Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

Penyakit Akibat Kerja (PAK)


Dermatitis Kontak Iritan Pada Pekerja Binatu

Disusun oleh:
Annisa Zakiroh
1806273774

Pembimbing:
Dr. dr. Dewi S. Soemarko, M.S., Sp.Ok

Program Magister Kedokteran Kerja


Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
April 2019
Daftar Isi

1. Bab I: Pendahuluan
1.1. Latar Belakang………………………………………………………… 1
1.2. Permasalahan…………………………………………………………. 2
1.3. Tujuan Penulisan……………………………………………………… 3
2. Bab II: Tinjauan Kasus
2.1. Identitas………………………………………………………………… 4
2.2. Anamnesis……………………………………………………………… 5
2.3. Pemeriksaan Fisik……………………………………………………… 6
2.4. Pemeriksaan Penunjang………………………………………………. 7
3. Bab III: Tinjauan Pustaka
3.1. Penyakit…………………………………………………………………. 8
3.2. Pajanan yang Sesuai…………………………………………………… 9
3.3. Pekerjaan Kasus………………………………………………………. 10
4. Bab IV: Pembahasan
4.1. Dasar Diagnosis Klinis dan Alasan…………………………………. 11
4.2. Dasar Diagnosis Okupasi……………………………………………… 12
4.3. Dasar Tatalaksana Kasus……………………………………………… 13
5. Bab V: Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan…………………………………………………………….... 14
5.2. Saran…………………………………………………………………….. 15
6. Daftar Pustaka
Daftar Gambar
Gambar 1. …

Daftar Tabel
Gambar 1. …

Lampiran
Gambar 1. …

BAB I
Pendahuluan

Dermatitis kontak merupakan peradangan pada kulit disebabkan oleh


bahan yang kontak dengan kulit. Menurut American Academy of Dermatology,
90% penyakit kulit akibat kerja berupa dermatitis kontak. Kasus ini sering
ditemui pada pekerjaan mencuci yang kontak langsung dengan sabun dan
deterjen. Tahun 1999-2001 di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Dermatitis
kontak iritan kronik akibat deterjen per tahun sekitar 9,09-20,95% dari seluruh
Dermatitis kontak.
Dermatitis kontak ini berdasarkan penyebabnya diklasifikasikan
menjadi 2, yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergika. Reaksi
yang timbul pada reaksi akut maupun kronis dari dermatitis kontak ini memiliki
spektrum gejala klinis meliputi ulserasi, folukulitis, erupsi akneiformis, milier,
kelainan pembentukkan pigmen, alopesia, urtikaria dan reaksi granulomatosa.
Faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya dermatitis kontak dapat
terbagi dalam faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor eksogen meliputi tipe
dan karakteristik agen, karakteristik paparan, faktor lingkungan. Faktor
endogen yaitu faktor genetik, jenis kelamin, usia, ras, lokasi kulit, riwayat atopi.
Menurut International Labour Organization (ILO) Antara tahun 1996
dan 2016 jumlah tenaga kerja mengalami peningkatan hingga lebih dari 34
juta jiwa, dengan rata-rata per tahun terdapat 1,74 juta tambahan pekerja yang
mendapatkan pekerjaan.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Keselamatan Kerja No. 1 tahun
1970 dan peraturan pelaksanaannya tentang keselamatan kerja, mewajibkan
kepada tempat kerja yang mempekerjakan minimal 100 pekerja, wajib
menerapkan K3 di perusahaannya. Perundangan ini mengatur dengan jelas
kewajiban setiap perusahaan untuk melindungi keselamatan pekerjanya dari
bahaya dan risiko potensial di tempat kerja, dan sebaliknya setiap pekerja juga
berkewajiban untuk tunduk dan mentaati ketentuan dan peraturan
keselamatan kerja yang telah ditetapkan perusahaanya.
Salah satu efek dari bahaya potensial di tempat kerja adalah timbulnya
penyakit akibat kerja (PAK). Pada tahun 2005, International Labour
Organization (ILO) memperkirakan bahwa di seluruh dunia setiap tahunnya
2,2 juta orang meninggal karena kecelakaan dan PAK. Selain itu, setiap
tahunnya juga terjadi 270 juta kecelakaan akibat kerja (KAK) dan 180 juta
orang mengalami PAK. Tingkat kecelakaan di negara berkembang dilaporkan
empat kali lebih tinggi dibanding di negara-negara industri.
Kulit merupakan komponen tubuh yang berinteraksi langsung dengan
lingkungan luar dan secara umum bertindak sebagai barrier terhadap benda
asing seperti organisme hidup maupun bahan kimia yang berbahaya.
Termasuk dalam lingkungan kerja, terutama yang mengharuskan pekerja
untuk berinteraksi langsung dengan benda asing yang dapat menyebabkan
kerusakan barrier tersebut dan mengakibatkan terbentuknya penyakit kulit
(dermatitis) akibat kerja.
Di Inggris, Health and Safety Executive (HSE), memperkirakan 84,000
pekerja menderita dermatitis akibat kerja ataupun yang diperparah oleh kerja.
13% dari penyakit akibat kerja merupakan dermatitis kontak, dan 10% dari
kompensasi berdasarkan Department for Work and Pensions’ Industrial
Injuries Scheme merupakan dermatitis akibat kerja. Menurut Sassevile (2008),
diperkirakan 90% penyakit kulit akibat kerja merupakan Dermatitis Kontak dan
80% diantaranya disebabkan oleh bahan iritan (Dermatitis Kontak Iritan). Akan
tetapi prevalensi sesungguhnya dari penyakit kulit akibat kerja masih tidak
diketahui, dikarenakan banyaknya pekerja yang menolak untuk melaporkan
gangguan yang dirasakan ringan.
Saat ini, banyak bermunculan binatu baru. Proses kerja di binatu,
seorang pekerja akan sering melakukan kontak dengan bahan-bahan yang
dapat menyebabkan dermatitis kontak, sehingga para pekerja lebih rentan
mengalami dermatitis kontak. Makalah studi kasus ini membahas dermatitis
kontak iritan yang terjadi pada pekerja binatu.

