan sistem saraf simpatis
juga dapat mempengaruhi fungsi jantung, dan juga perubahan hemodinamika dan peningkatan
curah jantung yang disebabkan oleh peningkatan umum metabolisme.
Konduksi atrium yang lambat juga mempermudah reentry, dan hal ini menjelaskan hubungan
yang ada antara potensial aksi yang memendek dan meningkatnya resiko terjadinya fibrilasi
atrial pada hipertiroidism. Iskemi pada atrium serta penyakit jantung yang terkait tidak hanya
memberikan sumbangan pada konduksi dan kerefraktorian abnormal atrium tetapi juga
meningkatkan frekuensi munculnya faktor pencetus (triggering events). Hipotesis, bahwa
fibrilasi atrial akibat hipertiroid berkaitan dengan perubahan ekspresi gen (mRNA) merupakan
suatu penjelasan dimana efek hormon tiroid pada ekspresi mRNA meningkat sebesar 1,5Kv
dan menurunkan channel kalsium pada ekspresi mRNA. Hormon tiroid berpotensi
memberikan efek adrenergik pada jantung. Konsetrasi Catecholamine dapat normal atau
berkurang pada penderita hipertiroidism. Mekanisme kerja catecholamines yaitu meningkatkan
kepekaan jaringan memalui peningkatan reseptor adrenergi. Hyperthyroidism berhubungan
dengan aktifitas vagal dan mengurangi variabilitas denyut jantung. Pada atrial fibrilasi terjadi
pelepasan beberapa sitokin. Sitokin tersebut berpengaruh pada pembentukan T3, sehingga pada
beberapa pasien atrial fibrilasi akan diikuti dengan penurunan kadar hormon T3. Penurunan
hormon tersebut berpengaruh pada transkripsi myosin a dan ß yang merupakan pembentuk
utama otot jantung kontraktil, protein retikulum sarkoplasmik, Ca2+ ATP-ASE dan fosfo
lamban. Masing-masing protein tersebut tergantung pada transkripsi genetik yang diregulasi
oleh T3. Dilain pihak penurunan T3 juga dapat menyebabkan peningkatan Ca2+ intraseluler,
yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kinerja otot jantung maupun kemungkinan
timbulnya penyulit atrial fibrilasi melalui terjadinya stunned myocardium dan hybernating
cardiac. Pengaruh hormon tiroid terhadap waktu aksi potensial otot jantung juga berpeluang
terhadap timbulnya aritmia jantung. Durasi potensial aksi miosit lebih pendek pada
hyperthyroid dibandingkan dengan euthyroid. Pertukaran ion kalium terlambat dan hal tersebut
meningkat pada hyperthyroid, dan pertukaran L-type kalsium berkurang pada hyperthyroid
sehingga jumlah T3 meningkat yang akhirnya menghasilkan durasi potensial yang memendek.
Pada penyakit berat karena sebab apapun, down-regulation hormon tiroid dapat terjadi. Masih
belum diketahui bagaimana hal ini akan mempengaruhi pasien dengan atrial fibrilasi. Untuk
memeriksa perubahan kadar hormon tiroid dalam serum saat terjadinya fibrilasi atrial serta
hubungannya dengan fungsi jantung dan hasilnya maka Friberg dkk melakukan penelitian ini
(Ambarwati, 2000). Pasien dengan kerusakan fungsi jantung atau mengalami reaksi inflamasi
yang berat menunjukkan down-regulation sistem tiroid yang lebih nyata. Tidak ditemukan
hubungan dengan enzim-enzim jantung. Pasien dengan riwayat atrial fibrilasi sebelumnya
memiliki kadar T3 yang lebih rendah, infark yang lebih kecil, dan kadar protein reaktif C yang
lebih tinggi. Selain itu juga terdapat sitokin proinflamasi interleukin-6. Dapat disimpulkan
bahwa sistem hormon tiroid secara cepat mengalami downregulation saat terjadi fibrilasi atrial.
Kejadian ini bisa bermanfaat saat terjadinya iskemia akut. Pasien dengan angina memiliki
kadar interleukin-6 dan protein reaktif C yang lebih tinggi serta sistem hormon tiroid yang lebih
tertekan. Penekanan kadar tiroid pada pasien dengan angina mungkin telah terjadi sebelum
proses infark dimulai.

