Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

DEMAM TIFOID

Disusun oleh:
Annisa Zakiroh
1111103000033

Pembimbing:
Dr. dr. Debbie Latupeirissa, Sp.A(K)

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016

1
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan Inayah-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah referat ini tepat pada waktunya.
Shalawat dan salam marilah senantiasa kita junjungkan kehadirat Nabi
Muhammad SAW beserta para sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr.
dr. Debbie Latupeirissa, Sp.A(K) selaku pembimbing saya dalam menyusun
referat ini. Saya menyadari makalah referat saya tentang Demam Tifoid ini masih
jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
sangat saya harapkan demi kesempurnaannya.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah referat ini dapat
bermanfaat khususnya bagi saya dan rekan-rekan mahasiswa yang sedang
menempuh pendidikan kepaniteraan klinik.
“Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Maka bila kamu telah
selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang
lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Q.S. Al
Insyirah:6-7)”

Jakarta, Juli 2016

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................... 2

Daftar Isi ............................................................................................................. 3

BAB I. Pendahuluan ........................................................................................... 4

BAB II. Tinjauan Pustaka ................................................................................... 6

2.1. Definisi ........................................................................................... 6

2.2. Epidemiologi .................................................................................. 6

2.3. Etiologi ........................................................................................... 7

2.4. Patogenesis .................................................................................... 9

2.5. Cara penularan dan faktor yang berperan ...................................... 11

2.6. Gambaran klinis ............................................................................. 11

2.7. Gejala kinis..................................................................................... 12

2.8. Penegakkan diagnosis .................................................................... 13

2.9. Diagnosis ........................................................................................ 19

2.10. Tatalaksana................................................................................... 20

2.11. Pencegahan................................................................................... 26

2.12. Komplikasi ................................................................................... 27

2.13. Prognosis ...................................................................................... 28

BAB III. Kesimpulan .......................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 30

3
BAB I
PENDAHULUAN

Demam tifoid atau tifus abdominalis banyak ditemukan dalam kehidupan


masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini sangat erat
kaitannya dengan kualitas yang mendalam dari higine pribadi dan sanitasi
lingkungan seperti, higiene perorangan dan higiene penjamah makanan yang
rendah, lingkungan yang kumuh, kebersihan tempat-tempat umum (rumah makan,
restoran) yang kurang serta perilaku masyarakat yang tidak mendukung untuk
hidup sehat. Seiring dengan terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan akan
menimbulkan peningkatan kasus-kasus penyakit menular, termasuk tifoid.1
Di Indonesia, penyakit ini bersifat endemik dan merupakan masalah
kesehatan masyarakat. Dari telaah kasus di rumah sakit besar di Indonesia, kasus
tersangka tifoid menunjukkan kecendrungan meningkat dari tahun ke tahun
dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0,6-
5%.1
Saat ini, penyakit tifoid harus mendapat perhatian yang serius karena
permasalahannya yang makin kompleks sehingga menyulitkan upaya pengobatan
dan pencegahan. Permasalahan tersebut adalah:1
- Gejala-gejala klinik bervariasi dari sangat ringan sampai berat dengan
komplikasi yang berbahaya;
- Komorbid atau koinfeksi dengan penyakit lain;
- Resistensi yang meningkat terhadap obat-obat yang lazim dipakai. WHO
melaporkan bahwa resistensi telah berkembang di Meksiko dan Vietnam sejak
awal tahun 1970-an dan hanya dalam beberapa tahun, 75% dari kasus telah
resisten. Saat ini dilaporkan banyak kasus resisten dengan banyak obat
(multidrug resistance);
- Meningkatnya kasus-kasus karier atau relaps, hal ini menunjukkan bahwa
metode pengobatan belum efektif. Sebuah study di Chile mengemukakan
bahwa 690 kasus karier dari 100.000 penduduk;

4
- Sampai saat ini, sangat sulit dibuat vaksin yang efektif, terutama untuk
masyarakat Indonesia yang tinggal di daerah-daerah bersifat endemik;
- Pemeriksaan diagnostik yang adekuat belum selalu tersedia.2
Berdasarkan permasalah di atas, maka penulis tertarik untuk membahas
demam tifoid sebagai topik tinjauan pustaka. Pada makalah ini, selain membahas
demam tifoid secara keseluruhan, penulis juga mencantumkan tatalaksana
antibiotik terkini demam tifoid dengan maupun tanpa komplikasi, serta
tatalaksana bagi karier demam tifoid. Penulis juga menyertakan kemungkinan
pencegahan demam tifoid menggunakan vaksin yang tersedia bagi anak yang
berada di daerah endemis maupun anak yang berpergian ke daerah endemis
sehingga berisiko untuk terserang demam tifoid.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang disebabkan
oleh infeksi sistemik Salmonella typhi. Prevalensi 91% kasus demam tifoid terjadi
pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Pada minggu
pertama sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam
lainnya sehingga untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan
kuman untuk konfirmasi. Sembilan puluh enam persen (96%) kasus demam tifoid
disebabkan S. typhi, sisanya disebabkan oleh S. paratyphi.3

2.2. Epidemiologi
Tifoid terdapat di seluruh dunia, terutama di negara-negara yang sedang
berkembang di daerah tropis. Penyakit ini telah ada sejak beberapa abad yang lalu.
Sebagai gambaran, kejadian Di Jamestown Virginia USA, dimana dilaporkan
lebih 6000 kematian akibat wabah tifoid pada periode 1607 sampai dengan 1624.
Demikian juga pada peperangan di Afrika Selatan akhir abad XIX, dimana pihak
Inggris telah kehilangan 13.000 serdadu akibat tifoid. Padahal kematian akibat
peperangan itu sendiri hanya 8000 serdadu. Sampai awal abad XXI ini tifoid
masih eksis, diperkirakan 17 juta kasus per tahun, dengan kematian sekitar
600.000 kasus. Case Fatality Rates berkisar 10% dan menurun sampai 1% bila
mendapat pengobatan yang adekuat.1
Saat ini, beberapa negara sudah menjalankan imunisasi tifoid sesuai
rekomendai World Health Organization (WHO) sehingga sulit menentukan
prevalens penyakit ini di dunia. Beberapa sistem surveilans untuk kasus demam
tifoid di negara berkembang sangat terbatas, terutama di tingkat komunitas,
sehingga prevalens penyakit yang sesungguhnya sangat sulit diperoleh. Data
surveilans yang tersedia menunjukkan bahwa pada tahun 2000, estimasi penyakit
adalah sebanyak 21.650.974 kasus, kematian terjadi pada 216.510 kasus tifoid dan

