Anda di halaman 1dari 43

DESKRIPSI PENYAKIT

1. ACUTE LUNG OEDEMA (ALO)

a. Definisi
Acute Lung Oedema (ALO) adalah akumulasi cairan di paru yang terjadi secara
mendadak (Aru W Sudoyo, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 2006).
Acute Lung Oedema (ALO) adalah terjadinya penumpukan cairan secara masif di
rongga alveoli yang menyebabkan pasien berada daam kedaruratan respirasi dan
ancaman gagal napas.
Acute Lung Oedema (ALO) adalah terkumpulnya cairan extravaskuler yang patologis
di dalam paru (Soeparman, 767)

b. Etiologi
Penyebab terjadinya ALO dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Edema paru kardiogenik
Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena gangguan pada jantung atau sistem
kardiovaskular.
a. Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena adanya
deposit lemak (plagues). Serangan jantung terjadi jika terbentuk gumpalan darah
pada arteri dan menghambat aliran darah serta merusak otot jantung yang disuplai
oleh arteri tersebut. Akibatnya, otot jantung yang mengalami gangguan tidak
b. Kardiomiopati
Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut beberapa
ahli diyakini penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati daat disebabkan oleh
infeksi pada miokard jantung (miokarditis), penyalahgunaan alkohol dan efek
racun dari obat – obatan seperti kokain dan obat kemoterapi. Kardiomiopati
menyebabkan ventrikel kiri menjadi lemah sehingga tidak mampu
mengkompensasi suatu keadaan dimana kebutuhan jantung memompa darah
lebih berat pada keadaan infeksi. Apabila ventriel kiri mampu mengkompensasi
beban tersebut, maka darah akan kembali ke paru – paru. Hal inilah yang akan
mengakibatkan cairan menumpuk di paru – paru (floading).
c. Gangguan katup jantung
Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk
mengatur aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat (stenosis) atau
tidak mampu menutup dengan sempurna (insufisiensi). Hal ini menyebabkan
darah mengalir kembali melalui katup menuju paru – paru.
d. Hipertensi
Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada otot
ventrikel kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria.

2. Edema paru non kardiogenik


Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena kelainan pada jantung tetapi paru
itu sendiri. Pada non-kardiogenik dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
a. Infeksi pada paru
b. Lung injury, seperti emboli paru, stroke inhalation dan infark paru.
c. Paparan toxic
d. Reaksi alergi
e. Acute respiratory distress syndrome (ards)
f. Neurogenik

c. Patofisologi
Alo kardiogenik dicetuskan oleh peningkatan tekanan atau volume yang
mendadak tinggi di atrium kiri, vena pulmonalis dan diteruskan (peningkatan
tekanannya) ke kapiler dengan tekanan melebihi 25 mmhg. Mekanisme fisiologis tersebut
gagal mempertahankan keseimbangan sehingga cairan akan membanjiri alveoli dan
terjadi oedema paru. Jumlah cairan yang menumpuk di alveoli ini sebanding dengan
beratnya oedema paru. Penyakit jantung yang potensial mengalami ALO adalah semua
keadaan yang menyebabkan peningkatan tekanan atrium kiri > 25 mmhg.
Sedangkan ALO non-kardiogenik timbul terutama disebabkan oleh kerusakan
dinding kapiler paru yang dapat mengganggu permeabilitas endotel kapiler paru sehingga
menyebabkan masuknya cairan dan protein ke alveoli. Proses tersebut akan
mengakibatkan terjadinya pengeluaran sekret encer berbuih dan berwarna pink froty.
Adanya sekret ini akan mengakibatkan gangguan pada alveolus dalam menjalankan
fungsinya.
d. Pohon Masalah

Timbul serangan

Trauma Endetelium Trauma tipe II


paru dan epitelium pneumocytes
alveolar

Peningkatan Kerusakan jaringan Penurunan


permeabilitas paru surfactan

Penurunan
Edema pulmonal Elektasi
pengembangan paru

Alveoli Abnormalitas
Hipoksemia
terendam ventilasi-perfusi

penyembuhan Fibrosis

Sembuh ? Kematian

e. Manifestasi Klinis
ALO dapat dibagi menurut stadiumnya (3 stadium) :
1. Stadium 1
Adanya distensi pada pembuluh darah kecil paru yang prominen akan mengganggu
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi CO. Keluhan pada
stadium ini biasanya hanya berupa sesak napas saat melakukan aktivitas.
2. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi oedema paru interstisial. Batas pembuluh darah paru
menjadi kabur, demikian pula hilus serta septa interlobularis menebal. Adanya
penumpukan cairan di jaringan kendor interstisial akan lebih mempersempit saluran
napas kecil, terutama di daerah basal karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula
terjadi reflek bronkokonstriksi yang dapat menyebabkan sesak napas ataupun napas
menjadi berat dan tersengal.
3. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi oedema alveolar. Pertukaran gas mengalami gangguan
secara berarti, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita tampak mengalami
sesak napas yang berat disertai batuk berbuih kemerahan (pink froty). Kapasitas
vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata

f. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium rutin (DL, BGA, LFT, RFT) dan BNP
2. Foto thorax
3. Pemeriksaan EKG, dapat menerangkan secara akurat adanya takikardia supra
ventrikular atau arterial. Selain itu, EKG dapat memprediksi adanya iskemia, infark
miokard dan LVH yang berhubungan dengan ALO kardiogenik.
4. Pemeriksaan ekokardiografi

g. Pengkajian Keperawatan
1. Sistem Integumen
Subyektif :-
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder)
banyak keringat, suhu kulit meningkat, kemerahan.
2. Sistem Pulmonal
Subyektif : sesak napas, dada tertekan
Obyektif : pernapasan caping hidung, hiperventilasi, batuk (produktif/non
produktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu pernapasan, pernapasan
diafragma dan perut meningkat. Laju pernapasan meningkat, terdengan stridor, rochii
pada lapang paru.
3. Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit dada
Obyektif : denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokonstriksi, kualitas darah
menurun. Denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan.
4. Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi.
5. Sistem Muskuloskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan penggunaan
otot aksesoris pernapasan.
6. Sistem Genitourinaria
Subyektif :-
Obyektif : produksi urine menurun
7. Sistem Digestif
Subyektif : muntah, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feces normal.

h. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas b/d gangguan difusi jaringan
2. Kelebihan volume cairan b/d adanya cairan di dalam alveolus.
3. Intoleransi aktifitas b/d berkurangakan suplai eksigen

i. Intervensi Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas b/d dengan gangguan difusi jaringan
Tujuan : setelah dilakukan perawatan selama 2 x 24 jam masalah
gangguan pertukaran gas dapat diatasi.
Kriteria Hasil :
- Sesak napas berkurang
- Respirasi dalam batas normal
Intervensi :
1) Berikan posisi semi fowler/fowler
2) Berikan lingkungann yang nyaman
3) Kaji keluhan sesak
4) Kaji ttv
5) Pantau hasil agd
2. Kelebihan volume cairan b/d adanya cairan di dalam alveolus
Tujuan : setelah dilakukan perawatan selama 2 x 24 jam masalah gangguan
keseimbangan cairan dapat diatasi.
Kriteria Hasil :
- Tidak terjadi oedema di kaki
- Turgor kulit bagus
Intervensi :
1) Monitor intake dan ouput cairan
2) Monitor pengeluaran urine, catat jumlah, konsentrsi dan warna
3) Kolaborasi dalam pemberian terapi seperti diuretik, ntg, dll.

3. Intoleransi aktifitas b/d berkurangnya suplai oksigen


Tujuan : setelah dilakukan selama 2 x 24 jam masalah intoleransi aktifitas
dapat diatasi
Kriteria hasil :
- Pasien tidak lemas lagi
- Pasien dapat beraktifitas tanpa gangguan
Intervensi :
1) Anjurkan untuk total bedrest
2) Pantau skala kekuakatan otot
3) Berikan lingkungan yang nyaman
4) Kolaborasi dalam memberikan oksigen

j. Evaluasi
Diagnosa I
- Px tidak sesak napas lagi
- Respirasi dalam batas normal
Diagnosa II
- Tidak terjadi adanya oedeme di kaki
- Turgor kulit Px baik
Diagnosa III
- Px tidak merasa lemas lagi
- Px mampu beraktifitas tanpa gangguan
2. PNEUMONIA
a. Pengertian
Pneumonia atau dikenal juga dengan istilah paru-paru basah adalah infeksi yang
memicu inflamasi pada kantong-kantong udara di salah satu atau kedua paru-paru. Pada
pengidap pneumonia, sekumpulan kantong-kantong udara kecil di ujung saluran
pernapasan dalam paru-paru akan membengkak dan dipenuhi cairan.
Penyakit ini juga sering disebut bronkopneumonia, pneumonia lobular, dan
pneumonia bilateral. Secara umum, pneumonia dapat ditandai dengan gejala-gejala yang
meliputi batuk, demam, dan kesulitan bernapas.

b. Penderita Pneumonia di Indonesia


Pneumonia merupakan salah satu penyebab kematian anak-anak tertinggi di
dunia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa penyakit ini memicu 15%
dari seluruh kematian anak-anak di bawah usia 5 tahun. Pada tahun 2015, terdapat lebih
dari 900.000 anak-anak yang meninggal akibat pneumonia. Di Indonesia sendiri,
pneumonia diperkirakan telah merenggut sekitar 25.000 jiwa balita pada tahun 2013.

c. Siapa saja yang Berisiko Tinggi Mengidap Pneumonia?