Manifestasi Klinis

Pada manifestasi klinik, atrial fibrilasi dapat simptomatik dan dapat pula asimptomatik. Gejala-
gejala atrial fibrilasi sangat bervariasi tergantung dari kecepatan laju irama ventrikel, lamanya
atrial fibrilasi, dan penyakit yang mendasarinya. Gejala-gejala yang dialami terutama saat
beraktivitas, sesak nafas, cepat lelah, sinkop atau gejala tromboemboli. Atrial fibrilasi dapat
mencetuskan gejala iskemik dengan dasar penyakit jantung koroner.Fungsi kontraksi atrial
yang sangat berkurang pada atrial fibrilasi akan menurunkan curah jantung dan dapat
menyebabkan gagal jantung kongestif pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri.8

Tatalaksana

Terdapat 4 prinsip tatalaksana AF, yaitu control irama, control laju jantung, antikoagulan, dan
pembedahan. Kontrol laju jantung lebih dipilih disarankan dibandingkan control irama karena
control irama memiliki tingkat hospitalisasi, efek samping obat, dan kejadian tromboemboli
yang lebih tinggi dibandingkan control laju dengan obat yang sama. Kontrol laju berarti
menurunkan laju denyut jantung, sehingga mekanisme patofisiologi di atas dan komplikasinya
diharapkan tidak terjadi. Pilihan obat dapat dilihat pada artikel asli.

Untuk mencegah kejadian tromboemboli maka pasien AF diberikan obat antikoagulan. Artikel
ini menganjurkan pemberian antikoagulan diberikan pada AF paroksismal dan kronik. Pilihan
obat yang paling sering digunakan adalah warfarin, aspirin, dan clopidogrel. Obat pilihan
pertama adalah warfarin. Akan tetapi obat ini memiliki indeks terapi yang sempit(rentang dosis
yang aman dan yang menimbulkan efek). Oleh sebab itu pemberian obat ini harus menimbang
untung ruginya. Artikel ini menampilkan perangkat kriteria yang digunakan untuk menentukan
pilihan antikoagulan serta resiko perdarahan.

Terapi pembedahan pada pasien AF bertujuan untuk menghilangkan tempat munculnya irama
abnormal atau tempat terjadinya thrombus.

Tidak semua terapi AF dapat dilaksanakan oleh dokter umum. Artikel ini menganjurkan
rujukan ke kardiolog apabila pasien memiliki penyakit jantung yang kompleks, tetap
simtomatik setelah control laju jantung dengan obat atau tidak tahan dengan efek sampingnya,
potensial untuk menjadi kandidat terapi bedah, dan yang membutuhkan pacu jantung atau
defibrillator.

Komplikasi

Fibrilasi atrium menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas, termasuk stroke, gagal
jantung serta penurunan kualitas hidup. Pasien dengan FA memiliki risiko stroke 5 kali lebih
tinggi dan risiko gagal jantung 3 kali lebih tinggi dibanding pasien tanpa FA. Stroke merupakan
salah satu komplikasi FA yang paling dikhawatirkan, karena stroke yang diakibatkan oleh FA
mempunyai risiko kekambuhan yang lebih tinggi. Selain itu, stroke akibat FA ini
mengakibatkan kematian dua kali lipat dan biaya perawatan 1,5 kali lipat. Fibrilasi atrium juga
berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular lain seperti hipertensi, gagal jantung, penyakit
jantung koroner, hipertiroid, diabetes melitus, obesitas, penyakit jantung bawaan seperti defek
septum atrium, kardiomiopati, penyakit ginjal kronis maupun penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK).