6
5.412.744 pada penyakit paratifoid. Data tersebut diekstrapolasi dari beberapa
penelitian sehingga dapat kurang tepat, apalagi karena pemeriksaan penunjang
diagnosis yang tidak akurat.4
Di Indonesia, tifoid jarang dijumpai secara epidemis tapi bersifat endemis
dan banyak dijumpai di kota-kota besar. Tidak ada perbedaan yang nyata insidens
tifoid pada pria dengan wanita. Insiden tertinggi didapatkan pada remaja dan
dewasa muda. Kurang lebih 85% karier ini dijumpai pada wanita diatas 50 tahun.
Secara umum insidens tifoid dilaporkan 75% didapatkan pada umur kurang dari
30 tahun. Pada anak-anak biasanya diatas 1 tahun dan terbanyak diatas 5 tahun
dan manifestasi klinik lebih ringan.1
Insiden tifoid di Indonesia masih sangat tinggi berkisar 350-810 per
100.000 penduduk. Demikian juga dari telaah kasus demam tifoid di rumah sakit
besar di Indonesia, menunjukkan angka kesakitan cenderung meningkat setiap
tahun dengan rata-rata 500/100.000 penduduk. Angka kematian diperkirakan
sekitar 0.6-5% sebagai akibat dari keterlambatan mendapat pengobatan serta
tingginya biaya pengobatan.1

2.3. Etiologi
Basil penyebab tifoid adalah Salmonella typhi dan paratyphi dari genus
Salmonella. Basil ini adalah gram negatif, bergerak, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora, tetapi memiliki fimbria, bersifat aerob dan anaerob fakultatif.
Ukuran antara (2-4) x 0,6 um. Suhu optimum untuk tumbuh adalah 37̊C dengan
pH antara 6-8. Perlu diingat bahwa basil ini dapat hidup sampai beberapa minggu
di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Sedangkan reservoir
satu-satunya adalah manusia yaitu seseorang yang sedang sakit atau karier.1
Basil ini dapat dibunuh dengan pemanasan (suhu 60̊C) selama 15-20
menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi. Masa inkubasi tifoid 10-14 hari
dan pada anak, masa inkubasi ini lebih bervariasi berkisar 5-40 hari, dengan
perjalanan penyakit kadang-kadang juga tidka teratur. Pertumbuhan dalam kaldu;
terjadi kekeruhan menyeluruh sesudah dieramkan semalam tanpa pembentukan

7
selaput. Pada agar darah; koloninya besar bergaris tengah 2 sampai 3 mm, bulat
agak cembung, jernih, licin, dan tidak menyebabkan hemolisis.1
Pada pembenihan Mac Conkey tidak meragikan laktosa sehingga tidak
berwarna. Pada pembenihan Deoksikolat sitrat: koloninya tidak meragikan laktosa
sehingga tidak berwarna. Pada pembenihan bismuth sulfit Wilson dan Blair,
tumbuh koloni hitam berkilat logam akibat pembentukan H2S. Perbenihan Selenit
F dan tetrationat sering dipakai sebagai pernebihan cair diperkaya. 1
a. Reaksi Biokimiawi
Kuman ini meragikan glukosa, manitol, dan maltose dengan disertai
pembentukan asam dan gas kecuali Salmonell typhi yang hanya membuat
asam tanpa pembentukan gas. Tidak membuat indol, tetapi reaksi metil merah
positif. Tidak menghidrolisiskan urea dan membentuk H2S.1
Telah lama dikenal bahwa basil Salmonella typhi dan paratyphi ini
mempunyai struktur yang dapat diketahui secara serologis.
- Antigen Somatik (O)
Merupakan kompleks fosfolipid protein polisakarida yang tahan terhadap
pendidihan, alkohol dan asam. Aglutinasi O berlangsung lebih lambat dan
bersifat kurang imunogenik, namun mempunyai nilai diagnosis yang
tinggi. Titer antibodi yang timbul oleh antigen O ini selalu lebih rendah
dari titer antibodi H.
- Antigen Flagel (H)
Merupakan protein termolabil dan bersifat sangat imunogenik. Antigen ini
rusak dengan pendidihan dan alcohol, tetapi tidak rusak oleh formaldehid.
- Antigen Vi
Merupakan antigen permukaan dan bersifat termolabil. Antibodi yang
terbentuk dan menetap lama dalam darah dapat memberi petunjuk bahwa
individu tersebut sebagai pembawa kuman (karier). Antigen Vi terdapat
pada S. typhi, S. paratyphi dan S. Dublin.1
b. Klasifikasi Berdasarkan Antigen
Berdasarkan antigen somatik, Salmonella dapat dibagi dalam 65 kelompok
serologik. Tiap kelompok ditandai dengan huruf A, B, C, D dan lain-lain.1

8
2.4. Patogenesis
Demam tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi. Penularan ke manusia melalui makanan dan atau minuman yang
tercemar dengan feses manusia. Setelah melewati lambung, kuman mencapai usus
halus dan invasi ke jaringan limfoid (plak peyer) yang merupakan tempat
perdileksi untuk berkembang biak. Melalui saluran limfe mesenteric, kuman
masuk ke aliran darah sistemik (bakterimia I) dan mencapai sel-sel
retikuloendotelial dari hati dan limpa. Fase ini dianggap masa inkubasi (7-14
hari). Kemudian dari jaringan ini, kuman dilepas ke sirkulasi sistemik (bakterimia
II) melalui duktus torasikus dan mencapai organ-organ tubuh terutama limpa, usus
halus dan kandung empedu. 1
Kuman Salmonella menghasilkan endotoksin yang merupakan kompleks
lipopolisakarida dan dianggap berperan penting pada patogenesis demam tifoid.
Endotoksin bersifat pirogenik serta memperbesar reaksi peradangan dimana
kuman Salmonella berkembang biak. Di samping itu, merupakan stimulator yang
kuat untuk memproduksi sitokin oleh sel-sel makrofag dan sel leukosit di jaringan
yang meradang. Sitokin ini merupakan mediator-mediator untuk timbulnya
demam dan gejala toksemia. Oleh karena basil salmonella bersifat intraseluler
maka hampir semua bagian tubuh dapat terserang dan kadang-kadang pada
jaringan yang terinvasi dapat timbul fokal-fokal infeksi. 1
Kelainan patologis yang utama terdapat di usus halus terutama di ileum
bagian distal dimana terdapat kelenjar plak peyer. Pada minggu pertama, pada
plak peyer terjadi hiperplasia berlanjut menjadi nekrosis pada minggu kedua dan
ulserasi pada minggu ketiga, akhirnya terbentuk ulkus. Ulkus ini mudah
menimbulkan perdarahan dan perforasi yang merupakan komplikasi yang
berbahaya. Hati membesar karena infiltrasi sel-sel limfosit dan sel mononuclear
lainnya serta nekrosis fokal. Demikian juga proses ini terjadi pada jaringan
retikuloendotelial lain seperti limpa dan kelenjar mesenterika. Kelainan-kelainan
patologis yang sama juga dapat ditemukan pada organ tubuh lain seperti tulang,
usus, paru, ginjak, jantung dan selaput otak. Pada pemeriksaan klinis, sering
ditemukan proses radang dan abses-abses pada banyak organ, sehingga dapat

