Disusun Oleh :
Kelas : 4EGD
Dosen Pengajar :
2018/2019
TUGAS
Dari catatan Sejarah tilisan dengan huruf Arab yang dibuat oleh priyayi di Palembang
dapat dibaca sebagai berikut : “ Telah di riwayatkan bahwa adalah berpindah beberapa
anak raja-raja dari tanah Jawa ke negeri palembang dengan sebab huru hara Sultan Pajang
menyerang Demak dan adalah bermula menjadi raja di Pelembang dari pada mereka itu
Kiyai geding Suro Tuo anak Kiyai Gedih Siding lautan dan manakalah wafat kiyai
Geding Suro Tuo itu maka digantikan oleh kiyai Geding Suro Mudo anak Kiyai Geding
Ilir dan adalah pada ketika itu semuanya adalah anak-anak raja yang perpindah dari tanah
Jawa di Negeri Palembang
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada orang keturunan pangeran Trenggone
hijra ke Palembang dibawah pimpinan Kiyai Geding Suro Tuo yang menetap dia di
seperkampungan Kuto Gawang Suatu daerah sekitar kampung Palembang lamo.
Sebagaimana diketahui,pangeran Trenggone adalah Putra Raden Fatah,Bin Prabu
Kertabumi Brawijaya V dari Majapahit dengan istrinya soerang putri dari Cina,lahir dan
dibesarkan di Palembang di Istana saudarnya lain ibu Ario Dilla. Sejak awal dari
pemerintahan Kiyai Gedeh Sedo Ing Lautan hingga pada masa pangeran Sedo Ing
Rejek,Palembang belum berstatus kesultanan,tetapi berturut-turut masuk wilaya
kekuasaan demak dan mataram.Baru dimasa pangeran Ario Kusumo Abdurohim
palembang ,memutuskan hubungan dengan mataram dan beliau ini pula yang mendirikan
kesultanan Palembang Darusalam. Pangeran Ario Kusuma ( Ki Mas Hindi ) adalah Sultan
Palembang yang pertama dengan Gelar sultan AbdurahmanKholifatul Mukminin Syyidul
yang memerintah dari tahun 1659-1706. ( Team Perumus,1980 : 7 )
Yang sebelumnya penguasa palembang dalah kakaknya sendiri Abdurahman yang
sudah melengserkan diri kepedalaman, ke Saka Tiga yang nantinya terkenal dengan
Sunan Candi Walang,yang selanjutnya Ki mas Hindi juga melepaskan diri dari Demak
dan Memproklamirkan Kemerdekaan Kesultanan Palembang Darusalam.( Mahmud,2004 :
47 )
Dan juga berdirinya Kesultanan Palembang pada pertengahan abad ke 16 Masehi,
tidak bisa dilepaskan dari kemelut yang menimpah kerajaan islam Demak yang
mengalami perpecahan akibat perebutan kekuasaan pada tahun 1546 setelah
meninggalnya Sultan Trenggana antara Aria Penangsang dan pengeran Prawata ( anak
pangeran Tranggana ) . ( Jumhari, 2010 : 42 )
Sultan-Sultan Palembang Darusalam
Sultan Ahmad Najamidin I digantikan oleh putra mahkota yang setelah dinobatkan
menjadi sultan Palembang Darusalam bergelar sultan Muhamad Baha’uddin. Raja ini
memerintah dari tahun 1776-1803.raja yang ke VI ini wafat pada hari senin tanggal 21
Zulhija Tahun 1218 H. Sultan Muhamad Bah’udin digantikann oleh putra sulungnya
raden hasan pangeran ratu dengan gelar sultan mahmud badaruddin II sebagai Sultan
Palembang Darusalam yang ke VII dan memerintah dari tahun 1803-1821. Baru
aeminggu memgang tampuk pemerintahan datanglah inggris meyerbu palembang
( 1811 ) .Sultan mahmud badarudin II hijrah ke pedalaman untuk menruskan perang
gerlya,setelah mewakilkan pemerintahan kesultanan kepada adiknya pangeran adipati
dengan gelar Sultan Mudo. oleh Inggris beliau’diakui ‘. Sebagai raja pelembang dengan
gelar Sultan Ahmad Najamudin II,memerintah dari tahun 1812-1813. Dalam tahun
1813,Sultan Mahmud Badaruddin II kembali ke Palembang memegang kampuk
pemerintahan kesultanan (1813-1821). Setelah Sultan mahmud Badaruddin II diasingkan
( 3-7 – 1821 ) beliau digantikan oleh putra sulung sultan Ahmad Najamudin II bernama
Raden Ahmad dengan gelar Sultan Ahmad Najamudin Prabu Anom ( 1821-1823 ).
