Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010 oleh Badan Pusat Statistik Indonesia, Suku
Baduy bersama Suku Banten dikelompokan ke dalam Suku asal Banten dengan total
jumlah 4.657.784 jiwa.
Wilayah
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan
108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan
Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Rangkasbitung,
Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian
dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL)
tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata
mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian
tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20 °C.
Tiga desa utama orang Kanekes Dalam adalah Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo.
Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda. Untuk berkomunikasi dengan penduduk
luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan
pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis,
sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di
dalam tuturan lisan saja.
Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-
istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di
desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Soeharto pemerintah telah
berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas
sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah
tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis.
Kelompok masyarakat
Orang Kanekes memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan
bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan
adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia
luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda
lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping,
dan dangka (Permana, 2001).
Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam),
yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo,
Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna
putih alami dan biru tua (warna tarum) serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang
secara adat untuk bertemu dengan orang asing.
Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar,
warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
Daerah kajang luar adalah daerah yang sudah bisa menerima peradaban teknologi seperti
listrik, berbeda halnya dengan kajang dalam yang tidak dapat menerima peradaban, itulah
sebabnya di daerah kajang dalam tidak ada listrik bukan hanya itu apabila kita ingin masuk
ke daerah kawasan ammatoa (kajang dalam) kita tidak boleh memakai sandal hal ini
dikarenakan oleh sandal yang dibuat dari teknologi.
Bukan hanya itu bentuk rumah kajang dalam dan kajang luar sangat berbeda. Di kajang luar
dapur dan tempat buang airnya terletak di bagian belakang rumah sama halnya dengan
rumah-rumah pada umumnya, tidak seperti dengan kajang dalam (kawasan ammatoa) yang
menempatkan dapur dan tempat buang airnya didepan.
Hal ini dikarenakan pada zaman perang prajurit kajang sering masuk kerumah penduduk
untuk mencari makan itulah sebabnya dapur dan tempat buang air kecilnya ditempatkan
didepan rumah bukan hanya itu agar prajurit juga tidak melihat anak dari pemilik rumah
karena prajurit beranggapan apapun yamg berada di dalam rumah itu adalah miliknya.
Daerah Kajang
juga terkenal
dengan hukum
adatnya yang
sangat kental dan
masih berlaku
hingga sekarang.
Mereka
menjauhkan diri
dari segala sesuatu
yang berhubungan
dengan hal-hal
moderenisasi,
kegiatan ekonomi
dan pemerintahan
Kabupaten
Bulukumba.
Mungkin disebabkan oleh hubungan masyarakat adat dengan lingkungan hutannya yang
selalu bersandar pada pandangan hidup adat yang merekayakini.
Hitam merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan bila kita memasuki
kawasan ammatoa pakaian kita harus berwarna hitam. Warna hitam mempunyai makna bagi
Mayarakat Ammatoa sebagai bentuk persamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam
kesederhanaan. tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya.
Semua hitam adalah sama.
Warna hitam menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di depan sang
pencipta. Kesamaan dalam bentuk wujud lahir, menyikapi keadaan lingkungan, utamanya
kelestarian hutan yang harus di jaga keasliannnya sebagai sumber kehidupan. Oleh karena itu,
kami membuat makalah ini untuk meneliti kehidupan di salah satu desa yang ada di kajang
yaitu desa Lem’banna.
Secara geografis dan administratif, masyarakat adat Kajang terbagi atas Kajang Dalam dan
Kajang Luar. Masyarakat Adat Kajang Dalam tersebar di beberapa desa, antara lain Desa
Tana Toa, Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung dan sebagian wilayah Desa
Tambangan. Kawasan Masyarakat Adat Kajang Dalam secara keseluruhan berbatasan dengan
Tuli di sebelah Utara, dengan Limba di sebelah Timur, dengan Seppa di sebelah Selatan, dan
dengan Doro di sebelah Barat. Sedangkan Kajang Luar tersebar di hampir seluruh Kecamatan
Kajang dan beberapa desa di wilayah Kecamatan Bulukumba, di antaranya Desa Jojolo, Desa
Tibona, Desa Bonto Minasa dan Desa Batu Lohe (Aziz, 2008).
