Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Penyakit Dangue adalah infeksi akut yang disebabkan oleh arbovirus (arthropadborn virus)
dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes (Aedes albopictuse dan Aedes aegypti). Demam
berdarah dengue atau biasa disingkat DBD (Dengue Hemorrhagic Fever / DHF) adalah suatu
penyakit trombositopenia infeksius akut yang parah, sering bersifat fatal, penyakit febril yang
disebabkan virus dengue. Pada DBD terjadi pembesaran plasma yang ditandai hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan tubuh, abnormalitas hemostasis, dan pada kasus
yang parah, terjadi suatu sindrom renjatan kehilangan protein masif (dengue shock syndrome),
yang dipikirkan sebagai suatu proses imunopatologik (Halstead, 2007).
Demam Berdarah Dengue adalah penyakit demam berdarah akut yang terutama menyerang
anak-anak dengan manifestasi klinisnya perdarahan dan menimbulkan syok yang dapat berakibat
kematian. Nyamuk Aedesaegypti biasanya menggigit baik didalam maupun diluar rumah,
biasanya pagi dan sore hari ketika anak-anak sedang bermain (Gubler, 2009).

B. Etiologi
Penyebab penyakit demam berdarah dangue pada seseorang adalah virus dangue termasuk
family flaviviridae genus Flavivirus yang terdiri dari 4 serotipe, yakni DEN-1, DEN-2, DEN-
3, dan DEN-4. Ke empat serotip ini ada di Indonesia, dan dilaporkan bahwa serotip virus
DEN-3 sering menimbulkan wabah (Syahruman, 1988). Virus DEN termasuk dalam kelompok
virus yang relatif labil terhadap suhu dan faktor kimiawai lain serta masa viremia yang pendek.
Virus DEN virionnya tersusun oleh genom RNA dikelilingi oleh nukleokapsid, ditutupi oleh
suatu selubung dari lipid yang mengandung 2 protein yaitu selubung protein E dan protein
membrane M.
DBD / DHF disebabkan ditularkan oleh nyamuk aides, di Indonesia dikenal dua jenis
nyamuk aides yaitu :
1. Aides aegypti
a. Paling sering ditemukan
b. Nyamuk yang hidup di daerah tropis, terutama hidup dan berkembang biak di dalam
rumah yaitu di tempat penampungan air jernih atau tempat penampungan air di
sekitar rumah.
c. Nyamuk ini tampak berlurik, berbintik - bintik putih.
d. Biasanya menggigit pada siang hari , terutama pada pagi dan sore hari.
e. Jarak terbang 100 meter.
2. Aedes Albopictus
a. Tempat dan habitatnya di tempat air jernih. Biasanya disekitar rumah atau pohon -
pohon, dimana tertampung air hujan yang bersih yaitu pohon pisang, pandan, kaleng
bekas , dll.
b. Menggigit pada waktu siang hari.
c. Jarak terbang 50 meter.

C. Patofisiologi
Patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang
mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan
hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume plasma menurun lebih dari 20% pada
kasus-kasus berat.
Virus dengue akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan
kemudian akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah kompleks virus antibody, dalam
sirkulasi akan mengaktivasi sistem komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a
dan C5a, dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat
sebagai faktor meningginya permeabilitas dindang pembuluh darah dan menghilangkan
plasma melalui endotel dinding itu.
Terjadinya trombositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor
koagulasi (promtrombin, faktor V, VII, IX, X, dan fibrinogen) merupakan faktor penyebab
terjadinya pendarahan hebat, terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF yang
menentukan beratnya penyakit adalah meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah,
menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia dan diatesis hemoragik.
Renjatan terjadi secara akut. Nilai hemotokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma
melalui endotel dinding pembuluh darah. Dan dengan hilangnya plasma klien mengalami syok
hypovolemik. Apabila tidak diatasi bisa terjadi anoksia jaringan, asidosis metabolik dan
kematian.
Virus dangue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes aegypty atau
Aedes albopictus dengan organ sasaran adalah organ hepar, nodus limfaticus, sumsum tulang
belakang, dan paru. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit
perifer. Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi dalam sel tersebut.
Infeksi virus dangue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke dalam sel
dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponen-komponenya.
Setelah terbentuk, virus dilepaskan dari sel. Proses perkembangbiakan sel virus DEN terjadi
di sitoplasma sel. Infeksi oleh satu serotip virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap
serotype tersebut tetapi tidak ada cross protectif terhadap serotip virus yang lain (Kurane &
Francis, 1992).
Beberapa teori mengenai terjadinya DBD antara lain adalah:
a. Teori Antigen Antibodi
Virus dangue dianggap sebagai antigen yang akan bereaksi dengan antibody,
membentuk virus antibody kompleks (komplek imun) yang akan mengaktifasi komplemen.
Aktifasi ini akan menghasilkan anafilaktosin C3A dan C5A yang akan merupakan mediator
yang mempunyai efek farmakologis cepat dan pendek. Bahan ini bersifat fasoaktif dan
prokoagulant sehingga menimbulkan kebocoran plasma (hipovolemik syok dan
perdarahan. (Soewandoyo, 1998).
b. Teori Infection Enhancing Antibody
Teori ini berdasarkan pada peran sel fagosit mononuclear merangsang terbentuknya
antibody nonnetralisasi. Antigen dangue lebih banyak didapat pada sel makrofag yang
tinggal menetap di jaringan. Pada kejadian ini antibody nonnetralisasi berupaya melekat
pada sekeliling permukaan sel makrofag yang beredar dan tidak melekat pada sel makrofag
yang menetap di jaringan. Makrofag yang dilekati antibody nonnetralisasi akan memiliki
sifat opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel mudah terinfeksi.
Makrofag yang terinfeksi akan menjadi aktif dan akan melepaskan sitokin yang
memiliki sifat vasoaktif atau prokoagulasi. Bahan-bahan mediator tersebut akan
mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh darah dan system hemostatik yang akan
mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan. (Wang, 1995).
c. Teori mediator
Teori mediator didasarkan pada beberapa hal:
1) Kelanjutan dari teori antibody enhancing, bahwa makrofag yang terinfeksi virus
mengeluarkan mediator atau sitokin. Fungsi dan mekanismme sitokin kerja adalah
sebagai mediator pada imunitas alami yang disebabkan oleh rangsangan zat yang
infeksius, sebagai regulator yang mengatur aktivasi, proliferasi dan diferensiasi
limfosit, sebagai activator sel inflamasi nonspesifik, dan sebagai stimulator
pertumbuhan dan deferensiasi lekosit matur (Khana, 1990).
2) Kejadian masa krisis pada DBD selama 48-72 jam, berlangsung sangat pendek.
Kemudian disusul masa penyembuhan yang cepat, dan praktis tidak ada gejala sisa.
3) Dari kalangan ahli syok bacterial, mengambil perbandingan bahwa pada syok septic
banyak berhubungan dengan mediator.
PATHWAY DBD

