Diktat-Anlok-2012 18 12 12 PDF
Diktat-Anlok-2012 18 12 12 PDF
Bidang Instansi /
No Nama lengkap Fakultas/Jurusan
keahlian Perguruan Tinggi
1. Ema Umilia, ST, MT Perenc. Kota FTSP/PWK ITS
2. Belinda U. Aulia, ST, MSc GIS FTSP/PWK ITS
Putu Gde Ariastita, ST, MT Dr. Ir. Eko Budi Santoso, Lic.rer.reg.
NIP. 19780402 200501 1 003 NIP. 19610726 198903 1 004
Menyetujui,
Dekan FTSP
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan YME sehingga DIKTAT MATA KULIAH ANALISA LOKASI DAN
KERUANGAN (RP-09-1209) dapat terselesaikan dengan baik. Diktat ini diharapkan dapat menjadi
panduan mengajar yang lengkap tidak hanya bagi pengajar namun juga berguna bagi mahasiswa
yang mengikuti mata kuliah Analisa Lokasi dan Keruangan. Sehingga diharapkan terdapat
penyempurnaan atau pemutakhiran bahan mengajar baik melalui literatur maupun masukan dalam
proses diskusi belajar-mengajar.
Di dalam penyusunan diktat ini banyak pihak yang telah memberi kepercayaan dan
membantu di dalam pelaksanaanya, untuk itu kami mengucapkan terima kasih.
Penyusun,
2
KERANGKA MATERI DIKTAT
3
BAB Kompetensi Sub bab
komponen kegiatan wilayah dan interaksi keruangan
kota 3. Analisis sistem pusat permukiman dan
komposisi keruangan
4. Aplikasi SIG untuk Analisis interaksi
keruangan
4
BAB 1. TEORI LOKASI DAN KEDUDUKANNYA DALAM PERENCANAAN
WILAYAH DAN KOTA
Sifat Distribusi
Discrete distribution terdiri dari kumpulan kejadian yang berbeda
- rumah, pabrik, pompa bensin ketika dinyatakan secara terpisah dalam suatu area
Continuous distribution bila ada kejadian yang terkait
5
- temperatur udara dan air bersifat kontinyu dalam suatu area tergantung pada
sirkulasi udara
Contingent distribution bila besaran distribusi dinyatakan dalam bentuk area atau waktu
- produksi dinyatakan dalam ton, rupiah per hektar, atau jarak tempuh per jam
Pola Distribusi
Pola Statis: pola distribusi yg menggambarkan waktu tertentu dengan mengukur lokasi,
susunan, dan besaran yg dapat diuraikan untuk kurun waktu tertentu
- distribusi pusat perbelanjaan atau rumah sakit di area metropolitan
Pola Dinamis: pola distribusi menggambarkan perubahan yang terjadi pada periode waktu yg
berbeda
- persebaran permukiman dapat dilihat untuk waktu yg berbeda dan diperbandingkan
Pola Jejaring: pola didefinisikan oleh garis batas atau penghubung (link) antar simpul dalam
suatu sistem transportasi
- sirkuler, heksagonal, linier digunakan untuk menggambarkan jaringan transportasi
Pola Normatif: pola yang “seharusnya” dengan pemberian asumsi tertentu
- mengindikasikan suatu pola yg diuraikan dari prinsip teoritis yg dapat
diperbandingkan dengan pola dunia nyata
6
Struktur Kota: tatanan berbagai aktivitas kota yg dicirikan dari pola penggunaan lahannya
7
1.5. Locational Analysis
Locational analysis was originally the central question of regional economics.
Based on the earlier work of Von Thiinen, Weber, Losch, Christaller and others, locational
analysis has succeeded in developing an impressive series of theoretical contributions and
empirical analyses in order to provide adequate answers to the question where (and why)
specific economic activities are taking place in a given spatial system. (P. NIJKAMP and E. S.
MILLS (1986)
Location Analysis
Location Analysis Tools Help Starbucks Brew Up New Ideas - The phenomenal growth at
Starbucks Coffee Co. has been aided with the help of site selection technology to strengthen
the decision-making process of strategic planning and market development.
8
Faktor-Faktor Penentu Lokasi
Faktor Teknologi: terkait dengan penyediaan infrastruktur (jalan raya, pelabuhan, bandara,
irigasi, etc.)
Faktor Ekonomi dan Geografi: kenyamanan lingkungan, kemampuan membayar (willingness
to pay), akses terhadap pasar, etc.
Faktor Politis: terkait kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, Zoning, Kemudahan
Fiskal, etc.
Faktor Sosial: terkait perilaku masyarakat, sosial-budaya, privasi, etc.
Referensi:
1. Mathijs Assink & Nico Groenendijk (2009) SPATIAL QUALITY, LOCATION THEORY AND
SPATIAL PLANNING, Paper presented at Regional Studies Association Annual Conference
2009, Understanding and Shaping Regions: Spatial, Social and Economic Futures, Leuven,
Belgium, April 6-8, 2009
2. Peter Nijkamp, ed.(1986) HANDBOOK OF REGIONAL AND URBAN ECONOMICS: VOL. 1
REGIONAL ECONOMICS, North-Holland
3. Stefan Nickel, Justo Puerto. (2005). LOCATION THEORY: AN UNIFIED APPROACH. Springer
Verlag. Berlin.
4. Chan, Yupo. 2011. Location Theory and Decision Analysis: Analytics of Spatial Information
Technology. Springer. New York.
9
BAB 2. TEORI LOKASI KLASIK YANG MENJADI DASAR PERKEMBANGAN
PENDEKATAN ANALISIS LOKASI MUTAKHIR
10
Teori-teori lokasi klasik
Pada awalnya (hingga 1950-an), teori lokasi hanya didominasi oleh pendekatan-
pendekatan geografis-lokasional atau disebut sebagai karya-karya teori lokasi klasik (Von
Thunen, Weber, Palander, Hotteling, Predhol, Losch, dan lainnya)
Teori-teori lokasi neoklasik
Setelah tahun 1950-an, teori lokasi berkembang dengan analogi-analogi ilmu
ekonomi umum, dan diperkaya oleh analisis-analisis kuantitatif standar ilmu ekonomi,
khususnya ekonometrika, dynamic model dan model-model optimasi seiring berkembangnya
cabang ilmu regional science.
Perkembangan mutakhir teori lokasi
Sejak akhir 1980-an mulai tumbuh pendekatan-pendekatan metodologis kuantitatif
yang mempertimbangkan aspek spasial, terkait dengan perkembangan metode-metode
statistika spasial, ekonometrika spasial dan SIG.
11
Modified Condition: keberadaan sungai dan sub centre/pasar lainnya (bagan bagian
bawah)
Klasifikasi zona: zona 1-6
Klasifikasi zona:
1. Zona 1: paling mendekati kota/pasar,
diusahakan tanaman yang mudah rusak
(highly perishable), seperti sayuran dan
kentang (free cash cropping)
2. Zona 2: merupakan hutan dengan hasil
kayu (foresting)
3. Zona 3: menghasilkan biji-bijian seperti
gandum, dengan hasil yang relatif tahan
lama dan ongkos transportasi murah
4. Zona 4: merupakan lahan garapan dan
rerumputan yang ditekankan pada hasil
perahan seperti susu, mentega dan keju.
5. Zona 5: untuk pertanian yang berubah-
ubah, dua sampai tiga jenis tanaman
6. Zona 6: berupa lahan yang paling jauh dari
pusat, digunakan untuk rerumputan dan
peternakan domba dan sapi.
Konsep dasar model Von Thunen adalah; membuat kurva hubungan sewa lahan dengan
jarak ke pasar.(Nugroho, 2004)
Sewa lahan / Land Rent adalah nilai atau harga yang dihubungkan dengan aset-aset yang
memberikan aliran produksi san jasa sepanjang lahan dipergunakan (Mills dalam Nugroho,
2004).
Sehingga, sewa lahan merupakan residu (privat profit) dari perolehan-perolehan ekonomi
penggunaan lahan sesudah dikurangi biaya konstruksi dan operasi.
12
Model Von Thuenen
FORMULA SEWA LAHAN :
R = E ( p – a ) – E. f. k
DIMANA:
R = Sewa Lahan
E = Produksi per unit area
p = Harga per unit komoditi
a = Biaya produksi per unit komoditi
f = Ongkos angkut per unit jarak per unit komoditi
k = Jarak terhadap pasar
Konsep dasar model Von Thunen adalah; membuat kurva hubungan sewa lahan dengan
jarak ke pasar.(Nugroho, 2004)
Bila ada lebih dari satu komoditas, maka akan didapati sewa lahan yang paling optimum
untuk setiap komoditas.
13
Gambar 3. Aplikasi Zone Konsentrik Von Thunen
Studi Kasus
Petani menanam jeruk dengan hasil panen 2 ton/ha, sedangkan harga jeruk di pasar Rp. 5 juta/ton
dan biaya produksi Rp. 1.5 juta/ton. Untuk mengangkut jeruk ke pasar diperlukan biaya Rp. 100
ribu/ton/km.
Berapa jauhkah jarak maksimum dari pasar yang memungkinkan petani untuk menanam
jeruk?
Jawaban:....?
R = E ( p – a ) – Efk
R = 2 ( 5 – 1.5) – (2)(0.1)k
asumsi R = 0 artinya sewa lahan Nol/tidak ada privat profit/tidak memungkinkan lagi untuk
menaman jeruk.