( Team Perumus, 1980 : 9
Palembang Emas
Warna emas memang mendominasi perabotan ukir khas Palembang. Di bagian
belakang, pengunjung akan diajak untuk melihat beberapa perabotan yang diukir dengan
motif khusus (biasanya bunga teratai) yang kemudian dilapisi cat berwarna emas. Coba lihat
ukiran pelaminan untuk pengantin ini. Indah, bukan?
Bahkan hingga bantalnya pun menggunakan sarung yang dilapisi motif emas.
Begitupun lemari ukir yang berada di sisi kanan dan kiri pelaminan, juga menggunakan
warna emas. Tak heran, motto atau jargon Palembang Emas 2018 juga dipilih oleh
pemerintah sebagai memicu kesuksesan perhelatan Asian Games yang akan dilaksanakan
pada tahun tersebut
Kamar kesultanan.
Di samping pelaminan ada satu set perlengkapan tidur yang konon menggambarkan
kamar di zaman kesultanan Sriwijaya. Kamar yang meriah seperti ini juga masih digunakan
sebagai kamar pengantin. Terlihat kain jumputan (kain khas Palembang lainnya) digunakan
sebagai tabir di dinding belakang.
Kamar kesultana
Adat pernikahan di Palembang untuk di tangan dan kaki menggunakan pewarna yang
terbuat dari daun pacar. Daun pacar ini ditumbuk lalu ditempelkan di kuku tangan dan kaki.
Selain itu ada juga diperlihatkan peralatan menenun kain songket. Songket merupakan
kain khas asli Palembang dan harganya bisa sampai jutaan tergantung tingkat kerumitan dari
motif songket.
Meriam adalah salah satu jenis senjata api yang terbuat dari besi dan perunggu dengan
berbagai bentuk dan ukuran untuk menembak dari jarak jauh. Meriam ini digunakan pada
masa perang tahun 1821 oleh Sultan Mahmud Badarudin.
2. SENJATA TRADISIONAL
Senjata tradisional merupakan produk budaya yang lekat hubungannya dengan suatu
masyarakat. Selain digunakan untuk berlindung dari serangan musuh, senjata tradisional juga
digunakan dalam kegiatan berladang dan berburu pada masa lalu maupun sekarang. Lebih
dari fungsinya, senjata tradisional kini menjadi identitas suatu bangsa yang turut memperkaya
khazanah kebudayaan nusantara. Senjata-senjata tradisonal ini pernah di pakai pada masa
Kesultanan Palembang Darussalam untuk pertahanan diri dari serangan musuh.
3. NASKAH ULU
Naskah adalah segala macam dokumen buatan tangan manusia secara langsung, baik
ditulis maupun diketik, berbeda dari dokumen-dokumen yang dicetak dengan mesin atau
direproduksi dengan cara yang terotomasi atau tidak secara langsung menggunakan tangan
manusia. Naskah Ulu memuat tentang nasehat-nasehat dan aturan kehidupan bermasyarakat
yang di tulis dengan huruf Ulu atau Kaganga di perkirakan berasal dari abad 10 atau 11.
4. PETA MA HUAN
Peta adalah gambaran permukaan bumi pada bidang datar dengan skala tertentu
melalui suatu sistem proyeksi.sedangkan Ma Huan adalah seorang Tiongkok muslim yang
menulis Yingyai Shenglan, kronik perjalanan ekspedisi Cheng Ho pada abad ke-15, dia juga
anak buah
laksamana Cheng Ho. Ia tidak mengikuti seluruh ekspedisi hanya 3 dari 7 yang dilakukan
Cheng Ho hingga sampai ke nusantara,yang tampak dalam peta Dataran Cina,Laut Cina
Selatan,Pulau Bangka dan Palembang tetapi ia menulis banyak tempat yang juga tidak ia
kunjungi. Catatannya mencakup wilayah Indocina, Nusantara, Teluk Benggala, Persia,
Jazirah Arabia, sampai dengan pantai timur Afrika. Ma Huan juga sempat melaksanakan
ibadah haji dalam lawatannya ke Makkah. Dalam sejarah Indonesia, kronik Ma Huan sangat
berharga sebagai sumber informasi mengenai kehidupan sehari-hari di Sumatera dan Jawa
pada masa-masa akhir kejayaan Majapahit di Nusantara.