9
ditemukan bronchitis, arthritis septik, pielonefritis, meningitis, dan lain-lain.
Kandung empedu merupakan tempa yang disenangi basil Salmonella. Bila
penyembuhan tidak sempurna, basil tetap tahan di kandung empedu ini, mengalir
ke dalam usus, sehingga menjadi karier intestinal. 1

Gambar 1. Patogenesis Demam Tifoid. 5


Sumber: Kliegman, Robert M. Nelson Textbook of Pediatrics, Twentieth Edition.
Phildelphia: Elsevier, 2016. h. 1389.

Demikian juga ginjal dapat mengandung basil dalam waktu lama sehingga
juga menjadi karier. Adapun tempat-tempat yang menyimpan basil ini,
memungkinkan penderita mengalami kekambuhan (relaps).1

10
2.5. Cara penularan dan faktor yang berperan
Basil Salmonella menular ke manusia melalui makanan dan minuman. Jadi
makanan atau minuman yang dikonsumsi manusia telah tercemar oleh komponen
feses atau urin dari pengidap tifoid. Beberapa kondisi kehidupan manusia yang
sangat berperan, pada penularan adalah:1
- Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak
terbiasa. Hal ini jelas pada anak-anak penyaji makanan serta pengasuh anak,
- Higiene makanan dan minuman yang rendah. Faktor ini paling berperan pada
penularan tifoid. Banyak sekali contoh untuk ini diantaranya: makanan yang
dicuci dengan air yang terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan buah-
buahan), sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang tercemar
dengan debu, sampah, dihinggapi lalat, air minum yang tidak dimasak, dan
sebagainya,
- Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran dan
sampah yang tidak memenuhi syara-syarat kesehatan,
- Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai,
- Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat,
- Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna,
- Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid.1

2.6. Gambaran Klinis


Gambaran klinis tifoid sangat bervariasi, dari gejala yang ringan sekali
(sehingga tidak terdiagnosis), dan dengan gejala yang khas (sindrom demam
tifoid) sampai dengan gejala klinis berat yang disertai komplikasi. Gambaran
klinis juga bervariasi berdasarkan daerah atau negara, serta menurut waktu.
Gambaran klinis di negara berkembang dapat berbeda dengan negara maju dan
gambaran klinis tahun 2000 dapat berbeda dengan tahun enam puluhan pada
daerah yang sama.1
Gambaran klinis pada anak cenderung tidak khas. Makin kecil anak,
gambaran klinis makin tidak khas. Kebanyakan perjalanan penyakit berlangsung
dalam waktu pendek dan jarang menetap lebih dari 2 minggu.1

11
2.7. Gejala Klinis
2.7.1. Demam
Demam atau panas adalah gejala utama Demam Tifoid. Pada awal sakit,
demamnya kebanyakan samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh sering
turun naik. Pagi lebih rendah atau normal, sore dan malam lebih tinggi
(demam intermitten). Dari hari ke hari intensitas demam makin tinggi yang
disertai banyak gejala lain seperti sakit kepala (pusing-pusing) yang sering
dirasakan di area frontal, nyeri otot, pegal-pegal, insomnia, anoreksia,
mual dan muntah. Pada minggu kedua, intensitas demam makin tinggi,
kadang-kadang terus menerus (demam kontinyu). Bila pasien membaik
maka pada minggu ketiga suhu badan berangsur turun dan dapat normal
kembali pada akhir minggu ketiga. Perlu diperhatikan bahwa demam khas
Tifoid tersebut tidak selalu ada. Tipe demam menjadi tidak beraturan. Hal
ini mungkin karena intervensi pengobatan atau komplikasi yang dapat
terjadi lebih awal. Pada anak khususnya balita, demam tinggi dapat
menimbulkan kejang.1
2.7.2. Gangguan saluran pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama.
Bibir kering dan kadang-kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan
ditutupi selaput putih (coated tongue atau selaput putih). Ujung dan tepi
lidah kemerahan dan tremor, dan pada penderita anak jarang ditemukan.
Pada umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama region
epigastrik (nyeri ulu hati), disertai nausea, mual dan muntah. Pada awal
sakit sering meteorismus dan konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang-
kadang timbul diare.1
2.7.3. Gangguan kesadaran
Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa
penurunan kesadaran ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan
kesadaran seperti berkabut. Bila klinis berat, tak jarang penderita sampai
somnolen dan koma dengan gejala-gejala psikosis (organic brain
syndrome). Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol.1

12
2.7.4. Hepatosplenomegali
Hati atau limpa, ditemukan sering membesar. Hati terasa kenyal dan
terdapat nyeri tekan.1
2.7.5. Bradikardia relatif dan gejala lain
Bradikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin karena teknis
pemeriksaan yang sulit dilakukan. Bradikardi relatif adalah peningkatan
suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan
yang sering dipakai adalah bahwa setiap peningkatan suhu 1̊C akan diikuti
peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit. Gejala-gejala lain
yang dapat ditemukan pada demam tifoid adalah rose spot yang biasanya
ditemukan di regio abdomen atas, serta sudamina, serta gejala-gejala klinis
yang berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Rose spot pada anak
sangat jarang ditemukan, lebih sering epistkasis.1