0 = 10 – 3 – 0.2k
0.2k = 7 ------- k = 35 km sebagai jarak maksimum
14
Latihan
Komoditas A B C D
Harga Pasar
(Rp/Kg) 600 100 500 600
Hasil
(ton/Ha) 1 3 2,5 1
Biaya Produksi
(Rp/Kg) 400 25 350 550
Biaya Transport
(Rp/Km/Kg) 1,5 2,5 3 2
1. Komoditas apa yang ditanam pada areal yang dekat dengan pasar?
2. Komoditas apa yang paling jauh dari pasar?
3. Gambarkan dalam diagram von thunen kelima komoditas diatas!
15
(buku: Community Economic,Theory & Application)
16
Fenomena Urban Sprawl:
Proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar (Yunus: 125, 2000)
The areal expansion of urban concentrations beyond what they have been. Urban sprawl
involves the conversion of land peripheral to urban center that has previously been used for
non urban uses to one or more urban uses (Notham, 1975)
The continuos expansion around large cities, where by there is always a zone of land that is
in the process of being converted from rural to urban use (Harvey dan Clark, 1971)
The growth of metropolitan area through the process of development of miscellaneous types
of land use in the urban fringe area (Domouchel, 1976)
Faktor Urban Sprawl : Gerak Sentrifugal (Daldjoeni, 1987)
Gerak sentrifugal gerak keluar dari penduduk dan berbagai usahanya dispersi kegiatan
manusia dan relokasi zona-zona kota
Hal yang mendorong gerak sentrifugal (Daldjoeni, 1987):
Gangguan yang berulang, seperti kemacetan dan polusi
Industri modern memerlukan lahan relatif kosong di pinggiran kota
memungkinkan pemukiman tidak padat dan bebas kemacetan
Sewa tanah yang jauh lebih murah dibandingkan dengan di tengah kota
Terbatasnya perluasan ruang keterbatasan lahan di tengah kota
Perumahan di dalam kota umumnya sempit, kuno, tidak sehat perumahan di
pinggir kota dapat lebih sehat, luas, model mutakhir
Sebagian penduduk secara naluri berkeinginan menghuni wilayah di luar kota yang
terasa lebih alami
Model Von Thunen dalam menjelaskan fenomena Urban Sprawl
17
lahan untuk perumahan, industri, komersial meningkat alokasi geografis akan permintaan
lahan juga meningkat.
Dampak Pertumbuhan
Permintaan meningkat akan lahan suplai lahan dengan pengubahan guna lahan
terjadi konversi lahan peningkatan harga lahan pergeseran bid-rent curve pergeseran edge
of city “URBAN SPRAWL”
Model Von Thunen dalam menjelaskan fenomena Urban Sprawl
(buku: Community Economic,Theory & Application)
18
Referensi:
1. Perencanaan dan pengembangan Wilayah (2009), Ernan Rustiadi, Sunsun saefulhakim, Dyah
R. Panuju. Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
2. Perencanaan Pembangunan Wilayah (2005). Robinson Tarigan. Bumi Aksara. Jakarta
3. Pembangunan Wilayah; Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan (2004). Iwan Nugroho
dan Rochmin Dahuri. LP3ES. Jakarta.
4. Community Economic: Theory & Application, second edition.(2004). pengarang: Ron Shaffer,
Steve Deller, Dave Marcouiller. Penerbit: Blackwell Publishing.
19
Perhitungan indeks bahan baku (IB)
IB = Bobot bahan baku local / Bobot produk akhir
Keterangan:
- IB > 1, perusahaan akan berlokasi dekat ke bahan baku,
- IB < 1, perusahaan akan berlokasi dekat ke pasar
Konsep ini dijelaskan dengan menggunakan segitiga lokasional, di mana lokasi optimum (p)
adalah keseimbangan antara kekuatan yang ditimbulkan oleh sumber bahan baku (input 1 dan input
2) dan titik pasar (market). Untuk mengetahui apakah lokasi optimum lebih dekat ke sumber input
atau pasar, digunakan index bahan, yaitu perbandingan berat input bahan lokal dengan berat
produk akhir.
Asumsi teori Weber:
1. Unit studi terisolasi, homogen, konsumen terpusat di titik tertentu, semua unit perusahaan
dapat memasuki pasar yang tidak terbatas (persaingan sempurna).
2. Sumber daya alam: air, pasir, lempung, tersedia di mana-mana (ubiquitous)
3. Bahan lainnya seperti mineral dan biji besi tersedia terbatas pada sejumlah tempat (sporadis)
4. Tenaga kerja tidak tersedia secara luas, mengelompok pada beberapa lokasi dan mobilitasnya
terbatas.
Isodapanes is lines of equal total cost between all points within a production system (equal
sum of isotims)
Gambar 8. Isotim
20
Gambar 9. Isodapane
Referensi:
Alfred Weber and Subsequent Developments in Industrial Location Theory
(http://faculty.washington.edu/krumme/450/weber.html)
21
2.3. Teori Lösch dan Christaller : Central Place Theory
Teori Christaller (1933)
Model Christaller menjelaskan model area perdagangan heksagonal dengan menggunakan
jangkauan atau luas pasar dari setiap komoditi yang dinamakan range dan threshold.
Teori Central Place diperkenalkan pertama kali pada tahin 1933 oleh seorang Geographer Walter
Christaller yang menjelaskan distribusi spasial kota dalam suatu ruang. Pada suatu pusat kotadi Selatan
Jerman, Crhristaller berpendapat bahwa tujuan utama sebuah pusat permukiman atau pasar adalah
menyediakan barang dan jasa untuk populasi di lingkungan sekitarnya. Teori Central place menggunakan
konsep dasar threshold dan range. Lokasi atas suatu tempat ditentukan oleh threshold-nya, atau kebutuhan
area pasar minimum atas suatu barang maupun jasa untuk dapat ditawarkan secara ekonomis, contohnya
membawa sebuah perusahaan dapat mengadakan barang dan jasa dan menjaganya menjadi sebuah bisnis.
Christaller menyarankan bahwa setiap lokasi mengembangkan pasarnya sampai rangenya atau ukuran
maksimum/jarak maksimum dimana konsumen mampu melakukan perjalanan untuk menjangkau suatu
komoditi atau jasa. Dalam kondisi ideal pusat pasar dengan ukuran dan fungsi yang sama akan memiliki jarak
yang sama satu sama lain.
Teori Christaller mengasumsikan kondisi ideal dimana sebuah dataran homogen yang sama dengan
kepadatan populasi dan daya beli yang sama. Dalam hal ini, teori central place mirip dengan teor lokasi Weber
dan Von Thunen, dimana lokasi diasumsikan euclidean, dataran isotropic dengan kemampuan daya beli
konsumen yang sama besar ke segala arah. Christaller menyarankan bahwa barang dan jasa dapat
dikategorikan menjadi rangkaian tingkatan dari kekhususan rendah atau orde dasar (seperti produk pangan)
sampai orde tinggi atau memiliki kekhususan tinggi (seperti sebuah tingkatan layanan kesehatan atau
tingkatan alat-alat rumah tangga maupun kendaraan). Misal: dilakukan kategorisasi atau pengelompokan
produk.
Kelompok 1: diperlukan sehari-hari: produk pangan.
Kelompok 2: diperlukan setiap 3 bulan sekali: sandang, peralatan rumah tangga, dll.
Kelompok 3: diperlukan setahun sekali: furniture.
Kelompok 4: barang mewah, kendaraan.
Semakin tinggi kelompok barang, range dan threshold nya semakin luas. Dalam konsep ruang, makin
luas wilayah pemasaran suatu barang, ordenya semakin tinggi. Pada contoh diatas, barang kelompok 4
22
termasuk pada orde I, barang kelompok 3 sebagai orde II, dst. Masing-masing item atau jasa memiliki optimal
market areanya masing-masing dan dapat digambarkan sebagai sebuah radius lingkaran. Untuk memastikan
bahwa seluruh bagian dataran terlayani, maka seluruh lingkaran market area harus tumpang tindih. Hasil
polanya dapat digambarkan menggunakan bentuk geometrik lingkaran, segi enam, dan segitiga.
Gambar 2.3.2
Gambar 11. Bentuk Heksagon dapat Mengisi Ruang secara Efisien
Asumsi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait teori Christaller adalah terori tersebut berdasar pada
sebuah asumsi dimana model tersebut tidak dapat diterapkan pada situasi yang realistis. Asumsi yang
digunakan adalah:
1. Permukaan bumi datar, tak terbatas, dan memiliki sumber daya yang homogen dimana tersebar
secara merata atau dengan kata lain tidak terdapat perbedaan kondisi geografis;
2. Tidak terdapat batasan administrasi dan politis yang dapat menyimpangkan perkembangan
permukiman
3. Tidak terdapat eksternal ekonomi yang mengganggu pasar
4. Populasi tersebar secara merata diseluruh area dan tidak terdapat pusat permukiman
5. Banyak pedagang kecil menawarkan produk yang sama dan tidak ada keragaman produk
6. Semua pembeli memilik daya beli yang sama
7. Biaya transportasi sama ke semua arah dan ragamnya sebanding dengan jarak
8. Pembeli membayar biaya transportasi produk atau layanan
9. Tidak ada akomodasi untuk inovasi atau kewirausahaan.
23
heksagonal yang tidak sama besarnya akan terjadi tumpang tindih. Terdapat komoditi yang range nya luas,
sedang, atau kecil. Hirarki yang sama memiliki daerah pemasaran yang tidak tumpang tindih, tetapi hirarki
yang berbeda memiliki daerah pemasaran yang tumpang tindih. Berbagai jenis barang pada orde yang sama
cenderung bergabung pada pusat dari wilayahnya sehingga pusat itu menjadi lokasi konsentrasi (kota)/central
place. Pusat dari hirarki yang lebih rendah berada pada sudut dari hirarki yang lebih tinggi sehingga pusat yang
lebih rendah berada pada pengaruh tiga hirarki yang lebih tinggi. Pusat dari beberapa wilayah yang lebih
rendah berada di dalam heksagonal dari pusat yang lebih tinggi.