Semua orang bisa terserang penyakit ini. Tetapi, pneumonia umumnya ditemukan dan
berpotensi untuk bertambah parah pada:
1. Bayi serta anak-anak di bawah usia 2 tahun.
2. Lansia di atas 65 tahun
3. Perokok. Rokok tak hanya meningkatkan risiko pneumonia, tapi juga beragam
penyakit lain.
4. Orang dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah, misalnya pengidap HIV atau
orang yang sedang menjalani kemoterapi.
5. Pengidap penyakit kronis, seperti asma atau penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).
6. Pasien di rumah sakit, terutama yang menggunakan ventilator.

d. Gejala Pneumonia
Gejala pneumonia sangat bervariasi, berdasarkan tingkat keparahannya. Keragaman
gejala tersebut juga bisa disebabkan oleh perbedaan pada jenis bakteri pemicu infeksi,
usia, dan kondisi kesehatan pengidap. Meski demikian, gejala-gejala umum yang
biasanya muncul meliputi:
1. Demam.
2. Berkeringat dan menggigil.
3. Batuk kering atau batuk dengan dahak kental berwarna kuning, hijau, atau disertai
darah.
4. Napas terengah-engah dan pendek.
5. Rasa sakit pada dada ketika menarik napas atau batuk.
6. Mual atau muntah.
7. Diare.
8. Kelelahan.
9. Jika Anda mengalami gejala-gejala tersebut, periksakanlah diri ke dokter. Segera cari
bantuan medis apabila muncul gejala-gejala yang parah, seperti napas terengah-
engah, sakit dada, atau linglung menyerang.

e. Penyebab Pneumonia

Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri yang paling umum menyebabkan


pneumonia. Namun, penyakit ini juga bisa dipicu oleh virus serta faktor lain, seperti:
1. Pneumonia Akibat Virus.
Sebagian virus pemicu flu atau pilek juga bisa menyebabkan pneumonia. Pneumonia
ini paling sering dialami oleh balita.
2. Pneumonia Akibat Jamur.
Pneumonia ini paling sering dialami oleh orang yang memiliki sistem kekebalan
tubuh yang menurun atau penyakit kronis.
3. Pneumonia Aspirasi.
Ini merupakan jenis pneumonia yang dipicu karena pengidap menghirup objek asing,
misalnya makanan atau minuman, muntah, atau ludah.
Lokasi penularan juga bisa memengaruhi jenis kuman penyebab pneumonia. Misalnya,
kuman penyebab pneumonia yang didapat dari lingkungan umum berbeda dengan
pneumonia yang didapat dari rumah sakit.

f. Diagnosis Pneumonia
Diagnosis pneumonia atau paru-paru basah terkadang sulit dilakukan karena
gejalanya mirip dengan penyakit lain. Dokter akan mengajukan pertanyaan mengenai
gejala yang dialami serta riwayat kesehatan pasien dan keluarga.
Dokter juga memeriksa rongga dada Anda dengan stetoskop. Paru-paru yang
penuh cairan memiliki bunyi yang berbeda dengan yang sehat. Jika mencurigai menderita
pneumonia, dokter akan menganjurkan beberapa pemeriksaan lebih lanjut guna
memastikan diagnosis.
1. Proses pemeriksaan tersebut biasanya meliputi:
2. Rontgen dada untuk memastikan keberadaan pneumonia serta tingkat keparahannya.
3. Tes darah dan pemeriksaan sampel dahak. Kedua proses ini bisa membantu
pengidentifikasian bakteri atau virus penyebab infeksi.
4. Pulse oximetry, yaitu proses pengukuran kadar oksigen dalam darah.

g. Pengobatan Pneumonia
Untuk pneumonia yang ringan, penanganan dengan antibiotik yang diresepkan oleh
dokter, cukup istirahat, dan banyak minum umumnya sudah cukup. Pengidap juga tidak
memerlukan perawatan di rumah sakit. Di samping itu, langkah-langkah sederhana
berikut juga berpotensi membantu meredakan gejala yang dialami:
1. Mengonsumsi analgesik (obat pereda sakit) seperti parasetamol atau ibuprofen untuk
meredakan dan menurunkan demam. Tetapi, hindari konsumsi ibuprofen jika Anda
memiliki alergi terhadap aspirin, obat anti inflamasi nonstereoid lain, atau menderita
asma, tukak lambung, dan gangguan hati atau pencernaan.
2. Berhenti merokok karena kebiasaan ini dapat memperburuk pneumonia.
3. Menghindari konsumsi obat batuk karena batuk berfungsi membantu Anda
mengeluarkan dahak dari paru-paru. Meredakan batuk bisa mengakibatkan durasi
infeksi yang lebih lama. Obat batuk juga belum terbukti efektif secara medis. Air
hangat bercampur madu dan lemon bisa membantu mengurangi batuk Anda.
4. Orang dengan kondisi fisik yang biasanya sehat akan pulih secara normal setelah 14-
21 hari. Namun, apabila gejala pneumonia sama sekali tidak membaik dalam 48 jam,
disarankan kembali menghubungi dokter. Mungkin saja antibiotik yang dikonsumsi
tidak efektif untuk membasmi bakteri pemicu pneumonia, atau pneumonia
disebabkan oleh faktor lain, misalnya virus.
5. Pneumonia biasanya tidak menular, tetapi orang dengan sistem kekebalan tubuh yang
lemah sebaiknya menjauh dari penderita pneumonia sampai kondisi si penderita
benar-benar pulih.

h. Rawat Inap di Rumah Sakit


Penanganan medis dari rumah sakit untuk pneumonia yang parah meliputi pemberian
antibiotik dan cairan tubuh lewat infus, serta oksigen untuk membantu pernapasan.
Ventilator di Ruang Perawatan Intensif (ICU) juga mungkin dibutuhkan untuk membantu
sistem pernapasan yang sedang melemah

i. Komplikasi Pneumonia
Pneumonia bisa disembuhkan. Namun terdapat beberapa kelompok orang yang lebih
berisiko mengalami komplikasi, seperti lansia dan balita. Sejumlah komplikasi yang
mungkin terjadi adalah:
1. Infeksi darah.
Kondisi ini terjadi akibat adanya bakteri yang masuk ke dalam aliran darah dan
menyebarkan infeksi ke organ-organ lain. Infeksi darah berpotensi menyebabkan
terjadinya gagal organ.
2. Abses paru atau lubang bernanah yang tumbuh di jaringan paru-paru.
Abses umumnya dapat ditangani dengan antibiotik, namun terkadang juga
membutuhkan prosedur operasi untuk membuang nanahnya.
3. Efusi pleura, yaitu kondisi di mana cairan memenuhi ruang di sekitar paru-paru.

j. Pencegahan Pneumonia
Pencegahan pneumonia dapat kita lakukan dengan langkah-langkah sederhana. Beberapa
di antaranya adalah:
1. Menjalani vaksinasi. Vaksin merupakan langkah penting agar kita terhindar dari
pneumonia maupun penyakit lain. Harap diingat bahwa vaksin pencegah pneumonia
bagi orang dewasa berbeda dengan anak-anak.
2. Menjaga agar sistem kekebalan tubuh tetap kuat. Misalnya dengan teratur
berolahraga, cukup istirahat, serta menerapkan pola makan yang sehat dan seimbang.
3. Menjaga kebersihan agar terhindari dari penyebaran virus, seperti sering mencuci
tangan.
4. Jangan merokok karena asap rokok dapat merusak paru-paru sehingga lebih mudah
terinfeksi.
5. Hindari konsumsi minuman beralkohol secara berlebihan dan berkepanjangan.
Kebiasaan ini juga akan menurunkan daya tahan paru-paru Anda sehingga Anda lebih
rentan terkena pneumonia beserta komplikasinya

HEART FAILURE (GAGAL JANTUNG)

a. Definisi
Gagal jantung (istilah medis Heart Failure) merupakan suatu keadaan yang terjadi
saat jantung gagal memompakan darah dalam jumlah yang memadai untuk mencukupi
kebutuhan metabolisme (supply unequal with demand), atau jantung dapat bekerja dengan
baik hanya bila tekanan pengisian (ventricular filling) dinaikkan. Gagal jantung juga
merupakan suatu keadaan akhir (end stage) dari setiap penyakit jantung,
termasuk aterosklerosispada arteri koroner, infark miokardium, kelainan katup jantung,
maupun kelainan kongenital.
Gagal jantung adalah gawat medis yang bila dibiarkan tak terawat akan menyebabkan
kematian dalam beberapa menit. Perawatan pertama utama untuk gagal jantung adalah
cardiopulmonary resuscitation. Gagal jantung dapat akut, misalnya setelah serangan jantung
atau dapat juga terjadi secara perlahan-lahan.
Gagal jantung dapat terindikasi dari adanya pernafasan yang pendek, kesulitan untuk
rebah mendatar, terbangun tanpa nafas pada malam hari, kaki yang bengkak, dan sering
berkemih pada malam hari. Banyak sebab terjadinya gagal jantung, seringkali karena suatu
serangan jantung, tekanan darah tinggi atau adanya problem pada katup-katup jantung.
Diagnosa berdasarkan gejala-gejala di atas, pemeriksaan jantung, pembuluh darah,
paru-paru, pembengkakan hati dan pembengkakan kaki (edema). Tes lainnya untuk
meyakinkan diagnosa adalah rontgen paru-paru (ada cairan atau tidak), echocardiogram
(USG jantung) dan pemeriksaan darah.
Gagal jantung hanya dapat di atasi dengan transplantasi jantung, yang termasuk
jarang dilakukan. Kebanyakan penderita gagal jantung perlu obat berkemih (diuretic) dan
obat-obat lainnya seperti ACE inhibitor, dan statin. Beberapa penderita gagal jantung lainnya
perlu pacu jantung agar jantung bekerja lebih baik, tetapi alat pacu jantung harus ditala secara
berkala (biasanya 6 bulan sekali).
Simtoma paraklinis yang ditemukan pada gagal jantung terutama adalah disfungsi sel
jantung, antara lain mekanisme pembersihan kalsium dari sitoplasma, defisiensi retikulum
sarkoplasma beserta protein transpor Ca-ATPase dan regulator fosfolamban.