Penyakit Jantung Tiroid

Etiologi

Sebetulnya tidak ada definisi yang pasti dari istilah penyakit jantung tiroid. Konsep penyakit
jantung tiroid (thyrocardiac disease) diperkenalkan oleh Samuel Levine tahun 1924, yang
menerangkan tentang adanya aritmia atrium, gagal jantung kongestif dan pembesaran jantung
pada hipertiroidisme. Dengan demikian, maka dapat dikatakan Penyakit Jantung Tiroid ialah
suatu keadaan kelainan fungsi dan atau struktural jantung menetap yang murni terjadi akibat
gangguan fungsi tiroid, dan tidak didapatkan penyebab atau etiologi lain dari kelainan jantung
tersebut.

Epidemiologi

Penyakit jantung tiroid cukup sering dijumpai, lebih banyak pada populasi wanita
dibandingkan dengan pria dewasa. Prevalensi penyakit tiroid pada wanita 9-15%.
Hipertiroidisme 4-8 kali lebih sering pada wanita, dengan insiden terbanyak pada dekade ke-3
atau ke-4. Perbedaan prevalensi antara pria dan wanita ini diduga berkaitan dengan mekanisme
autoimun yang mendasari sebagian besar bentuk penyakit tiroid, termasuk penyakit Graves’
dan Hashimoto. Selama ini telah diketahui bahwa keadaan autoimun lebih banyak terjadi pada
wanita. Dengan bertambahnya usia, terutama di atas 80 tahun, insidensi penyakit tiroid tidak
berbeda antara pria dan wanita. Data epidemiologi penyakit jantung tiroid sendiri sampai saat
ini belum diketahui.7

Patogenesis

Hormon tiroid sangat memengaruhi sistem kardiovaskular dengan beberapa mekanisme, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Hormon tiroid meningkatkan metabolisme tubuh total
dan konsumsi oksigen yang secara tidak langsung meningkatkan beban kerja jantung.
Mekanisme secara pasti belum diketahui namun diketahui bahwa hormon tiroid menyebabkan
efek inotropik, kronotropik, dan dromotropik yang mirip dengan efek stimulasi adrenergik.
Efek hormon tiroid terhadap sel nuklear terutama dijembatani melalui perubahan penampilan
gen yang responsif. Proses ini dimulai dengan difusi T4 dan T3 melintasi membran plasma
karena mudah larut dalam lemak. Di dalam sitoplasma, T4 dirubah menjadi T3 oleh 5-
monodelodinase, konsentrasinya bervariasi dari jaringan ke jaringan, yang merupakan
hubungan tidak langsung sebagai respons jaringan terhadap hormon tiroid. Selanjutnya, T3
sirkulasi dan T3 yang baru disintesis melalui membran nukleus untuk berikatan dengan
reseptor hormon tiroid spesifik (THRs). Secara anatomis, hormon tiroid dapat mengakibatkan
hipertrofi jantung sebagai akibat meningkatnya sintesis protein. Peningkatan isi semenit
disebabkan oleh peningkatan frekuensi denyut jantung dan isi sekuncup, penurunan resistensi
perifer, dan adanya vasodilatasi perifer akibat pemanasan karena peningkatan metabolisme
jaringan. Pengaruh hormon tiroid pada hemodinamik jantung dapat juga terjadi akibat
meningkatnya kontraktilitas otot jantung. Pada tirotoksikosis, sirkulasi yang meningkat mirip
dengan keadaan meningkatnya kegiatan adrenergik. Hal ini bukan disebabkan oleh
meningkatnya sekresi katekolamin, karena kadar katekolamin justru turun pada tirotoksikosis.
Keadaan ini disebabkan oleh meningkatnya kepekaan jaringan terhadap katekolamin. Pada
sistem hantaran, hormon tiroid menyebabkan meningkatnya kecepatan hantaran atrium dan
memendeknya masa refrakter yang tak dapat dipengaruhi oleh katekolamin. Sinus takikardia
terjadi 40% pasien dengan hipertiroidisme dan 10 - 15% dapat terjadi fibrilasi atrial persisten.
Pada penyakit jantung akibat hipertiroidisme tidak dijumpai kelainan histopatologik yang
nyata, kecuali adanya dilatasi dan hipertrofi ventrikel. Umumnya, gagal jantung pada pasien
hipertiroidisme terjadi pada dekade akhir kehidupan dengan insiden tinggi terjadinya penyakit
jantung koroner. Kemungkinan peran hormon tiroid dalam mengakibatkan gagal jantung
melalui peningkatan kebutuhan oksigen pada pasien yang sudah mengalami kekurangan
penyediaan oksigen akibat penyakit jantung koroner. Keadaan pasien yang berat biasanya
dihubungkan dengan hipertiroidisme yang telah berlangsung lama dengan kontraktilitas otot
jantung yang buruk, isi semenit yang rendah, dan gejala serta tanda gagal jantung.9