Walaupun heksagonal hanya menggambarkan wilayah pemasaran dari barang dengan orde yang
berbeda, tetapi christaller mengaitkan teorinya dengan susunan orde perkotaan. Ada kota yang menjual
barang orde IV, III, dst. Kota yang menjual barang orde tertinggi sampai terendah dinyatakan sebagai kota orde
I. Makin rendah orde barang yang bisa disediakan oleh suatu kota, orde kotanya juga makin rendah.
Gambar 12. Konsep Heksagon Christraller yang Mendasari Teori Orde kota
Kondisi ini menimbulkan beberapa kota memiliki orde yang lebih tinggi daripada desa yang memiliki orde yang
lebih rendah. Akhirnya, muncullah konsep hirarki kota. Untuk setiap urutan tertentu, secara teoritis
pemukiman akan memiliki jarak dari satu sama lain. Pemukiman urutan yang lebih tinggi akan lebih jauh
terpisah dari urutan yang lebih rendah.
Aplikasi di Indonesia
Penerapan model Christaller di Indonesia, salah satu contohnya dapat dilihat dari hierarki layanan fasilitas
kesehatan. Di tingkat kecamatan, PUSKESMAS melayani kebutuhan kesehatan masyarakat pada level penyakit
ringan. Di tingkat kabupaten, terdapat RSUP yang melayani kebutuhan kesehatan masyarakat dengan ragam
layanan yang lebih bervariasi sehingga penyakit berat dapat ditangani dan jangkauan layanan yang lebih jauh.
Sedangkan di tingkat propinsi, RSUP mampu memberikan layanan kesehatan lengkap untuk segala macam
penyakit dan jangkauan layanan paling luas.
24
Evaluasi
Apabila dibandingkan dengan kondisi yang sebenarnya terdapat beberapa hal yang perlu dicermati terkait
asumsi yang digunakan oleh Christaller yaitu:
1. Biaya produksi bervariasi, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi saja tetapi juga oleh faktor
ketersediaan SDA
2. Biaya transportasi tidaklah sama ke segala arah
3. Pasar lingkup rumah tangga tidak tersebar secara merata
4. Praktek-praktek kompetisi dapat mengakibatkan terjadinya persaingan pasar tidak sempurna
Losch mengusulkan sebuah model konsumen berdasarkan stuktur administratif dan industri yang
berseberangan dengan pusat layanan Christaller. Didasarkan pada asumsi yang tidak realistik, teori pusat
layanan merupakan sebuah titik awal yang membantu untuk membangun sebuah pemikiran mengenai
perbedaan perkembangan komunitas dan meskipun demikian juga berguna dalam pertimbangan untuk lokasi
perdagangan dan layanan serta ketentuan untuk lokasi barang dan jasa khusus. Konsep dari sebuah penataan
suatu hirarki juga mempertimbangkan dampak jaringan sosial terhadapa aktivitas ekonomi dan pergerakan
orang yang termodifikasi berdasarkan tingkatan hirarki atas layanan yang tersedia. Teori pusat layanan
memberikan sebuah pondasi untuk sebuah bangunan besar penelitian empiris atas kerangka pembangunan
kota dan hal ini berguna untuk pembangunan ekonomi kota dan wilayah yang memiliki isu mengenai lokasi
dan kelangsungan hidup aktivitas ekonomi.
Gambar 13. Keberagaman Fungsi di Metropolis yang Masing-masing memiliki Market Area
Menurut Losch, suatu metrópolis memiliki fungsi yang berragam dan fungsi tersebut memiliki area pasar yang
dibatasi oleh range dan thresholdnya masing-masing. Jadi tidak perlu ditentukan sebuah hirarki pasar karena
akan muncul dengan sendirinya.
25
Gambar 14. Jaringan Kota yang Dibentuk oleh Ragam Fungsi (Aktivitas) yang berbeda
Gambar di atas menunjukkan, bahwa masing-masing fungsi membentuk pangsa pasarnya masing-
masing, yang saling bertumpang tindih dengan pangsa pasar yang lainnya yang akhirnya membentuk
suatu jaringan. Losch berseberangan dengan Christaller dimana ditegaskan bahwa tidak semua orde
tinggi dibentuk oleh konstruksi orde yang lebih rendah.
Referensi
Caves, Roger W. (2005) Encyclopedia of The City, London and New York: Taylor and Francis Group.
Christaller, W. (1966 [1933]) Central Places in Southern Germany (Die zentralen Orte in Süddeutschland), trans. C.W.
Baskin, Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Lösch, A. (1954 [1940]) Economics of Location, trans. William Woglom from 2nd rev. edn, New Haven: Yale University
Press.
26
Jika, demand-nya inelastic (membeli produk pada harga berapa pun) maka B tidak mendapat
keuntungan dari perubahan lokasi ini
Referensi:
Robinson Tarigan, Perencanaan Pembangunan Wilayah, edisi revisi, 2005.
Industrial Location; an Economic Geographical Analysis. David M. Smith, 1971.
27
2.5. Teori Alonso Faktor-faktor Dasar Lokasi
William Alonso extended the Von Thünen model in his book Location and Land Use (1964) and put it
in an urban context. The central market town in the Von Thünen model is interpreted by Alonso as a
city with a Central Business District (CBD) in the city centre. Households must commute there in
order to work in the CBD. Again transportation costs are considered the main explanatory factor in
the location decision of households and enterprises. This so-called bid-rent function approach now
forms the basis of all contemporary theories on land use and land values.
The bid rent theory is a geographical economic theory that refers to how the price and demand for
real estate changes as the distance from the Central Business District (CBD) increases. It states that
different land users will compete with one another for land close to the city center. This is based
upon the idea that retail establishments wish to maximize their profitability, so they are much more
willing to pay more money for land close to the CBD and less for land further away from this area.
This theory is based upon the reasoning that the more accessible an area (i.e., the greater the
concentration of customers), the more profitable.
Bid-rent functions are typically formulated as follows:
A household is supposed to spend its income on three things:1) land, 2) transportation costs and 3)
all other goods. The household requires a location in a simplified city, which is monocentric, uniform,
and in which markets are competitive. Employment, goods, and services are only available in the city
centre. For an individual household the prices of land are given. Land prices are supposed to
decrease with increasing distance from the city centre, which is “essentially true for most cities” and
a requirement for the market equilibrium.
28
Gambar 17. Bid Rent Curve
Land users all compete for the most accessible land within the CBD. The amount they are willing to
pay is called "bid rent". The result is a pattern of concentric rings of land use, creating the Concentric
zone model.
It could be assumed that, according to this theory, the poorest houses and buildings will be on the
very outskirts of the city, as that is the only place that they can afford to occupy. However, in
modern times this is rarely the case, as many people prefer to trade off the accessibility of being
close to the CBD, and move to the edges of the settlement, where it is possible to buy more land for
the same amount of money (as Bid Rent states). Likewise, lower income housing trades off greater
living space for greater accessibility to employment. For this reason low income housing in many
North American cities, for example, is often found in the inner city, and high income housing is at the
edges of the settlement.
Though later used in the context of urban analysis, though not yet using this term, the bid rent
theory was first developed in an agricultural context. One of the first theoreticians of bid rent effects
was probably David Ricardo, according to whom the rent on the most productive land is based on its
advantage over the least productive, the competition among farmers ensuring that the full
advantages go to the landlords in the form of rent. Later, this theory was developed by J. H. von
Thünen who combined it with the notion of transport costs. His model implies that rent at any
location is equal to the value of its product minus production costs and transport costs. Admitting
that transportation costs are constant for all activities, this will lead to a situation where activities
with the highest production costs are located near to the market place. Those with low production
costs will be farther away.
29
The concentric land-use structure thus generated closely resembles the urban model described
above: CBD - high residential - low residential. This model, introduced by William Alonso, was
inspired by von Thünen's model.
Land users, whether they be retail; office; or residential, all compete for the most accessible land
within the CBD. The amount they are willing to pay is called bid rent. This can generally be shown in
a ‘bid rent curve’. Based upon the reasoning that the more accessible the land, generally in the
centre, is the more expensive land.
Commerce (in particular large department stores/chain stores) is willing to pay the greatest rent to
be located in the inner core. The inner core is very valuable for them because it is traditionally the
most accessible location for a large population. This large population is essential for department
stores, which require a considerable turnover. As a result, they are willing and able to pay a very
high land rent value. They maximise the potential of their site by building many stories.
As one goes farther from the inner core, the amount commerce is willing to pay declines rapidly.
Industry, however, is willing to pay to be in the outer core. There is more land available for their
factories, but they still have many of the benefits of the inner core, such as a market place and good
communications.
As one goes farther out, the land becomes less attractive to industry because of the reducing
communication links and a decreasing market place. Because householders do not rely heavily on
these and can now afford the reduced costs (when compared with the inner and outer core),they
can purchase land. The further from the inner core and, the cheaper the land. This is why inner city
areas are very densely populated (terraces, flats and high rises), whilst the suburbs and rural areas
are sparsely populated (semi and detached houses with gardens).
Referensi
Dedi NS Setiono [2011], Ekonomi Pengembangan Wilayah: Teori dan Analisis, Lembaga Penerbit
FE-UI, Jakarta
Rustiadi, Ernan, et.al. [2009], Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Crestpent Press dan
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Sjafrizal [2008], Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi, Baduose Media, Padang
Tarigan, Robinson [2006], Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi, Edisi Revisi, Bumi Aksara, Jakarta
Krumme, (http://faculty.washington.edu/krumme/450/weber.html)
William Alonso [1964], Location and Land Use, Harvard University Press, Cambridge, MA.
William Alonso [1960], a theory of the urban land market, Papers in Regional Science, Volume 6,
Issue 1, pp 149 – 157.