b. Epidemiologi
Gagal jantung mempengaruhi lebih dari 20 juta pasien di dunia, meningkat seiring
pertambahan usia, dan mengenai pasien usia lebih dari 65 tahun sekitar 6-10%, lebih banyak
mengenai laki-laki dibandingkan dengan wanita.

c. Klasifikasi
Gagal jantung dapat diklasifikasikan ke dalam:
1. Lokasi
Gagal jantung kiri (left-sided heart failure) dan gagal jantung kanan (right-sided
heart failure), dapat terjadi salah satu, maupun keduanya secara bersamaan
(biventricular). Gagal jantung kiri terjadi akibat iskemi atau infark pada dinding
jantung (miokard) yang timbul akibat adanya aterosklerosis pada pembuluh darah
koroner yang memperdarahi jantung. Hal ini mengakibatkan berkurangnya
kemampuan jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Gagal jantung kiri ini
banyak terjadi karena ada 3 pembuluh darah koroner yang paling sering mengalami
sumbatan, yaitu pembuluh darah sirkumfleks, cabang dari arteri marginal kiri, dan
cabang dari arteri koroner kanan. Gagal jantung kiri dapat menyebabkan timbulnya
gagal jantung di kedua bagian, jantung kiri dan jantung kanan.
2. Fungsi
Gangguan fungsi sistolik (kontraksi) dan fungsi diastolik (relaksasi atau pengisian).
Gangguan fungsi sistolik dapat terjadi karena infark pada miokard, dan
kardiomiopati, karena kelainan ini jantung tidak dapat memompa secara maksimal
darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gangguan fungsi diastolik
dapat terjadi karena kelainan katup, contohnya adalah mitral stenosis.
3. Volume darah yang dipompa (low output dan high output)
Gagal jantung low output, timbul karena darah yang dipompa keluar dari jantung
(cardiac output) tidak memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, contoh kelainannya
yaitu infark miokard, mitral regurgitasi, aortik stenosis. Contoh kelainan yang timbul
pada gagal jantung high output yaitu keadaan anemia, walaupun volume darah yang
dipompa jantung ada dalam jumlah yang memadai, namun karena tingginya
kebutuhan metabolisme, zat yang dibawa oleh darah masih tidak mencukupi.

d. Manifestasi Klinis
Pasien dengan gagal jantung biasanya muncul dengan keluhan sesak, mudah lelah,
berkeringat banyak walaupun tidak beraktivitas berat (diaphoresis), terbangun pada
malam hari karena sesak (Paroxysmal nocturnal dyspnea), nyeri dada sebagai keluhan
awal, bengkak di daerah kaki, ketidaknyamanan di perut atas bagian kanan.

e. Pemeriksaan
Pemeriksaan dilakukan pada pasien dengan keluhan di atas, terutama bila pasien berumur
lebih dari 40 tahun, dengan adanya riwayat keluarga dengan penyakit jantung, gangguan
kolesterol (dislipidemia), atau diabetes melitus:
1. Pemeriksaan fisik untuk menentukan jugular venous pressure (JVP), batas-batas
jantung, dan bunyi jantung (heart sound)
2. Pemeriksaan penunjang meliputi :
a) pemeriksaan laboratorium, meliputi kolesterol, gula darah, kadar kreatinin,
enzim hepar yaitu ALT dan AST. tergantung pada penemuan anamnesa pasien
dan pemeriksaan fisik.
b) EKG, karena hanya dilakukan sambil berbaring (tanpa aktivitas) dan EKG hanya
memiliki sejumlah (sedikit) elektroda, maka ketepatan pemakaian EKG untuk
diagnosa hanya sekitar 15 persen
c) X-ray (rontgen)
d) Echocardiography (bila diperlukan)
e) CT-Scan, mahal
f) MRI, lebih mahal lagi

f. Kriteria Diagnosis
1. Diagnosis Framingham
Menurut Framingham seseorang dikatakan mengalami gagal jantung bila memiliki 2
kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dengan 2 kriteria minor, yaitu sebagai berikut :
a. Kriteria mayor
1) Paroxysmal nocturnal dyspnea atau orthopnea
Adalah sebuah episode akut dari pernapasan pendek yang berat dan batuk
yang biasanya muncul saat malam hari dan menyebabkan pasien terbangun
dari tidurnya, biasanya terjadi setelah satu sampai tiga jam setelah pasien
beristirahat. PND dapat dimanifestasi sebagai batuk atau mengi yang
dipikrikan timbul karena peningkatan tekanan pada arteri bronkial sehingga
terjadi kompresi saluran napas, disertai dengan edema interstisial paru yang
aada akhirnya menimbulkan terjadinya resistensi saluran pernapasan pada
pasien.
2) Distensi vena leher
Adalah tekanan sistem vena yang diamati secara langsung (indirek), dapat
diukur pada seseorang dengan posisi setengah duduk 45º dalam kedaan
rileks. Pengukuran dilakukan berdasarkan tingkat pengisian vena jugularis
dari titik nol atau dari sudut sternum. Pada orang sehat, JVP (jugular venous
pressure) maksimum 3-4 cm di atas sudut sternum.
3) Rales
Disebut juga ronchi adalah suara tambahan yang dihasilkan oleh aliran udara
melalui saluran nafas yang berisi sekret/eksudat atau akibat saluran nafas
yang menyempit atau oleh edema saluran napas.
4) Radiographic cardiomegaly
Pemeriksaan radiologi terhadap kardiomegali (kondisi ketika jantung
mengalami pembesaran)
5) Edema paru akut
Kondisi ditemukannya penumpukan cairan di jaringan paru dan alveoli.
6) S3 gallop
Bunyi jantung ketiga yang terjadi pada awal diastole, yang menunjukkan
adanya gagal jantung kongestif.
7) Peningkatan JVP (Jugular Venous Pressure)
JVP yang meningkat adalah tanda klasik hipertensi vena (seperti gagal
jantung kanan). Peningkatan JVP dapat dilihat sebagai distensi vena
jugularis, yaitu JVP tampak hingga setinggi leher, jauh lebih tinggi daripada
normal.
8) Hepatojugular reflux (AJR – Abdominojugular reflux)
Adalah tes pemeriksaan fisik yang berguna dalam mendiagnosis disfungsi
ventrikel kanan, khusunya gagal ventrikel kanan. Tes AJR positif berkorelasi
dengan tekanan arteri pulmonal.

b. Kriteria Minor
1) Edema kedua kaki (Bilateral ankle edema)
Adalah pembengkakan pada tungkai bawah yang disebabkan oleh
penumpukan cairan pada kaki tersebut. Penyebabnya adalah kadar protein
(albumin) dalam darah yang rendah, fungsi pompa jantung menurun,
sumbatan pembuluh darah atau pembuluh limfe, penyakit liver dan ginjal
kronis, posisi tungkai terlalu lama tergantung (gravitasi)
2) Sesak (dyspnea of effort)
Sensasi atau rasa tidak nyaman dalam bernapas, berbeda dengan sensasi –
sensasi yang lain karena jalan saraf yang mendasarinya belum diketahui
dengan pasti.
3) Hepatomegali
Istilah untuk menggambarkan adanya pembesaran ukuran hati (liver)
normalnya sekitar 7.5 cm pada wanita dan 10 cm pada pria.
4) Efusi Pleura
Adalah penumpukan cairan di antara jaringan yang melapisi paru – patu dan
dada. Cairan dapat menumpuk di sekitar paru – paru karena pemompaan
jantung yang kurang baik atau karena peradangan.
5) Takikardi
Kondisi dimana detak jantung seseorang di atas normal dalam kondisi
istirahat. Detak jantung orang deawsa adalah 60 – 100 x per menit saat
istirahat, sedangkan detak jantung pada penderita takikardi paling sedikit
100x/menit.

