1. Pendahuluan ........................................................................................................ 2
1. 3 Tujuan ......................................................................................................... 3
2. Pembahasan ........................................................................................................ 4
2.3 Proses Penyembuhan Luka Pasca Operasi pada Struktur Gingiva .............. 5
2.4 Proses Penyembuhan Luka Pasca operasi pada Struktur Tulang Alveolar . 9
3. Penutup ............................................................................................................. 17
3. 1 Kesimpulan ............................................................................................... 17
3. 2 Saran ......................................................................................................... 17
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Manusia selalu aktif dalam beraktivitas dan dapat menyebabkan luka. Luka adalah
suatu kerusakan kontinuitas jaringan tubuh yang dapat menyebabkan terganggunya fungsi
tubuh sehingga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Perawatan luka adalah suatu
tindakan untuk membantu menciptakan kondisi luka yang baik pada daerah luka untuk
penyembuhan dengan mengeluarkan debris, seperti benda asing dan jaringan lunak yang
mengalami defitalisasi yang apabila terus menerus dibiarkan akan mengakibatkan
terjadinya infeksi. Proses penyembuhan luka dapat terjadi secara spontan tanpa
pengobatan, ada juga beberapa bahan perawatan yang dapat membantu mendukung
proses penyembuhan jaringan (1). Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang
kompleks karena berbagai kegiatan bio-seluler, bio-kimia terjadi berkesinambungan.
Penggabungan respons vaskuler, aktivitas seluler, dan terbentuknya bahan kimia
sebagai substansi mediator di daerah luka merupakan komponen yang saling terkait pada
proses penyembuhan luka. Besarnya perbedaan mengenai penelitian dasar mekanisme
penyembuhan luka dan aplikasi klinik saat ini telah dapat diperkecil dengan pemahaman
dan penelitian yang berhubungan dengan proses penyembuhan luka dan pemakaian bahan
pengobatan yang telah berhasil memberikan kesembuhan. Luka adalah rusaknya
kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang
rusak atau hilang. Setiap kejadian luka, mekanisme tubuh akan mengupayakan
mengembalikan komponen-komponen jaringan yang rusak tersebut dengan membentuk
struktur baru dan fungsional sama dengan keadaan sebelumnya. Proses penyembuhan
tidak hanya terbatas pada proses regenerasi yang bersifat lokal, tetapi juga sangat
dipengaruhi oleh faktor endogen seperti umur, nutrisi, imunologi, pemakaian obat-obatan,
kondisi metabolik.
2
1.3. Tujuan
1. Mampu menjelaskan struktur gingiva
2. Mampu menjelaskan struktur tulang alveolar
3. Mampu menjelaskan penyembuhan pada gingiva dan tulang alveolar
4. Mampu menjelaskan proses penyembuhan luka dari aspek seluler dan molekuler
3
BAB 2
PEMBAHASAN
4
2.2 . Proses Penyembuhan Luka
Proses penyembuhan luka dapat dibagi menjadi empat fase, fase-fase tersebut akan
terjadi secara berkesinambungan dan tumpang tindih yaitu hemostasis, inflamasi,
proliferasi, dan maturasi. Fase proliferasi ditandai dengan adanya proses angiogenesis,
pembentukan jaringan granulasi, fibroplasia, deposisi kolagen, reepitelisasi, dan
kontraksi luka. Penampang histologis dari proses penyembuhan luka akan
memperlihatkan adanya perubahan pada area luka seperti penurunan jumlah sel radang,
pembentukan pembuluh darah baru, peningkatan jumlah sel epitel, serta peningkatan
jumlah sel fibroblas dan serabut kolagen.