Bab II
Tinjauan Kasus

2.1. Identitas
Nama : Ny. SW
Tempat/Tanggal Lahir : Sumenep, 12 November 1977
Umur : 41 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Karet Belakang Barat No. 14, Setiabudi,
Jakarta Selatan
Agama : Islam
Warga Negara : Indonesia
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pekerja Binatu ‘Coin Laundry 59’
Status Perkawinan : Menikah

2.2. Anamnesis
Keluhan utama
Perempuan, 41 tahun datang ke klinik dengan keluhan sela-sela jari
tangan terasa perih dan gatal sejak 2 minggu yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang


Awalnya, pasien merasakan gatal dan perih pada sela-sela jari kedua
tangan, disertai perubahan warna menjadi lebih merah dibandingkan dengan
kulit di sekitarnya. Kemudian, timbul lenting-lenting berisi air berukuran kecil
sepertu ujung jarum pentul. Keluhan mulai dirasakan semenjak pasien
kembali bekerja di binatu selama 2 minggu terakhir. Keluhan ini semakin berat
jika pasien mencuci pakaian menggunakan deterjen cuci di binatu. Lenting-
lenting yang muncul kadang pecah lalu menjadi luka. Selain sela-sela jari
tangan, kedua telapak tengan juga terasa kering dan panas.
Di tempat kerja pasien, pasien mencuci pakaian dengan deterjen tanpa
menggunakan sarung tangan dan tidak menggunakan alas kaki. Pasien juga
sering mencuci piring menggunakan sabun pencucui piring. Pasien mengaku
mencuci tangan setelah bekerja dan sebelum makan. Pasien mengaku mandi
pada sebelum memulai bekerja dan setelah selesai bekerja.
Tidak ada keluhan lain yang disampaikan oleh pasien. Pasien tidak
memiliki riwayat alergi. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi,
diabetes melitus, maupun keganasan. Pasien tidak merokok dan tidak
konsumsi alkohol.

Riwayat Penyakit Dahulu


Tiga bulan yang lalu, pasien juga mengalami keluhan serupa, gatal dan
perih pada sela-sela jari setelah selama setahun bekerja di binatu. Keluhan
tersebut tidak dibawa berobat ke dokter oleh pasien. Namun keluhan tersebut
menghilang saat pasien pulang ke kampung halaman selamat 2,5 bulan.
Keluhan membaik selama pasien tidak mencuci dengan deterjen cuci yang
terdapat di binatu. Setelah kembali ke Jakarta, pasien kembali kerja di binatu
dan kembali merasakan keluhan yang dulu dirasakan.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak terdapat riwayat alergi, diabetes melitus, hipertensi dan
keganasan pada keluarga pasien.

Uraian Tugas Pekerjaan


Pasien bekerja dengan sistem bergilir, dimana setiap harinya pasien
mulai bekerja pada jam 08.00 hingga 14.00 untuk giliran pagi, lalu jam 14.00
hingga 20.00 untuk giliran sore.
Pasien bekerja dalam tiga jenis pengelompokkan tugas yaitu memilah,
mencuci, menyetrika, dan mengemas pakaian. Pembagian pekerjaan ini tidak
menentu sesuai dengan jumlah cucian per hari yang masuk ke dalam binatu.
Rincian deskripsi tugas adalah sebagai berikut:
1. Memilah pakaian
a. Mengambil pakaian dari keranjang pakaian

b. Memilah dan menghitung jumlah pakaian


2. Mencuci pakaian
3. Menyetrika pakaian
4. Mengemas pakaian

Hubungan Pekerjaan dengan Keluhan yang Dialami


Pekerja mulai merasakan keluhan setelah kembali mulai bekerja di
binatu. Keluhan sempat berkurang saat pekerja pulang ke kampung halaman.