2. NYHA (New York Heart Association)


Tingkat keparahan gagal jantung seseorang diklasifikasikan berdasarkan kelasnya,
sebagai berikut yaitu :
a. Kelas 1: Tidak ada keterbatasan dari aktivitas fisik, aktivitas biasa tidak
menimbulkan gejala.
b. Kelas 2: ada sedikit keterbatasan dari aktivitas fisik, lebih nyaman saat istirahat,
aktivitas fisik sehari-hari dan menaiki tangga agak banyak menyebabkan lelah,
berdebar-debar, dan sesak.
c. Kelas 3: adanya keterbatasan dari aktivitas fisik secara signifikan, lebih nyaman
saat beristirahat, aktivitas fisik yang ringan dapat menyebabkan lelah, berdebar,
dan sesak.
d. Kelas 4: Tidak bisa melakukan aktivitas fisik dengan nyaman, timbul gejala
gangguan jantung pada saat istirahat, bila beraktivitas, keluhan akan semakin
berat.

g. Terapi Medikamentosa Secara Umum


Terapi medikamentosa secara umum meliputi 3 bagian :
1. Pemberian diuretik
Pemberian diuretik bertujuan untuk meringankan beban jantung, dan mengurangi
timbulnya bengkak. contoh diuretik kuat yaitu furosemid, kemudian diuretik hemat
kalium yaitu spironolakton.
2. Pemberian B-BlockeR
Jantung dan pembuluh darah memiliki reseptor Byang berespon terhadap hormon,
penghambatan reseptor B ini bertujuan untuk mengurangi beban jantung, dan dilatasi
pembuluh darah. contoh obatnya yaitu Propanolol.
3. Pemberian agen inotropik
Agen inotropik berfungsi untuk menstimulasi kontraksi jantung, contoh agen
inotropik sintesis yaitu Digoksin.
TERAPI

1. RINDONEM (MEROPENEM – YARINDO)

a. DESKRIPSI
Meropenem adalag derivat dengan khasiat dan penggunaan yang sama. Karena tahan
terhadap enzim ginjal maka dapat digunakan tunggal, tanpa tambahan cilastatin.
Penetrasinya ke dalam semua jaringan baik, juga ke dalam CCS, maka juga efektif pada
meningitis bakterial.

b. PENGGUNAAN
1. NN
2. NN

c. FARMAKOKINETIKA
1. Absorpsi
Tidak berlaku. Meropenem diberikan secara intravena
2. Distribusi
Pengikatan protein meropenem adalah sekitar 2%. Meropenem mencapai konsentrasi
yang sesuai atau melebihi yang diperlukan untuk menghambat bakteri yang paling
rentan di sebagian besar cairan tubuh dan jaringan termasuk cairan serebrospinal.
Konsentrasi puncak dalam cairan tubuh sebagian besar dicapai dalam 1 jam setelah
infus IV
3. Metabolisme
Extrarenal 20-25%, metabolisme nonrenal dapat meningkat menjadi 50% pada pasien
dengan bersihan kreatinin (CrCI) 20 ml / menit. Ada satu metabolit tidak aktif
meropenem. Tidak ada genotipe yang dikenal mempengaruhi kinetika meropenem.
Meropenem ditoleransi dengan baik pada pasien dengan penyakit hati, penyesuaian
dosis tidak diperlukan pada pasien-pasien ini
4. Ekskresi
Ginjal adalah rute utama pembersihan meropenem. Pembersihan meropenem dari
plasma berkorelasi dengan CrCI. Meropenem mengalami filtrasi dan sekresi tubular.
Tidak ada akumulasi dosis berulang meropenem 500 mg setiap 8 jam, atau 1 gram
setiap 6 jam pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Sekitar 70% (50% sampai 75%)
dari dosis meropenem yang diberikan secara intravena dipulihkan tidak berubah
dalam urin selama 12 jam.
d. INTERAKSI OBAT

Obat, Makanan,
No Interaksi Saran
Test
1. Asam Valproat Terapi kombinasi antara asam Penggunaan obat – obatan ini
valproat dan meropenem akan secara bersamaan harus
menurunkan konsentrasi dihindari, atau konsentrasi
plasma asam valproat dalam plasma asam valproat harus
24 jam, yang dapat dipantau
menyebabkan hilangnya efek
antikonvulsan

2. Probenecid Probenecid menyebabkan


peningkatan konsentrasi
plasma meropenem.
Kemungkinan dengan
menghambat sekresi tubular
aktif meropenem oleh
probenecid

3 Aminoglikosida Bukti in vitro efe antibakteri


sinergis terhadap Ps.
Aeruginosa

2. CEFTAZIDIME

a. DESKRIPSI
Antibakterial, golongan cefalosporin generasi ke 3

b. PENGGUNAAN
1. Infeksi Tulang dan sendi
2. Infeksi intra abdominal dan ginekologi
3. infeksi Meningitis dan juga infeksi CNS yg lain
4. Infeksi saluran pernapasan
5. Septicemia
6. Infeksi kulit dan struktur kulit
7. Infeksi saluran urine
8. Infeksi Burkholderia
9. Otitis externa
10. Infeksi pseudomonas aeruginosa
11. Infeksi Vibrio
12. Terapi empiris pada pasien neutropenic febrille
13. Profilaksis perioperatif

c. FARMAKOKINETIKA
1. Absorpsi
Bioavailabilitas
tidak terserap dari saluran pencernaan, harus diberikan secara parenteral. Setelah
pemberian IM, konsentrasi serum puncak mencapai sekitar 1 jam. Dapat diserap lebih
lambat pada wanita dibandingkan pada pria yang mengikuti injeksi IM ke dalam
gluteus maksimus atau vastus lateralis. Pada wanita konsentrasi serum puncak
mungkin lebih rendah setelah injeksi IM ke dalam gluteus maksimus daripada ke
vastus lateralis. Pada pasien dengan gagal ginjal kroniktahap akhir yang menerima
dosis tunggal obat melalui katheter intraperitoneal, konsentrasi serum puncak
mencapai 2,75 jam setelah dosis.
2. Distribusi
a) Extent
didistribusikan secara luas ke dalam jaringan tubuh dan cairan termasuk kantong
empedu, tulang empedu, otot rangka, jaringan prostat, endometrium, jantung,
jaringan adiposa, aqueous humor dan sputum, dan pleura, peritoneal, sinovial,
ascitis, limfatik dan cairan blister. Umumnya berdifusi ke dalam cairan
cerebrospinal setelah pemberian IV, konsentrasi CFS lebih tinggi pada pasien
dengan meninges yang meradang daripada pasien dengan meninges yang tidak
mengalami peradangan.
Didistribusikan ke empedu, tetapi konsentrasi biliaris setelah pemberian IM atau
IV mungkin lebih rendah daripada konsentrasi serum bersamaan.
Melintasi placenta dan didistribusikan ke dalam susu.
b) Ikatan protein plasma
5 – 24 %
3. Eliminasi
a) Metabolisme
Tidak dimetabolisme
b) Rute eliminasi
Dieliminasi tidak berubah terutama dalam urin oleh filtrasi glomerulus 80 – 90%
dari dosis yang dihilangkan dalam urin dalam 24 jam.
c) Half Life
1) Orang dewasa dengan kondisi ginjal dan hati yang normal : distribusi paruh
0,1 – 0,6 jam dan eliminasi waktu paruh 1,4 – 2 jam
2) Neonatus : 2,2 – 4,7 jam
3) Anak usia 1 – 12 bulan : 2 jam
d) Populasi Khusus
1) Pasien dengan gangguan fungsi hati : waktu paruh hanya sedikit lebih lama
2) Pasien dengan gangguan fungsi ginjal : konsentrasi serum lebih tinggi dan
waktu paruh serum memanjang. Rentang waktu paruh dari 9,4 – 10,3 jam
para pasien dengan Clr 13 – 27 mL/menit dan 11 – 35 jam pada mereka
dengan Clr < 10 mL/menit

d. INTERAKSI OBAT

Obat, Makanan,
No Interaksi Saran
Test
1. Aminoglikosida Dilaporkan nefrotoksik Hati – hati monitor fungsi
dengan penggunaan secara ginjal, terutama jika dosis
bersamaan dengan beberapa aminoglikosida tinggi
cefalosporin dan digunakan atau jika terapi
aminoglikosida. berlangsung lama.
Bukti in vitro aktifitas
antibakteri aditif atau sinergis
terhadap pseudomonas dan
enterobacteriaceae.

2. Chloramphenicol Bukti in vitro antagonisme Hindari penggunaan


terhadap bakteri gram negatif. bersamaan

3 Test Glukosa Kemungkinan reaksi positif gunakan tes glukosa


palsu dalam tes glukosa urin berdasarkan reaksi oksidasi
menggunakan clinitest, larutan glukosa enzimatik (misalnya
Benedict atau larutan Fehling Clinistix, Tes-Tape)

3. FUROSEMIDE

a. DESKRIPSI
Class : Loop diuretik
b. PENGGUNAAN
1. Edema
Terkait dengan gagal jantung, sirosis hati dan penyakit ginjal (misalnya sindrom
nefrotik). Dianggap sebagai diuretik pilihan untuk sebagian besar pasien dengan
gagal jantung.
Sebagian besar ahli mengatakan bahwa semua pasien dengan gagal jantung bergejala
yang memiliki bukti, atau riwayat, retensi cairan umumnya harus menerima terapi
diuretik bersama dengan pembatasan natrium moderat, agen untuk menghambat
renin – angiotensin – aldosteron (RAA) (misalnya ACE inhibitor, antagonis reseptor
angiotensin II, angiotensin reseptor – neprilysin inhibitor [ARNI]), agen penghambat
B-adrenergik (B-blocker), dan pada pasien yang dipilih, antagonis aldosteron.
IV manajemen edema paru akut (dalam kombinasi dengan oksigen dan glikosida
jantung)
2. Hipertensi
Penatalaksanaan hipertensi (tunggal atau kombinasi dengan kelas lain dari agen
hipertensi).
Tidak dianggap sebagai agen pilihan untuk manajemen awal hipertensi. Namun,
mungkin berguna pada pasien yang dipilih dengan gangguan ginjal atau gagal
jantung.