2.8. Penegakkan Diagnosis


2.8.1. Anamnesis
a. Keluhan
Pasien datang ke dokter karena demam. Demam naik turun terutama
sore dan malam hari (demam intermiten). Keluhan disertai dengan
sakit kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan di area frontal,
nyeri otot, pegal-pegal, insomnia, anoreksia, dan mual muntah. Selain
itu, keluhan dapat pula disertai gangguan gastrointestinal berupa
konstipasi dan meteorismus atau diare, nyeri abdomen dan BAB
berdarah. Pada anak dapat terjadi kejang demam. Demam tinggi dapat
terjadi terus menerus (demam kontinu) hingga minggu kedua.4
b. Faktor risiko
Higiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang kurang baik.4
2.8.2. Hasil Pemeriksaan Fisis
a. Suhu tinggi,
b. Bau mulut karena demam lama,
c. Bibir kering dan kadang pecah-pecah,

13
d. Lidah kotor dan ditutup selaput putih (coated tongue), jarang
ditemukan pada anak.
e. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor.
f. Nyeri tekan region epigastrik (nyeri ulu hati).
g. Hepatosplenomegali.
h. Bradikardia relatif (peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh
peningkatan frekuensi nadi).4
Pemeriksaan fisik keadaan lanjut:
a. Penurunan kesadaran ringan sering terjadi berupa apatis dengan
kesadaran seperti berkabut. Bila klinis berat, pasien dapat menjadi
somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis (organic brain
syndrome).
b. Pada penderita dengan toksis, gejala delirium lebih menonjol.4
2.8.3. Pemeriksaan Penunjang
Sampai saat ini, baku emas diagnosis demam tifoid adalah
pemeriksaan biakan empedu walaupun hanya 40-60% kasus biakan positif,
terutama pada awal perjalanan penyakit. Biakan spesimen tinja dan urin
menjadi positif setelah akhir minggu pertama infeksi, namun
sensitivitasnya lebih rendah.2
a. Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Hitung
leukosit yang rendah sering berhubungan dengan demam dan toksisitas
penyakit, namun kisaran jumlah leukosit bisa lebar. Pada anak yang
lebih muda leukositosis bisa mencapai 20.000-25.000/mm3.
Trombositopenia dapat merupakan marker penyakit berat dan disertai
dengan koagulasi intravascular diseminata. Pemriksaan fungsi hati
dapat berubah, namun gangguan hati yang bermakna jarang
ditemukan. 2
b. Pemeriksaan serologi Widal
Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan
H S. typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan

14
Widal memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dan
penggunaannya sebagai satu-satunya pemeriksaan penunjang di daerah
endemis dapat mengakibatkan overdiagnosis. Kadar agglutinin
tersebut diukur dengan menggunakan pengenceran serum berulang.
Pada umumnya antibodi O meningkat di hari ke 6-8 dan antibodi H
hari ke 10-12 sejak awal penyakit.2
Interpretasi pemeriksaan Widal harus dilakukan secara hati-hati
karena beberapa faktor mempengaruhi hasilnya, antara lain stadium
penyakit, pemberian antibiotik, teknik laboratorium, dan riwayat
imunisasi demam tifoid. Sensitivitas dan spesifisitas rendah tergantung
kualitas antigen yang digunakan bahkan dapat memberikan hasil
negatif pada 30% sampel biasakan positif demam tifoid.2
Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas
91,4%, dan nilai prediksi positif 80%. Hasil pemeriksaan Widal positif
palsu dapat terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal
Salmonella, enterobacteriaceae, pemeriksaan dilakukan di daerah
endemis infeksi dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid, dan
preparat antigen komersial yang bervariasi serta standardisasi yang
kurang baik. Pemeriksaan Widal seharusnya dilakukan 1-2 minggu
kemudian sehingga kenaikan 4 kali, terutama aglutinin O memiliki
nilai diagnostik yang penting untuk demam tifoid. Titer aglutinin O
yang positif dapat berbeda dari >1/80 sampai >1/320 antar
laboratorium tergantung endemisitas demam tifoid di masyarakat
setempat dengan catatan 8 bulan terakhir tidak mendapat vaksinasi
atau baru sembuh dari demam tifoid. 2
Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak
mempunyai arti penting dan sebaiknya dihindari oleh karena beberapa
lasan, yaitu variabilitas alat pemeriksaan, kesulitan memperoleh titer
dasar dengan kondisi stabil, paparan berulang S. typhi di daerah
endemis, reaksi silang terhadap non-Salmonella lain, dan kurangnya
kemampuan reprodusibilitas hasil pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan

15
serologi untuk agglutinin Salmonella seperti pemeriksaan Widal
bahkan tidak dianjurkan. 2
c. Pemeriksaan serologi terhadap spesimen darah
Pemeriksaan diagnostik baru saat ini tersedia, seperti Typhidot atau
Tubex yang mendeteksi antibodi IgM antigen spesifik O9
lipopolisakarida S.typhi. Dalam dua dekade ini, pemeriksaan antibodi
IgM dan IgG spesifik terhadap antigen S. typhi berdasarkan enzyme-
linked immunosorbent assay (ELISA) berkembang. 2
Antigen dipisahkan dari berbagai struktur subseluler organisme
antara lain: lipopolisakarida (LPS), outer membrane protein (OMP),
flagella (d-H), dan kapsul (virulence [Vi] antigen). Telah banyak
penelitian yang membuktikan bahwa pemeriksaan ini memiliki
sensitivitas dan spesifisitas hamper 100% pada pasien demam tifoid
dengan biakan darah positif S. typhi. Pemeriksaan antibodi IgM
terhadap antigen O9 lipopolisakarida S. typhi (Tubex) dan IgM
terhadap S. typhi (Typhidot) memiliki sensitivitas dan spesifitas
berkisar 70% dan 80%.2
Pemeriksaan serologi tersebut dapat dibaca secara visual dalam
waktu 10 menit dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap
skala warna dan nilai >6 dianggap sebagai positif kuat. Namun
interpretasi hasil serologi yang positif harus dilakukan secara hati-hati
pada kasus tersangka demam tifoid di daerah endemis karena IgM
dapat bertahan sampai 3 bulan, sedangkan IgG sampai 6 bulan. 2
d. Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. typhi hanya
membutuhkan waktu kurang dari 8 jam dan memiliki sensitivitas yang
tinggi sehingga lebih unggul disbanding pemeriksaan biakan darah
biasa yang membutuhkan waktu 5-7 hari. In-flagelin PCR terhadap S.
typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%.
Pemeriksaan nested polymerase chain reaction (PCR) spesifik S. typhi
dari darah pasien dan merupakan pemeriksaan diagnostic cepat yang