5. RUMAH LIMAS
Rumah Limas Palembang di luar istana Kesultanan Palembang Darussalam
merupakan tempat tinggal pejabat-pejabat Kesultanan Palembang Darussalam atau orang-
orang yang mampu membuatnya. Hal ini dikarenakan diperlukan biaya yang tidak sedikit
untuk membangun rumah Limas tersebut. Rumah Limas memiliki atap berbentu Joglo yang
terpotong, dengan badan rumah berdinding papan, serta mempunyai ukiran ukiran tertentu.
Terdapat pembagian ruangan yang telah ditentukan sesuai dengan kedudukan. Pada
umumnya keberadaan rumah Limas ini hampir musnah. Salah satu rumah Limas yang masih
berdiri hingga saat ini berada di lokasi Musium Bala Putra Dewa Km 6, Palembang yang
dipindah dari samping Benteng Kuto Besak / Keraton Kesultanan Palembang Darussalam /
Benteng Kuto Anyar / Besak Palembang. Akan tetapi terdapat beberapa bagian dari rumah
Limas tersebut yang tidak dipasang (rumah Limas yang lama dibangun empat tingkat).
Rumah Limas yang lain serta masih belum terlalu banyak perubahan adalah rumah
Limas yang terletak di Jln. Temon, 27 Ilir, Palembang.
6. PAKAIAN ADAT
Busana ini sebenarnya berasal dari masa-masa kesultanan Palembang sekitar abad ke
16 sampai pertengahan abad ke 19, dan dikenakan oleh golongan keturunan raja-raja yang
disebut Priyai. Pakaian kebesaran untuk laki-laki dilengkapi dengan tanjak (tutup kepala)
yang terbuat dari kain batik atau kain tenunan. Tanjak dibedakan atas tanjak kepudang, tanjak
meler dan tanjak bela mumbang. Semuanya terbuat dari kain songket (kain tenunan
tradisional) Palembang.
Baju yang dikenakan disebut kebaya pendek, atau bisa juga mengenakan kebaya
landoong atau kelemkari yaitu kebaya panjang hingga di bawah lutut. Baju ini dibuat dari
kain yang ditenun dan disulam dengan benang emas maupun benang biasa yang berwarna,
atau dapat juga dicap dengan cairan emas perada (diperadan). Pada bagian dalam dikenakan
penutup dada yang disebut kutang, terbuat dari kain yang ditenun, disulam, maupun
diperadan. Tutup dada biasanya diberi hiasan permata.
Pakaian bagian bawah berupa celana panjang yang dinamakan celano belabas, yang
terbuat dari kain yang ditenun. Mulai dari bagian bawah lutut sampai ke arah mata kaki
disulam (diangkeen) dengan benang emas. Ada pula yang disulam dari bagian pinggul
sampai ke mata kaki dengan motif lajur. Jenis celana yang lain disebut dengan celano lok
cuan (celana pangsi; celana yang panjangnya sebatas lutut). Jenis celana ini tidak disulam
dengan benang emas, dan ukuran celananya lebih lebar.
Setelah celana panjang dikenakan selembar kain yang disebut sewet bumpak. Kain ini
dibuat dengan cara ditenun, ditaburi dengan bunga-bunga kecil dari benang emas, serta diberi
tumpal benang emas. Kemudian pada bagian bawah selebar lebih kurang 10 atau 12 cm.
diberi pinggiran benang emas.
Busana ini dilengkapi dengan ikat pinggang yang disebut badong, terbuat dari suasa,
perak, atau tembaga yang dilapisi emas. Pada bagian luarnya ditatah dengan abjad atau
angka-angka Arab, yang diyakini dapat membawa berkah dan keselamatan bagi pemakainya.