30
BAB 3. PENDEKATAN DALAM ANALISIS LOKASI
31
PERTIMBANGAN DALAM PEMILIHAN LOKASI INDUSTRI
Location of resources & markets
Changing demand for products
Transportation costs for assembly & distribution
Variations in manufacturing costs; principally in labor cost, but also in land cost, costs of heating
& cooling the plant, disposal of waste, and corporate & inventory taxes
Scale of operations
Techniques of production – labor-intensive or capital intensive
Availability of capital
Governmental policy that serves to encourage industry to locate in special areas by guaranteeing
markets, providing land and/ or trained employees & tax reductions
Agglomeration economies achieved through availability of specialized services & inter-industry
linkages between suppliers & customers within specialized manufacturing regions
Amenity factors, such as superior schools, or location adjacent to college or university, which
offers pool of prospective employees. Mild climate, cultural amenities, and suburban locations
are especially to management
32
Gambar 19. Kasus 1 Lokasi Alternatif
33
Gambar 21. Kasus 3 Lokasi Alternatif
34
Gambar 23. Kasus 5 Lokasi ALternatif
KLASIFIKASI INDUSTRI
Resource orientation: utilize bulky or perishable raw material normally seek location close to
source of raw material. Expl. Mining industries, fruit canning
Market orientation: location of market-oriented industries having high distribution cost is
positively correlated with location of population.
expl. Printing industries, office equipment & supplies
Optional orientation: industries can be either market or resource oriented because of ability to
rearrange (exchange) technique production to maximize profitability of alternative location
35
Theories of Industrial Clusters
Discussion of two theories of regional clusters, (Marshallian) industrial districts and Porters
regional clusters.
The two cluster theories are discussed in the context of innovation. A main theme is to which
extent and how the two types of clusters stimulate the innovation capability of cluster firms.
The interest in innovation is related to some ‘stylised facts’ about firms’ innovation processes:
- Firms rely first of all on internal competence in their innovation activity
- However, firms also often bring in ideas, information and knowledge from external actors
during the innovation process
- The ‘quality’ of the external environment and the firms’ ability to use external knowledge
determine to a large extent the innovation capability of an economy
- Firms often find external actors of importance for their innovation process in their local area.
These actors may constitute regional clusters or innovation systems.
36
innovations were necessary to meet increased competition from low cost countries and to
introduce more advanced technology. Upgrading to mark II districts take place through the
establishment of centres for real service. The centres have specialised competence for the
dominating industrial sectors in the districts. The centres offer subsidised services to firms, such
as information about markets and technological development, help in exporting or in
introducing new production equipment. The centres supply the system of firms with
professional competence that small firms often cannot possess themselves, but competence
necessary to carry out more radical innovations
The boat-building industry in the Arendal-Grimstad region: The growth of an industrial district?
The development of the industry: Six historical phases
1. The start: Tradition and knowledge about boatbuilding from the period of sailing vessels, when
Arendal was by fare the largest shipping town in Norway
2. The revolution with the building of glass fibre boats in the 1950s. This kind of boat building
started in Arendal by the linking of external knowledge and local competence
3. Spreading of the knowledge in the local area in the 1950s and 60s, giving rise to many start-ups
and growth
4. The growth of giant firm Fjord Plast, and the centre for the building of motor boats in Europe
5. Restructuring in the 1970s and 80s. Start-ups, specialisation on firm level and growth of
subcontractors
37
In the 1980s he started to study what makes a nation’s firms and industries competitive in global
markets. This research led to the theory of clusters, first national clusters (1990), then regional
clusters (1998)
The central idea behind the cluster theory is:
a) that the national (or regional) environment is of central importance in stimulating firms’
competitiveness (‘Competitive advantage is created and sustained through a highly localized
process’),
b) that the environment influences the ability to succeed in particular industries or industry
segments (nations become the home base for competitive firms in some particular
industries, and most important is competitiveness in sophisticated industries),
c) that the international successful firms in an industry constitute systems or clusters of firms,
and
d) that firms and industries become competitive by continually upgrading and innovation (and
by developing new and sophisticated industries)
Firm Strategy
and Rivalry
Factor Demand
(Input) Conditions
Conditions
Related and
Supporting
Industries
38
factors can contribute to sustained competitive success (e.g. automation because of high
labour costs)
2) Demand conditions. The quantity and particularly quality of home demand for the
industry’s products / services (the importance of sophisticated and demanding
customers for innovation).
3) Relating and supporting industries. Supplier and related industries that are international
competitive. Support cost-effective supplies and stimulates innovation
4) Firm strategy, structure, and rivalry. How companies are created, organised, and
managed, and the nature of domestic rivalry. How firms are managed support some
type of industries more than others (f.ex. liberal and coordinated market economies
‘support’ different types of industries)
Two additional variables can influence the national system in important ways; chance and
government policy
Linkage
The heart of cluster analysis
May be formal or informal
Sources
common value (e.g. production, market) chains
similar labor skill requirements
shared or similar technologies
or knowledge and/or innovation exchange
Choice of study linkage determined, at least in part, from policy goals.
Stage of Development
Offers different cluster types for study focus, depending on goals
Existing stage
Existing clusters are those that have reached a critical mass in size and/or diversity of
operation
Existing clusters may be expanding or contracting at any given point in time
Emerging
Emerging clusters are likely to achieve critical mass, given current trends
Potential
Potential clusters are those with potential, but uncertain growth environment and
possibly have only a few related industries
Geography
Clusters must be identified by more than locality
Regional concentration versus global dispersion
Cross boundary linkages
Study order:
Linkage/economic logic (Geographic concentrations)
39
Cluster Organizations
Help identify careers in related industries
Help guide local schools and colleges in providing appropriate training
Help policy makers understand the connections between industry requirements and the training
needed for successful welfare reform and implementation of the Workforce Investment Act
What is a cluster?
Firms in one or more industries that have competitive advantage in a region
Cluster competitive advantage may be based on resources, shared labor pool, access to
research or other institutions, presence of significant customers or suppliers in the
region, and innovation within the cluster
Empirical definition in this study:
High LQ, strong inter-industry ties (sales or purchases from other industries as depicted
in input-output model), or moderate LQ + significant size
Data sources: IMPLAN input-output model for each WDA, ESD data on cluster
characteristics
4.0
3.5
3.0
2.5
LQ in 2006
2.0
1.5
1.0
-150 -100 -50 0 50 100 150 200
0.5
0.0
-0.5
-1.0
% chg in LQ 2001-2006
40
Gambar 27. The California Wine Cluster
41
Beberapa Zona Industri yang memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembangnya
kegiatan industri dan mempunyai keterkaitan ekonomi yang bersifat dinamis karena
didukung sistem perhubungan yang mantap
ZONA INDUSTRI
Satuan geografis sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya kegiatan industri baik
berupa industri dasar yang berorientasi pada sumber daya alam, industri kunci yang
bertumpu kepada pengolahan potensi pembangunan yang ada, maupun industri hilir
yang berorientasi kepada konsumen akhir dengan populasi tinggi, sebagai penggerak
utama (prime mover)yang secara keseluruhan membentuk berbagai kawasan-kawasan
yang terpadu dan beraglomerasi dalam kegiatan ekonomi yang mempunyai daya ikat
spasial, sehingga mewujudkan suatu sistem ekonomi dalam batasan jarak tertentu.
42
Diharapkan bisa menghasilkan barang-barang baru di dalam negeri yang semula di
import
Melakukan proteksi untuk membatasi barang-barang import
Industri promosi eksport
Hasil produksi dalam negeri mempunyai daya saing internasional yang kuat didorong
untuk kepentingan eksport
43
Dalam pengembangan produk ini diperlukan usaha meningkatkan penanaman modal
asing.
Pada umumnya untuk mengembangkan produk ini sangat tergantung pada faktor
eksternal;
Kriteria pemilihan industri padat modal: total investasi, ICOR, nilai tambah, orientasi
pasar, dan nilai produksi
Industri Padat Teknologi, meliputi industri-industri yang mengandalkan teknologi sebagai faktor
keunggulan untuk bersaing.
Untuk mengembangkan produk ini diperlukan usaha meningkatkan penguasaan
teknologi, baik melalui alih teknologi maupun melalui teknologi yang menyatu pada
barang modal yang diimpor.
Kriteria pemilihan industri padat teknologi: nilai ekspor, kandungan impor, nilai tambah,
nilai produksi, orientasi pasar, biaya litbang, dan pelatihan tenaga kerja.
44
Gambar 29. Kerangka Keterkaitan Industri Pengolahan Kakao dan Coklat
45
Referensi:
Dedi NS Setiono [2011], Ekonomi Pengembangan Wilayah: Teori dan Analisis, Lembaga Penerbit
FE-UI, Jakarta
Gordon J. Fielding [1974], Geography as Social Science, Harper and Row, New York.
Michael E. Porter [1990], The Competitive Advantage of Nations, Harvard Business Review.
Faktor pengelolaan biasanya terdiri dari elemen-elemen yang bisa dikontrol dari dalam bangunan.
Seperti managemen toko, layanan pelanggan, barang, kebersihan, penampilan, dekorasi, dan
penataan semua elemen tersebut penting untuk elemen pengelolaan. Faktor tapak merupakan
elemen yang berhubungan dengan kondisi fisik penataan bangunan dan property disekitarnya.
Elemen seperti tempat parkir, penandaan, lebar ruang pejalan kaki, taman, aksesibilitas,
keluar/masuk, tipe pemusatan, dan hal-hal lainnya seperti bangunan yang berdiri sendiri atau
bangunan penghubung yang semuanya penting untuk tapak.