16
menjanjikan. Pemeriksaan nested PCR terhadap gen flagelin (fliC) dari
S. typhi dapat dideteksi dari specimen urin 21/22 (95.5%), diikuti dari
specimen darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22 (68.1%).2
e. Pemeriksaan serologi dari spesimen urin
Pemeriksaan ELISA terhadap antibodi monoklonal spesifik antigen 9
grup D Salmonella dari specimen urin pada satu kali pemeriksaan
memiliki sensitivitas 65%, namun pemeriksaan urin secara serial
menunjukkan sensitivitas 95%. Pemeriksaan ELISA menggunakan
antibodi monoklinal terhadap antigen 9 somatik (O9), antigen d
flagella (d-H), dan antigen virulensi kapsul (Vi) pada specimen urin
memiliki sensitivitas tertinggi pada akhir minggu pertama, yaitu
terhadap ketiga antigen Vi terdeteksi pada 9 kasus (100%), O9 pada 4
kasus (44%) dan d-H pada 4 kasus (44%). Spesifisitas untuk Vi lebih
dari 90% sehingga deteksi antigen Vi pada urin menjanjikan untuk
menunjang diagnosis demam tifoid, terutama dalam minggu pertama
sejak timbulnya demam. 2
f. Pemeriksaan antibodi IgA dari spesimen saliva
Pemeriksaan diagnostik yang mendeteksi antibodi IgA dari
lipopolisakarisa S. typhi dari specimen saliva memberikan hasil positif
pada 33/37 (89,2%) kasus demam tifoid. Pemeriksaan ELISA ini
menunjukkan sensitivitas 71,4% 100%, 100%, 9,1% dan 0% pada
minggu pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima perjalanan
penyakit demam tifoid. 2

17
Tabel 1. Perbandingan beberapa pemeriksaan penunjang untuk demam tifoid.2

Uji Diagnostik
Sensitivita Spesifitas
Pemeriksaan Keterangan
s (%) (%)
Mikrobiologi
Baku emas, namun sensitivitas rendah di
daerah endemis karena penggunaan
Biakan darah 40-80 NA
antibiotik yang tinggi, sehingga
spesifisitas sulit diestimasi
Sensitivitas tinggi, namun invasif dan
Biakan sumsum tulang 55-67 30
terbatas penggunaannya
Biakan urin 58 NA Sensitivitas bervariasi
Sensitivitas rencah di negara berkembang
Biakan tinja 30 NA dan tidak digunakan secara rutin untuk
pemantauan
Diagnostik molekuler
Menjanjikan, namun laporan awal
PCR 100 100 menunjukkan sensitivitas mirip biakan
darah dan spesifisitas rendah
Menjanjikan dan menggantikan biakan
Nested PCR 100 100
darah sebagai baku emas baru
Diagnostik serologi
Klasik dan murah. Hasil bervariasi di
Widal 47-77 50-92 daerah endemis, perlu standardisasi dan
kulitas control dari reagen.
Typhidot 66-88 75-91 Sensitivitas lebih rendah dari Typhidot-M
Typhidot-M 73-95 68-95 Sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi
Hasil menjanjikan dan harus diuji di
Tubex 65-88 63-89
tingkat komunitas
Lainnya
Deteksi antigen urin 65-95 NA Data awal
Sumber: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan LXIII Ilmu Kesehatan Anak
FKUI-RSCM. Update Management of Infectious Disease and Gastrointestinal
Disorders. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, 2012. h. 5.

2.9. Diagnosis
2.9.1. Diagnosis Klinis
a. Suspek demam tifoid (Suspect case)
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisis didapatkan gejala demam,
gangguan saluran cerna dan pertanda gangguan kesadaran. Diagnosis
suspek tifoid hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar.1
b. Demam tifoid klinis (Probable case)
Suspek demam tifoid didukung dengan gambaran laboratorium yang
menunjukkan tifoid.1

18
2.9.2. Diagnosis Etiologik
Diagnosis etiologik adalah kegiatan untuk mendeteksi basil
Salmonella dari dalam darah atau sumsum tulang. Bila basil ditemukan
maka pasien sudah pasti menderita demam tifoid, menjadi demam tifoid
terkondirmasi atau Confirmed Case.1
2.9.3. Diagnosis Komplikasi
Diagnosis untuk komplikasi tifoid adalah secara klinis, dibantu
oleh pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan radiologi. Monitor
selama perawatan harus terlaksana dengan baik, agar komplikasi dapat
terdeteksi secara dini.1
- Tifoid toksik
Tifoid toksik adalah diagnosis klinis. Penderita dengan sindrom
demam tifoid dengan panas tinggi yang disertai dengan kekacauan
mental hebat, kesadaran menurun, mulai dari delirium sampai koma.1
- Syok septik
Penderita dengan sindrom tifoid, panas tinggi serta gejala-gejala
toksemia yang berat. Didapatkan gejala gangguan hemodinamik
seperti tensi turun, nadi halus dan cepat, keringatan dan akral yang
dingin.1
- Perdarahan dan perforasi
Komplikasi perdarahan ditandai dengan hematoschezia. Tapi dapat
juga diketahui dengan pemeriksaan laboratorium terhadap feses (occult
blood test. Komplikasi perforasi ini ditandai dengan gejala-gejala akut
abdomen dan peritonitis. Didapatkan gas bebas dalam rongga perut
yang dibantu dengan pemeriksaan klinis bedah dan foto polos
abdomen 3 posisi. 1
- Hepatitis tifosa
Adalah diagnosis klinis dimana didapatkan kelainan yakni ikterus,
hepatomegali dan kelainan tes fungsi hati.1

19
- Pankreatitis tifosa
Adalah diagnosis klinis dimana didapatkan pertanda pancreatitis akut
dengan peningkatan enzim lipase dan amilase. Dapat dibandu dengan
pemeriksaan USG atau CT scan.1
- Pneumonia
Juga diagnosis klinis, dimana didapatkan pertanda pneumonia.
Diagnosis dapat dibantu dengan foto polos toraks.1
2.9.4. Diagnosis Banding
Beberapa penyakit dapat menjadi diagnosis banding demam tifoid,
diantaranya:
- Demam berdarah dengue,
- Malaria,
- Leptospirosis.4