Badong yang terkenal disebut badong jadam, yang dianggap jenis yang paling istimewa
karena memiliki khasiat ampuh. Badong ini terbuat dari campuran berbagai bahan logam.
Pelengkap busana yang lain adalah keris. Sarung keris (pendok) terbuat dari emas,
suasa, atau perak dengan tatahan bermotif bunga. Ada juga yang diberi batu permata,
tergantung pada taraf ekonomi pemakainya. Keris ini diselipkan pada lambung sebelah kiri,
dan sarungnya tidak kelihatan karena ditutupi kain atau celana. Hanya seorang raja yang
boleh memakai keris dengan gagangnya menghadap keluar. Busana ini juga dilengkapi
dengan alas kaki jenis terompah.
Pakaian orang laki-laki (wong lanang) terdiri dari kain (sewet), baju (kelambi), tutup
kepala dengan jenisnya disebut tanjak, iket-iket atau kopiah (kopca), dan memakai alas kaki
yang disebut gamparan atau terompah. Selanjutnya busana ini dilengkapi dengan sejenis
senjata tajam, seperti keris, tumbak lado, badeek, rambi ayam, atau jembio. Kain (sewet)
biasanya ditenun sendiri atau dibeli dari pulau Jawa. Demikian juga baju (kelambi) biasa
ditenun sendiri, atau membeli bahan baju dari Jawa, Cina, India, atau Eropa. Laki-laki
Palembang gemar memakai baju jenis bela booloo, yang dibedakan atas tiga jenis yaitu:
memakai kancing (bemben), memakai kantong biasa, dan memakai kantong terawangan.
Tutup kepala juga dibuat sendiri dengan cara ditenun, dan diberi angkinan dari kain
batik yang didatangkan dari Gresik, Lasem, Indramayu, atau Betawi. Saat ini sudah jarang
orang yang memakai tanjak, sebagai gantinya dikenakan kopiah sebagai penutup kepala.
Untuk alas kaki yang berbentuk gamparan terbuat dari potongan kayu yang bermutu, seperti
kayu meranti payo atau ngerawan.
Sebagai pakaian sehari-hari, orang laki-laki umumnya mengenakan kain (sewet
sempol) dan baju beta booloo. Ada juga yang memakai seluar (celana) panjang atau celana
model pangsi (lok cuan). Pada umumnya mereka mengenakan tutup kepala, baik waktu
bepergian maupun ketika sedang di rumah, karena mereka menganggap tutup kepala lebih
penting dari baju. Jenis tutup kepala yang biasa dikenakan adalah kopiah (kopca). Pakaian
untuk di rumah tidak dilengkapi dengan alas kaki.
Busana untuk perempuan (wong betino) terdiri dari kain (sewet saroong), umumnya
batik Betawi atau yang dinamakan sewet mascot. Baju yang dikenakan disebut baju kooroong
(kurung) terbuat dari kain belacu. Baju kurung ini lazim dikenakan oleh perempuan yang
sudah tua, sedangkan perempuan muda memakai baju kebaya. Mereka juga mengenakan
selendang (kemben), yang dikenakan pada kepala, bahu, dada, dan dahi. Untuk ikat pinggang
dikenakan sejenis pending yang disebut badong atau angkin. Tetapi saat ini jenis ikat
pinggang tersebut sudah jarang dikenakan, sebagai penggantinya dipakai setagen (kain kecil
yang sangat panjang yang dikenakan melilit perut, berasal dari Jawa). Sedangkan sebagai alas
kaki dikenakan terompah dengan sulaman klingkan bagi perempuan yang sudah tua, dan
untuk orang muda mengenakan cenela atau selop tungkak tinggi (sandal bertumit tinggi).
Wanita yang sudah
menikah atau yang sudah tua lazim memakai selendang sebagai tutup kepala, yang disebut
koodoong (kerudung) kajang atau koodoong trendak. Namun sejak tahun 1942 koodoong
kajang sudah tidak pernah dipakai lagi, dan mengalami perubahan fungsi sebagai tudung saji
atau tutup makanan. Selendang tersebut biasanya diberi rumbai-rumbai (rumbe rumbe).
9. NASKAH KUNO
KERIS
Keris bukan hanya dikenal masyarakat Pulau Jawa. Beberapa daerah sub etnis Melayu
lainnya juga mengenal senjata jenis tikam ini dalam budayanya, termasuk masyarakat daerah
Sumatera Selatan.