Brief Survey
2.3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum: Tampak Sakit Ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital :
Tekanan darah: 120/70 mmHg
Nadi : 74x/menit reguler, kuat angkat, isi cukup
Napas : 18x/menit reguler
Suhu : 36,2oC suhu aksila
Kepala: Normosefal, tidak ada deformitas, rambut berwarna hitam tersebar
merata, tidak mudah dicabut
Mata: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, refleks cahaya
langsung +/+, refleks cahaya tak langsung +/+
Telinga: normotia, tidak tampak hiperemis, fistula, dan scar, tidak ada sekret
Hidung: tidak ada nafas cuping hidung, cavum nasi lapang, tidak terdapat
secret, tidak terdapat epistaksis
Mulut : Bibir dan mukosa mulut lembab, tidak pucat, tidak sianosis, tidak
terdapat perdarahan gusi
Leher : Trakea ditengah, tidak teraba pembesaran KGB
Paru:
Inspeksi : pergerakan dada tampak simetris saat statis dan
dinamis, tidak tampak retraksi
Palpasi : ekspansi dada simetris
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : suara vesikuler pada kedua lapang paru, tidak terdapat
ronkhi dan tidak terdapat wheezing
Jantung:
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : bunyi jantung I normal dan bunyi jantung II tunggal, tidak
ada murmur dan gallop
Abdomen :
Inspeksi : perut tampak buncit, tampak tidak ada massa
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : Shifting dullness (-)
Ekstremitas : akral hangat, tidak edema, tidak sianosis,
Kulit : turgor kulit baik, tidak tampak pucat

Status lokalis:
Manus dextra et sinistra: Makula eritema, bentuk tidak beraturan,
diameter 2-3 cm, multipel, batas tegas, distribusi terbatas pada sela-sela jari
tangan. Di atas efloresensi primer terdapat efloresensi sekunder berupa erosi
eritema akibat garukan pasien.

2.4. Pemeriksaan Penunjang


Patch test tidak dilakukan karena tidak tersedia

2.5. Resume Kelainan yang Didapatkan


Didapatkan lesi pada manus dextra et sinistra berupa makula eritema
multipel disertai erosi akibat garukan.

2.6. Diagnosis
Dermatitis Kontak Iritan

2.7. Diagnosis Okupasi


Langkah Temuan
1 Diagnosis Klinis Dermatitis Kontak Iritan
2 Identifikasi Pajanan Fisika: Bising, Panas
Kimia: Deterjen
Ergonomi: Akward Position, Membungkuk,
Twisting, Repetisi
3 Hubungan antara Ada
pajanan dengan
diagnosis klinis
4 Jumlah Pajanan Bising: NAB: 68 – 70 (Tergantung operasional),
Kimia (Deterjen): 7 jam / hari
5 Faktor risiko individu Tidak ada
6 Faktor Non Okupasi Tidak ada
7 Diagnosis Okupasi Occupational Irritant Contact Dermatitis e.c
Detergen

2.8. Kategori Kesehatan


Kesehatan pekerja cukup baik dengan kelainan yang dapat dipulihkan.
2.9. Permasalahan Pasien dan Rencana Tatalaksana
Jenis permasalahan
Medis dan Non Medis Rencana Tindakan

Dermatitis Kontak  Safety Education


Iritan e.c Deterjen  Health Talk (Personal Hygiene Issue)
 Ketersediaan PPE (Sarung Tangan Karet,
penyediaan Barrier Cream)
 Medikasi (Kortikosteroid topikak, antihistamin
sistemik, Antibiotik peroral)
 Temporary Work Restrictions

2.10. Prognosis
Ad vitam : Bonam
Ad Fungsionam : Dubia ad Bonam
Ad Sanationam : Bonam
Bab III
Tinjauan Pustaka

3.1. Dermatitis Kontak Iritan (DKI)/Irritant Contact Dermatitis


a. Definisi
Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan inflamasi pada kulit yang
bermanifestasi sebagai eritema, edema ringan dan pecah-pecah. DKI
merupakan respon non spesifik kulit terhadap kerusakan kimia langsung
yang melepaskan mediator-mediator inflamasi yang sebagian besar
berasal dari sel epidermis. DKI dapat diderita oleh semua orang dari
berbagai golongan umur, ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI
diperkirakan cukup banyak terutama yang berhubungan dengan pekerjaan
(DKI akibat kerja), namun dikatakan angkanya secara tepat sulit diketahui.
DKI merupakan hasil klinik dari inflamasi yang berasal dari pelepasan
sitokin-sitokin proinflamasi dari sel-sel kulit (prinsipnya kerartinosit),
biasanya sebagai respon terhadap rangsangan kimia. Bentuk klinik yang
berbeda-beda bisa terjadi. Tiga perubahan patofosiologi utama adalah
disrupsi sawar kulit, perubahan seluler epidermis dan pelepasan sitokin.
Iritan pada DKI biasanya merupakan bahan kimia meliputi yang ditemui
sehari-hari seperti air, deterjen, berbagai pelarut, asam, basa, bahan
adhesi, cairan bercampur logam dan friksi. Sering bahan-bahan ini bekerja
bersama untuk merusak kulit. Iritan merusak kulit dengan cara
memindahkan minyak dan pelembab dari lapisan terluar, membiarkan iritan
masuk lebih dalam dan menyebabkan kerusakan lebih lanjut dengan
memicu inlamasi.