Manifestasi Klinis

Pasien dengan penyakit jantung tiroid sering mengeluhkan gejala-gejala yang berkaitan dengan
perubahan kronotropik. Pasien sering mengalami palpitasi, irama jantung yang tidak teratur,
dan dispnea saat beraktivitas. Pada pasien lanjut usia yang memiliki dasar penyakit arteri
koroner, angina pektoris dapat terjadi bersamaan dengan onset hipertiroidisme. Selain itu,
pasien dengan hipertiroidisme dapat menunjukkan tanda-tanda gagal jantung kongestif tanpa
kelainan jantung sebelumnya. Masalah irama jantung yang paling sering ditemukan pada
hipertiroidisme ialah sinus takikardia. Peningkatan denyut jantung >90 x/menit terjadi pada
saat istirahat atau selama tidur dan respon berlebihan jantung ditemukan selama berolahraga.
Masalah berat ditemukan pada pasien dengan hipertiroidisme dan atrial fibrillation (AF) rapid
ventricular response karena dapat menyebabkan kardiomiopati.

Tatalaksana

Penatalaksanaan hipertiroidisme dengan komplikasi kardiovaskular memerlukan pendekatan


yang berbeda, yaitu dengan mempertimbangkan faktor kardiovaskular tersebut. Tujuan
pengobatan ialah secepatnya menurunkan keadaan hipermetabolik dan kadar hormon tiroid
yang berada dalam sirkulasi.

Beta Blocker

Keadaan sirkulasi hiperdinamik dan aritma atrial akan memberikan respon baik dengan
pemberian obat penyekat beta. Dalam hal ini, propanolol merupakan obat pilihan karena
bekerja cepat dan mempunyai keampuhan yang sangat besar dalam menurunkan frekuensi
denyut jantung. Selain itu, penghambat beta dapat menghambat konversi T4 menjadi T3 di
perifer. Pada pasien dengan gagal jantung berat, penggunaan obat penyekat beta harus dengan
sangat hati-hati karena dapat memperburuk fungsi miokard, meskipun beberapa penulis
mendapat hasil baik pada pengobatan pasien gagal jantung akibat tirotoksikosis. Bahaya lain
dari obat penyekat beta ialah dapat menimbulkan spasme bronkial, terutama pada pasien
dengan asma bronkial. Dosis yang diberikan berkisar antara 40-160 mg per hari dibagi 3-4 kali
pemberian.4

Obat Anti-Tiroid
Obat anti tiroid yang dianjurkan ialah golongan tionamid yaitu propilthiourasil (PTU) dan
carbamizole (Neo Mercazole) . Wanita hamil dapat mentolerir keadaan hipertiroid
yang tidak terlalu berat sehingga lebih baik memberikan dosis OAT yang kurang dari pada

berlebih. Bioavilibilitas carbamizole pada janin 4 kali lebih tinggi dari pada PTU sehingga
lebih mudah menyebabkan keadaan hipotiroid. Melihat hal-hal tersebut maka pada
kehamilan PTU lebih terpilih. PTU mula-mula diberikan 100-150 mg tiap 8 jam.
Setelah keadaan eutiroid tercapai (biasanya 4-6 minggu setelah pengobatan dimulai),
diturunkan menjadi 50 mg tiap 6 jam dan bila masih tetap eutiroid dosisnya diturunkan
dan dipertahankan menjadi 2 kali 50 mg/hari. Idealnya hormon tiroid bebas dipantau
setiap bulan. Bila tirotoksikosis timbul lagi, biasanya pasca persalinan, PTU dinaikkan sampai
300 mg/hari. Efek OAT terhadap janin dapat menghambat sintesa hormon tiroid.
Selanjutnya hal tersebut dapat menyebabkan hipotiroidisme sesaat dan struma pada bayi,
walaupun hal ini jarang terjadi. Pada ibu yang menyusui yang mendapat OAT, OAT dapat
keluar Bersama ASI namun jumlah PTU kurang dibandingkan carbamizole dan bahaya
pengaruhnya kepada bayi sangat kecil, meskipun demikian perlu dilakukan pemantauan pada
bayi seketat mungkin.