Jaringan gingiva adalah bagian mukosa rongga mulut yang melapisi tulang alveolar
pada rahang atas dan rahang bawah serta mengelilingi leher gigi. Secara klinis gingiva
merupakan satu-satunya komponen periodonsium yang dapat dilihat langsung di dalam
rongga mulut. Jaringan gingiva secara anatomi dibagi menjadi gingiva tepi (marginal
gingiva), gingiva cekat (attached gingiva) yaitu bagian gingiva yang melekat pada tulang
alveolar dan bagian papila interdental (interdental papillae) atau gingiva interdental yaitu
bagian gingiva yang terletak disela-sela antar gigi. Fungsi gingiva yaitu menyangga gigi,
melindungi tulang alveolar dan ligamen periodontal dari serangan bakteri, trauma, atrisi
dan sejumlah besar stimulus (Gorrel. 1998).
5
Gingiva tepi membentuk cuff sebesar 1-2 mm dan terletak disekitar leher gigi. Dearah
cuff dapat dipisahkan dari gingiva menggunakan sonde tumpul. Bagian ini disebut juga
free gingiva. Gingiva cekat (attached gingiva) meluas dari lekuken gingiva bebas (free
gingiva groove) hingga pertautan mukogingiva (muccogingiva junction) untuk
selanjutnya bertemu dengan mukosa alveolar. Gingiva cekat melekat pada bagian tulang
plat korteks prosesus yang berada dibawahnya. Pertemuan antara gigi dan gingiva
(dentino gingiva juction) merupakan hubungan struktural antara jaringan keras dan
jaringan lunak yang disebut epitel attachment (junction epithelial), yang berada di dasar
kantong gingiva atau gingiva sulkus. Gingiva sulkus adalah bagian yang terletak diantara
free gingiva dan gigi. Pada gingiva sulkus, makanan dapat terjebak di celah ini. Gingiva
sulkus mempunya kedalaman ± 3mm (Goldman, H.M dan Cohen, D.W., 1980)
Gingiva dapat ditentukan oleh warna, tekstur permukaan, bentuk, konsistensi dan
sulkusnya (Goldman, H.M dan Cohen, D.W., 1980).
a. Warna
Warna gingiva sehat adalah merah muda (coral pink). Warna ini ditentukan oleh
warna mukosa oral
yang kemerahan dengan permukaan epitelium yang tipis dan berkeratinisasi. Warna
gingiva juga dipengaruhi oleh adanya pigmentasi dan aliran darah pada jaringan.
b. Tekstur Permukaan
Gingiva tepi mempunyai permukaan yang pada umunnya halus yang berbeda dengan
gingiva cekat. Tekstur permukaan seperti kulit jeruk, strippling terlihat pada
permukaan fasial dan sering tidak terlihat pada usia lanjut dan bayi. Stippling dapat
dilihat dengan cara mengeringkan gingiva.
c. Bentuk
Bentuk gingiva tergantung kondisin dan ukuran interdental serta kondisi dan ukuran
gigi. Ujung papila gingiva sering terdapat pada bagian insisal atau bagian oklusal
gingiva. Pinggir gingiva normal tipis.
d. Konsistensi
Konsistensi gingiva dapat diamati dengan menggunakan instrumen tumpul. Gingiva
tepi terlihat lunak, sedangkan gingiva cekat adalah kenyal seperti berpegas dan rapat
melekat pada dasar jaringan keras.
e. Sulkus Gingiva
6
Pengukuran kedalaman sulkus gingiva dilakukan dengan probe periodontal.
Kedalaman sulkus gingiva antara 1-2 mm. Jika dimasukkan probe tidak berdarah.
7
yang terluka akan mengeluarkan protein tromboplastin. Tromboplastin bersama faktor
VII, V, kalsium, faktor IX aktif dari jalur intrinsik akan mengubah faktor X menjadi
faktor X aktif. Faktor X dibantu kalsium dan faktor V akan mengubah protrombin
menjadi thrombin. Thrombin akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin monomer.
Thrombin juga akan mengubah faktor XIII menjadi faktor XIII aktif yang akan
mengubah fibrin monomer menjadi fibrin polimer atau benang-benang fibrin
(Mardiyantoro F, et al. 2018).
Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka dan merupakan periode penting
dalam mempersiapkan lingkungan sekitar luka untuk proses penyembuhan. Fase
inflamasi berlangsung hingga 3 sampai 5 hari Pada fase vaskular, terjadi vasokonstriksi
awal pembuluh darah. Aliran darah akan bergerak lamban menuju daerah yang terkena
jejas dan hal ini dapat meningkatkan pembekuan darah. Beberapa menit kemudian,
histamin dan prostaglandin pada sel darah putih akan menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah sehingga dinding pembuluh darah meloloskan sel plasma dan leukosit
menuju jaringan intertisial (Peterson et al., 1998:59).
Ketika terjadi perdarahan, sel inflamasi bermigrasi ke tempat yang terluka melalui
gerakan kemotaksis. Fase inflamasi ditandai dengan infiltrasi dari neutrophil, makrofag,
dan limfosit secara berurutan (Gosain dan DiPietro, 2004; Broughton et al., 2006;
Campos et al., 2008).
Fungsi penting neutrophil adalah pembersihan dengan menyerang mikroba dan debris
di area luka. Makrofag memiliki banyak peran dalam penyembuhan luka. Pada luka
awal, makrofag melepaskan sitokin yang merangsang respon inflamasi dengan
mendatangkan dan mengaktifkan leukosit. Makrofag juga bertanggung jawab untuk
menginduksi dan membersihkan sel yang apoptosis. Dengan dibersihkannya sel
apoptosis proses akan berlanjut ke tahap reparatif yang merangsang keratinosit,
fibroblast, dan angiogenesis untuk mendorong regenerasi jaringan yang menunjukkan
memasuki fase proliferatif (Meszaros et al., 2000; Mosser dan Edwards, 2008).
Limfosit T bermigrasi ke luka mengikuti sel inflamasi dan makrofag dan memuncak
pada fase proliferatif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sel CD4+ (Sel T helper)
8
berperan positif pada penyembuhan sedangkan Sel CD8+ (sel T suppressor sitotoksik)
berperan menghambat penyembuhan luka (Swift et al., 2001; Park dan Barbul, 2004).
Fase proliferative umumnya mengikuti dan overlap dengan fase inflamasi ditandai
oleh proliferasi epitel dan migrasi matrix ke dalam luka (re-epitelisasi). Dalam reparasi
dermis, sel fibroblast dan endotel adalah sel yang paling menonjol dan mendukung
pertumbuhan kapiler, pembentukan kolagen dan jaringan granulasi di lokasi jejas. Dalam
wound bed fibroblast menghasilkan kolagen serta glikosaminoglikan dan proteoglikan
yang merupakan komponen utama matriks ekstraselular (Gosain dan DiPietro, 2004;
Campos et al., 2008).
Fase remodelling merupakan tahap akhir penyembuhan luka. Pada tahap ini serat
kolagen secara acak dihancurkan dan digantikan dengan serat kolagen baru dengan
orientasi lebih baik dalam menahan tensile force luka. Wound strength meningkat lambat
tapi tidak sebesar peningkatan pada tahap fibroplastik. Kekuatan luka tidak pernah lebih
dari 80-85% dari jaringan yang tidak mengalami injury. Karena serat kolagen yang
berorientasi baik lebih efisien, maka hanya dibutuhkan sedikit, sehingga kelebihan
kolagen dihilangkan, dan luka yang memungkinkan jaringan parut menjadi lebih lunak.
Saat metabolisme luka menurun, vaskularisasi juga menurun, sehingga eritema hilang.
Elastin yang ditemukan pada kulit normal dan ligamen tidak digantikan selama
penyembuhan luka, sehingga injury pada jaringan tersebut menyebabkan hilangnya
fleksibilitas sepanjang jaringan parut. Kontraksi luka adalah proses akhir yang dimulai
pada akhir tahap fibroplastik dan berlangsung selama awal remodeling. Pada beberapa
kasus, kontraksi luka berperan pada penyembuhan luka. Walaupun mekanismenya belum
jelas, selama kontraksi luka, bagian tepi luka bermigrasi ke arah satu sama lainnya. Pada
luka yang tidak atau tidak akan digantikan oleh proses aposisi, kontraksi luka akan
mengurangi ukuran luka (Enoch dan Price, 2004).