Tersangka DBD

Gejala Klinis
Demam 2-7 hari
Uji Tourniquet (+) atau perdarahan spontan
Laboratorium: Ht tidak meningkat,
Trombositopenia ringan

Pasien tidak dapat minum


D.Pasien masih dapat minum
E.Beri Minum banyak 1-2 liter/ hari
F.atau 1 swndok makan tiap 5 menit
Jenis minum: air putih, teh manis,
jus buah, susu, oralit Pasang Infus NaCl 0,9%: dektrose
Bila suhu > 380 C beri Paracetamol 5%(1:3)
Jika kejang beri anti convulsi Tetesan rumatan sesuai Berat badan
Periksa Ht, Hb, tiap 6 jam,
trombosit tiap 6-12 jam

Monitor gejala klinis dan


laboratorium
Perhatikan tanda syok
Palpasi nadi perifer HT naik dan / atau trombosit turun
Ujur diuresis
Awasi perdarahan
Periksa Hb,Ht dan trombosit tiap 6-
12 jam
Infus ganti RL (tetesan disesuaikan)

Perbaikan klinis dan laboratorium:

Pulang (Kriteria memulangkan pasien)


Tidak demam selama 24 jam tanpa
antipiretik
Nafsu makan membaik, secara klinis
tampak perbaikan
Hematokrit stabil, jumlah > 50.000/uL
3 hari setelah syock teratasi, tidak
dijumpai distress nafas

Gambar: Alur DBD (Sumber: DepKes RI, 2005)


D. Klasifikasi
WHO (1997) membagi DBD menjadi 4 (Vasanwala dkk, 2011):
a. Derajat 1
Demam tinggi mendadak (terus menerus 2-7 hari) disertai tanda dan gejala klinis (nyeri ulu
hati, mual, muntah, hepatomegali), tanpa perdarahan spontan, trombositopenia dan
hemokonsentrasi, uji tourniquet positif.
b. Derajat 2
Derajat 1 dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain seperti mimisan,
muntah darah dan berak darah.
c. Derajat 3
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah rendah
(hipotensi), kulit dingin, lembab dan gelisah, sianosis disekitar mulut, hidung dan jari (tanda-
tand adini renjatan).
d. Renjatan berat (DSS) / Derajat 4
Syok berat dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.

E. Manifestasi Klinis
a. Demam
Demam berdarah dengue biasanya ditandai dengan demam yang mendadak tanpa sebab
yang jelas, continue, bifasik. Biasanya berlangsung 2-7 hari (Bagian Patologi Klinik,
2009). Naik turun dan tidak berhasil dengan pengobatan antipiretik. Demam biasanya
menurun pada hari ke-3 dan ke-7 dengan tanda-tanda anak menjadi lemah, ujung jari,
telinga dan hidung teraba dingin dan lembab. Masa kritis pda hari ke 3-5. Demam akut
(38°-40° C) dengan gejala yang tidak spesifik atau terdapat gejala penyerta seperti ,
anoreksi, lemah, nyeri punggung, nyeri tulang sendi dan kepala.
Gambar: Kurva suhu pada DHF
b. Perdarahan
Manifestasi perdarahan pada umumnya muncul pada hari ke 2-3 demam. Bentuk
perdarahan dapat berupa: uji tourniquet positif yang menandakan fraglita kapiler meingkat
(Bagian Patologi Klinik, 2009). Kondisi seperti ini juga dapat dijumpai pada campak,
demam chikungunya, tifoid, dll. Perdarahan tanda lainnya ptekie, purpura, ekomosis,
epitaksis dan perdarahan gusi, hematemesisi melena. Uji tourniquet positif jika terdapat
lebih dari 20 ptekie dalam diameter 2,8 cm di lengan bawah bagian volar termasuk fossa
cubiti.
c. Hepatomegali
Ditemukan pada permulaan demam, sifatnya nyeri tekan dan tanpa disertai ikterus.
Umumnya bervariasi, dimulai dengan hanya dapat diraba hingga 2-4 cm di bawah
lengkungan iga kanan (Bagian Patologi Klinik, 2009). Derajat pembesaran hati tidak
sejajar dengan beratnya penyakit namun nyeri tekan pada daerah tepi hati berhubungan
dengan adanya perdarahan.
d. Renjatan (Syok)
Syok biasanya terjadi pada saat demam mulai menurun pada hari ke-3 dan ke-7 sakit. Syok
yang terjadi lebih awal atau periode demam biasanya mempunyai prognosa buruk (Bagian
Patologi Klinik, 2009). Kegagalan sirkulasi ini ditandai dengan denyut nadi terasa cepat
dan lemah disertai penurunan tekanan nadi kurang dari 20 mmHg. Terjadi hipotensi dengan
tekanan darah kurang dari 80 mmHg, akral dingin, kulit lembab, dan pasien terlihat gelisah.
e. Mual, mual, tidak ada napsu makan, diare, konstipasi
f. Nyeri otot, tulang sendi, abdomen, dan ulu hati
g. Sakit kepala