b. Tanda dan Gejala


Immediate Irritant adalah zat korosif yang menghasilkan kerusakan
dalam beberapa menit hingga jam dari paparan tunggal. Cumulative Irritant
adalah zat yang lebih lemah seperti deterjen atau pelarut yang memerlukan
aplikasi berulang untuk menimbulkan kerusakan. Ambang batas untuk
iritasi bervariasi dari satu individu ke yang lain, dan satu individu mungkin
mengalami, selama periode waktu, daya tahan ataupun kehilangan
toleransi. Namun, dengan paparan yang cukup dan konsentrasi iritasi yang
cukup tinggi, semua orang rentan terhadap DKI. Rasa gatal merupakan
keluhan yang sering pertama kali dirasakan disertai nyeri atau sensasi
terbakar, dan dermatitis tampak sebagai eksema yang subakut hingga
kronis.
Lesi akut berawal sebagai eritrema dan edematous, plak urticarial
yang kemudian menjadi vesikel atau bahkan bullae berisikan eksudat
serosa. Eritrema dan edema akan tetap ada sampai tahap sub akut namun
vesikulasi mulai berkurang dan berganti menjadi erosi, retakan kulit, dan
deskuamasi. Pada kasus kronis yang berlangsung lama, kulit terlihat kering
dan kasar, terdapat fisura dan penebalan akibat proses likenifikasi.
Telapak tangan merupakan bagian tubuh utama yang terdampak
pada 80% dari kasus DKI akibat kerja, diikuti oleh pergelangan tangan, dan
punggung tangan. DKI akibat zat cair biasanya mengenai ujung jari dan
ruang antar jari. Iritan yang mengenai tangan dapat menempel pada sisi
tubuh yang lain seperti wajah.
Pajanan lewat udara (debu, asap, uap) dapat mengenai wilayah
wajah, telinga, kepala, leher dan area lain yang terpajan, dan terkadang
menginfiltrasi pakaian. Walau pada umumnya DKI pada area yang tertutupi
pakaian seperti genital, paha, betis dan abdomen tidak tampak sebagai
penyakit akibat kerja, namun hal ini bisa saja terjadi seperti bila pakaian
kerja terkena atau menyerap iritan yang bersifat cair termasuk minyak atau
pelumas. Tanda iritasi juga dapat di perluas akibat gesekan dengan kulit
lainnya (skin-to-skin) maupun dengan kain pakaian.

c. Diagnosis
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor Per. 25/MEN/XII/200S Tentang Pedoman Diagnosis dan
Penilaian Cacat Karena Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja, berikut
adalah cara mendiagnosis penyakit kulit akibat kerja. Penyakit kulit akibat
kerja, ialah setiap penyakit kulit yang disebabkan oleh pekerjaan atau
lingkungan kerja yang berupa faktor risiko mekanik, fisik, kimia, biologik dan
psikologik.
Kelainan yang terjadi dapat berupa:
 Dermatitis kontak
 Dermatitis kontak foto
 Acne
 Infeksi kulit (bakteri, virus, jamur, infestasi parasit)
 Neoplasi kulit
 Kelainan pigmentasi kulit.
Setelah identifikasi dan assesment potensial hazards di tempat kerja,
maka data pemeriksaan penderita dapat dievaluasi kemungkinannya
berupa penyakit akibat kerja.
A. Anamnesis.
1. Keluhan
2. Riwayat pekerjaan sekarang
- sudah berapa lama bekerja di perusahaan?
riwayat pekerjaan dalam perusahaan
(pernah dibagian mana saja?
3. Riwayat pekerjaan sebelumnya.
perusahaan apa saja?
berapa lama?
Dibandingkan catatan medik sebelum bekerja di
perusahaan ("pre employment medical check up").
4. Riwayat penyakit keluarga
5. Riwayat perjalanan penyakit
Waktu kejadian?
Rasa gatal?
Perbaikan selama cuti?
Pengobatan yang pernah/telah didapat?
B. Pemeriksaaan Fisik
1. Inspeksi
Pemeriksaan seluruh badan termasuk
lipatan kulit, misal lipat paha, celah antar jari.
Kondisi higiene umum
Lokasi kelainan
2. Palpasi
3. Pemeriksaaan dengan kaca pembesar