2.4 Proses Penyembuhan Luka Pasca Operasi pada Struktur Tulang Alveolar
2.2.2. Penyembuhan tulang
2.1 Fase inflamasi/Reaksi
9
Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya
pembengkakan dan nyeri. Terjadi perdarahan dalam jaringan yang cidera dan
pembentukan hematoma di tempat patah tulang. Ujung fragmen tulang mengalami
devitalisasi karena terputusnya pasokan darah terjadi hipoksia dan inflamasi yang
menginduksi ekpresi gen dan mempromosikan pembelahan sel dan migrasi menuju
tempat fraktur untuk memulai penyembuhan.
Produksi atau pelepasan dari faktor pertumbuhan spesifik, Sitokin, dapat membuat
kondisi mikro yang sesuai untuk :
(1) Menstimulasi pembentukan periosteal osteoblast dan osifikasi intra membran pada
tempat fraktur,
(2) Menstimulasi pembelahan sel dan migrasi menuju tempat fraktur, dan
(3) Menstimulasi kondrosit untuk berdiferensiasi pada kalus lunak dengan osifikasi
endokondral yang mengiringinya. (Kaiser 1996).
Berkumpulnya darah pada fase hematom awalnya diduga akibat robekan pembuluh
darah lokal yang terfokus pada suatu tempat tertentu. Namun pada perkembangan
selanjutnya hematom bukan hanya disebabkan oleh robekan pembuluh darah tetapi juga
berperan faktor- faktor inflamasi yang menimbulkan kondisi pembengkakan lokal. Waktu
terjadinya proses ini dimulai saat fraktur terjadi sampai 2 – 3 minggu.
10
2.3 Fase Pembentukan Kalus
Merupakan fase lanjutan dari fase hematom dan proliferasi mulai terbentuk jaringan
tulang yakni jaringan tulang kondrosit yang mulai tumbuh atau umumnya disebut sebagai
jaringan tulang rawan. Sebenarnya tulang rawan ini masih dibagi lagi menjadi tulang
lamellar dan wovenbone. Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan
tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubungkan. Fragmen patahan tulang
digabungkan dengan jaringan fibrous, tulang rawan, dan tulang serat matur. Bentuk kalus
dan volume dibutuhkanuntuk menghubungkan efek secara langsung berhubungan dengan
jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu waktu tiga sampai empat minggu agar
fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrous. Secara klinis fragmen
tulang tidak bisa lagi digerakkan. Regulasi dari pembentukan kalus selama masa perbaikan
fraktur dimediasi oleh ekspresi dari faktor-faktor pertumbuhan. Salah satu faktor yang
paling dominan dari sekian banyak faktor pertumbuhan adalah Transforming Growth
Factor-Beta 1 (TGF-B1) yang menunjukkan keterlibatannya dalam pengaturan
differensiasi dari osteoblast dan produksi matriks ekstra seluler. Faktor lain yaitu:
Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) yang berperan penting pada proses
angiogenesis selama penyembuhan fraktur.
Dengan aktifitas osteoklast dan osteoblast yang terus menerus, tulang yang immature
(woven bone) diubah menjadi mature (lamellar bone). Keadaan tulang ini menjadi lebih
kuat sehingga osteoklast dapat menembus jaringan debris pada daerah fraktur dan diikuti
osteoblast yang akan mengisi celah di antara fragmen dengan tulang yang baru. Proses ini
berjalan perlahan-lahan selama beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk
menerima beban yang normal.
Fraktur telah dihubungkan dengan selubung tulang yang kuat dengan bentuk yang
berbeda dengan tulang normal. Dalam waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun
terjadi proses pembentukan dan penyerapan tulang yang terus menerus lamella yang tebal
akan terbentuk pada sisi dengan tekanan yang tinggi. Rongga medulla akan terbentuk
kembali dan diameter tulang kembali pada ukuran semula. Akhirnya tulang akan kembali
mendekati bentuk semulanya, terutama pada anak-anak.