Kendati memiliki bentuk yang sama, namun keris Sumatera Selatan memiliki ciri
khasnya sendiri. Jumlah luk atau lekukannya selalu berjumlah ganjil antara 7 sampai 13 luk
dengan sudut yang lebar. Itulah mengapa keris khas Sumatera Selatan cenderung lebih
panjang dan lancip.
Di masa silam, keris digunakan para pembesar, bangsawan, dan punggawa kerajaan
Sriwijaya sebagai sarana perlindungan diri. Namun, di masa kini ia lebih digunakan sebagai
aksesoris pakaian adat Sumatera Selatan bagi para pengantin pria.
SKIN
Skin adalah senjata tradisional Sumatera Selatan yang diperkirakan berasal dari
akulturasi budaya lokal dengan budaya pedagang Tionghoa dan Asia Timur di masa silam.
Senjata ini tampak seperti Kerambit khas Sumatera Barat, namun ukurannya lebih kecil dan
memiliki 2 bilah tajam.
Skin adalah pisau tajam melengkung yang terbuat dari baja berkualitas. Pegangannya
terbuat dari kayu yang dibaut atau direkatkan pada bilah yang tidak tajam. Sementara di
ujung pegangan terdapat lubang yang digunakan untuk memudahkan penggunaan senjata ini
dengan jari.
Skin termasuk senjata yang digunakan dalam jarak dekat. Biasanya seseorang menggunakan
senjata ini hanya dalam keadaan terdesak. Berikut adalah kenampakan dari senjata khas
Palembang ini.
KHUDOK
Bergeser ke arah hulu, tepatnya dalam budaya masyarakat Pagar Alam, kita akan
menemukan varian senjata tradisional Sumatera Selatan lainnya yang hingga kini masih
eksis. Senjata tersebut bernama khudok.
Khudok adalah sebilah pisau kecil yang bentuknya sama seperti badik Lampung.
Bilahnya ditempa dari bahan logam berkualitas, sementara gagang dan sarungnya dibuat dari
kayu jati. Khudok kerap dibawa para pria, terutama pria muda kemanapun pergi untuk
menjaga diri. Kebiasaan membawa khudok bagi para bujang hingga kini masih tetap ada
khususnya di budaya masyarakat Pagar Alam hulu.
11. ARCA AWALOKITESWARA
Arca ini ditemukan dihalaman belakang rumah bapak Baharudin Icoh, jalan pandawa
lemabang, Palembang pada awal tahun 1970-an. Pada saat ditemukan tangan kanan patah
terkena cangkul. Tampak Arca ini belum selesai dibuat karena belum memakai perhiasan.
Arca Awalokiteswara ini aslinya terbuat dari batuan andesit disimpan di Museum
Nasional). Arca ini dalama posisi berdiri diatas asana tetapi sudah hilang, dan jari-jari lurus
kedepan, mempunyai empat buah tangan tetapi tiga diantaranya telah patah, yang tersisa
hanya tangan kiri belakang membawa sesuatu yang tidak jelas. Menggunakan jubah dibawah
pusat sampai di atas mata kaki dan dibagian tengah kakinya diwaru. Rambut ikal keriting,
panjangnya sebatas tengkuk, sebagian terurai diatas bahu. Mata setengah tertutup (inlook),
hidung mancung, mulut seolah tersenyum dan lubang telinga panjang. Perhiasan terdiri
upawita lebar yang dibentuk pita diatas bahunya. Ikat perut dengan gasper juga berbentuk
pita.
Mahkota yang dikenakan diikat dikepala belakang dan pada mahkota tersebut terdapat
arca amithaba (sebagai bapak rohani atau dewa pelindung) dalam posisi duduk diatas
padmasana terdapat direlung kecil diisi depan mahkota, pada bagian belakang punggung arca
awalokiteswara terdapat sebaris prasasti pendek yang menggunakan bahasa sansekerta
denagn huruf palawa jawa kuno berbunyi : …….ACCARYYA……… dan seterusnya. Arca
awalokiteswara ini diduga berasal dari sekitar abad ke-9 masehi
12. PRASASTI TALANG TUO