F. Menifestasi Klinis Khas DHF pada Anak


Pada anak dengan DHF, manifestasi klinis yang paling umum yaitu demam. Tipe demam
yang sebagian besar terjadi adalah demam tinggi secara terus-menerus yang berlangsung rata-
rata 5,47 hari (4-7 hari). Disamping itu, manifestasi yang utama berupa ruam gatal. Manifestasi
lain yang sering muncul yaitu mual, muntah, tidak nafsu makan, sakit perut, perdarahan, dan
hepatomegali. Pada penelitian Dhooria, manifestasi perdarahan paling banyak berupa peteki.
Berbeda dengan penelitian Shahidulalam, perdarahan yang paling banyak terjadi adalah
perdarahan subconjunctival. Sedangkan beberapa penelitian yang lain menyatakan bahwa
perdarahan gastrointestinal merupakan manifestasi perdarahan terbanyak.
Jumlah trombosit pada penelitian Dhooria didapatkan bahwa semua pasien kurang dari
100.000/mm3, 59% dengan trombosit, dengan rata-rata jumlah trombosit 51,333/mm3, namun
hanya ada satu anak yang mengalami perdarahan spontan, sehingga tidak didapatkan korelasi
antara trombositopenia dengan perdarahan. Hal ini mengindikasikan bahwa penyebab
perdarahan lebih mengarah ke agregasi trombosit dibanding reduksi. Berbeda dengan
penelitian Shahidulalam yang menyatakan adanya hubungan antara manifestasi perdarahan
dengan trombositopenia. Pasien DBD dengan jumlah trombosit kurang dari 50.000/mm3
memiliki angka kematian enam kali lebih tinggi dibanding pasien dengan jumlah trombosit
lebih dari 50.000/mm3. Pada penelitian Dhooria, kasus hepatomegali didapatkan 60%,
sedangkan pada penelitian Ratageri didapatkan 87%. Dalam studi tersebut, didapatkan pula
rata-rata hematokrit sebesar 35,5% dan hanya 27% kasus memiliki hematokrit lebih dari
40%.30 Sebagian besar pasien merupakan pasien DBD derajat II. Kasus kematian sebesar
3,7% dimana semua pasien tergolong SSD.
Perbedaan DBD pada Anak dan Dewasa Manifestasi klinis demam dengue sangat
bervariasi berdasarkan usia. Bayi dan anak dapat berupa demam dengan ruam. Pada anak lebih
besar dan dewasa terjadi demam ringan atau gejala klasik dengan demam tinggi mendadak,
sakit kepala berat, nyeri retroorbita, nyeri otot dan sendi, dan ruam. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa usia muda dan tua berhubungan dengan dengue berat. Menurut
rekomendasi WHO untuk tatalaksana bayi dan orang tua termasuk dalam pasien kelompok B
yang harus dirujuk ke rumah sakit. Di samping itu, menurut penelitian Samantha dkk tahun
2005, manifestasi klinis yang berat lebih banyak terjadi pada bayi dan anak dibanding dewasa
sehingga cenderung berkembang menjadi DBD/SSD. Manifestasi demam terjadi lebih lama
pada anak. Untuk manifestasi trombositopenia, syok, dan kebocoran plasma cenderung lebih
banyak pada anak dan menurun seiring bertambahnya usia. Terjadinya pembesaran hepar juga
lebih banyak pada anak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada anak dan dewasa oleh
Guzman, risiko kematian kasus DBD/SSD lebih tinggi pada bayi dan orang tua ≥50 tahun.
Hal ini menunjukkan pola bipolar risiko kasus kematian pada penyakit DBD. Sedangkan risiko
kematian pada anak usia 3-14 tahun hampir mencapai 15 kali dibanding dewasa muda usia 15-
39 tahun.

G. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah
1) Kadar trombosit darah menurun (trombositopenia) (≤ 100000/µI)
2) Hematokrit meningkat ≥ 20%, merupakan indikator akan timbulnya renjatan. Kadar
trombosit dan hematokrit dapat menjadi diagnosis pasti pada DBD dengan dua kriteria
tersebut ditambah terjadinya trombositopenia, hemokonsentrasi serta dikonfirmasi
secara uji serologi hemaglutnasi (Brasier, Ju, Garcia, Spratt, Forshey, Helsey, 2012).
3) Hemoglobin meningkat lebih dari 20%.
4) Lekosit menurun (lekopenia) pada hari kedua atau ketiga
5) Masa perdarahan memanjang
6) Protein rendah (hipoproteinemia)
7) Natrium rendah (hiponatremia)
8) SGOT/SGPT beisa meningkat
9) Asidosis metabolic
10) Eritrosit dalam tinja hampir sering ditemukan
b. Urine
Kadar albumine urine positif (albuminuria) (Vasanwala, Puvanendran, Chong, Ng, Suhail,
Lee, 2011).
c. Foto thorax
Pada pemeriksaan foto thorax dapat ditemukan efusi pleura. Umumnya posisi lateral
dekubitus kanan (pasien tidur di sisi kanan) lebih baik dalam mendeteksi cairan
dibandingkan dengan posisi berdiri apalagi berbaring
d. USG
Pemeriksaan USG biasanya lebih disukai pada anak dan dijadikan sebagai pertimbangan
karena tidak menggunakan system pengion (Sinar X) dan dapat diperiksa sekaligus
berbagai organ pada abdomen. Adanya acites dan cairan pleura pada pemeriksaan USG
dapat digunakan sebagai alat menentukan diagnose penyakit yang mungkin muncul lebh
berat misalnya dengan melihat ketebalan dinding kandung empedu dan penebalan
pancreas.
e. Diagnosis Serologis
1) Uji hemaglutinasi inhibisi (Uji HI)
Tes ini adalah gold standard pada pemeriksaan serologis, sifatnya sensitive namun
tidak spesifik artinya tidak dapat menunjukkan tipe virus yang menginfeksi. Antibody
HI bertahan dalam tubuh lama sekali (>48 tahun) sehingga uji ini baik digunakan pada
studi serologi-epidemioligi. Untuk diagnosis pasien, Kenaikan titer konvalesen 4x lipat
dari titer serum akut atau titer tinggi (> 1280) baik pada serum akut atau konvalesen
daianggap sebagai presumtif (+) atau di dugan keras positif infeksu dengue yang baru
terjadi (Vasanwala dkk, 2011).
2) Uji komplemen fiksasi (uji CF)
Jarang digunakan secara rutin karena prosedur pemeriksaannya rumit dan butuh tenaga
berpengalaman. Antibodi komplemen fiksasi bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2-3
tahun).
3) Uji neutralisasi
Uji ini paling sensitif dan spesifik untuk virus dengue. Biasanya memamkai cara Plaque
Reduction Neutralization Test (PNRT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque
yang terjadi. Anti body neutralisasi dapat dideteksi dalam serum bersamaan dengan
antibody HI tetapi lebih cepat dari antibody komplemen fiksasi dan bertahan lama (>4-
8 tahun). Prosedur uji ini rumit dan butuh waktu lama sehingga tidak rutin digunakan
(Vasanwala dkk, 2011).
4) IgM Elisa (Mac Elisa, IgM captured ELISA)
Banyak sekali dipakai. Uji ini dilakukan pada hari ke-4-5 infeksi virus dengue karena
IgM sudah timbul kamudian akan diikuti IgG. Bila IgM negative uji ini perlu diulang.
Apabila hari sakit ke-6 IgM msih negative maka dilaporkan sebagai negative. IgM
dapat bertahan dalam darah samapi 2-3 bulan setelah adanya infeksi. Sensitivitas uji
Mac Elisa sedikit di bawah uji HI dengan kelebihan uji Mac Elisa hanya memerlukan
satu serum akut saja dengan spesifitas yang sama dengan uji HI (Vasanwala dkk, 2011).
5) Identifikasi Virus
Cara diagnostic baru dengan reverse transcriptase polymerase chain reaction (RTPCR)
sifatnya sangat sensitive dan spesifik terhadap serotype tertentu, hasil cepat didapat dan
dapat diulang dengan mudah. Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari specimen yang
berasal dari darah, jaringan tubuh manusia, dan nyamuk. Sensitifitas PCR sama dengan
isolasi virus namun PCR tidak begitu dipengaruhi oleh penanganan specimen yang
kurang baik bahkan adanya antibody dalam darah juga tidak mempengaruhi hasil dari
PCR (Vasanwala dkk, 2011).

H. Kebutuhan Cairan pada Anak


1. Kebutuhan cairan pada bayi per kg BB
Umur Rata-rata kebutuhan air/ Kg BB/ 24 jam
6 bulan 130-140 ml
9 bulan 125-145
1 tahun 120-135
Kebutuhan intake cairan berbeda-beda pada berbagai usia, berhubungan dengan
luasnya permukaan tubuh, kebutuhan metabolik dan berat badan
2. Kebutuhan intake cairan berdasarkan umur dan berat badan
No. Umur BB (Kg) Kebutuhan Cairan

1 3 hari 3 25-300

2 1 tahun 9,5 1150-1300

3 2 tahun 11,8 1350-1500

4 6 tahun 20 1800-2000

5 10 tahun 28,7 2000-2500

6 14 tahun 45 2200-2700

7 18 tahun 54 2200-2700

3. Rumus Kebutuhan Cairan Anak dalam 24 Jam


Kebutuhan cairan adalah bagian dari kebutuhan dasar manusia secara fisilogi kebutuhan
ini memiliki proporsi besar dalam bagian tubuh dengan hampir 90% dari total berat badan.
a. Rumus Kebutuhan Cairan
1) < 10 Kg = 100 cc/kg BB
2) 10-20 Kg = 1000 cc + 50 cc/kg BB
(BB – 10 kg x 50)
3) >20 kg = 1500 cc + 20 cc/kg BB
(BB -20 kg x 20)
Contoh:
Seorang anak dengan berat badan 9 kg. Berapa kebutuhan cairan dalam 24 jam?
Jawab : 100 cc x 9 kg = 900 cc/24 jam
Seorang anak dengan berat badan 12 kg. Berapa kebutuhan cairan dalam 24 jam?
Jawab : 1000 cc + 50 cc/kgbb (BB-10 x 50)
1000 cc + (12-10x50) = 1000 cc + 100 = 1100 cc/ 24 jam
Seorang anak dengan berat badan 30 kg. Berapa kebutuhan cairan dalam 24 jam?
Jawab : 1500 cc + 20 cc/kgbb (BB-20 kg x20)
1500 cc + (30-20kg x20) = 1500 cc + 200 = 1700 cc/jam
b. Rumus IWL Anak dalam 24 jam
IWL (Insensible water loss) adalah hilangnya cairan yang tidak dapat dilihat melalui
evorasi dan respirasi.
Rumus IWL = 25 % dari kebutuhan cairan / hasil kebutuhan cairan x 0.25

Contoh :
Seorang anak dengan berat badan 9 kg. Kebutuhan cairan dalam 24 jam adalah 900
cc/24 jam. Berapa IWL anak tersebut?
Jawab : IWL= 900 x 0.25 = 225 cc/24jam
Seorang anak dengan berat badan 12 kg. Kebutuhan cairan dalam 24 jam adalah 1100
cc/24 jam. Berapa IWL anak tersebut?
Jawab : IWL= 1100 x 0.25 = 275 cc/24 jam
Seorang anak dengan berat badan 30 kg. Kebutuhan cairan dalam 24 jam adalah 1700
cc/24 jam. Berapa IWL anak tersebut?
Jawab : IWL= 1700 x 0.25 = 425 cc/24jam

I. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue pada Anak


Sebagian besar anak dapat dirawat di rumah dengan memberikan nasihat perawatan pada orang
tua anak. Berikan anak banyak minum dengan air hangat atau larutan oralit untuk mengganti
cairan yang hilang akibat demam dan muntah. Berikan parasetamol untuk demam. Jangan
berikan asetosal atau ibuprofen karena obat-obatan ini dapat merangsang perdarahan. Anak
dibawa ke rumah sakit bila demam tinggi, kejang, tidak bisa minum, muntah terus-menerus.
1. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue tanpa syok
a. Anak dirawat di rumah sakit
1) Berikan anak banyak minum larutan oralit atau jus buah, air tajin, susu, untuk
mengganti cairan yang hilang akibat kebocoran plasma, demam, muntah/diare.
2) Berikan parasetamol bila demam. Jangan berikan asetosal atau ibuprofen karena
obat-obatan ini dapat merangsang terjadinya perdarahan.
3) Berikan infus sesuai dengan dehidrasi sedang:
a) Berikan hanya larutan isotonik seperti Ringer laktat/asetat
Kebutuhan cairan parenteral
Berat badan < 15 kg : 7 ml/kgBB/jam
Berat badan 15-40 kg : 5 ml/kgBB/jam
Berat badan > 40 kg : 3 ml/kgBB/jam
b) Pantau tanda vital dan diuresis setiap jam, serta periksa laboratorium
(hematokrit, trombosit, leukosit dan hemoglobin) tiap 6 jam
c) Apabila terjadi penurunan hematokrit dan klinis membaik, turunkan jumlah
cairan secara bertahap sampai keadaan stabil. Cairan intravena biasanya hanya
memerlukan waktu 24–48 jam sejak kebocoran pembuluh kapiler spontan
setelah pemberian cairan. Apabila terjadi perburukan klinis berikan tatalaksana
sesuai dengan tata laksana syok terkompensasi (compensated shock).

b. Intra Hospital di Unit Gawat Darurat


1) Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat
simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi.
Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah
atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan.
Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik
tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD. Parasetamol direkomendasikan
untuk pemberian atau dapat di sederhanakan seperti tertera pada Tabel 1. Rasa haus
dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia
danmuntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup,
susu, serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam
pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-
100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum asi, tetap harus
diberikan disamping larutan oralit. Bila terjadi kejang demam, disamping
antipiretik diberikan antikonvulsif selama demam (DepKes RI, 2005).
Umur (Tahun) Parasetamol (tiap kali pemberian)
Dosis (mg) Tablet (1 tab = 500 mg)

<1 60 1/8
1-3 60-125 1/8-1/4
4-6 125-250 1/4-1/2
7-12 250-500 1/2-1
Tabel 1. Dosisi Parasetamol Menurut umur
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi.
Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-
5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan
laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu
menggambarkan derajat kebocoran plasma danpedoman kebutuhan cairan
intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan
tekanan darah dantekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak
hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit
tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif
walaupun tidak terlalu sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan
Ht, dapat dipertimbangkan dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai
Ht = 3 x kadar Hb (DepKes RI, 2005).
a) Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase
penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya
adalah penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun demikian,
penggantian cairan harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati.
Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada kasus
syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-28 jam
berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit,
danjumlah volume urin (DepKes RI, 2005).
Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin mencukupi
kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan
rumatan ditambah 5-8%. Cairan intravena diperlukan, apabila (1) Anak terus
menerus smuntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak rnungkin
diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga
mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai hematokrit cenderung meningkat pada
pemeriksaan berk ala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat
dehidrasi dankehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam
larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46%
1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan (DepKes RI, 2005).
Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis
cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dankomposisi cairan
yang diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang,
yaitu cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada tabel 2
dibawah ini (DepKes RI, 2005).
Berat Badan waktu masuk Jumlah cairan Ml/kg berat
RS ( kg ) badan per hari
<7 220
7-11 165
12-18 132
>18 88
Tabel 2. Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang (defisit cairan 5 – 8 %)
Pemilihan jenis danvolume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan
berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat
hemokonsentrasi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat
badan ideal untuk anak umur yang sama (DepKes RI, 2005).

2. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue dengan Syok


Syok merupakan Keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang utama
yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat
mengalami syek dan sembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam. Pada penderita
SSD dengan tensi tak terukur dantekanan nadi <20 mm Hg segera berikan cairan kristaloid
sebanyak 20 ml/kg BB/jam seiama 30 menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kg
BB (DepKes RI, 2005).
a) Penggantian Volume Plasma Segera
Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat > 20 ml/kg BB. Tetesan
diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak dengan berat badan lebih,
diberi cairan sesuai berat BB ideal danumur 10 mm/kg BB/jam, bila tidak ada
perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid. Apabila syok belum
dapat teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam
bila tidak ada perbaikan stop pemberian kristaloid danberi cairan koloid (dekstran 40
atau plasma) 10 ml/kg BB/jam. Pada umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30
ml/kg BB. Maksimal pemberian koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada
saat perdarahan. Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dankoloid syok masih
menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka
dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap > tinggi,
maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kg BB/jam) dapat diulang sampai 30
ml/kgBB/ 24 jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infuse dikurangi bertahap
sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit (DepKes RI, 2005).
b) Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume Plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan
kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam
dankemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-
48 jam. Pemasangan CVP yang ada kadangkala pada pasien SSD berat, saat ini tidak
dianjurkan lagi. Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun,
dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebih merupakan
indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik (DepKes RI, 2005).
Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi.
Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi
plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah
pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat
edema paru dangagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini
jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi
yang kuat, tekanan darah normal, dieresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda
terjadinya fase reabsorbsi (DepKes RI, 2005).
c) Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit
Hiponatremia danasidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD, maka
analisis gas darah dankadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila
asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien
menjadi lebih kompleks. Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan
secepatnya dan dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka
perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan
(DepKes RI, 2005).
d) Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok.
Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus diingat
pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen
(DepKes RI, 2005).
e) Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap pasien
syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi
darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit
untuk mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila disertai
hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit(misalnya dari 50% me.njadi 40%) tanpa
perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda
adanya perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan
karena cukup mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembesar trombosit
(DepKes RI, 2005).
Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan KID dan
perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan
masif sehingga dapat menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi seperti waktu
tromboplastin parsial, waktu protombin, dan fibrinogen degradation products harus
diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi terjadinya dan berat ringannya KID.
Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan prognosis (DepKes RI, 2005).
f) Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk
menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah:
- Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau
lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
- Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis pasien
stabil.
- Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,
jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi.
- Jumlah dan frekuensi dieresis
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume
intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum cukup
1 ml/kg/BB, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda
overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka selanjutnya furasemid 1
mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan jumlah diuresis, kadar ureum dankreatinin
tetap harus dilakukan. Tetapi, apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya
syok belum dapat terkoreksi dengan baik, maka pemberian dopamia perlu
dipertimbangkan (DepKes RI, 2005).
Maka dapat di simpulkan :
a. Perlakukan hal ini sebagai gawat darurat. Berikan oksigen 2-4 L/menit secara nasal.
b. Berikan 20 ml/kg larutan kristaloid seperti Ringer laktat/asetat secepatnya.
c. Jika tidak menunjukkan perbaikan klinis, ulangi pemberian kristaloid 20 ml/kgBB
secepatnya (maksimal 30 menit) atau pertimbangkan pemberian koloid 10-
20ml/kgBB/jam maksimal 30 ml/kgBB/24 jam.
d. Jika tidak ada perbaikan klinis tetapi hematokrit dan hemoglobin menurun
pertimbangkan terjadinya perdarahan tersembunyi; berikan transfuse
darah/komponen.
e. Jika terdapat perbaikan klinis (pengisian kapiler dan perfusi perifer mulai membaik,
tekanan nadi melebar), jumlah cairan dikurangi hingga 10 ml/kgBB/jam dalam 2-4
jam dan secara bertahap diturunkan tiap 4-6 jam sesuai kondisi klinis dan
laboratorium.
Dalam banyak kasus, cairan intravena dapat dihentikan setelah 36-48 jam. Ingatlah
banyak kematian terjadi karena pemberian cairan yang terlalu banyak daripada
pemberian yang terlalu sedikit.

3. Tatalaksana komplikasi perdarahan


Jika terjadi perdarahan berat segera beri darah bila mungkin. Bila tidak, beri koloid dan
segera rujuk.

4. Tatalaksana penanganan kelebihan cairan


Kelebihan cairan merupakan komplikasi penting dalam penanganan syok. Hal ini dapat
terjadi karena:
a. Kelebihan dan/atau pemberian cairan yang terlalu cepat
b. Penggunaan jenis cairan yang hipotonik
c. Pemberian cairan intravena yang terlalu lama
d. Pemberian cairan intravena yang jumlahnya terlalu banyak dengan kebocoran yang
hebat.
Tatalaksana penanganan kelebihan cairan berbeda tergantung pada keadaan apakah klinis
masih menunjukkan syok atau tidak:
a. anak yang masih syok dan menunjukkan tanda kelebihan cairan yang berat sangat sulit
untuk ditangani dan berada pada risiko kematian yang tinggi. Rujuk segera.
b. Jika syok sudah pulih namun anak masih sukar bernapas atau bernapas cepat dan
mengalami efusi luas, berikan obat minum atau furosemide intravena 1 mg/kgBB/dosis
sekali atau dua kali sehari selama 24 jam dan terapi oksigen (lihat halaman 302).
c. Jika syok sudah pulih dan anak stabil, hentikan pemberian cairan intravena dan jaga
anak agar tetap istirahat di tempat tidur selama 24–48 jam. Kelebihan cairan akan
diserap kembali dan hilang melalui diuresis.
Pemantauan untuk anak dengan syok : Perawat memeriksa tanda vital anak setiap jam
(terutama tekanan nadi) hingga pasien stabil, dan periksa nilai hematokrit setiap 6 jam.
Dokter harus mengkaji ulang pasien sedikitnya 6 jam.
Pemantauan untuk anak tanpa syok : Perawat memeriksa tanda vital anak (suhu badan,
denyut nadi dan tekanan darah) minimal empat kali sehari dan nilai hematokrit minimal
sekali sehari. Catat dengan lengkap cairan masuk dan cairan keluar. Jika terdapat tanda
berikut: syok berulang, syok berkepanjangan, ensefalopati, perdarahan hebat, gagal hati
akut, gagal ginjal akut, edema paru dan gagal napas, segera rujuk ke rumah sakit.