46
Faktor lokasi, yang berkontribusi terhadap pemilihan lokasi yaitu demografi, permintaan konsumen,
kepadataan lalu lintas, generator lalu lintas (pusat perbelanjaan, Rumah Sakit, bandara stadion),
populasi harian, kompetisi, bisnis pelengkap, dan gaya hidup. Tekait dengan faktor lokasi, terdapat
dua pertimbangan penting yang harus diputuskan oleh sebuah pengecer (retailer), yaitu:
1. Memilih target pasar
2. Menentukan format retail yang bagaimana yang paling efektif untuk menjangkau pasar.
Seorang retailer dapat menjangkau konsumen potensial melalui dua konsep yaitu store atau non
store format retail. Pengecer toko (store based retalilers) mengoperasikan sebuah toko dengan
lokasi yang sudah tetap sehingga membutuhkan konsumen untuk bergerak ke toko untuk melihat
dan memilih barang atau layanan yang diinginkan. Sedangkan pengecer non-toko (non-store based
retailers) menankap konsumen yang ada di rumah, di tempat kerja, atau tempat selain toko dimana
konsumen mudah untuk melakukan pembelian. Bentuk-bentuk store based diantaranya yaitu pusat
bisnis, mall, free standing, dan non tradisional. Sedangkan bentuk-bentuk non store based yaitu
penjualan via internet, penjualan langsung ke rumah-rumah, penjualan non formal di sepanjang
jalan, dan penjualan melalui mesin-mesin barang.
47
5. Anchor Stores are the stores in a shopping center that are the most the most dominant and
are expected to draw customers to the shopping center.
6. Free-Standing Retailer generally locates along major traffic arteries and does not have any
adjacent retailers to share traffic with.
Brubaker (2004)
Peneliti lainnya, Brubaker, melakukan penelitian untuk mengidentifikasi pemilihan lokasi untuk
penyewa ritel. Brubaker melakukan interview terhadap sejumlah real estate regional direktur,
developer, ahli tata kota, dan makelar. Beberapa criteria yang harus dimiliki oleh sebuah lokasi
adalah signage, visibility, ukuran tapak, parker, kepadatan lalu lintas, co-tenancy, dan demografi
penduduk (populasi penduduk, tingkat pendapatan, kompetisi dan wilayah perdagangan.
Davidson et al (1980)
Davidson mengungkapkan bahwa terdapat secara berurutan terdapat empat hal penting yang harus
diputuskan untuk memilih lokasi perdagangan, yaitu pertimbangan wilayah, pertimbangan cakupan
pasar, pertimbangan area perdagangan, dan pertimbangan tapak.
Pertimbangan Wilayah
Pertimbangan yang digunakan untuk memutuskan lokasi wilayah adalah
a. Kondisi populasi (ukuran, pertumbuhan, kepadatan, distribusi, dan lahan kosong)
b. Jaringan kota (ukuran, jarak dan hubungan dengan kota disekitarnya)
c. Karakteristik lingkungan (iklim, vegatasi, karakteristik medan)
d. Karakteristik ekonomi (tenaga kerja, industry, trend)
e. Target pasar (jumlah dan prosentas populasi yang dibidik)
f. Budaya local
g. Kompetisi
h. Tingkat kejenuhan pusat perbelanjaan
i. Daya beli
48
b. Publik transportasi dan jaringan jalan
c. Karakteristik ekonomi dan daya beli efektif
d. Potensi pasar dalam hal barang
e. Selera konsumen
f. Intensitas persaingan (kejenuhan pasar)
g. Kemampuan distribusi
h. Karakteristik lingkungan
i. Batasan peraturan dan zonasi
j. Iklim bisnis
49
Themido et al (1998)
Sedangkan menurut Themido dkk, terdapat dua kelompok variabel yang dijadikan sebagai tools
untuk menilai lokasi suatu kawasan yaitu evaluasi kondisi tapak dan evaluasi area perdagangan.
Evaluasi atas kondisi tapak didasarkan pada tiga hal yaitu ukuran toko, konfigurasi toko (mencakup
komposisi ritel dan rantai layanan), dan variabel lokasi (mencakup aksesibilitas tapak dan konfigurasi
tapak). Sedangkan untuk Evaluasi atas kondisi area perdagangan ada dua hal utama yaitu potensi
penjualan sekarang dan masa depan (mencakup ukuran pasar dan area tankapan), dan kompetisi
sekarang dan masa yang akan datang (mencakup dimensi dan kualitaskompetisi.
1. Analog Model
Analog model merupakan upaya pertama yang digunakan dalam proses memilih lokasi retail
(Applebaum, 1968). Pencetus model ini, William Applebaum, fokus pengamatan pada lokasi ritel
eksisting yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi lokasi ritel potensial lainnya. Pengunjung dari
ritel eksisting diinterview untuk menentukan dimana mereka tinggal sehingga selanjutnya dapat
ditemukan area perdagangan utama ritel eksisting. Model ini menggunakan tingkat penjualan ritel
eksisting untuk memprediksi lokasi masa depan yang potensial (Buckner, 1998). Untuk menentukan
kinerja ritel yang direncanakan makan dilakukanlah perbandingan sistematis antara karakteristik ritel
eksisting dengan karakteristik ritel yang direncanakan (Breheny, 1988). Salah satu keuntungan model
analog atas metode lain adalah adaptasinya untuk menilai hampir semua jenis toko ritel.Tetapi
kekurangannya adalah metode ini sangatlah subyektif dan dapat bekerja dengan baik hanya
ditangan analis yang sudah berpengalaman (Buckner, 1998).
2. Gravity Model
Gravity model digunakan secara luas dalam teknik menentukan lokasi ritel. Metode ini berasal dari
William J. Reilly’s yang disebut dengan “Hukum Gravitasi Ritel”. Pada intinya, metode ini merupakan
50
metode yang digunakan untuk mengevaluasi tingkah laku manusia yang mengukur bahwa setiap
individu kemungkinan akan tertarik menuju ritel bergantung pada jarak tempuh, jarak tempuh ke
toko alternative, dan keunggulan masing-masing lokasi. Hukum Reilly’s secara sederhana dapat
diibaratkan sebagai batasan area perdagangan, dengan cara menentukan titik yang berbeda dari dua
kota atau dua wilayah, maka masing-masing luasan area perdagangan dapat ditentukan.
Multiple regresi model dianggap lebih menguntungkan daripada model lainnya. Ketika sudah
diformulasikan, regresi model mudah untuk diimplementasikan dan tidak membutuhkan analis
berpengalaman untuk mengoperasikannya (Buckner, 1998). Sebagai tambahan, metode ini dapat
51
meninvestigasi hubungan yang lebih kompleks, flexible, dan dapat mengetes banyak variable
sekaligus (Breheny, 1988).
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 112 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN DAN
PEMBINAAN PASAR TRADISIONAL, PUSAT PERBELANJAAN DAN TOKO MODERN
Perkulakan hanya boleh berlokasi pada atau pada akses sistem jaringan jalan arteri atau kolektor
primer atau arteri sekunder.
1. Hypermarket dan Pusat Perbelanjaan:
Hanya boleh berlokasi pada atau pada akses sistem jaringan jalan arteri atau kolektor; dan
Tidak boleh berada pada kawasan pelayanan lokal atau lingkungan di dalam kota/perkotaan.
2. Supermarket dan Department Store:
Tidak boleh berlokasi pada sistem jaringan jalan lingkungan; dan Tidak boleh berada pada
kawasan pelayanan lingkungan di dalam kota/perkotaan.
3. Minimarket boleh berlokasi pada setiap sistem jaringan jalan, termasuk sistem jaringan jalan
lingkungan pada kawasan pelayanan lingkungan (perumahan) di dalam kota/perkotaan.
4. Pasar Tradisional boleh berlokasi pada setiap sistem jaringan jalan, termasuk sistem jaringan
jalan lokal atau jalan lingkungan pada kawasan pelayanan bagian kota/kabupaten atau lokal
ata lingkungan (perumahan) di dalam kota/kabupaten.
52
Referensi
Applebaum, W. (1968). The Analog Method for Estimating Potential Store Sales. In C. Kornblau, Guide to
Store Location Research. Reading, Mass.: Addison-Wesley.
Breheny, M. J. (1988). Practical Methods of Retail Location Analysis: A Review. In N. Wrigley, Store Choice,
Store Location and Market Analysis (pp. 39-86). London: Routledge.
Brubaker, B. T. (2004). Site Selection Criteria in Community Shopping Centers: Implications for Real Estate
Developers. Cambridge.
Buckner, R. W. (1998). Site Selection: New Advancements in Methods and Technology. New York: Chain
Store Publishing Corp.
Laddel, et al (2009). Retail Site Selection: A New, Innovative Model for Retail Development. Woolbright
Development, Inc.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2007 Tentang Penataan Dan Pembinaan Pasar
Tradisional, Pusat Perbelanjaan Dan Toko Modern
Schmidt, C. G. (n.d.). Location Decision-Making Within a Retail Corporation. 60-71.
53
Gambar 36. P-Median Model
As there are no capacity constraints at the facilities, it is optimal to satisfy the demand at a
demand node from a single facility.
An optimal solution can be found by restricting the search to the demand nodes.
Fixed costs are assumed to be equal.
n!
The number of possible solutions is p!n p !
For even moderate values of n and p the number of possible solutions can be very large:
For example, if n=20 and p=5, there are 15,504 solutions.
If n=50 and p=10, the problem has more than 1010 possible solutions.
If you could evaluate 1 million solutions per second, it will take you 3 hours for total
enumeration.