Namun, hanya masyarakat yang tinggal di kawasan Kajang Dalam yang masih sepenuhnya
berpegang teguh kepada adat Ammatoa. Mereka memraktekkan cara hidup sangat sederhana
dengan menolak segala sesuatu yang berbau teknologi. Bagi mereka, benda-benda teknologi
dapat membawa dampak negatif bagi kehidupan mereka, karena bersifat merusak kelestarian
sumber daya alam. Komunitas yang selalu mengenakan pakaian serba hitam inilah yang
kemudian disebut sebagai masyarakat adat Ammatoa (Widyasmoro, 2006).
Masyarakat adat suku Kajang terletak di Kabupaten Bulukumba, provinsi Sulawesi Selatan.
Bulukumba merupakan sebuah kabupaten yang berada di ‘kaki’ Pulau Sulawesi, kurang lebih
200 km arah selatan Kota Makassar, ibukota provinsi Sulawesi Selatan.
Rumah adat suku Kajang berbentuk rumah panggung, tak jauh beda bentuknya dengan rumah
adat suku Bugis-Makassar. Bedanya, setiap rumah dibangun menghadap ke arah barat.
Membangun rumah melawan arah terbitnya matahari dipercayai mampu memberikan berkah.
Dalam hal perkawinan, masyarakat adat Kajang terikat oleh adat yang mengharuskan
menikah dengan sesama orang dalam kawasan adat. Jika tidak maka mereka harus hidup di
luar kawasan adat, pengecualian bagi pasangan yang bersedia mengikuti segala aturan dan
adat-istiadat yang berlaku di dalam kawasan adat. Hal tabu lainnya adalah memasukkan
barang-barang buatan manusia yang tinggal di luar kawasan adat serta pengaruh maupun
bentuk-bentuk lainnya ke dalam kawasan adat (Adhan, 2005: 283)
Beberapa sumber lain yang membahas mengenai sejarah asal usul Anak Dalam yaitu disertasi
Muntholib Soetomo yang memaparkan mengenai asal usul suku Anak Dalam berawal dari
cerita seorang yang gagah berani bernama Bujang Perantau.
Selain itu berdasarkan Dirjen Bina Masyarakat Terasing Depsos RI, 1998 :55-56, secara
mitologi, suku Anak Dalam masih menganggap satu keturunan dengan Puyang Lebar
Telapak yang berasal dari Desa Cambai, Muara Enim.
Menurut Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990) menyebutkan asal
usul Suku Anak Dalam yaitu: Sejak Tasun 1624, Kesultanan Palembang dan Kerajaan Jambi
yang sebenarnya masih satu rumpun memang terus menerus bersitegang dan pertempuran di
Air Hitam akhirnya pecah pada tahun 1629. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini ada dua
kelompok masyarakat Anak Dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat tinggal dan adat
istiadat yang berbeda. Mereka yang menempati belantara Musi Rawas (Sumatera Selatan)
berbahasa Melayu, berkulit kuning dengan postur tubuh ras Mongoloid seperti orang
Palembang sekarang. Mereka ini keturunan pasukan palembang. Kelompok lainnya tinggal di
kawasan hutan Jambi berkulit sawo matang, rambut ikal, mata menjorok ke dalam. Mereka
tergolong ras wedoid (campuran wedda dan negrito).
1. Kubu, merupakan sebutan yang paling populer digunakan oleh terutama orang Melayu dan
masyarakat Internasional. Kubu dalam bahasa Melayu memiliki makna peyorasi seperti
primitif, bodoh, kafir, kotor dan menjijikan. Sebutan Kubu telah terlanjur populer terutama
oleh berbagai tulisan pegawai kolonial dan etnografer pada awal abad ini.
2. Suku Anak Dalam, sebutan ini digunakan oleh pemerintah melalui Departemen Sosial.
Anak Dalam memiliki makna orang terbelakang yang tinggal di pedalaman. Karena itulah
dalam perspektif pemerintah mereka harus dimodernisasikan dengan mengeluarkan mereka
dari hutan dan dimukimkan melalui program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing
(PKMT).
3. Orang Rimba, adalah sebutan yang digunakan oleh etnik ini untuk menyebut dirinya.
Makna sebutan ini adalah menunjukkan jati diri mereka sebagai etnis yang mengembangkan
kebudayaannya yang tidak bisa lepas dari hutan. Sebutan ini adalah yang paling proposional
dan obyektif karena didasarkan kepada konsep Orang Rimba itu sendiri dalam menyebut
dirinya.