c. FARMAKOKINETIKA

1. Absorpsi
a. Bioavailability
Berarti bioavailabilitas oral furosemide dari tablet yang tersedia secara komersial
dan larutan oral adalah 64% dan 60%, masing – masing. Tablet dan larutan oral
yang tersedia secara komersial adalah bioekuivalen
b. Onset
1) Setelah pemberian oral, onset diuresis terjadi dalam 30 menit hingga 1 jam,
efek maksimal setelah 1 – 2 jam.
2) Setelah pemberian IV, diuresis terjadi dalam 5 menit dan memuncak dalam
20 – 60 menit.
3) Setelah pemberian IM terjadi agak lebih lambat daripada pemberian iv. Efek
hipotensi maksimal mungkin tidak terlihat sampai beberapa hari terapi.
c. Duration
Efek diuretik bertahan 6 – 8 jam setelah pemberian oral dan sekitar 2 jam setelah
pemberian IV
d. Makanan
Makanan tampak tidak mempengaruhi efek diuretik.
e. Populasi khusus
Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal yang parah, respon diuretik dapat
diperpanjang
2. Distribusi
a. Extent
Melintasi plasenta dan didistribusikan ke dalam susu
b. Pengikatan Protein plasma
Sekitar 95% terikat pada protein plasma (terutama albumin) pada pasien normal
dan azotemic.
3. Eliminasi
a) Metabolisme
Metabolisasi di hati ke derivatif defurfurylated, 4-chloro-5-sulfamoylanthranilic
acid
b) Rute Eliminasi
Cepat diekskresikan dalam urine oleh filtrasi glomerulus dan dengan sekresi dari
tubulus proximal. Sekitar 50% dari dosis oral dan 80% dosis IV atau IM
diekskresikan dalam urin dalam 24 jam; 69 – 97% dari jumlah ini diekskresikan
dalam 4 jam pertama. Selebihnya dari obat dieliminasi oleh mekanisme nonrenal
termasuk degradasi di hati dan ekskresi obat tidak berubah dalam feses.
c) Half-life
Biphasic; terminal half-life adalah sekitar 2 jam
d) Populasi khusus
1) Gangguan hati atau ginjal memperpanjang waktu paruh eliminasi obat.
2) Pada pasien dengan gangguan ginjal yang ditandai tanpa penyakit hati,
pembersihan nonrenal meningkat hingga sejauh 98% dari obat dibersihkan
dalam 24 jam.
d. INTERAKSI OBAT

No Obat Interaksi Saran

1 Aminoglikosida dapat meningkatkan potensi Hindari penggunaan


toksisitasnya terutama pada bersamaan kecuali pd kondisi
pasien dg gangguan fungsi yg mengancam jiwa
ginjal

2 Alkohol Dapat memperparah


hipotensi ortostatik

3 Antidiabetik agent Kemungkinan antagonisme


efek hipoglikemia akibat
hipokalemia

4 ACE inhibitor menyebabkan hipotensi berat


dan penurunan fungsi ginjal.

5 Diuretik hemat kalium, Kemungkinan penurunan Dapat digunakan untuk


seperti Spironolactone kehilangan kalium keuntungan terapeutiknya.

6 Diuretik, thiazide Efek diuretik tambahan Gunakan pengurangan dosis


furosemide

7 Obat – obatan yg Efek hipokalemia tambahan Monitor elektrolit


menyebabkan
kehilangan kalium
Misal : kortikosteroid,
kortikotropin,
amfoterizin B

8 Narkotika Dapat memperberat hipotensi


ortostatik

9 Glikosida jantung Kemungkinan gangguan Monitor kadar elektrolit


seperti digoxin elektrolit (misal hipokalemia,
hipomagnesemia),
peningkatan resiko toksisitas
digitalis dan/atau aritmia
jantung yang fatal.

10 Kloral hidrat Reaksi yg mungkin ditandai Pertimbangkan obat hipnosis


dengan diaphoresis, flushes, alternatif (misal
hipertensi, dan gelisah pada benzodiazepin) pada pasien
pasien dengan MI dan gagal yg memerlukan furosemide.
jantung
11 Sukralfat dapat menurunkan efek Jika tetap digunakan beri
natriuretik dan antihipertensi jarak setidaknya 2 jam.
dari furosemide.

12 Fenitoin menyebabkan penurunan


penyerapan furosemide di
usus, dan akibatnya
menurunkan konsentrasi
serum puncak furosemide.
Sehingga efektivitas
furosemide sedikit
berkurang.

13 Indometasin mengurangi efek natriuretik


dan antihipertensi dari
furosemide

14 NSAID’s Memperlemah efek diuretis


dan antihipertensinya akibat
sifat retensi natrium dan
airnya.

15 Salisilat (NSAIAs) Kemungkinan penurunan


sementara pada Clr pada
pasien dg insufisiensi ginjal
kronik.
Kemungkinan kenaikan berat
badan dan peningkatan Scr,
konsentrasi serum potassium,
dan BUN

4. ACETYL SALICYLIC ACID


a. Deskripsi

b. Penggunaan
1. Pain
2. Demam
3. Inflammatory Diseases
Pengobatan simtomatik rheumatoid arthritis, arthritis rheumatoid juvenil,
osteoarthritis, spondyloarthtritis, dan lupus eritematosus sistemik (SLE)
4. Rheumatoid Fever
Pengobatan simtomatik demam rematik. Obat pilihan pada pasien karditis ringan
(tanpa kardiomegali atau CHF, dengan atau tanpa polyarthritis) atau dengan
polyarthritis saja.
5. Serangan Iskemik Transien dan Stroke Iskemik
Pengurangan resiko TIA berulang atau stroke atau kematian pada pasien dengan
riwayat TIA atau stroke iskemik (pencegahan sekunder)
6. Juga digunakan dalam kombinasi tetap dengan dipyridamole lepas lambat untuk
mengurangi resiko stroke berulang, kematian dari semua penyebab vaskular, atau MI
nonfatal pada pasien yang telah memiliki TIA atau menyelesaikan stroke iskemik
yang disebabkan oleh thrombosis.
7. Antikoagulasi oral
Lebih direkomendasikan pada pasien dengan riwayat stroke iskemik atau TIA dan
fibrilasi atrium serentak; namun pada pasien yang tidak dapat mengambil atau
memilih untuk tidak menggunakan antikoagulan oral (misalnya, mereka mengalami
kesulitan mempertahankan INR stabil, masalah kepatuhan, pembatasan diet, atau
keterbatasan biaya), terapi antiplatelet ganda dengan Aspirin dan Clopidogrel
direkomendasikan.
8. Dapat juga digunakan untuk terapi stroke iskemik pada anak.
9. Penyakit arteri koroner
10. ST-Segment-Elevation MI (STEMI)
11. Pencegahan Primer Kejadian Jantung Iskemik
12. Non-ST-Segment-Elevation Acute Coronary Syndromes (NSTE ACS)
13. Angina Stabil Kronis
14. Prosedur Intervensi dan Revaskularisasi Koroner Perkutan
15. Embolisme Berhubungan dengan Fibrilasi Atrial
16. Penyakit Arteri Perifer
17. Penyakit Jantung Valvular
18. Katup Jantung Prostetik
19. Trombosis Terkait dengan Prosedur Fontan pada Anak
20. Thromboprophylaxis dalam Bedah Ortopedi
21. Thromboprophylaxis dalam Bedah Umum
22. PerikarditiS
Obat pilihan untuk manajemen nyeri terkait dengan perikarditis akut † setelah MI.
23. Penyakit KawasakI
Pengobatan penyakit Kawasaki; digunakan bersama dengan immune globulin IV
(IGIV)
24. Komplikasi Kehamilan

c. FARMAKOKINETIKA
1. Absorpsi
a) Bioavailabilitas
Diserap dengan baik setelah pemberian oral. Cepat dimetabolisme menjadi asam
silisilat. Konsentrasi aspirin plasma tidak terdeteksi 1 – 2 jam setelah pemberian.
Konsentrasi asam salisilat plasma puncak tercapai dalam 1 – 2 jam setelah
pemberian tablet yang tidak dilapisi. Secara perlahan dan bervariasi diserap
mengikuti administrasi rectal.
b) Onset
Dosis oral tunggal persiapan cpat diserap : 30 menit untuk efek analgesik dan
antipiretik
Suppositoria rectal : 1 – 2 jam untuk efek antipiretik
Terapi oral terus menerus : 1 – 4 hari untuk efek antiinflamasi
c) Makanan
Makanan menurun tingkat tetapi tidak tingkat penyerapan; konsentrasi plasma
puncak aspirin dan salisilat dappat menurun
d) Konsentrasi plasma
Konsentrasi salisilat plasma 30 – 100 mcg/mL menghasilkan analgesia dan
antipiresis; konsentrasi yang diperlukan untuk efek antiinflamasi adalah 150 –
300 mcg/mL; toksisitas tercatat pada 300 – 350 mcg/mL. Konsentrasi salisilat
plasma steady state meningkatkan lebih dari proporsional dengan peningkatan
dosis sebagai hasil dari proses pembatasan kapasitas.
e) Populasi khusus
Selama fase demam penyakit Kawasaki, penyerapan oral mungkin terganggu atau
sangat bervariasi.
f) Distribusi
a) Extend
Didistribusikan secara luas; aspirin dan salisilat didistribusikan ke dalam cairan
sinovial. Plasenta persilangan dan didistribusikan ke dalam susu.
b) Pengikatan protein plasma
Aspirin : 33%
Salisilat : 90 – 95% terikat pada konsentrasi salisilat plasma < 100
mch/mL; 70 – 85% terikat pada konsentrasi 100 – 400 mcg/mL; 25 – 60% terikat
pada konsentrasi > 400 mcg/mL
c) Eliminasi
a) Metabolisme
Sebagian dihidrolisis menjadi salisilat oleh esterase di mukosa GI. Aspirin tidak
dihidrolisis kemudian mengalami hidrolisis oles esterase terutama di hati tetapi
juga dalam plasma, eritrosit, dan cairan sinovial. Salisilat dimetabolisme di hati
oleh enzim mikrosomal
b) Rute eliminasi
Diekskresikan dalam urine melalui filtrasi glomerulus dan reabsorpsi tubular
ginjal sebagai salisilat dan metabolitnya. Ekskresi salisilat urin tergantung pH;
ketika pH urin meningkat dari 5 ke 8, ekskresi salisilat dalam urine sangat
meningkat.
c) Half-life
Aspirin : 15 – 20 menit
Setengah umur salisilat meningkat dengan meningkatnya konsentrasi salisilat
plasma.
Salisilat : 2 – 3 jam ketika aspirin diberikan dalam dosis rendah (325 mg).
Salisilat : 15 – 30 jam ketika aspirin diberikan dalam dosis yg lebih tinggi.
d) Populasi khusus
Salisilat dan metabolitnya mudah dihapus oleh hemodialisis dan pada tingkat
lebih rendah dialisis peritoneal.

d. INTERAKSI OBAT
Obat, Makanan,
NO Interaksi Saran
Test
1 ACE inhibitor Mengurangi respon BP
terhadap inhibitor.
Kemungkinan anetuasi
tindakan hemodinamik
inhibitor ACE pada pasien
dengan CHFh. Mengurangi
Obat, Makanan,
NO Interaksi Saran
Test
efek hiponatremic inhibitor
ACE.