54
1 if a facility is located at site j
Xj
0 otherwise
min h d Y
i j
i ij ij
subject to Y 1
j
ij for all i
X p
j
j
Site j
Node i A B C D E F G H I J K L
A 0 15 37 55 24 60 18 33 48 40 58 67
B 15 0 22 40 38 52 33 48 42 55 61 61
C 37 22 0 18 16 30 41 28 20 58 39 39
D 55 40 18 0 34 12 59 46 24 62 43 34
E 24 38 16 34 0 36 25 12 24 47 37 43
F 60 52 30 12 36 0 57 42 12 50 31 22
G 18 33 41 59 25 57 0 15 45 22 40 61
H 33 48 28 46 12 42 15 0 30 37 25 46
I 48 42 20 24 24 12 45 30 0 38 19 19
J 40 55 58 62 47 50 22 37 38 0 19 40
K 58 61 39 43 37 31 40 25 19 19 0 21
L 67 61 39 34 43 22 61 46 19 40 21 0
55
Tabel 5. Cost (demand x distance) matrix for the network
Demand Site j
Node i A B C D E F G H I J K L
A 0 225 555 825 360 900 270 495 720 600 870 1005
B 150 0 220 400 380 520 330 480 420 550 610 610
C 444 264 0 216 192 360 492 336 240 696 468 468
D 990 720 324 0 612 216 1062 828 432 1116 774 612
E 120 190 80 170 0 180 125 60 120 235 185 215
F 1440 1248 720 288 864 0 1368 1008 288 1200 744 528
G 198 363 451 649 275 627 0 165 495 242 440 671
H 528 768 448 736 192 672 240 0 480 592 400 736
I 624 546 260 312 312 156 585 390 0 494 247 247
J 880 1210 1276 1364 1034 1100 484 814 836 0 418 880
K 1102 1159 741 817 703 589 760 475 361 361 0 399
L 1340 1220 780 680 860 440 1220 920 380 800 420 0
56
Note that the optimal solution had a total cost of 1444 whereas the heuristic solution provides a
total cost of 1707. This means that we can improve the solution obtained by the heuristic. Therefore
we apply an improvement algorithm. For each facility site, this algorithm identifies the set of
demand nodes that are served from the facility called as the neighborhood. Within each
neighborhood, the optimal 1-median is found.
Referensi:
Rushton, G. [1979], Optimal Location of Facilities, Compress, Inc., Wentworth
Alperovich G, Weksler I, [1982], "Optimal location of public facilities: the case of median and quartile
locations" Environment and Planning, Volume 9(2); 143 – 152
57
3.4. Dasar-dasar dan analisis lokasi Permukiman
Perumahan merupakan pencerminan dan pengejawantahan dari diri pribadi manusia, baik
secara perseorangan maupun dalam suatu kesatuan dan kebersamaan dengan alam lingkungannya.
Sehingga perumahan tidak dapat dilihat hanya sebagai benda mati atau sarana kehidupan semata-
mata, tetapi lebih dari itu perumahan merupakan suatu proses bermukim, kehadiran manusia dalam
menciptakan ruang hidup di lingkungan masyarakat dan alam sekitarnya (Yudohusodo dkk, 1991, hal
1).
Perkembangan permukiman dan wilayah saling berpengaruh. Menurut Yudohusodo,dkk (1991),
perumahan dan permukiman dapat menjadi salah satu unsur pengarah pertumbuhan wilayah. Sehingga
konsep perkembangan permukiman dapat merujuk pada teori perkembangan kota dan wilayah.
Penyelenggaraan kawasan permukiman dilakukan untuk mewujudkan wilayah yang berfungsi sebagai
lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan yang terencana,
menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan sesuai dengan rencana tata ruang (Pasal 56, UU No. 1 Tahun 2011
tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman).
Kawasan Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang berupa
kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
hunian dan tempat kegiatan yang mendukung peri kehidupan dan penghidupan.
Lingkungan Hunian adalah bagian dari kawasan permukiman yang terdiri atas lebih dari satu satuan
permukiman.
Kegiatan Penyelenggaraan Permukiman baru meliputi:
1. Penyediaan lokasi permukiman;
2. Penyediaan PSU permukiman; dan
3. Penyediaan lokasi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
KriteriaTeknis:
Karakteristik Lokasi dan Kesesuaian Lahan
Kawasan perumahan harus dilengkapi dengan:
1. Sistem pembuangan air limbah
2. Sistem pembuangan air hujan
3. Sistem penyediaan air bersih yang sesuai syarat kuantitas dan kualitas
4. Sistem pembuangan sampah
5. Penyediaan sarana perkotaan yang sesuai dengan standar kebutuhan
Secara Teknis, Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan diatur secara rinci pada SNI 03-
1733-2004, tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan. Adapun Aaspek-
aspek dalam perencanaan lingkungan perumahan meliputi:
58
1. Persyaratan Lokasi
a. Lokasi perumahan harus sesuai dengan rencana peruntukan lahan yang diatur dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat atau dokumen perencanaan lainnya yang
ditetapkan dengan Peraturan Daerah setempat, dengan kriteria sebagai berikut:
1) Kriteria Keamanan, dicapai dengan mempertimbangkan bahwa lokasi tersebut bukan
merupakan kawasan lindung (catchment area), olahan pertanian, hutan produksi,
daerah buangan limbah pabrik, daerah bebas bangunan pada area Bandara, daerah
dibawah jaringan listrik tegangan tinggi;
2) Kriteria Kesehatan, dicapai dengan mempertimbangkan bahwa lokasi tersebut bukan
daerah yang mempunyai pencemaran udara di atas ambang batas, pencemaran air
permukaan dan air tanah dalam;
3) Kriteria Kenyamanan, dicapai dengan kemudahan pencapaian (aksesibilitas),
kemudahan berkomunikasi (internal/eksternal, langsung atau tidak langsung),
kemudahan berkegiatan (prasarana dan sarana lingkungan tersedia);
4) Kriteria Keindahan/Keserasian/Keteraturan (Kompatibilitas), dicapai dengan
penghijauan, mempertahankan karakteristik topografi dan lingkungan yang ada,
misalnya tidak meratakan bukit, mengurug seluruh rawa atau danau/setu/sungai/kali
dan sebagainya;
5) Kriteria Fleksibilitas, dicapai dengan mempertimbangkan kemungkinan
pertumbuhan fisik/pemekaran lingkungan perumahan dikaitkan dengan kondisi fisik
lingkungan dan keterpaduan prasarana;
6) Kriteria Keterjangkauan Jarak, dicapai dengan mempertimbangkan jarak pencapaian
ideal kemampuan orang berjalan kaki sebagai pengguna lingkungan terhadap
penempatan sarana dan prasarana-utilitas lingkungan; dan
7) Kriteria Lingkungan Berjati Diri, dicapai dengan mempertimbangkan keterkaitan
dengan karakter sosial budaya masyarakat setempat, terutama aspek kontekstual
terhadap lingkungan tradisional/lokal setempat.
b. Lokasi perencanaan perumahan harus berada pada lahan yang jelas status
kepemilikannya, dan memenuhi persyaratan administratif, teknis dan ekologis.
c. Keterpaduan antara tatanan kegiatan dan alam di sekelilingnya, dengan
mempertimbangkan jenis, masa tumbuh dan usia yang dicapai, serta pengaruhnya
terhadap lingkungan, bagi tumbuhan yang ada dan mungkin tumbuh di kawasan yang
dimaksud.
59
2. Persyaratan Fisik
a. Ketinggian lahan tidak berada di bawah permukaan air setempat, kecuali dengan
rekayasa/ penyelesaian teknis.
b. Kemiringan lahan tidak melebihi 15% (lihat Tabel 2) dengan ketentuan:
1) tanpa rekayasa untuk kawasan yang terletak pada lahan bermorfologi datarlandai dengan
kemiringan 0-8%; dan
2) diperlukan rekayasa teknis untuk lahan dengan kemiringan 8-15%.
Tabel 7. Kesesuaian Penggunaan Lahan Berdasarkan Kemiringan Lereng
60
Tabel 8. Ketentuan Kebutuhan Sarana Permukiman
Referensi:
1. Perencanaan dan pengembangan Wilayah (2009), Ernan Rustiadi, Sunsun saefulhakim, Dyah
R. Panuju. Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
2. Rumah Seluruh Rakyat, Siswono Yudohusodo.
3. UU No.26 Tahun 2007, tentang Penataan Ruang
4. UU No.1 Tahun 2011, tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
5. SNI 03-1733-2004, tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan
61
BAB 4. TEKNIK ANALISIS YANG SESUAI UNTUK MENGKAJI ASPEK
LOKASIONAL KOMPONEN KEGIATAN WILAYAH DAN KOTA
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu menjawab satu tujuan (dalam hal ini tujuannya
adalah pemilihan lokasi) maka masing-masing criteria harus diketahui bobotnya. Tujuan dari
pembobotan criteria adalah untuk menjelaskan tingkat kepentingan masing-masing criteria relative
terhadap criteria lainnya. Pembobotan criteria dapat dilakukan dengan banyak cara, yaitu dengan
metode ranking, metode rating, metode perbandingan berpasangan (pair wise comparison), metode
trade-off analisis, dan metode perbandingan. Namun, aplikasi empiris menyarankan bahwa metode
perbandingan berpasangan adalah salah satu teknik yang paling efektif untuk pengambilan
keputusan spasial yang memakai pendekatan berbasis GIS (Malczewski, 2006). Metode
perbandingan berpasangan dikembangkan oleh Saaty dalam konteks Analytical Hierarchy Process
(AHP) (Saaty, 1980). Metode AHP dibangun berdasarkan tiga prinsip, yaitu dekomposisi, penilaian
komparatif, dan sintesis prioritas (Malczewski, 1999). Metode ini menggunakan perbandingan
berpasangan untuk menciptakan matriks rasio. Dalam hal ini dibutuhkan sebuah input perbandingan
berpasangan sehingga dapat dihasilkan bobot relative sebagai output. Secara khusus, bobot
62
ditentukan oleh normalisasi eigenvector yang terkait dengan nilai eigen maksimum matriks rasio
(timbal balik).