J. Pencegahan
Pencegahan yang dilakukan meliputi kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), yaitu
kegiatan memberantas jentik ditempat perkembangbiakan dengan cara 3M Plus:
1) Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak mandi / WC,
drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1).
2) Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong air/tempayan, dan lain-
lain (M2).
3) Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan
(M3).
Plusnya adalah tindakan memberantas jentik dan menghindari gigitan nyamuk dengan
cara:
1) Membunuh jentik nyamuk Demam Berdarah di tempat air yang sulit dikuras atau sulit
air dengan menaburkan bubuk Temephos (abate) atau Altosid. Temephos atau Altosid
ditaburkan 2-3 bulan sekali dengan takaran 10 gram Abate ( ± 1 sendok makan
peres) untuk 100 liter air atau dengan takaran 2,5 gram Altosid ( ± 1/4 sendok makan
peres) untuk 100 liter air. Abate dan Altosid dapat diperoleh di puskesmas atau di
apotik.
2) Memelihara ikan pemakan jentik nyamuk.
3) Mengusir nyamuk dengan menggunakan obat nyamuk
4) Mencegah gigitan nyamuk dengan memakai obat nyamuk gosok
5) Memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi
6) Tidak membiasakan menggantung pakaian di dalam kamar
7) Melakukan fogging atau pengasapan bila dilokasi ditemukan 3 kasus positif DBD
dengan radius 100 m (20 rumah) dan bila di daerah tersebut ditemukan banyak jentik
nyamuk.

K. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian yang efektif pada DHF didasarkan pada kemampuan analisis kritis perawat
untuk memprediksikan, mengenali dan menentukan dengan cepat pasien dengan Dengue
Syok Sindrome (DSS) atau potensial Dengue Syok Sindrome sehingga dapat diberikan
penanganan yang cepat pula, karena keterlambatan resusitasi dapat meningkatkan resiko
mortalitas. Hal ini sangat didukung oleh pengetahuan perawat tentang hal-hal yang harus
dikaji pada pasien dengan DHF atau DSS, termasuk manifestasi klinis yang mungkin
muncul dalam setiap tahap dari penyakit tersebut. Secara umum munculnya tanda dan
gejala nyeri atau tenderness pada abdomen, muntah terus menerus, akumulasi cairan
misalnya efusi pleura atau asites, perdarahan mukosa, penurunan kesadaran: letargi,
gelisah, pembesaran liver (≥2cm), peningkatan hematokrit dengan penurunan jumlah
platelet secara cepat merupakan indikator bahwa diperlukan evaluasi medis segera.
CDC (Center Disease Control and Prevention) menjelaskan bahwa fokus pengkajian
untuk kegawatan pada DHF yang dikenal dengan DSS adalah sebagai berikut (CDC, 2010):
a. Riwayat demam
Riwayat demam yang akurat penting untuk ketepatan diagnosis dan membantu prediksi
kehilangan cairan, dan fase penyakit. Terdapat perbedaan karakteristik demam pada :
1) DF demam akut biasanya 2 hari atau lebih
2) DHF : 2-7 hari
3) DSS : penurunan temperatur yang tiba-tiba (>38.0°C menjadi temperatur normal
atau subnormal)
b. Tanda-tanda vital
Tanda-tanda kegawatan/kritis adalah ketika didapatkan nadi cepat dan lemah, tekanan
nadi yang sempit (TD sistolik-TD diastolik <20mm Hg) atau hipotensi berdasarkan
tekanan darah sesuai usia.
c. Pemeriksaan fisik fokus dan manifestasi perdarahan
Kondisi pasien mulai kritis ketika didapatkan tanda-tanda manifestasi klinis perdarahan
atau tes torniquet positif disertai tanda munculnya asites dan atau efusi pleura, kulit dan
ekstremitas teraba dingin, basah, kesadaran menurun (letargi atau gelisah), CRT>2
detik, oliguria, tanda-tanda shock (Phanmeesuk & Suksin, 2009).
d. Pemeriksaan laboratorium
Untuk kewaspadaan, didapatkannya leukopenia dengan onset baru (WBC <5,000
cells/mm3) limfositosis dan peningkatan limfosit yang bersifat atypical,
mengindikasikan dalam 24 jam berikutnya pasien potensial akan masuk dalam fase
kritis. Sedangkan tanda-tanda pasien telah masuk fase kritis adalah ketika tanda dan
gejala pada pengkajian riwayat dan pemeriksaa fisik diatas disertai temuan onset yang
baru dari hasil lab sebagai berikut (Phanmeesuk & Suksin, 2009):
1) Thrombocytopenia (≤100,000 cells per mm3)
2) Hemokosentrasi ( peningkatan hematocrit ≥20% diatas rata-rata sesuai usia atau
penurunan hematocrit ≥20% dari terapi cairan yang diperlukan, hipoproteinemia,
hipokolesterolemia
Deteksi dini menjadi sangat penting karena kesalahan dalam mengenali tanda-tanda
kritis dapat menyebabkan keterlambatan reusitasi cepat yang dapat menyebabkan
pasien masuk kedalam komplikasi atau yang ditandai dengan perdarahan masif dan
gangguan metabolisme seperti hipokalsemia, hipoglikemia, hiperglikemia, asidosis
laktat, dan hiponatremia. Sehingga monitor ketat oleh perawat terhadap volume
intravaskular, fungsi organ vital, dan respon pasien terhadap treatment, jenis cairan
yang masuk, serta kemungkinan sumber perdarahan lainnya menjadi sangat penting.
Maka, untuk keperluan tersebut maka perawat sebagai petugas yang 24 jam didekat
pasien memiliki peran yang signifikan dalam efektifitas observasi tersebut
(Phanmeesuk & Suksin, 2009).
2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
a. Diagnosa Keperawatan : Resiko shock hipovolemik (kurangnya volume cairan)
berhubungan dengan peningkatan permeabilitas.
Ditandai dengan: perubahan status mental, penurunan tekanan darah, peningkatan
frekuensi nadi nadi, kulit/membran mukosa kering, hematokrit meningkat, suhu tubuh
meningkat, konsentrasi urin meningkat, kelemahan.
Kriteria hasil : keseimbangan cairan dan elektrolit dan asam basa tercapai, hidrasi
adekuat.
Intervensi :
1) Autotranfusi pengumpulan dan reinfusi darah yang hilang akibat perdarahan
2) Pengelolaan elektrolit peningkatan keseimbangan elektrolit dan pencegahan
komplikasi akibat kadar elektrolit serum yang tidak normal atau tidak diinginkan
(misalnya : kalsium, kalium, magnesium, natrium dan fosfat dalam serum).
3) Pengelolaan cairan : peningkatan dan analisis data paisen untuk mengatur
keseimbangan cairan
4) Pengelolaan hipovolemia : expansi volume cairan intravaskular pada pasien yang
mengalami penurunan volume.
5) Terapi intravena : Pemberian dan pemantauan cairan dan obat intravena
6) Pengelolaan syok , volume : peningkatan keadekuatan perfusi jaringan pada pasien
yang mengalami masalah volume intravaskular yang berat