C. Pemeriksaaan penunjang
1. Pemeriksaaan Laboratorium
1.1. Pemeriksaan hasil kerokan kulit dengan
KOH 20% (pemeriksaan jamur).
1.2. Tes serologi untuk sifilis:
VDRL 1/4 bukan sifilis, bukan pada
pasien berisiko tinggi.
VDRL > 1/4 kemungkinan sifilis
(perlu dirujuk ke spesialis kulit dan kelamin.
1.3. Kelainan kulit karena HIV:
Western Blot, atau
Elisa 3x dengan metoda berbeda.
Bagi yang tidak punya fasilitas
Western Blot dapat dikirim sample darahnya ke laboratorium rujukan
2. Pemeriksaan dengan Lampu Wood:
2.1. Untuk perubahan warna kulit berupa hipo
atau hiper pigmentasi tanpa disertai radang.
2.2. Untuk pemeriksaan psoriasis versicolor
(panu)

3. Histopatologi.
Khususnya untuk neoplasms pada kulit.
4. Uji tempel.
Ada 2 (dua) cara:
4.1. Uji tempel terbuka.
Terutama untuk bahan yang bersifat iritan
(biasanya bahan mudah menguap, bahan yang dicurigai sebagai iritan
dioleskan dibelakang telinga dan dievaluasi 24 jam kemudian).
4.2. Uji tempel tertutup
Dilakukan baik dengan alergen
standar ataupun bukan standar dengan pengenceran 1/1000 1/100.
Lokasi penempelan di punggung
atau lengan atas bagian lateral atau punggung, alergen dioleskan pada
unit uji tempel dan setelah 48 jam dibuka, setelah terbuka 15 menit
kemudian dievaluasi.

Riwayat yang terperinci sangat dibutuhkan karena diagnosis dari


DKI tergantung pada adanya riwayat paparan iritan kutaneus yang
mengenai tempat-tempat pada tubuh. Tes tempel juga digunakan pada
kasus yang berat atau persisten untuk menyingkirkan DKA. Gejala
subjektif primer biasanya meliputi hal-hal sebagai berikut:
 Riwayat paparan yang cukup terhadap iritan kulit
 Onset gejala muncul dalam beberapa menit hingga beberapa jam
pada DKI akut. Pada DKI subakut merupakan ciri iritan tertentu
seperti benzalkonium klorida (ada pada disinfektan) yang
mendatangkan reaksi radang 8-24 jam setelah paparan. Onset dan
gejala bisa tertunda beberapa minggu pada DKI kumulatif.
 Gejala subjektif lainnya meliputi: onset dalam 2 minggu paparan dan
adalanya keluhan yang sama pada rekan kerja atau anggota
keluarga lainnya. DKI okupasional sering terjadi pada karyawan
baru atau mereka yang belum belajar untuk melindungi kulitnya dari
iritan. Individu dengan dermatitis atopik (khususnya pada tangan)
rentan terhadap DKI tangan. Kriteria diagnostik primer DKI menurut
Rietschel meliputi: Makula eritema, hiperkeratosis atau fisura yang
menonjol. Kulit epidermis terasa seperti terbakar. Keluhan
dirasakan berkurang setelah menghindari paparan bahan iritan.
Sebagai kriteria objektif minor dapat dicari batas tegas pada lesi,
dan efek menetes terutama pada iritan yang bersifat cair dan
menetes ke bagian tubuh lain mengikuti gravitasi.

Mathias mengusulkan tujuh kriteria sebagai dasar menentukan


penyebab DKI. Jika terdapat empat kriteria dari ketujuh kriteria yang ada,
maka dapat dipastikan bahwa DKI tersebut diakibatkan oleh pekerjaan.
Mathias's Criteria of Occupational Causation of Contact Dermatitis
1. Clinical appearance consistent with contact dermatitis
2. Workplace exposure to potential cutaneous irritants or allergens
3. Anatomical distribution consistent with cutaneous exposure related to
the job
4. Temporal relationship between exposure and onset consistent with
contact dermatitis
5. Non-occupational exposures excluded as likely causes
6. Removal from exposure leads to improvement of dermatitis
7. Patch or provocation tests implicate a specific workplace exposure

Untuk kepentingan pengobatan, berdasarkan perjalanan penyakit


dan gejala klinis DKI dikelompokkan menjadi DKI akut, lambat akut dan
kumulatif.