Wilayah pemukiman
Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang
Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional
Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatra). Mereka hidup
secara nomaden dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun banyak
dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.
Adat istiadat
Suku Anak Dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya diatur dengan aturan, norma dan
adat istiadat yang berlaku sesuai dengan budayanya. Dalam lingkungan kehidupannya
dikenal istilah kelompok keluarga dan kekerabatan, seperti keluarga kecil dan keluarga besar.
Keluarga kecil terdiri dari suami istri dan anak yang belum menikah. Keluarga besar terdiri
dari beberapa keluarga kecil yang berasal dari pihak kerabat istri. Anak laki-laki yang sudah
kawin harus bertempat tinggal dilingkungan kerabat istrinya. Mereka merupakan satu
kesatuan sosial dan tinggal dalam satu lingkungan pekarangan. Setiap keluarga kecil tinggal
dipondok masing-masing secara berdekatan, yaitu sekitar dua atau tiga pondok dalam satu
kelompok.
Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, suku anak anak dalam biasanya melakukan
kegiatan berburu atau meramu, menangkap ikan, dan memanfaatkan buah-buahan yang ada
di dalam hutan namun dengan perkembangan zaman dan adanya akulturasi budaya dari
masyarakat luar, kini beberapa suku anak dalam telah mulai mengenal penegtahuan tentang
pertanian dan perkebunan.
Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang
ada di Jambi dan Sumatera Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh
pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang Melayu) yang ada di Jambi dan Sumatera
Selatan.
Sistem Kepercayaan
Mayoritas suku kubu menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga beberapa puluh
keluarga suku kubu yang pindah ke agama Islam.
Suku Polahi
Setiap suku pasti memiliki ciri khasnya sendiri yang biasanya berbeda antara satu sama lain.
Perbedaan ini bisa berwujud macam-macam, mulai dari tampilan, tradisi-tradisi, sampai
kebiasaan-kebiasaan khusus. Berbicara soal kebiasaan unik, ada sebuah suku di Indonesia
yang cukup terkenal akan hal tersebut. Namanya adalah Polahi dan kebiasaan mereka yakni
melakukan pernikahan sedarah.
Bagi kebanyakan orang hal semacam ini tentu tabu luar biasa. Namun, untuk orang Polahi,
pernikahan sedarah merupakan sesuatu yang umum. Jadi, seperti yang bisa kamu bayangkan,
di suku tersebut adalah lazim ketika mendapati ayah menikahi putrinya sendiri, ibu berkawin
dengan putranya, atau sesama kandung menikah. Tentu kamu bertanya-tanya kenapa bisa
begini. Dan ketika ditelusuri, ternyata kebiasaan pernikahan sedarah itu cukup beralasan.
Lalu, alasan apa sebenarnya yang melandasi terjadinya aksi super tabu di suku tersebut?
Jawabannya bisa kamu temukan lewat ulasan berikut. Simak pula keunikan lain suku Polahi
yang akan membuatmu semakin tercengang.
Pernikahan Sedarah
Polahi
[Image Source]Tentu
ada alasannya kenapa
orang Polahi sampai
harus melakukan itu.
Kalau bicara sebab, kita
harus kembali ke masa
lalu di mana orang-
orang Belanda
melakukan invasi ke
Sulawesi. Jadi,
diketahui orang-orang
Polahi ini adalah
mereka yang kabur dari
jajahan Belanda dan memutuskan untuk tinggal di pedalaman hutan. Mereka bertahan dengan
kondisi itu dalam waktu yang cukup lama.
Lantaran Polahi hanya diisi oleh segelintir orang dan posisinya begitu terpencil, maka
pernikahan yang terjadi pun ya hanya antar mereka saja. Dari sini kemudian kebiasaan
pernikahan sedarah berkembang. Seumpama Polahi tidak terisolasi, maka kemungkinan
untuk pernikahan sedarah sangat kecil mengingat opsi memilih pasangannya lebih luas.
Suku Baduy
Suku Kajang
Suku Polahi
Suku Kubu
Disusun oleh :
Fadli
Abdurohman
2018