Tabel 4.1
Tingkat Intensitas Kepentingan
Nilai Keterangan
1 Kedua elemen sama pentingnya
3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya
5 Elemen yang satu lebih penting daripada elemen lainnya
7 Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya
9 Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya
2, 4, 6, 8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan
Langkah kedua, bobot criteria dikomputasikan dengan cara: a) menjumlah nilai masing-masing
kolom pada matriks perbandingan berpasangan, b) membangi masing-masing eemen dalam matriks
dengan nilai total kolom (matriks yang dihasilkan disebut dengan matriks perbandingan berpasangan
normalisasi), dan c) mengkomputasikan rata-rata elemen pada masing-masing baris pada matriks
normalisasi yang dapat dilakukan dengan membagi jumlah skor normalisasi dengan masing-masing
baris dengan angka 3 (atau sebanyak jumlah criteria). Nilai rata-rata yang dihasilkan akan
63
memberikan sebuah estimasi bobot relative criteria yang diperbandingkan. Tabel 4.2 menunjukkan
kalkulasi dari masing-masing langkah untuk menentukan bobot criteria relative.
Langkah terakhir yaitu dengan menentukan nilai rata-rata konsistensi vector yang disebut dengan
lambda (λ) and index konsistensi (CI). Nilai lamda (λ) merupakan ni;ai rata-rata dari konsistensi
vector. Kalkulasi CI tergantung pada pertimbangan bahwa lamda (λ) selalu lebih besar atau sama
dengan jumlah criteria dengan syarat (n) bernilai positif. Jika perbandingan berpasangan merupakan
matriks yang konsisten, lambda akan bernilai sama dengan jumlah criteria (λ = n). Oleh karena itu,
sebuah ukuran (λ = n) dipercaya sebagai nilai atas derajat ketidakkonsistenan. Ukuran tersebut dapat
dinormalisasi sebagai berikut
64
Selanjutnya, kita dapat mengkalkulasikan consistency ratio (CR), yang dijelaskan sebagai berikut:
Dimana RI adalah random index. Random index bergantung pada jumlah elemen yang
dikomparasikan. Rasio didapat dari pengukuran CR yang menunjukkan kinerja penilaian. Jika rasio
kurang dari 0.1 (CR < 0.10) menunjukkan sebuah tingkatan kekonsistenan atas perbandingan
berpasangan namun jika a reasonable level of consistency in the pair-wise comparison. Namun jika
rasio lebih dari 0.1 (CR ≥ 0.10) menunjukkan terjadinya penilaian yang tidak konsisten. Jika terjadi
ketidak konsistenan maka nilai asli dari matriks perbandingan berpasangan harus dipertimbangkan
ulang dan direvisi (Malczewski, 1999)
Nilai di atas menunjukkan Randim Indek (RI) untuk masing-masing ukuran matriks.
65
Dimana wk merupakan vector prioritas yang berhubungan dengan elemen ke-k pada struktur hirarki
criteria, Σ wk = 1; dan rik merupakan vector prioritas dari membandingkan alternative pada masing-
masing criteria. Nilai Ri yang paling besar mengindikasikan alternative yang paling diinginkan.
Keseluruhan peringkat alternatf didapatkan dengan cara menggabungkan bobot atribut dengan
data. Jika data atribut dapat direpresentasikan dengan layer, maka metode AHP dapat digabungkan
dengan GIS. GIS memiliki kemampuan untuk mengolah atribut (map layer) data dan memasukkan
bobot AHP ke dalam layer sehingga dimungkinkan untuk memperoleh peringkat dalam GIS.
Referensi
J. Malczewski, GIS and Multicriteria Decision Analysis. Canada: John Wiley & Sons Inc., 1999.
J. Malczewski, "Integrating Multicriteria Analysis and Geogrphic Information System. The Ordered
Weighted Averaging (OWA) Approach," International Journal on Environmental Technology and
Management, vol. 6 (1/2), 2006.
T. L. Saaty, The Analytic Hierarchy Process. New York: McGraw-Hill, 1980
66
Adanya intervening opportunity
– Terjadinya gangguan yang menghambat hubungan interaksi antar lokasi yang berbeda,
maka akan memunculkan keputusan untuk mencari lokasi yang lain
Model gravitasi
Setiap lokasi mempunyai daya tarik tertentu yang menjadi preferensi pengambilan keputusan
tentang pilihan lokasi
Daya tarik tergantung pada potensi yang terdapat pada suatu lokasi
Adanya daya tarik mendorong berbagai kegiatan lain untuk berlokasi di dekat kegiatan yang
telah ada terlebih dahulu
Model gravitasi digunakan untuk melihat kaitan potensi suatu lokasi dan besarnya wilayah
pengaruh dari potensi tersebut
Daya tarik suatu lokasi (kota atau wilayah) dapat diukur dari jumlah penduduk, lapangan kerja,
total pendapatan, fasilitas pelayanan publik, dll
Keterangan:
– Tij = jumlah trip antara kota i dengan kota j
– Pi = penduduk kota i
– Pj = penduduk kota j
– dij = jarak antara kota i dengan kota j
– b = cepatnya penurunan jumlah trip seiring dengan bertambahnya jarak, sering digunakan b = 2
– k = konstanta
Keterangan:
– BPj = breaking point (batas pengaruh) kota j
– dij = jarak antara kota i dan kota j
– Pi = penduduk kota i
– Pj = penduduk kota j
67
Penentuan hierarki kota
Membantu dalam penentuan fasilitas publik yang harus/perlu dibangun di masing-masing kota
Penentuan fasilitas publik tidak hanya menyangkut jenis, tetapi juga kapasitas dan kualitas
pelayanan (low order – high order)
Mengarahkan lokasi fasilitas publik agar lebih tepat dan lebih efisien
Membentuk struktur ruang bersama dengan sistem transportasi yang menghubungkan antara
pusat dan hinterlandnya
68
teknologi, psikologi, religius) dari waktu ke waktu telah menjadikan kota menjadi dinamis dalam
artian selalu berubah dari waktu ke waktu demikian juga pola penggunaan lahannya. Secara garis
besar, kekuatan dinamis yang mempengaruhi struktur keruangan kota dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu:
1. Kekuatan-kekuatan centrifugal (centrifugal forces), kekuatan-kekuatan yang menyebabkan
terjadinya pergerakan dan fungís-fungsi perkotaan dari bagian dalam suatu kota menuju ke
bagian luarnya.
2. Kekuatan-kekuatan centripetal (centripetal forces), kekuatan-kekuatan yang menyebabkan
terjadinya pergerakan baik penduduk maupun fungsi-fungsi yang berasal dari bagian luar
menuju kebagian dalam daerah13 perkotaan.
Peripheral
Zones
Inner Zones
CITY
Inner Zones
Peripheral Zones
Gambar 38. Struktur Keruangan Kota Yang Dipengaruhi Oleh Kekuatan Sentripetal Dan Sentrifugal
Tabel 11. Kekuatan-Kekuatan Dinamis Yang Mempengaruhi Struktur Keruangan Kota (Model Charles Colby)
69
Pull Forces Push Forces
(Place of Detination) (Place of Origin)
Centrifugal Attractive Qualities of Unattractive
Movement Peripheral Zones : Qualities Inner
Pleasant environtment Zones :
Plenty cheap land Congestion
Access to axial and Expensive land
circumferential Land shortage
transport Prohibitive
Less traffic congestion regulation
Free fromm pollution High taxes
Pollution, etc.
Sumber : Yunus (1999)
Perkembangan kota dapat menyebabkan batas fisik kota berubah-ubah setiap saat sehingga
seringkali terlihat batas fisik kota telah berada jauh diluar batas administrasinya Mengacu pada
hubungan antara eksistensi batas fisik dan batas administrasi kota, terdapat tiga kemungkinan
hubungan yaitu :
1. Sebagian besar batas fisik kekotaan berada jauh di luar batas administrasi kota (Under
Bounded City)
2. Sebagian besar batas fisik kekotaan berada di dalam batas administrasi kota (Over Bounded
City)
3. Batas fisik kota koinsiden dengan batas administrasi (True Bounded City)
Struktur Ruang kota ditinjau dari UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
70
Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana
yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis
memiliki hubungan fungsional (UU No. 26 Tahun 2007).
Struktur Perkotaan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
71
Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan yang
berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan.
Pusat Kegiatan Strategis Nasional yang selanjutnya disebut PKSN adalah kawasan perkotaan
yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasan negara.
72
4.4. Aplikasi SIG untuk Analisis interaksi keruangan
Perencana memerlukan solusi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sementara juga
mengembangkan kemampuan untuk secara efektif memprediksi dan menanggapi masalah
perkotaan yang kronis dan fluktuatif di masa depan. Sebagian besar keberhasilan perencana dalam
memerangi masalah perkotaan yang kronis ditentukan oleh kemampuan mereka untuk
memanfaatkan alat yang efektif dan perencanaan sistem dukungan yang memungkinkan mereka
untuk membuat keputusan berdasarkan informasi . Hari ini, perencana memanfaatkan GIS di seluruh
dunia dalam berbagai aplikasi.
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sebuah sistem komputer yang memiliki kemampuan
untuk menangkap, mengumpulkan, menyimpan, mengambil, mengubah, menganalisis, dan
menampilkan data geospasial dari dunia nyata untuk tujuan tertentu (Chang, 2008;
Burrough et.al, 1998)Beberapa software SIG yang tersedia di pasar yaitu ArcGIS, GeoMedia,
MapInfo, ERDAS, IDRISI dan Autocad Map. Dari sekian banyak software, ArcGIS dari
Enviromental Systems Research Institute (ESRI) adalah yang paling populer (Dong, 2008).
Berikut ini beberapa aplikasi bagaimana GIS digunakan sebagai platform untuk membantu
perencana mencapai tujuan mereka dalam menciptakan masyarakat yang makmur dan
meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan sekaligus melindungi lingkungan dan
mempromosikan pembangunan ekonomi. GIS dapat menyediakan platform perencanaan yang
diperlukan untuk visualisasi, pemodelan, analisis, dan kolaborasi.
73
Tujuan
Analisis kesesuaian lahan SPBU, menentukan lahan yang sesuai untuk lokasi SPBU dengan
sudut pandang pertimbangan kualitas lingkungan.