DKI Akut DKI Lambat DKI Kumulatif


Penyebab Iritan kuat (HCl, Podofilin, Iritan Lemah
Kalium Hidoksida) Antralin, Etilen
Oksida
Onset Menit - Jam 8-24 Jam Berminggu - Tahun
Gejala S: Pedih, rasa S: Pedih, rasa Gatal, kulit kering,
terbakar terbakar skuama,
O: Eritrema, O: Eritrema, hyperkeratosis,
Edema, Bula, Edema, Bula, likenifikasi, fisura
berbatas tegas berbatas tegas
Intensitas Sesuai lama Kontak berulang dan
Reaksi kontak multifaktor
Untuk menyingkirkan kemungkinan Dermatitis Kontak Alergi (DKA),
Tes tempel (Patch Test) dapat dilakukan apabila tersedia, meliputi semua
alergen yang mungkin.

d. Tatalaksana
Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari
pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisis atau kimiawi serta
menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila dapat dilakukan dengan
sempurna dan tanpa komplikasi, maka tidak perlu pengobatan topikal dan
cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering.
Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan
kortikosteroid topikal. Sedangkan untuk mengurangi keluhan gatal dapat
diberikan antihistamin sistemik. Penggunaan antibiotik spektrum luas
seperti Amoksisilin dapat digunakan apabila didapat infeksi sekunder
akibat garukan/gesekan yang menyebabkan luka lecet/ekskoriasi.
Pemakaian alat perlindungan yang adekuat diperlukan bagi mereka yang
bekerja dengan bahan iritan sebagai upaya pencegahan.
Tatalaksana okupasional bertujuan untuk menghindari pajanan,
meliputi opsi untuk menghilangkan iritan dari proses produksi (Engineering
Control), Administrative Control lewat pembatasan waktu kerja dengan
iritan, dan penggunaan PPE khusus untuk melindungi pekerja secara
langsung dari paparan.

3.2. Pajanan yang Sesuai


Dermatitis Kontak Iritan merupakan reaksi peradangan kulit non-
imunologik, jadi kerusakan kulit terjadi langsung tanpa diketahui proses
sensitasi. Sebaliknya, dermatitis alergik terjadi pada seseorang yang telah
mengalami sensitasi terhadap suatu alergen.
Terdapat beberapa bahan iritan yang sering menimbulkan Dermatitis
Kontak Iritan, yaitu:
1) Asam kuat (hidroklorida, hidroflorida, asam nitrat, asam sulfat);
2) Basa kuat (Kalsium Hidroksida, Natrium hidroksida, Kalium
Hidroksida);
3) Detergen;
4) Resin epoksi ;
5) Etilen oksida;
6) Fiberglass ;
7) Minyak (lubrikan);
8) Pelarut-pelarut organic;
9) Agen oksidator ;
10) Plasticizer.

3.3. Pekerjaan Kasus


Jenis pekerjaan dalam binatu ini dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
menyeterika dan pengemasan, memilah dan mencuci, serta mengerjakan
semua pekerjaan dari mulai memilah, mencuci, menyetrika hingga
pengemasan dan didapatkan jenis pekerjaan memiliki hubungan dengan
timbulnya dermatitis kontak akibat kerja pada pekerja binatu. Pekerja yang
mengerjakan semua pekerjaan memang akan lebih rentan mengalami
dermatitis kontak, karena pekerja melakukan kontak dengan lebih dari satu
jenis bahan kimia sehingga potensi untuk menimbulkan dermatitis kontak
meningkat.
Jenis pekerjaan yang dilakukan di binatu meliputi memilah, mencuci,
menyetrika dan pengemasan. Cucian yang masuk akan dipilah dahulu
berdasarkan warna, jenis baju dan tingkat kekotoran, seklaigus diberi label
sesuai pemiliknya. Pekerja yang melakukan proses ini dapat melakukan
kontak dengan cucian kotor dan bercampur dengan debu atau bulu binatang.
Pada proses pencucian, beberapa kondisi cucian sangat kotor, noda yang sulit
hilang, atau jenis kain yang tidak boleh dicuci dengan mesin cuci, membuat
pekerja harus mencuci dengan manual, ketika proses ini kulit pekerja dapat
melakukan kontak langsung dengan deterjen atau bahan penghilang noda.
Proses menyetrika pada beberapa binatu menggunakan pelicin dan pewangi
pakaian, ketika pekerja menyemprotkan bahan tersebut pada baju,
kemungkinan kulit dapat terpapar dengan bahan kimia tadi. Ketika proses
pengemasan, parfum khusus diberikan pada cucian.
Alur Kerja Bahaya Potensial Gangguan Risiko
Fisik Kimia Biologi Ergonomi Psikososial Kesehatan yang Kecelakaan
Mungkin Terjadi Kerja
Menuang       
deterjen
dalam botol
Mencuci       
botol deterjen
Mengambil  Pecahan  Parfum  Bakteri   Beban  
pakaian dari gelas  Cairan pathogen kerja
keranjang  Potongan tubuh  Virus  Stres kerja
pakaian kayu  Jamur  Kelelahan
 Kerikil  Airborne  Konlik di
 Logam disease lingkungan
 Serangga kerja
 Serpihan
plastik
 Bagian tubuh
(rambut)
 Sisik
 Duri
 Debu
Memilah  Pecahan  Parfum  Bakteri   Beban  
pakaian gelas  Cairan pathogen kerja
 Potongan tubuh  Virus  Stres kerja
kayu  Jamur  Kelelahan
 Kerikil  Airborne  Konlik di
 Logam disease lingkungan
 Serangga kerja
 Serpihan
plastik
 Bagian tubuh
(rambut)
 Sisik
 Duri
 Debu
Memasukkan       
pakaian ke
dalam mesin
cuci
Menuang       
deterjen dan
pewangi ke
mesin cuci
Memindahkan       
pakaian dari
mesin cuci ke
pengering
Mengambil       
pakaian
kering dari
mesin
pengering
Menyetrika       
pakaian
Mengemas       
pakaian
Memilah     Posisi   Dematitis kontak  Terpeleset
pakaian janggal iritan  Tertusuk
 Memungkuk  Dermatitis kontak benda asing
 Gerakan allergen
berulang  Gangguan
muskuloskeletal
Mencuci  Bising  Deterjen  Posisi statis  Dematitis kontak  Terpeleset
pakaian  Vibrasi/getar  Air berdiri iritan
 Pewangi  Posisi  Dermatitis kontak
jangkal allergen
 Gerakan  Gangguan
berulang musculoskeletal
Menyetrika  Panas  Pewangi  Gerakan  Gangguan  Luka bakar -
pakaian  Suhu pakaian berulang musculoskeletal panas
 Posisi  Gangguan kulit –
janggal luka bakar
 Twisting
Mengemas  Suhu  Pewangi  Gerakan  Gangguan Tertimpa
pakaian pakaian berulang musculoskeletal cucian yang
telah
dikemas
Bab IV
Pembahasan