11
a. Alveolectomi
Eksostosis ini harus dihilangkan untuk persiapan pemakaian gigi tiruan karena
eksostosis dapat mengganggu retensi, stabilitas serta kenyamanan pada pasien yang
akan menggunakan gigi tiruan tersebut . Agar tidak mengganggu retensi, stabilitas
dan kenyamanan pasien pengguna gigi tiruan maka perlu dilakukan pengambilan
pada eksostosis tersebut. Pembedahan yang digunakan untuk mengambil eksostosis
yaitu dengan alveolektomi. Alveolektomi merupakan salah satu tindakan bedah
preprostetik. Bedah preprostetik sendiri dapat diartikan sebagai suatu tindakan bedah
minor yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan tulang alveolar rahang agar dapat
menjadi lebih baik untuk penempatan gigi tiruan atau alveolectomi dapat diartikan
sebagai suatu tindakan pembuangan seluruh maupun sebagian prosesus alveolaris.
Tujuan dilakukan bedah preprostetik ialah untuk mendapatkan gigi tiruan dengan
retensi, stabilsasi, estetik dan fungsi yang lebih baik (Ghos, 2006).
12
c. Kontraindikasi
a. Tulang kortikal yang tipis
b. Pada pasien yang memiliki bentuk prosesus alveolaris yang tidak rata, tetapi
tidak mengganggu adaptasi gigi tiruan baik dalam hal pemasangan, retensi
maupun stabilitas.
c. Pada pasien yang memiliki penyakit sistemik yang tidak terkontrol yaitu
penyakit kardiovaskuler, Diabetes Mellitus (DM) dan aterosklerosis
d. Periostitis atau radang akut periosteum.
e. Periodontitis, merupakan penyakit periodontal yang parah, yang
mengakibatkan kehilangan tulang (Rasyid, 2013)
1. Faktor intrinsik
2. Faktor ekstrinsik
13
mempengaruhi beberapa area dari proses penyembuhan. kekurangan protein
menurunkan sintesa dari kolagen dan leukosit. kekurangan lemak dan karbohidrat
memperlambat semua fase penyembuhan luka karena protein dirubah menjadi energi
selama malnutrisi. kekurangan vitamin menyebabkan terlambatnya produksi dari
kolagen, respon imun, dan respon koagulasi. penderita tua yang mengalami
penurunan respon inflamasi yang memperlambat proses penyembuhan. Usia tua
menyebabkan penurunan sirkulasi migrasi sel darah putih pada sisa luka dan
fagositosis terlambat. itambah pula kemungkinan penderita mengalami gangguan
yang secara bersamaan menghambat penyembuhan luka seperti diabetes melitus.
Perokok meningkatkan arteri sklerosis dan platelet agregasi. lebih lanjut kondisi ini
membatasi jumlah oksigen dalam luka.
1. Usia
Anak-anak dan orang dewasa lebih cepat proses penyembuhan luka daripada
orang tua. Hal ini terkait perubahan perubahan yang terjadi pada orang tua,
vaskular telah terjadi arterosclerosis dan atropi kapiler yang akan mengganggu
kelancaran aliran darah menuju daerah luka. Selain itu orang tua juga lebih sering
terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati yang dapat mengganggu sintesis
dari faktor pembekuan darah.
2. Nutrisi
Pasien sangat membutuhkan nutrisi yang cukup untuk kesembuhan lukanya seperti
protein, vitamin C, dan vitamin A, serta mineral. Bila nutrisi tersebut tidak terpenuhi
maka proliferasi dan pembentukan epitel sel baru akan terhambat.
3. Infeksi
14
Ada tidaknya infeksi pada luka merupakan penentu dalam percepatan
penyembuhan luka. sumber utama infeksi adalah bakteri. Dengan adanya infeksi
maka fase-fase dalam penyembuhan luka akan terhambat.