2 Agen pengoksidasi Obat – obat yang menurunkan


pH urin dapat menurunkan
ekskresi salisilat.

3 Alkohol Meningkatkan resiko


perdarahan

4 Agen alkalinisasi Obat obatan meningkatkan pH pantau konsentrasi salisilat


urin dapat meningkatkan plasma pada pasien yang
ekskresi salisilat. menerima terapi aspirin dosis
tinggi jika antasida diinisiasi
atau dihentikan.

5 Antikoagulan Meningkatkan resiko Gunakan hati – hati


(warfarin, heparin) pendarahan. Dapat
menggantikan warfarin dari
situs pengikatan protein, yang
menyebaban pemanjangan PT
dan waktu pendarahan.

6 Antikonvulsan Dapat memindahkan pantau pasien yang meneruma


phenytoin dari situs aspirin dengan asam valproat
pengikatan; kemungkinan
penurunan konsentrasi fenitoin
plasma total, dengan
peningkatan fraksi bebas.
Dapat memindahkan asam
valproat dari tempat
pengikatan; kemungkinan
peningkatan konsentrasi asam
valproat plasma bebas,
memungkinkan peningkatan
resiko pendarahan.

7 Obat Antidiabetik Potensi menaikkan efek Monitor ketat


(sulfonilurea) hipoglikemik

8 Agen bloking β- Mengurangi respon BP Pantau BP


adrenergik terhadap agen penghambat
beta adrenergik. Potensi untuk
retensi garam dan cairan
Obat, Makanan,
NO Interaksi Saran
Test
9 Penghambat karbonat Peningkatan resiko toksisitas hindari penggunaan
anhidrase salisilat. Peningkatan bersamaan pada pasien yang
(acetazolamide) konsentrasi plasma menerima aspirin dosis tinggi
acetazolamide; peningkatan
resiko toksisitas
acetazolamide.

10 Kortikosteroid Penurunan konsentrasi salisilat


plasma

11 Diuretik Kemungkinan efek natriuretik


berkurang

12 Methotrexate Peningkatan konsentrasi Pantau toksisitas methotrexate


metotreksat plasma.
Penghambatan pembersihan
ginjal methotrexate
menyebabkan toksisitas
sumsum tulang, terutama pada
pasien geriatrik atau dengan
gangguan ginjal.

13 NSAIAs Peningkatan resiko a. Penggunaan bersamaan


pendarahan, ulserasi GI, tidak disarankan
penurunan fungsi ginjal atau b. Interaksi farmakokinetik
komplikasi lainnya. Tidak ada tidak mungkin menjadi
bukti yang konsisten bahwa penting secara klinis
aspirin dosis rendah c. Aspirin segera : berikan
meredakan peningkatan resiko satu dosis Ibuprofen 400
kejadian kardiovaskular serius mg untuk pengobatan
yang terkait dengan NSAIAs. sendiri >/ 8 jam sebelum
Interaksi farmakokinetik atau >/ 30 menit setelah
dengan banyak NSAIAs. pembersihan aspirin
Antagonis (ibuprofen, d. Aspirin dosis rendah yang
naproxen) dari efek dilapisi enterik : tidak ada
penghambatan agregasi rekomendasi mengenai
trombosit yang ireversibel dari waktu pemberian dengan
aspirin; dapat membatasi efek dosis tunggal ibuprofen
kardioprotektif aspirin. Resiko e. Pertimbangan penggunaan
minimal efek pelemahan analgesik alternatif yang
aspirin dosis rendah dengan tidak mengganggu efek
penggunaan ibuprofen antiplatelet aspirin dosis
sesekali. Tidak diketahui rendah (misalnya
apakan ketoprofen acetaminophen, opiat)
mengganggu efek antiplatelet untuk pasien yang
aspirin. Penurunan konsentrasi beresiko tinggi terhadap
plasma puncak dan AUC kejadian kardiovaskular.
diklofenak, data yang terbatas
Obat, Makanan,
NO Interaksi Saran
Test
menunjukkan bahwa f. Penggunaan bersamaan
diklofenak tidak menghambat dengan resep NSAIAs
efek antiplatelet. tidak disarankan karena
potensi peningkatan efek
samping

14 Pyrazinamide Kemungkinan pencegahan


atau pengurangan
hiperurisemia yang terkait
dengan pyrainamide

15 Tetracycline Penyerapan teracycline ketika berikan persiapan yang


diberikan dengan persiapan mengandung kation bivalen
aspirin yang mengandung sebelum atau sesudah
kation divalen atau trivalen tetrasiklin
(Bufferin)

16 Agen trombolitik Aditif pengurangan kematian


dilaporkan pada pasien dengan
AMI menerima Aspirin dalam
dosis rendah dan agen
trombolitik (streptokinase,
alteplase)
Digunakan untuk efek
terapeutik

17 Agen ricosuric Mengurangi efek uricosuric


(probenesid,
sulfinpyrazone)
18 Vaksin virus varicella Kemungkinan teoretis dari
hidup sindrome Reye. Produsen
vaksin virus varicella hidup
merekomendasikan bahwa
individu yang menerima
vaksin menghindari
penggunaan salisilat selama 6
minggu setelah vaksinasi.
5. SPIRONOLACTONE

a. Deskripsi
Adalah altagonis aldosterone, Diuretik hemat kalium.

b. PENGGUNAAN
1. Edema
Manajemen edema terkait dengan aldosterone yang berlebihan, termasuk para pasien
dengan sirosis hati, gagal jantung, dan sindrome nefrotik. Digunakan sebagai
tambahan untuk terapi thiazide ketika diuresis tidak memadahi atau pengurangan
ekskresi kalium diperlukan
2. Hipertensi
Penatalaksanaan hipertensi (sendiri atau dalam kombinasi dengan kelas lain adri agen
antihipertensi), digunakan untuk pasien yang tidak dapat diobati secara adekuat
dengan agen lain atau agen lain dianggap tidak sesuai. Tidak dianggap sebagai agen
yang disukai untuk manajemen awal hipertensi, tetapi dapat digunakan sebagai terapi
tambahan jika BP tidak cukup terkontrol dengan kelas antihipertensi yang
direkomendasikan (yaitu ACE inhibitor, antagonis reseptor angiotensin II, ca-
channel blocker, diuretik thiazide). Penambahan antagonis aldosterone
(spironolactone atau eplerenone) direkomendasikan pada pasien tertentu dengan
gagal jantung atau pasca-MI ketika fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) berkurang dan
pasien sudah menerima inhibitor ACE (atau antagonis reseptor angiotensin II) dan
agen penghambat β-adrenergik (β-blocker)

c. FARMAKOKINETIKA
1. Absorpsi
a) Diserap dengan baik setelah pemberian oral; konsentrasi serum puncak
spironolactone biasanya dicapai dalam 1-2 jam, 200 201 konsentrasi serum
puncak dari metabolit utama200 201 biasanya dicapai dalam 2-4 jam.
b) Bioavailabilitas : > 90%
c) Onset
Bertahap; efek diuretik maksimum tercapai pada hari ketiga. Spironolakton
dalam kombinasi tetap dengan hidroklorotiazid: Diuresis biasanya terjadi pada
hari pertama.
d) Lamanya
Diuresis menetap selama 2–3 hari setelah penghentian.
e) Makanan
Makanan meningkatkan konsentrasi serum puncak dan AUC; kepentingan klinis
tidak diketahui.
2. Distribusi
a) Tingkat
Spironolakton dan metabolitnya melintasi plasenta. Canrenone, metabolit aktif
utama, didistribusikan ke dalam susu.
b) Pengikatan Protein Plasma
Spironolactone dan canrenone:> 90% .265
3. Eliminasi
a) Metabolisme
Cepat dan ekstensif dimetabolisme; canrenone dan / atau 7α-
thiomethylspironolactone tampaknya menjadi metabolit aktif utama. Menjalani
deasetilasi hati, tiometilasi, dan hidroksilasi.
b) Rute Eliminasi
Diekskresikan terutama dalam urin sebagai metabolit dan pada tingkat lebih
rendah dalam empedu.
c) Setengah hidup
Spironolactone: 1,4 jam. Metabolit: 13,8–16,5 jam

d. INTERAKSI OBAT
Obat, Makanan,
NO Interaksi Saran
Test
1 ACE inhibitor Peningkatan resiko Monitor serum potassium
hiperkalemia berat secara rutin.