4.1. Dasar Diagnosis Klinis dan Alasan


Diagnosis Kerja: Dermatitis Kontak Iritan
Pekerja datang dengan keluhan perih dan gatal pada sela-sela jari
kedua tangan akibat iritasi deterjen cuci. Pekerja adalah karyawan binatu yang
berobat karena merasakan keluhannya selama bekerja di binatu. Hasil
anamnesis dengan pekerja, pekerja mengakui bahwa dalam pekerjaannya
terpapar langsung dengan deterjen sabun cuci saat mencuci pakaian di binatu.
Pekerja mengaku tidak menggunakan sarung tangan saat melakukan
pekerjaan walaupun gejala gatal dan perih sudah timbul setelah beberapa
lama bekerja.
Berdasarkan anamnesis dan pengamatan langsung, didapatkan bahwa
pekerja pernah mengalami keluhan serupa sekitar tiga bulan yang lalu ketika
bekerja di binatu yang sama. Pada saat keluhan pertama muncul, pekerja
tidak mengunjungi klinik pengobatan untuk mengobati keluhannya, namun
karena pekerja sempat pulang ke kampung halaman dan tidak lagi melakukan
pekerjaan mencuci dengan deterjen, keluhan tersebut hilang. Pekerja bekerja
di dalam giliran kerja sepanjang 8 jam, dengan waktu istirahat selama 60 menit
setelah 4 jam bekerja yang dapat digunakan untuk istirahat dan makan.
Berdasarkan uraian kerja, dapat dilihat pekerja terpapar dengan deterjen
sabun cuci selama 7 jam dalam 1 giliran kerja tersebut. Pekerja mencuci
tangan setelah bekerja dan mandi ketika sebelum giliran kerja dimulai dan
setelah giliran kerja selesai. Keluhan terasa sedikit membaik ketika setelah
bekerja dan mencuci tangan atau setelah mandi.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan adanya makula eritema, bentuk
tidak beraturan, diameter 2-3 cm, multipel, batas tegas, distribusi terbatas
pada sela-sela jari tangan. Di atas efloresensi primer terdapat efloresensi
sekunder berupa erosi eritema akibat garukan pasien. Pemeriksaan tambahan
sesuai yang disarankan literatur tidak dapat dilakukan karena keterbatasan
sarana dan prasarana.
Berdasarkan hasil dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, pekerja
didiagnosa pasti sebagai Dermatitis Kontak Iritan dengan etiologi sabun
deterjen. Pajanan faktor risiko, faktor individu, serta tidak adanya faktor
pajanan di luar pajanan saat kerja menunjukkan bahwa pekerja ini menderita
Penyakit Akibat Kerja. Adanya beberapa kasus serupa pada pekerja lain yang
bekerja di posisi yang sama menguatkan diagnosis DKI akibat kerja.