5. Lokasi luka
6. Obat
15
Dengan demikian pengobatan luka akan berjalan lambat dan membutuhkan
waktu yang lebih lama.
Imunitas pasien yang lemah akan sangat berpengaruh terhadap kondisi luka.
Reaksi fagositosis dan sistem kolagen akan terganggu seperti terlihat pada pasien
penderita HIV/AIDS.
8. Gaya Hidup
a. Merokok
b. Kebiasaan buruk
16
BAB 4
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Regenerasi merupakan proses yang begitu penting artinya bagi kehidupan makhluk
hidup. Tanpa regenerasi maka tubuh organisme tak akan ada yang sempurna. Beberapa
faktor yang merangsang pembelahan mitosis adalah faktor pertumbuhan. Penyembuhan
luka merupakan suatu proses yang kompleks karena adanya kegiatan bioseluler dan
biokimia yang terjadi secara berkesinambungan. tulang selalu mengalami pembongkaran
dan penggantian sel-sel lama dengan sel-sel baru. Regenerasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti temperature, makanan, system syaraf, usia, dan lain-lain.
4.2. Saran
Menyadari bahwa penyusun masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penyusun
berharap untuk selanjutnya lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di
atas dengan sumber–sumber yang lebih bervariatif.
17
DAFTAR PUSTAKA
Basa S, Uckan S, Kisnisci R. Preprosthetic and oral soft tissue surgery. United
Kingdom: Wiley-blackwell, 2010: 321-23.
Basha S, Dutt SC. Buccal-sided mandibular angel exostosis. Contemp Clin Dent 2011;
2(3): 237-9.
Broughton G 2nd, Janis JE, Attinger CE (2006). The basic science of wound healing
(retraction of Witte M., Barbul A. In: Surg Clin North Am 1997; 77:509-528). Plast Reconstr
Surg 117(7 Suppl):12S-34S.
Campos AC, Groth AK, Branco AB (2008). Assessment and nutritional aspects of
wound healing. Curr Opin Clin Nutr Metab Care 11:281-288.
Enoch, S., and Price, P., 2004. Cellular Molecular And Biochemical Differences In
The Physiology Of Healing Between Acute Wounds, Chronic Wounds And Wounds In The
Elderly. Worldwide wounds. Com
Jainkittivong A, Langlais RP. Buccal and exostoses: Prevalence and concurrence with
tori. J Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 2000; 90: 48-52.
Kurtzman GM, Silverstein LH. A Technique for surgical mandibular exostosis
removal. Compendium 2006; 27(10):520-5.
Mardiyantoro F, et al. 2018. Penyembuhan Luka Rongga Mulut. 1st ed. UB Press.
Meszaros AJ, Reichner JS, Albina JE (2000), Macrophage-induced neutrophil
apoptosis. J Immunol 165:435-441.
Mosser DM, Edwards JP (2008). Exploring the full spectrum of macrophage
activation. Nat Rev Immunol 8:958-969
18
Park JE, Barbul A (2004). Understanding the role of immune regulation in wound
healing. Am J Surg 187:11-16.
Peterson et al. (1998). Eicosapentaenoic and docoshexaenoic acids alter rat spleen
leukocyte fatty acid composition and prostaglandin E2 production but have different effects
on lymphocyte functions and cell-mediated immunity. Lipids 33: 171-180.
Quran FAM, Dwairi ZN. Torus palatinus and torus mandibularis in edentulous patients.
J of Contemporary Dental Practice 2006; 7(2): 1.
Rasyid, A. 2013. Prevalensi tindakan alveolektomi berdasarkan jenis kelamin, umur,
dan regio yang dilakukan di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial RSGMP FKG USU
tahun 2011-2012. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
Sawair FA, Shayyab MH. Prevalence and clinical characteristics of tori and
jawexostoses in a teaching hospital in Jordan. J Saudi Med (2009); 30(12): 1557-
1562..
Swift ME, Burns AL, Gray KL, DiPietro LA (2001). Age-related alterations in the
inflammatory response to dermal injury. J Invest Dermatol 117:1027-1035.
19