2 Alkohol Potensi hipotensi ortostatik

3 Altagonis reseptor Meningkatkan resiko Pergunaan bersama :


aldosterone hiperkalemia berat kontraindikasi

4 Antagonis Menaikkan resiko


angiotensin II hiperkalemia

5 Agen antihipertensi Efek antihipertensi tambahan Kurangi dosis obat


dan hipotensi antihipertensi, terutama agen
penghambat ganglionik, paling
sedikit 50 % ketika
spironolacton dimulai
Obat, Makanan,
NO Interaksi Saran
Test
6 Barbiturat Potensiasi hipotensi ortostatik

7 Cholestyramine Asidosis metabolik


hiperkalemia dilaporkan

8 Kotikosteroid Kemungkinan deplesi Monitor elektrolit serum


(ACTH) elektrolit aditif, terutama
kalium

9 Digoxin Peningkatan konsentrasi pantau toksisitas digitalis;


digoxin serum; kemungkinan kemungkinan toksisitas.
toksisitas. Pantau toksisitas digitalis;
menyesuaikan dosis digoksin
(pemeliharaan dan digitalisasi)

10 Diuretik hemat Peningkatan resiko Penggunaan bersama


kalium (misalnya : hiperkalemia berat kontraindikasi
amiloride,
thriamterene)

11 Heparin Meningkatkan resiko


hiperkalemia yang tinggi.

12 Heparin, molekul Peningkatan resiko


rendah hiperkalemia berat

13 Lithium Pengurangan renal lithium Penggunaan bersamaan


yang dikurangi; peningkatan umunya kontraindikasi, jika
resiko toksisitas lithium. tetap bersamaan diperlukan,
monitor konsentrasi serum
lithium secara ketat dan
sesuaikan dosis

14 Nonondepolarizing Potensi peningkatan blokade


neuromuskular neuromuskular
blocking agents
(misal : tubocurarine
chloride)

15 NSAIA (misalnya Kemungkinan penurunan efek Gunakan dengan hati – hati


indometasin, aspirin) diuretik, natriuretik, dan
Monitor untuk efek diuretik.
antihipertensi; peningkatan
resiko hiperkalemia berat

16 Agonis Opiat Potensiasi hipotensi ortostatik


Obat, Makanan,
NO Interaksi Saran
Test
17 Suplemen kalium Peningkatan resiko Penggunaan bersama
dan/atau makanan yg hiperkalemia berat umumnya tidak
mengandung kalium direkomendasikan
(misal : pengganti
garam, susu rendah
garam)

18 Test, aldosterone Kebanyakan metode tidak


(kemih) terpengaruh, metabolit dapat
mengganggu prosedur
radioimmunoassay

19 Test, Digoxin Kemungkinan ketinggian Relevansi klinis tidak


(serum) semu dengan prosedur sepenuhnya diketahui
radioimmunoassay; mungkin
assay spesific.

20 Vasopressors (e.g. Kemungkinan penurunan Gunakan anestesi (regional


norepinephrine) respon vaskular atau umum) dengan hati –
hati.

21 Makanan Makanan dapat meningkatkan


kadar spironolactone plasma,
tetapi tidak merubah efikasi
antihipertensi dalam satu studi
jangka panjang

6. CLOPIDOGREL

a. DESKRIPSI
Inhibitor agregasi trombosit; thienopyridine P2Y12 platelet adenosine diphosphat (ADP)
– reseptor antagonis

b. PENGGUNAAN
Diindikasikan untuk menurunkan aterotrombosis yang menyertai :
1. Serangan infark miokard, serangan stroke atau penyakit pembuluh darah perifer
2. Non-ST segment elevation acute coronary syndrome dengan pemakaian bersama
acetosal.

c. FARMAKOKINETIKA
1. Absorpsi
a) Bioavailabilitas
Cepat diserap setelah pemberian oral, 1 ≥50% dari dosis oral diserap.1
Konsentrasi plasma puncak dari metabolit aktif terjadi sekitar 30-60 menit setelah
pemberian oral.1
b) Onset
Setelah pemberian oral dosis tunggal, penghambatan agregasi trombosit
tergantung dosis dapat diamati dalam 2 jam. Dosis berulang (75 mg setiap hari)
menyebabkan penghambatan agregasi platelet ADP-induced pada hari pertama,
dan inhibisi steady-state (40-60%) terjadi dalam 3-7 hari.
c) Durasi
Setelah penghentian, agregasi platelet dan waktu perdarahan berangsur-angsur
kembali ke garis dasar dalam waktu sekitar 5 hari.
d) Makanan
Pada pria sehat, pemberian dengan makanan tinggi lemak atau standar menurun
berarti penghambatan agregasi platelet oleh <9% .1 Meskipun makanan
menurunkan konsentrasi plasma puncak metabolit aktif sebesar 57%, paparan
sistemik terhadap metabolit aktif tidak terpengaruh.
e) Populasi Khusus
Konsentrasi plasma puncak dan paparan metabolit aktif clopidogrel menurun
sebesar 30-50% pada pasien dengan fungsi CYP2C19 yang diturunkan secara
genetik.
2. Eliminasi
a) Metabolisme
Secara ekstensif dimetabolisme melalui jalur 2 langkah: 1) hidrolisis esterase-
dimediasi ke turunan asam karboksilat aktif 2) pembentukan metabolit tiol aktif
dimediasi oleh CYP isoenzim (misalnya, 2C19, 3A4, 2B6, 1A2).
b) Rute Eliminasi
Diekskresikan dalam urin (50%) dan dalam tinja (46%)
c) Setengah hidup
Clopidogrel: Sekitar 6 jam setelah dosis oral tunggal 75 mg. Metabolit aktif: 30
menit
d. INTERAKSI OBAT
Obat, Makanan,
No Interaksi Saran
Test
1 Cilostazol Potensi efek antiplatelet Penggunaan hati – hati
tambahan Monitor waktu pendarahan
selama pemberian bersamaan

2 Dexlansoprazole Efek pada paparan metabolit Tidak diperlukan penyesuaian


aktif clopidogrel dan dosis clopidogrel jika
penghambatan trombosit digunakan bersamaan dengan
clopidogrel-induced tidak dosis berlabel FDA
dianggap penting secara klinis. dexlansoprazole.

3 Esomeprazole Berkurangnya konsentrasi Hindari penggunaan


plasma metabolit aktif bersamaan
clopidogrel dan berkurangnya
efek antiplatelet

4 Antagonis reseptor Tidak ada bukti bahwa Dapat mempertimbangkan


H-2 Blocker antagonis reseptor H-2 blocker antagonis reseptor-H (kecuali
(kecuali cimetidin) Cimetidine) sebagai alternatif
mengganggu efek antiplatelet penghambat protopump untuk
clopidogrel. proteksi lambung pada pasien
yang menerima clopidogrel.
Tetai mungkin tidak efektif

5 Lansoprazole Efek pada paparan metabolit Tidak diperlukan penyesuaian


aktif aktif clopidogrel dan dosis clopidogrel jika
penghambatan trombosit digunakan secara bersamaan
clopidogrel-induced tidak dengan dosis berlabel FDA
dianggap penting secara klinis dari Lansoprazole

6 Pantoprazole Efek pada paparan metabolit Tidak diperlukan penyesuaian


aktif aktif clopidogrel dan dosis clopidogrel jika
penghambatan trombosit digunakan secara bersamaan
clopidogrel-induced tidak dengan dosis berlabel FDA
dianggap penting secara klinis dari Lansoprazole

7 Omeprazole Penurunan konsentrasi plasma Hindari penggunaan


metabolit aktif clopidogrel dan bersamaan
berkurangnya efek antiplatelet
Pemisahan waktu administrasi
tidak menghindari interaksi
8 Rabeprazole Efikasi berkurang diamati FDA menyatakan tidak cukup
dengan clopidogrel bersamaan informasi yang tersedia untuk
dan omeprazole atau membuat rekomendasi
esomeprazole; sejauh mana spesifik tentang penggunaan
rabeprazole dapat bersamaan dengan clopidogrel
Obat, Makanan,
No Interaksi Saran
Test
mengganggu efek clopidogrel
tidak diketahui

9 NSAIAs Potensi peningkatan resiko


pendarahan

10 Warfarin Kemungkinan peningkatan Gunakan hati - hati


resiko pendarahan

7. SALBUTAMOL SULFAT

a. DESKRIPSI
Bronkodilator; agonis β-2 adrenergik kerja jangka pendek yang selektif