Kriteria
Kriteria yang digunakan untuk menentukan lokasi yang sesuai untuk SPBU, adalah sebagai
berikut.
74
Proses dan Hasil
Garis perlindungan
pantai
Jalan utama
Jarak terhadap
Sekolah dan RS
Kelerengan lahan
Jangkauan layanan
tanggap darurat
Penggunaan
lahan
Gambar 43. Tahapan Analisis Kesesuaian Lahan dan Gambaran Proses Overlay Data Layer
Gambar 36. menunjukkan proses analisis kesesuaian lahan yang terdiri dari empat tahap
yaitu rasterization, buffering, reclassification, dan overlay.Konversi dari data vector ke data
raster disbut dengan rastrisasi (rasterization) dam metode ini menggunakan algoritma
computer yang berbeda (Piwowar et.al, 1990). Dalam raster, penampang garis dirubah
menjaru sebuah penampang sel kotak yang disebut juga dengan pixel (seperti elemen
gambar). Setelah semua data dirasterisasi maka selanjutnya diberlakukan kriteria jarak
maksimum yang disebut juga dengan Euclidean Distance. Ukuran jarak tersebut berbeda
tergantung kriteria yang digunakan. Pada prinsipnya penerapan Euclidean distance tersebut
dilakukan dengan cara menarik garis lurus dari sel sumber ke sel lain sesuai spesifikasi
maksimum yang ditentukan (Chang, 2008). Setelah itu, semua data map layer siap untuk
direklasifikasikan. Tujuan dari reklasifikasi adalah untuk memberikan nilai untuk kelas pada
masing-masing data layer sehingga masing-masing layer memiliki ukuran yang sama dalam
menentukan lokasi yang paling sesuai (Tomlin, 1990).
75
Gambar 44. Hasil Analisis Kesesuaian Lahan SPBU (Aulia, 2012)
Gambar di atas menunjukkan hasil peta kesesuaian lahan SPBU. Berdasarkan kriteria yang
diinputkan pada masing-masing data map layer maka dapat diketahui bahwa sebagian besar
kota Surabaya memiliki kesesuaian tinggi untuk lokasi SPBU. Kawasan yang digaris bawahi
tidak sesuai khususnya adalah kawasan sempadan pantai, sempadan sungai, dan RTH.
Referensi
Aulia, Belinda, “Penataan SPBU berdasarkan Preferensi Pelaku dan Micro Zonasi Kegempaan”,
Penelitian BOPT, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Indonesia, 2012.
Aulia, Belinda, “Siting Suitability Analysis of Petrol Filling Station using GIS and Analytical Hierachy
Process: A Case Study of Surabaya Metropolitan”, Thesis, Civil Engineering Department: Universiti
Teknologi PETRONAS, Malaysia, 2011.
K. T. Chang, Introduction to Geographic Information System vol. Fourth Edition. Unites States:
McGrawHill, 2008.
P. A. Burrough and R. A. McDonnell, Principles of Geogrpahical Information System. New York:
University of Oxford, 1998.
J. Dong, "GIS and Location Theory Based Bioenergy Systems Planning," in Systems Design
Engineering. vol. Master of Applied Science Ontario, Canada: University of Waterloo, 2008.
L. D. Hopkins, "Methods for Generating Land Suitability Maps: a Comparative Evaluation," Journal for
American Institute of Planners, vol. 43, pp. 386-399, 1977.
76
F. Steiner and L. McSherry, "Land Suitability Analysis for The Upper Gila River Watershed," in
Landscape and Urban Planning. vol. 50, 2000, pp. 199-214.
Y. Manlun, "Suitability Analysis of Urban Green Space System Based on GIS," in Urban Planning and
Management. vol. Master of Science in Geo-Information Science and Earth Observation Enschede,
The Netherlands: International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation, 2003.
J. M. Piwowar, E. F. LeDraw, and D.J.Dudycha, "Integration of Spatial Data in Vector and Raster
Formats in a Geographic Information System Environment," International Journal of Geographical
Information System, vol. 4, pp. 429-44, 1990.
C. D. Tomlin, Geographic Information Systems and Cartographic Modeling. Englewood Cliffs, NJ:
Prentice Hall, 1990.
77
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. 1
BAB 1. TEORI LOKASI DAN KEDUDUKANNYA DALAM PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA ................ 5
BAB 2. TEORI LOKASI KLASIK YANG MENJADI DASAR PERKEMBANGAN PENDEKATAN ANALISIS LOKASI
MUTAKHIR ...................................................................................................................................... 10
BAB 4. TEKNIK ANALISIS YANG SESUAI UNTUK MENGKAJI ASPEK LOKASIONAL KOMPONEN
KEGIATAN WILAYAH DAN KOTA ....................................................................................................... 62
78
4.2. Perspektif analisis keruangan dan Analisis interaksi keruangan ........................................ 66
79
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Model Von Thunen dengan Satu Komoditas ................................................................... 13
Gambar 2. Model Von Thunen dengan Zero Rent Margin ................................................................ 13
Gambar 3. Aplikasi Zone Konsentrik Von Thunen ............................................................................. 14
Gambar 4. Pola Land Use pada Model Von Thunen.......................................................................... 16
Gambar 5. Urban bid-rent Curve ...................................................................................................... 16
Gambar 6. Fenomena Urban Sprawl ................................................................................................ 18
Gambar 7. Weber’s Triangle ............................................................................................................ 19
Gambar 8. Isotim ............................................................................................................................. 20
Gambar 9. Isodapane ...................................................................................................................... 21
Gambar 10. Ilustrasi Range dan Threshold ....................................................................................... 22
Gambar 11. Bentuk Heksagon dapat Mengisi Ruang secara Efisien .................................................. 23
Gambar 12. Konsep Heksagon Christraller yang Mendasari Teori Orde kota ................................... 24
Gambar 13. Keberagaman Fungsi di Metropolis yang Masing-masing memiliki Market Area............ 25
Gambar 14. Jaringan Kota yang Dibentuk oleh Ragam Fungsi (Aktivitas) yang berbeda .................... 26
Gambar 15. Locational Interdependence pada Inelastic Demand ..................................................... 27
Gambar 16 Locational Interdependence pada Elastic Demand......................................................... 27
Gambar 17. Bid Rent Curve.............................................................................................................. 29
Gambar 18. Variabel Lokasi Industri ................................................................................................ 32
Gambar 19. Kasus 1 Lokasi Alternatif ............................................................................................... 33
Gambar 20. Kasus 2 Lokasi Alternatif ............................................................................................... 33
Gambar 21. Kasus 3 Lokasi Alternatif ............................................................................................... 34
Gambar 22. Kasus 4 Lokasi ALternatif .............................................................................................. 34
Gambar 23. Kasus 5 Lokasi ALternatif .............................................................................................. 35
Gambar 24. Klasifikasi Industri Berdasarkan Lokasi .......................................................................... 35
Gambar 25. Porter’s Diamond ......................................................................................................... 38
Gambar 26. Madison County, Missouri Industry Clusters ................................................................. 40
Gambar 27. The California Wine Cluster .......................................................................................... 41
Gambar 28. Lokasi Persebaran Industri Prioritas di WPPI I,II,III ........................................................ 43
Gambar 29. Kerangka Keterkaitan Industri Pengolahan Kakao dan Coklat ........................................ 45
Gambar 30. Lokasi Pengembangan Industri Pengelolahan Kakao dan Coklat.................................... 45
Gambar 31. Format Retail ............................................................................................................... 47
Gambar 32. Pertimbangan untuk Mennetukan Lokasi Tapak ........................................................... 48
Gambar 33. Area Perdagangan ........................................................................................................ 49
80
Gambar 34. Klasifikasi Variabel Penilaian Lokasi (Themido et al, 1998) ............................................ 50
Gambar 35. Gravity Model .............................................................................................................. 51
Gambar 36. P-Median Model........................................................................................................... 54
Gambar 37. Multiple Criteria untuk Menjawab Satu Tujuan............................................................. 62
Gambar 38. Struktur Keruangan Kota Yang Dipengaruhi Oleh Kekuatan Sentripetal Dan Sentrifugal 69
Gambar 39. Perkembangan Kota ..................................................................................................... 70
Gambar 40. Struktur Ruang Kota ..................................................................................................... 71
Gambar 41. Struktur Ruang Perkotaan............................................................................................ 71
Gambar 42. Struktur Ruang Perdesaan ............................................................................................ 72
Gambar 43. Tahapan Analisis Kesesuaian Lahan dan Gambaran Proses Overlay Data Layer ............. 75
Gambar 44. Hasil Analisis Kesesuaian Lahan SPBU (Aulia, 2012)....................................................... 76
81
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Pembahasan Diktat Berdasarkan Kompetensinya ................................................................. 3
Tabel 2.Perubahan Kecenderungan Lokasi ......................................................................................... 8
Tabel 3. Pola Land Use Von Thunen ................................................................................................. 12
Tabel 4. Distance Matrix For The Network ....................................................................................... 55
Tabel 5. Cost (demand x distance) matrix for the network ............................................................... 56
Tabel 6. Heuristic Algorithm ............................................................................................................ 56
Tabel 7. Kesesuaian Penggunaan Lahan Berdasarkan Kemiringan Lereng ......................................... 60
Tabel 8. Ketentuan Kebutuhan Sarana Permukiman ........................................................................ 61
Tabel 9. Determining the Relative Criterion Weight (Malczewski, 1999)........................................... 64
Tabel 10. Penentuan Konsistensi Rasio (Malczewski, 1999).............................................................. 64
Tabel 11. Kekuatan-Kekuatan Dinamis Yang Mempengaruhi Struktur Keruangan Kota (Model Charles
Colby).............................................................................................................................................. 69
Tabel 12. Kriteria dan Indikator dalam Penentuan Lokasi SPBU........................................................ 74
82