4.2. Dasar Diagnosis Okupasi


Langkah Temuan
1 Diagnosis Klinis Dermatitis Kontak Iritan
2 Identifikasi Pajanan Fisika: Bising, Panas
Kimia: Deterjen
Ergonomi: Akward Position, Membungkuk,
Twisting, Repetisi
3 Hubungan antara Ada
pajanan dengan
diagnosis klinis
4 Jumlah Pajanan Bising: NAB: 68 – 70 (Tergantung operasional),
Kimia (Deterjen): 7 jam / hari
5 Faktor risiko individu Tidak ada
6 Faktor Non Okupasi Tidak ada
7 Diagnosis Okupasi Occupational Irritant Contact Dermatitis e.c
Detergen

4.3. Dasar Tatalaksana Kasus


Permasalahan Pasien dan Rencana Penatalaksanaan
Jenis permasalahan
Medis dan Non Medis Rencana Tindakan

Dermatitis Kontak  Safety Education


Iritan e.c Deterjen  Health Talk (Personal Hygiene Issue)
 Ketersediaan PPE (Sarung Tangan Karet,
penyediaan Barrier Cream)
 Medikasi (Kortikosteroid topikak, antihistamin
sistemik, Antibiotik peroral)
 Temporary Work Restrictions
Penatalaksanaan untuk pekerja ini berupa tatalaksana medis dengan
memberikan obat topikal (Kortikosteroid topikal) dan sistemik berupa
antihistamin sistemik dan antibiotik spektrum luas karena adanya ekskoriasi
akibat garukan dan personal hygiene pekerja sehari-hari yang berpotensi
menjadi infeksi sekunder.
Tatalaksana okupasi dilaksananakan berupa administrative control
dengan menyarakankan ke penyelia pekerja untuk sementara waktu tidak
menugaskan pekerja untuk pekerjaan yang melibatkan deterjen sabun cuci,
dan merekomendasikan kepada pihak pemilik usaha untu menyediakan alat
perlindungan diri yang sesuai dengan jumlah pekerja yang bekerja sebagai
pencuci di laundry tersebut. Perlu juga adanya pergiliran pekerjaan pada
pekerja untuk sementara waktu, misalnya dipindahkan ke bagian setrika,
sampai iritasi yang dialami mengalami perbaikan.
Perlu juga dilakukan promosi kesehatan dalam bentuk penyuluhan
tentang kesehatan untuk seluruh pekerja yang rentan terpajan deterjen cuci
mengenai risiko Dermatitis Kontak Iritan, khususnya yang disebabkan oleh zat
pada deterjen, penggunaan APD yang baik, dan pencegahan DKI.
Bab V
Kesimpulan

5.1. Kesimpulan
a. Penggunaan bahan kimia yang bersifat iritan dalam hal ini bahan detergen
dapat mengakibatkan Dermatitis Kontak Iritan akibat kerja.
b. Penegakkan diagnosis pada Dermatitis Kontak Iritan akibat kerja
didapatkan dengan menggunakan tujuh langkah diagnosis okupasi.
c. Selain pengobatan medikamentosn, perlu tatalaksana sesuai dengan
prinsip okupasi berupa intervensi pada proses bekerja pada pekerja.
d. Diperlukan proteksi spesifik kepada pekerja yang bekerja/terpapar oleh
bahan kimia iritan.
Daftar Pustaka

Afifah A. Jurnal Media Medika Muda Faktor-Faktor Yang Berhubungan


Dengan Terjadinya Dermatitis Kontak Akibat Kerja Pada Karyawan
Binatu. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang, 2012.
Harahap M. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates, 2000.
Kabulrachman. Penyakit kulit alergik: Beberapa masalah dan
penanggulangannya. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro. Semarang, 2001.
Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017: Memanfaatkan Teknologi untuk
Pertumbuhan dan Penciptaan Lapangan Kerja/Organisasi Perburuhan
Internasional, Kantor Jakarta; ILO, 2017.
Nixon. Rosemary and Frowen, K., Occupational Contact Dermatitis in
Australia, Australian Safety and Compensation Council, Australia, 2006
Nofiyanti AL, Anggraini DI, Miftah A. Dermatitis Kontak Iritan Kronis pada
Pegawai Laundry. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. J
Medula Unila. Lampung, 2017.
Partogi D. Dermatitis kontak iritan. Medan: Departemen Ilmu Kesehatan Kulit
dan kelamin FK USU. 2008.
Sasseville, Denis. Occupational Contact Dermatitis. Allergy, Asthma, and
Clinical Immunology: Official Journal of the Canadian Society of Allergy
and Clinical Immunology 4.2 (2008): 59–65. PMC. Web. Accessed on
18 Oct. 2018.
Sularsito, S. A., dan Djuanda, S. Dermatitis. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2005.
Taylor JS, Sood A, Amado A. Occupational Skin Diseases Dues to Irritans and
Allergens. Dalam: Fitzpatricks et al, editors. Dermatology in general
medicine Vol. 2 7th Edition. New York: McGraw Hill Medical; 2008.
Taylor JS, Sood A, Amado A. Irritant Contact Dermatitis. Dalam: Fitzpatricks
et al, editors. Dermatology in general medicine Vol. 2 7th Edition. New
York: McGraw Hill Medical; 2008.

Anda mungkin juga menyukai