2.10. Tatalaksana
Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian besar, yaitu
tatalaksana umum dan bersifat suportif dan tatalaksana khusus berupa pemberian
antibiotic sebagai pengobatan kausal. Tatalaksana demam tifoid juga bukan hanya
tatalaksana yang ditujukan kepada penderita penyakit tersebut, namun juga
ditujukan kepada penderita karier salmonella typhi, pencegahan pada anak berupa
pemberian imunisasi tifoid dan profilaksis bagi traveler dari daerah non endemik
ke daerah yang endemik demam tifoid.6
2.10.1. Tatalaksana umum
Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam menangani
demam tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian antibitoik.
Pemberian rehidrasi oral ataupun parenteral, penggunaan antipiretik,
pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi darah bila ada indikasi,
merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup seorang anak
penderita demam tifoid. Gejala demam tifoid pada anak lebih ringan
disbanding orang dewasa, karena itu 90% pasien demam tifoid anak tanpa
komplikasi, tidak perlu ]\

20
dirawat di rumah sakit dan dengan pengobatan oral serta istirahat baring di
rumah sudah cukup untuk mengembalikan kondisi anak menjadi sehat dari
penyakit tersebut.6
2.10.2. Tatalaksana antibiotik
Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid
pada anak di negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi,
ketersediaan dan biaya. Berdasarkan ketiga faktor tersebut, kloramfenikol
masih menjadi obat pilihan pertama pengobatan demam tifoid pada anak,
terutama di negara berkembang. Hal ini berbeda dengan dewasa, dimana
obat antibiotik lini pertamanya adalah golongan florokuinolon, seperti
ofloksasin, siprofloksasin,, levofloksasin atau gatifloksasin. Persoalan
pengobatan demam tifoid saat ini adalah timbulnya resistensi terhadap
beberapa obat antibiotik yang sering digunakan dalam pengobatan demam
tifoid atau yang disebut dengan Multi Drug Resistance (MDR). S. Typhi
yang resisten terhadap kloramfenikol, yang pertama kali timbul pada tahun
1970, kini berkembang menjadi resisten terhadap obat ampisilin,
amoksisilin, trimetoprim-sulfametoksazol dan bahkan resisten terhadap
florokuinolon. WHO sendiri telah memberikan rekomendasi pengobatan
antibiotik untuk demam tifoid, yang dibagi atas pengobatan untuk demam
tifoid tanpa komplikasi baik sebagai terapi utama maupun alternative dan
terapi untuk demam tifoid yang berat atau dengan komplikasi yang
membutuhkan pengobatan parenteral. 6
Kloramfenikol tergolong obat ‘lama’ yang diberikan untuk
pengobatan demam tifoid pada anak dan sampai sekrang masih digunakan,
terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Kloramfenikol ditemukan pertama kali pada tahun 1947, diisolaso dari
bakteri. Streptomyces venezuelae. Setelah keberhasilan yang ditunjukkan
obat ini dalam dua wabah tifus di tahun 1948, kloramfenikol menjadi
antibiotik pertama yang diproduksi dalam skala besar. Pada tahun 1950,
para ahli menemukan bahwa obat ini dapat menyebabkan anemia aplastik
yang serius dan berpotensi fatal, sehingga pemakaian obat ini menurun

21
drastic. Karena alasan itulah, dengan pengecualian untuk daerah dimana
biaya dan ketersediaan membuatnya tetap menjadi terapi utama untuk
demam tifoid, kloramfenikol tidak lagi merupakan obat pilihan untuk
infeksi tertentu di beberapa negara maju.6
Kloramfenikol sampai saat ini masih merupakan obat pilihan
pertama kasus demam tifoid pada anak, walaupun menurut WHO obat ini
dimasukkan sebagai obat alternatif atau obat pilihan atau lini kedua karena
obat lini pertaanya adalah florokuinolon, khususnya untuk pengobatan
demam tifoid pada orang dewasa. Kloramfenikol mempunyai beberapa
kelebihan sebagai obat demma tifoid yaitu efikasinyayang baik (demam
turun rata-rata hari ke 4-5 setelah pengobatan dimulai), mudah didapat dan
harganya yang murah. Dibandingkan dengan antibiotik lain, kloramfenikol
dapat menurunkan demam lebih cepat bila digunakan untuk pengobatan
demam tifoid. Namun kloramfenikol mempunyai kekurangan, yaitu
menyebabkan efek smaping berupa anemia aplastik akibat supresi sumsum
tulang, menyebabkan agranulositosis, menginduksi terjadinya leukemia
dan menyebabkan Gray baby syndrome. Kelemahan lain obat ini adalah
tingginya angka relaps bila diberikan sebagai terapi demam tifoid dan
tidak bisa digunakan untuk mengobati karier S. typhi.6
Dengan mempertimbangkan bahwa kasus demam tifoid di
Indonesia masih sangat endemis, dan kebanyakan kasusnya masih berada
di daerah pelosok Indonesia dengan higienitas masyarakatnya yang masih
sangat rendah, serta masih sangat terbatasnya jangkauan pelayanan
kesehatan yang benar-benar optimal, maka untuk pengobatan demam
tifoid ini, khusunya di Indonesia, kloramfenikol tetap menjadi pilihan
utama, khususnya pada pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi. 6

22
Tabel 2. Pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi.7
Terapi optimal Obat alternatif
Lama Lama
Dosis harian Dosis harian
Kepekaan Antibiotik pemberian Antibiotik pemberian
(mg/kgBB) (mg/kgBB)
(hari) (hari)
Sensitif Fluorokuinolon 15 5-7 Kloramfenikol 50-75 14-21
Fluorokuinolon 15 5-7 Amoksisilin 75-100 14
MDR
atau sefiksim 15-20 7-14 TMP-SMX 8-40 14
Azitromisin 8-10 7 Azitromisin 8-10 7
Resisten
atau
kuinolon 75 10-14 Sefiksim 15-20 7-14
Seftriakson
Sumber: World Health Organization: Background document: the diagnosis, prevention
and treatment of typhoid fever. Communicable disease surveillance and response:
vaccines and biological. Geneva: World Health Organization, 2003. h. 20.