b. PENGGUNAAN
1. Bronkospasme pada Asma
Manajemen simtomatik atau pencegahan bronkospasme pada pasien dengan penyakit
saluran napas reversibel dan obstruktif (misal : asma)
2. Bronkospasme yang dipicu oleh latihan
Pencegahan bronkospasme yang dipicu oleh latihan
3. Penyakit paru obstruktif kronik
Salbutamol sulfat dalam kombinasi tetap dengan Ipratropium bromide : manajemen
simtomatik dari bronkospasme reversibel yang berhubungan dengan COPD pada
pasien yang memiliki bukti bronkospasme meskipun penggunaan teratur
bronkodilator inhalasi secara oral dan yang membutuhkan bronkodilator kedua
Salbutamol sulfat : manajemen simtomatik dari bronkospasme reversibel yang
berhubungan dengan COPD bila diberikan sesuai kebutuhan atau teratur (misalnya,
4x sehari), baik sendiri atau bersamaan dengan bronkodilator inhalasi lainnya.
Penggunaan reguler dari agonis β2-adrenergik inhalasi selektif dan pendek (misal
salbutamol) dalam penatalaksanaan PPOK, berbeda dengan asma, tidak tampak
merugikan
c. FARMAKOKINETIKA
1. Absorpsi
a) Bioavailabilitas oral dosis tunggal tablet salbutamol sulfat lepas lambat adalah
sekitar 80% bdari tablet konvensional. Khasat obat yang dihirup secara oral
tampaknya hasil dari tindakan lokal daripada penyerapan sistemik. Konsentrasi
plasma obat tidak memprediksi efek terapetik.
b) Serangan
Tablet atau larutan konvensional : dalam 30 menit.
Aerosol inhalasi oral : dalam 5 – 15 menit
Larutan nebulisasi oral : dalam 5 menit
c) Durasi
Aerosol inhalasi oral : 3 – 6 jam
Larutan nebulisasi oral : 2 – 4 jam, kadang – kadang ≥ 6 jam
Tablet konvensional oral : hingga 8 jam
Tablet lepas lambat : hingga 12 jam
Larutan oral : hingga 6 jam
d) Makanan
Mengurangi tingkat penyerapan salbutamol tablet lepas lambat.
e) Distribusi
Extent : salbutamol melintasi plasenta. Tidak diketahui apakah salbutamol
terdistribusi ke dalam susu atau tidak.
f) Eliminasi
a) Metabolisme
Secara ekstensif dimetabolisme di dinding usus dan hati menjadi metabolit yang
tidak aktif
b) Rute eliminasi
Dikeluarkan secara substansial oleh ginjal. Sekitar 72% dari dosis (oral inhalasi)
diekskresikan dalam urine sebagai obat dan metabolit yang tidak berubah dalam
24 jam . sekitar 76% dari dosis tunggal (pemberian oral) diekskresikan dalam
urine selama 3 hari; sekitar 4% diekskresikan dalam feses
c) Half-life
Oral inhalasi : 3,8 – 6 jam pada orang dewasa yangs sehat; 1,7 – 7,1 jam pada
pasien dengan asma. Tablet konvesional : 5 – 7,2 jam
d. INTERAKSI OBAT

Obat, Makanan,
No Interaksi Saran
Test
1 Β-adrenergik Antagonis efek paru Jika diperlukan terapi
blocking agents menghasilkan bronkospasme bersama, pertimbangkan untuk
berat para pasien asma berhati – hati menggunakan
obat penghambat β-adrenergik
kardioselektif

2 Digoxin Konsentrasi digoxin serum Evaluasi hati – hati


menurun konsentrasi digoxin serum
yang direkomendasikan

3 Diuretik non-hemat Penurunan konsentrasi serum Penggunaan hati - hati


kalium potasium dan/atau perubahan
ECG, terutama jika dosis β-
agonis yang direkomendasikan
melebihi

4 Inhibitor MAO Meningkatkan efek pada Peringatan ekstrim


sistem vaskular direkomendasikan dengan
terapi bersamaan atau pada
pasien yang menerima
salbutamol dalam waktu 2
minggu setelah penghentian
obat – obatan ini

5 Agen Meningkatkan efek samping Hindari penggunaan bersama


simpatomimetik kardiovaskular salbutamol inhalasi dan
bronkodilator amina
simpatomimetik short-acting
inhalasi atau oral salbutamol
dan agen simpatomimetik
lainnya

8. CODEIN

a. DEKSRIPSI
Angonis opiat, turunan fenatrena

b. PENGGUNAAN
1. Pain
Codein merupakan analgesik agonis opioid. Efek codein terjadi apabila codein
berikatan secara agonis dengan reseptor opioid di berbagai tempat di susunan saraf
pusat. Efek analgesik codein tergantung afinitas codein terhadap reseptor opioid
tersebut.
Codein dapat meningkatkan ambang rasa nyeri dan mengubah reaksi yang timbul di
korteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima dari thalamus.
2. Batuk
Meringankan gejala batuk nonproduktif, tunggal atau dalam kombinasi dengan
antitusif atau ekspektoran lainnya dengan cara menekan pusat batuk.

c. FARMAKOKINETIKA
1. Absorpsi
a) Bioavailabilitas
Diserap dengan baik setelah pemberian oral
b) Onset
Onset terjadi dalam 15 – 30 menit. Efek analgesik puncak terjadi terjadi dalam 2
jam; puncak efek antitusif dalam 1 – 4 jam
c) Durasi
Efek analgesik menetap selama 4 – 6 jam. Efek antitusif dapat bertahan selama 4
jam
d) Distribusi
a. Extent
Cepat didistribusikan ke bagian jaringan tubuh, dengan serapan istimewa oleh
organ parenkim seperti hati, limpa, dan ginjal. Didistribusikan ke dalam susu.
Mudah menyilang plasenta.
b. Protein binding
Tidak terikat pada protein plasma
e) Eliminasi
a) Metabolisme
Dimetabolisme di hati, terutama oleh CYP3A4 dan pada tingkat lebih rendah
(10%) oleh CYP2D6 menjadi morphin O-demetilasi, metabolit aktif.
Metabolisme codein dipengaruhi oleh CYP2D6 polimorfisme; perbedaan genetik
dalam metabolisme obat mempengaruhi respons obat. Individu dapat
digambarkan sebagai metabolit kecil, ekstensif atau ultrarapidosis substrat
CYP2D6.
b) Rute Eliminasi
c) Diekskresikan terutama dalam urine dengan jumlah codein dan metabolitnya
yang dapat ditemukan dalam feses
d) Half-life
Sekitar 2,5 – 3 jam
e) Populasi khusus
Individu yang membawa genotipe yang terkait dengan metabolisme
ultrarapidosis substrat CYP2D6 (sekitar 1 – 7% dari Kaukasia, 10 – 30% dari
Etiopia dan Arab Saudi mengubah Codein menjadi Morfin lebih cepat dan
lengkap dariapad individu lain; metabolisme ultrarapid cenderung memiliki
konsentrasi serum morfin yang lebih tinggi dari yang diharapkan

d. INTERAKSI OBAT

Obat, Makanan,
No Interaksi Saran
Test
1 Obat – obatan Peningkatan efek hipnotik Hendaknya hati – hati dalam
depresan seperti sedatif penggunaan secara bersamaan.
anestetik,
Kurangi dosis Codein
tranquilizer, sedatif,
hipnotik, alkohol

2 Tranquilizer Antagonis terhadap analgesik


(fenotiazin) opiat agonis

3 Dextroamfetamin Menghambat efek analgesik


opiat agonis

4 Penghambat MAO Resiko syndrome serotonin Jangan diberikan bersama –


sama dengan penghambat
MAO dan dalam jangka waktu
14 hari setelah pemberian
penghambat MAO

9. AMBROXOL

a. DESKRIPSI
Ambroxol adalah agen mukolitik. Nitrat oksida (NO) yang berlebihan dikaitkan dengan
inflamasi dan beberapa gangguan lain fungsi saluran udara. NO meningkatkan aktivasi
larut guanylate cyclase dan akumulasi cGMP. Ambroxol telah terbukti menghambat NO-
dependent aktivasi larut guanylate cyclase. Hal ini juga mungkin bahwa penghambatan
aktivasi NO-dependent dari larut guanylate cyclase dapat menekan sekresi lendir yang
berlebihan, sehingga menurunkan viskositas lendir dan meningkatkan transportasi
mukosiliar sekresi bronkial.
Ambroksol merupakan metabolit aktif N-desmethyl dari mukolitik.
Selain itu, kemungkinan juga berperan sebagai ekspektoran, dengan meningkatkan
mucociliary transport melalui stimulasi motilitas silia.

b. PENGGUNAAN
Terapi pada penyakit saluran pernafasan akut dan kronik yang disertai dengan sekresi
bronkus yang abnormal, terutama pada bronkitis kronik eksaserbasi, asthmatic bronchitis
dan bronchial asthma.

c. FARMAKOKINETIKA
1. Absorpsi
Absorpsi : cepat diabsorpsi setelah pemberian per oral,
a) Bioavailabilitas
Bioavailabilitas adalah sekitar 70-80%
b) Distribusi
Ambroxol memiliki waktu paruh (half life) Distribusi : 1-3 jam
2. Metabolisme
Metabolit : dibromoanthranilic acid (activity unspecified)
3. Eliminasi
Diekskresikan terutama melalui ginjal, urin (5-6%) sebagai bentuk utuh tidak
berubah.
Klirens ginjal : Klirens ginjal kira kira 53 mL/menit
Half-life / Waktu paruh 8,8 jam

d. INTERAKSI OBAT
Pemberian bersama dengan antibiotik (Amoxicillin, Sefuroksim, Eritromisin,
Doksisiklin) menyebabkan peningkatan antibiotik dedalam jaringanparu paru.

e. EFEK SAMPING
10. INTERHISTIN

a. DESKRIPSI
Interhistin dengan zat aktif mebydrolin yang merupakan antihistamin sedatif dengan sifat
anti muskarinik. Mebydrolin digunakan untuk meringankangejala kondisi alergi
termasuk urtikaria, rhinitis, dan pada gangguan kulit pruritus.

b. PENGGUNAAN
Mebydrolin terutama ditujukan dalam kondisi seperti alergi, angioderma, eksim, demam
Hay, pruritus, rhinitis, urtikaria.

c. FARMAKOKINETIKA
Penyerapan Mebydrolin diketahui 100%.
Ekskresi renal : 0.66% dan plasma T½ nya adalah 5,5 jam

d. INTERAKSI OBAT
Obat, Makanan,
No Interaksi Saran
Test
1 Alkohol dan anti Meningkatkan efek sedasi
depresan lain

2 MAOIs, Atropin, Mengakibatkan efek


TCA antikuskarinik aditif

Antibiotika
Aminoglikosida
e. EFEK SAMPING
1)
2)
11. RENOSTERIL
a. DESKRIPSI
b. PENGGUNAAN
c. FARMAKOKINETIKA
d. INTERAKSI OBAT
e. EFEK SAMPING

Anda mungkin juga menyukai