Aktifitas Keperawatan
1. Pantau warna, jumlah, dan frekuensi kehilangan cairan
2. Observasi khusus terhadap kehilangan cairan dan elektrolit yang tinggi
3. Pantau perdarahan
4. Identifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap bertambah buruknya dehidrasi
5. Tinjau ulang elektrolit terutama natrium, kalium dan klorida.
6. Kaji orientasi terhadap orang, tempat dan waktu.
7. Pengelolaan cairan (NIC) :
a) Pantau status hidrasi
b) Pantau hasil laboratorium yang relevan dengan keseimbangan cairan
c) Pertahankan keakuratan asupan dan keluaran.

Pendidikan untuk pasien dan keluarga


1) Anjurkan pasien untuk melaporakan kepada perawat bila haus

Aktivitas kolaboratif :
1) laporkan dan catat keluaran (Output)
2) laporkan abnormalitas elektrolit
3) berikan terapi IV sesuai dengan anjuran

b. Diagnosa keperawatan: Peningkatan suhu tubuh lebih dari normal berhubungan


dengan terjadinya viremia (adanya virus dalam darah)
Ditandai dengan : suhu tubuh lebih dari normal (36.5- 37 C), kulit memerah (hiperemi),
RR meningkat, kulit hangat, tachikardi
Kriteria Hasil: Suhu tubuh Normal (36,5-37 C), RR dan nadi normal, perubahan warna
kulit tidak ada.
Intervensi :
1) Pengobatan demam pengelolaan pasien dengan hipertermia yang disebabkan oleh
faktor-faktor yang bukan dari lingkungan
2) Regulasi suhu mencapai dan atau untuk mempertahankan suhu tubuh dalam
rentang normal
3) Pemantauan tanda vital pengumpulan dan analisis data kardiovaskluar, respirasi,
suhu tubuh untuk menentukan serta mencegah komplikasi

Aktivitas Keperawatan
1) Pantau aktivitas kejang
2) Pantau hidrasi
3) Pantau tekanan darah, nadi dan pernafasan
4) Regulasi suhu (NIC) : pantau suhu tubuh minimal tiap 2 jam sesuai dengan
kebutuhan dengan pantau warna kulit dan suhu
Pendidikan untuk pasien dan keluarga
1) Ajarkan indikasi keletihan karena panas dan tindakan kedaruratan yang diperlukan
sesuai dengan kebutuhan

Aktifitas kolaboratif :
1) Berikan obat antipiretik sesuai dengan kebutuhan
2) Gunakan air hangat untuk mengatasi gangguan suhu tubuh sesuai kebutuhan

Aktifitas lain :
1) Lepaskan pakaian yang berlebihn
2) Anjurkan asupan cairan oral
3) Gunakan kompres pada aksila, kening, leher dan lipat paha

c. Diagnosa Keperawatan: Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, diet dan


perawatan pasien DHF sehubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan : Pengetahuan klien/keluarga tentang proses penyakit, diet, perawatan
meningkat sehingga klien/keluarga memperlihatkan perilaku yang kooperatif.
Intervensi:
1) Kaji tingkat pengetahuan klien/keluarga tentang penyakit DHF
2) Kaji latar belakang pendidikan klien/ keluarga.
3) Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan obat-obatan pada klien
dengan bahasa dan kata-kata yang mudah dimengerti.
4) Jelaskan semua prosedur yang akan dilakukan dan manfaatnya pada klien.
5) Berikan kesempatan pada klien/ keluarga untuk menanyakan hal-hal yang ingin
diketahui sehubungan dengan penyakit yang diderita klien.
6) Gunakan leaflet atau gambar-gambar dalam memberikan penjelasan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Demam berdarah adalah masalah kesehatan yang serius karena hamper tiap tahun selalu
ada dan bahkan kadang-kadang meningkat tajam mengarah pada kejadian luar biasa
(KLB). Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk aedes
aegypti. Penyakit demam berdarah dalam keadaan gawat memerlukan pertolongan segera
dan semakin cepat ditolong makin besar kemungkinan untuk sembuh kembali. Pada setting
prehospital masyarakat dan keluarga harus waspada terhadap tanda dan gejala yang
dikeluhkan oleh pasien. Koordinasi dengan instansi terkait, misal dinas kesehatan adalah
penting dalam rangka pencegahan penularan demam berdarah. Peran masyarakat sangat
penting karena tanpa peran serta masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk guna
tindakan pemberantasan penyakit demam berdarah. Untuk dapat merawat pasien DBD
dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang terampil, sarana laboratorium yang
memadai, cairan kristaloid dan koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila
diperlukan. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/DSS terletak pada pengetahuan yang
memadai setiap perawat untuk dapat mengetahui dengan jelas masa peralihan dari fase
demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik.

B. Saran
a. Diperlukan peran masyarakat dan pemerintah secara luas untuk bersama-sama
menjalankan program-program yang telah dibuat dalam penanggulangan DBD.
b. Dibutuhkan peran serta perawat Puskesmas sebagai lini terdepan dalam pencegahan
DBD di lingkungan masyarakat dengan deteksi dini dan peningkatan pendidikan
kesehatan masyarakat terkait DBD.

Anda mungkin juga menyukai