Tabel 3. Pengobatan demam tifoid yang berat. 7


Terapi optimal Obat alternatif
Lama Lama
Dosis harian Dosis harian
Kepekaan Antibiotik pemberian Antibiotik pemberian
(mg/kgBB) (mg/kgBB)
(hari) (hari)
Sensitif Fluorokuinolon 15 10-14 Kloramfenikol 100 14-21
Amoksisilin 100 14
MDR Fluorokuinolon 15 10-14
TMP-SMX 8-40 14
Seftriakson 60
Seftriakson
Resisten 60 10-14 atau 10-14
atau
kuinolon Sefotaksim 80
Sefotaksim
80 10-14 Fluorokuinolon 20 7-14
Sumber: World Health Organization: Background document: the diagnosis, prevention
and treatment of typhoid fever. Communicable disease surveillance and response:
vaccines and biological. Geneva: World Health Organization, 2003. h. 20.

Untuk pengobatan karier demam tifoid, pemberian ampisilin atau


amoksisilin dengan dosis 40 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis peroral dikombinasi
probenesid 30 mg/kgBB.hari dalam 3 dosis peroral atau trimetropim-
sulfametoksazol selama 4-6 minggu memberikan angka kesembuhan 80%.
Kloramfrenikol tidak efektif digunakan sebagai terapi karier demam tifoid,
beberapa obat dapat dipergunakan, seperti kotrimoksazol, siprofloksasin dan
norfloksasin, walaupun dua obat terakhir tidak sebaiknya digunakan pada
penderita demam tifoid anak.

23
Tabel 4. Pengobatan demam tifoid karier.6
Antibiotik Dosis harian Rute Dosis Lama pemberian
Ampisilin/Amoksisilin 100 mg/kg + 30 Oral 2-3x/hari 6-12 minggu
+ Probenesid mg/kg
Ko-trimoksazol 4-20 mg/kg Oral 2x/hari 6-12 minggu
Siprofloksasin 1500 mg Oral 2x/hari 6-12 minggu
Norfloksasin 800 mg Oral 2x/hari 6-12 minggu
Sumber: Dalam: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan LXIII Ilmu Kesehatan
Anak FKUI-RSCM. Update Management of Infectious Disease and
Gastrointestinal Disorders. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-
RSCM, 2012. h. 13.

2.10.3. Indikasi Rawat Inap


Demam tifoid yang berat harus dirawat inap di rumah sakit. 3
a. Cairan dan kalori
- Terutama pada demam tinggi, muntah, atau diare, bila perlu asupan
cairan dan kalori diberikan melalui sonde lambung,
- Pada ensefalopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi menjadi 4/5
kebutuhan dengan kadar natrium rendah
- Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan
- Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik
- Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan O2
- Pelihara keadaan nutrisi
- Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit.
b. Antipiretik, diberikan apabila demam >39̊C, kecuali pada pasien
dengan riwayat kejang demam dapat diberikan lebih awal.
c. Diet
- Makanan tidak berserat dan mudah dicerna,
- Setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang lebih
padat dengan kalori cukup.
d. Transfusi darah: kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran
cerna dan perforasi usus.3

24
2.10.4. Indikasi Rawat Jalan
Indikasi demam tifoid dilakukan perawatan di rumah atau rawat jalan:
a. Pasien dengan gejala klinis yang ringan, tidak ada tanda-tanda
komplikasi serta tidak ada komorbid yang membahayakan.
b. Pasien dengan kesadaran baik dan dapat makan minum dengan baik.
c. Pasien dengan keluarganya cukup mengerti tentang cara-cara merawat
serta cukup paham tentang pertanda bahaya yang akan timbul dari
tifoid.
d. Rumah tangga pasien memiliki atau dapat melaksanakan sistem
pembuangan ekskreta (feses, urin, muntahan) yang memenuhi syarat
kesehatan.
e. Dokter bertanggung jawab penuh terhadap pengobatan dan perawatan
pasien.
f. Dokter dapat memprediksi pasien tidak akan menghadapi bahaya-
bahaya yang serius.
g. Dokter dapat mengunjungi pasien setiap hari. Bila tidak bisa harus
diwakili oleh seorang perawat yang mampu merawat demam tifoid.
h. Dokter mempunyai hubungan komunikasi yang lancar dengan keluarga
pasien. 4
2.10.5. Kriteria Rujukan
a. Telah mendapat terapi selama 5 hari namun belum tampak perbaikan.
b. Demam tifoid dengan tanda-tanda kedaruratan.
c. Demam tifoid dengan tanda-tanda komplikasi dan fasilitas tidak
mencukupi. 4
2.10.6. Konseling dan Edukasi
Edukasi pasien tentang tata cara:
- Pengobatan dan perawatan serta aspek lain dari demam tifoid yang
harus diketahui pasien dan keluarganya.

25
- Diet, pertahapan mobilisasi, dan konsumsi obat sebaiknya diperhatikan
atau dilihat langsung oleh dokter, dan keluarga pasien telah memahami
serta mampu melaksanakan.
- Tanda-tanda kegawatan harus diberitahu kepada pasien dan keluarga
supaya bisa segera dibawa ke rumah sakit terdekat untuk perawatan. 4
2.10.7. Pendekatan Community Oriented
Melakukan konseling atau edukasi pada masyarakat tentang aspek
pencegahan dan pengendalian demam tifoid, melalui:
a. Perbaikan sanitasi lingkungan,
b. Peningkatan higiene makanan dan minuman,
c. Peningkatan higiene perorangan,
d. Pencegahan dengan imunisasi.4

2.11. Pencegahan
Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan
makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan terutama
menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan
tersedianya air bersih sehari-hari. Strategi pencegahan ini menjadi penting seiring
dengan munculnya kasus resistensi.
Selain strategi tersebut, dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk para
pendatang dari negara maju ke daerah yang endemik demam tifoid. Vaksin-vaksin
yang telah tersedia, yaitu:
a. Vaksin Vi Polysaccharide
Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan
diinjeksikan secara subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif selama 3
tahun dan direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin ini
memberikan efikasi perlindungan sebesar 70-80%.
b. Vaksin Ty21a
Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang diberikan
pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang masing-masing
diselang 2 hari. Antibiotik dihindari 7 hari sebelum dan sesudah vaksinasi.