B. Penatalaksanaan Non Medika Mentosa

1. Pemberian nutrisi yang adekuat

Jika pasien ternyata juga mengalami gejala diare maka hindari makanan berserat tinggi.

2. Kurangi aktivitas berat

Komplikasi

Penyakit tiroid ini ini bisa menimbulkan krisis tirotoksikosis atau tiroid strom,
yaitu eksaserbasi akut semua gejala tirotoksikosis, sering terjadi sebagai suatu sindroma yang
demikian berat sehingga dapat menyebabkan kematian. Kadang-kadang krisis tiroid dapat
ringan dan nampak hanya sebagai reaksi febris yang tidak bisa dijelaskan setelah operasi tiroid
pada pasien yang persiapannya tidak adekuat. Lebih sering, terjadi dalam bentuk yang lebih
berat, setelah operasi, terapi iodin radioaktif atau partus pada pasien dengan tirotoksikosis yang
tidak terkontrol adekuat atau selama penyakit atau kelainan stres yang berat, seperti diabetes
yang tidak terkontrol, trauma, infeksi akut, reaksi obat yang berat, atau infark miokard. 9

Prognosis
Secara umum, perjalanan penyakit hipertiroid ini ditandai oleh remisi dan eksaserbasi untuk
jangka waktu yang lama kecuali kalau kelenjar dirusak dengan pembedahan atau iodin
radioaktif. Walaupun beberapa pasien bisa tetap eutiroid untuk jangka waktu lama setelah
terapi, banyak yang akhirnya mendapatkan hipotiroidisme. Jadi, follow-up seumur hidup
merupakan indikasi untuk semua pasien dengan penyakit hipertiroid.

Penutup

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang pasien menderita


Fibrilasi Atrial yang diakibatkan oleh penyakit jantung tiroid. Untuk penyakit ini diharapkan
memberikan tatalaksana yang sesuai.

Daftar Pustaka

1. Dumitru I, et al. Heart Failure. 21 September 2011. Diunduh dari


http://emedicine.medscape.com/article/163062-overview. 30 September 2016.
2. Santoso M, Nah YK, Sumadikarya IK. Pemeriksaan fisik jantung patologis dan
elektrokardiografi. Dalam: Buku Panduan Keterampilan Medik. Jakarta: FK UKRIDA,
2010. H 4-20.
3. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga, 2007. H 116-7.
4. Bickley LS. Bate’s guide to physical examination & history taking. 8th edition. USA:
Lippincott Williams & Wilkins, 2009. Pg
5. Burnside John W, McGlynn Thomas J. Diagnosis fisik. 17th ed.. Jakarta: EGC; 2006.p.213-
55.
6. Panggabean M. Gagal Jantung. Dalam Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. Hlm. 1503-14.
7. Cheitlin Melvin D, sokolow Maurice, McIlory Malcolm B. clinical cardiology, 6th edition.
USA: prentice-Hall international Inc; 1995.pg 320-354.
8. Ramani Gautam V, Uber Patricia A, Mehra Mandeep R. Chronic Heart Failure:
Contemporary Diagnosis and Management. 03 Mei 2011. SYMPOSIUM ON
CARDIOVASCULAR DISEASES; Chronic Heart Failure: Contemporary Diagnosis and
Management. USA: Mayo Foundation for Medical Education and Research; 2010.p.180-
95.

9. Corwin J. Elizabeth. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2009.p.224-7.

Anda mungkin juga menyukai