26
Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan memberikan efikasi perlindungan 67-
82%.

c. Vaksin Vi-conjugate
Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan memberikan
efikasi perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah vaksinasi. Efikasi vaksin
ini menetap selama 46 bulan dengan efikasi perlindungan sebesar 89%.8

2.12. Komplikasi
Pada minggu kedua atau lebih, sering timbul komplikasi demam tifoid mulai yang
ringan sampai berat bahkan kematian. Beberapa komplikasi yang sering terjadi
diantaranya:
a. Tifoid toksik (Tifoid ensefalopati)
Didapatkan gangguan atau penurunan kesadaran akut dengan gejala
delirium sampai koma yang disertai atau tanpa kelainan neurologi lainnya.
Analisa cairan otak biasanya dalam batas-batas normal.
b. Syok septik
Adalah akibat lanjut dari respon inflamasi sistemik, karena bakteremia
Salmonella. Disamping gejala-gejala tifoid diatas, penderita jatuh ke
dalam fase kegagalan vaskular (syok). Tensi turun, nadi cepat dan halus,
berkeringat serta akral dingin. Akan berbahaya bila syok menjadi
irreversible.
c. Perdarahan dan perforasi intestinal
Perdarahan dan perforasi terjadi pada minggu kedua demam atau setelah
itu. Perdarahan dengan gejala buang air besar berdarah (hematoskhezia)
atau dideteksi dengan tes perdarahan tersembunyi (occult blood test).
Perforasi intestinal ditandai dengan nyeri abdomen akut, tegang dan nyeri
tekan yang paling nyata di kuadran kanan bawah abdomen. Suhu tubuh
tiba-tiba menurun dengan peningkatan frekuensi nadi dan berakhir syok.
Pada pemeriksaan perut didapatkan tanda-tanda ileus, bising usus
melemah dan pekak hati menghilang, perforasi dapat dipastikan dengan

27
pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi. Perforasi intestinal adalah
komplikasi tifoid yang serius karena sering menimbulkan kematian.

d. Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi.
Ditemukan gejala-gejala abdomen akut yakni nyeri perut hebat, kembung
serta nyeri pada penekanan. Nyeri lepas lebih khas untuk peritonitis.
e. Hepatitis tifosa
Demam tifoid yang disertai gejala-gejala ikterus, hepatomegali dan
kelainan tes fungsi hati dimana didapatkan peningkatan SGOT, SGPT dan
bilirubin darah. Pada histopatologi hati didapatkan nodul tifoid dan
hiperplasi sel-sel kuffer.
f. Pakreatitis tifosa
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi, gejala-gejalanya adalah sama
dengan gejala pankreatitis. Penderita nyeri perut hebat yang disertai mual
dan muntah warna kehijauan, meteorismus dan bising usus menurun.
Enzim amilase dan lipase meningkat.
g. Pneumonia
Dapat disebabkan oleh basil Salmonella atau koinfeksi dengan mikroba
lain yang sering menyebabkan pneuomonia. Pada pemeriksaan didapatkan
gejala-gejala khas pneumonia serta gambaran khas pneumonia pada foto
polos toraks.
h. Komplikasi lain
Karena basil Salmonella bersifat intra makrofag, dan dapat beredar ke
seluruh bagian tubuh, maka dapat mengenai banyak organ yang
menimbulkan infeksi yang bersifat fokal diantaranya:
 Osteomielitis, arthritis
 Miokarditis, perikarditis, endokarditis
 Pielonefritis, orkhitis
 Serta peradangan-peradangan di tempat lain

28
2.13. Prognosis
Prognosis adalah bonam, namun ad sanationam dubia ad bonam, karena penyakit
dapat terjadi berulang.

BAB III
KESIMPULAN

Infeksi yang disebabkan oleh S. typhi merupakan masalah kesehatan


masyarakat, terutama di negara berkembang. Morbiditas dan mortalitas demam
tifoid menjadi meningkat dengan terjadinya kegawatan ketika tersebarnya
golongan S. typhi yang resisten terhadap antibiotik yang telah digunakan selama
bertahun-tahun. Sebagai konsekuensi, terdapat pemahaman yang diperbarui pada
epidemiologi, diagnosis dan pengobatan demam tifoid dan aspek spesifik pada
patogenesis. Dan yang lebih penting, adanya kemunculan vaksin tifoid dan
penggunaannya yang semakin luas. Penyedia layanan kesehatan kini dapat
memberikan dua vaksin tifoid yang telah tersedia yaitu vaksin Vi polisakarida
secara parenteral dan Ty21a yang diberikan secara oral. Vaksin tifoid harusnya
sudah dapat diberikan secara luas ataupun dimasukkan dalam program imunisasi
di sekolah-sekolah. Setelah pemberian vaksin, perlu dilakukan pemantauan hasil
vaksin pada anak.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik


Inddonesia Nomor 364/MENKES/SK/V/2006 Tentang Pedoman Pengendalian
Demam Tifoid. Jakarta: Menteri Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2006.
2. Pemeriksaan Diagnostik Terkini untuk Demam Tifoid. Dalam: Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan LXIII Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Update
Management of Infectious Disease and Gastrointestinal Disorders. Jakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, 2012. h. 3-6.
3. Demam Tifoid. Dalam: Ikatan Dokter Anak Indonesia: Pedoman Pelayanan
Medis Jilid I. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009. h. 47-9.
4. Demam Tifoid. Dalam: Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Panduan
Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014. h. 93-8.
5. Enteric Fever (Typhoid Fever). Dalam: Kliegman, Robert M. Nelson Textbook of
Pediatrics, Twentieth Edition. Phildelphia: Elsevier, 2016. h-1388-93.
6. Pilihan Terapi Antibiotik untuk Demam Tifoid. Dalam: Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan LXIII Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Update Management of
Infectious Disease and Gastrointestinal Disorders. Jakarta: Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI-RSCM, 2012. h. 11-13.
7. Treatment of typhoid fever. Dalam: World Health Organization: Background document:
the diagnosis, prevention and treatment of typhoid fever. Communicable disease
surveillance and response: vaccines and biological. Geneva: World Health Organization,
2003. h. 19–23.
8. Nelwan, RHH. Tatalaksana Terkini Demam Tifoid. Jakarta: Continuing Medical
Education, 2012. Kalbemed.com.

30
31

Anda mungkin juga menyukai