Anda di halaman 1dari 13

TUGAS FARMAKOTERAPI TERAPAN

RENAL DISORDER (GANGGUAN GINJAL)

Oleh: Kelompok 3
Muhammad Khairun Nafis (18310153200xx)
Rezki Amelia (18310153200xx)
Rahmi Kurnia Suryani (1831015320080)

Program Studi Profesi Apoteker


Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Lambung Mangkurat
2019
GANGGUAN GINJAL

I. DEFINISI
Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami
penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan
pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti
sodium dan kalium di dalam darah atau produksi urin. Penyakit gagal ginjal berkembang
secara perlahan kearah yang semakin buruk dimana ginjal sama sekali tidak lagi mampu
bekerja sebagaimana fungsinya. Dalam dunia kedokteran dikenal 2 macam jenis gagal ginjal
yaitu gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronis. Faktor risiko gangguan ginjal:

Faktor Risiko
Susceptibility Factors Initiation Factors Progession Factors
a. Usia lanjut a. Diabetes a. Diabetes
b. kurangnya massa ginjal dan b. Hipertensi b. Hipertensi c. Proteinuria
berat lahir yang rendah c. Glomerulonefritis a. Hiperlipidemia b.
c. Ras/etnik Obesitas
d. Riwayat keluarga c. Merokok
e. Penghasilan atau pendidikan
rendah
f. Sistemik inflamasi g.
Dislipidemia
(Dipiro et al., 2015)

1.1 Gangguan Ginjal Akut


1.1.1 Definisi dan Patofisiologi
Akut kidney injury (AKI) adalah sekumpulan gejala yang secara umum ditandai dengan
penurunan mendadak dari fungsi ginjal yang dibuktikan dengan adanya perubahan nilai
laboratorium, kreatinin serum (Scr), blood urea nitrogen (BUN), dan eskresi urin. RIFLE (Risk,
injury, failure, coss of kidney function and End-stage renal disease) dan AKIN (Ginjal akut cedera
Network) kedua kriteria digunakan untuk memprediksi hasil pasien. KDIGO mendefinisikan AKI
jika salah satu kriteria berikut ini terpenuhi:
1. Kenaikan Scr sedikitnya 0,3 mg / dL (27 umol / L) dalam waktu 48 jam
2. Kenaikan Scr kurang dari 1,5 kali dalam 7 hari sebelumnya
3. Penurunan volume urine hingga kurang dari 0,5 ml / kg / jam selama 6 jam
AKI berdasarkan patofisiologinya dapat dikategorikan sebagai prerenal (terjadi karena
hipoperpusi ginjal dan turunnya laju filtrasi glomeruls), intrinsik (akibat kerusakan struktural pada
ginjal, paling sering terjadi akibat iskemik atau hasil dari adanya toksikan) dan postrenal (akibat
penyumbatan aliran urin dari tubulus ginjal ke uretra) (Dipiro et al., 2015).

1.1.2 Etiologi (Penyebab)


Etiologi atau penyebab terjadinya AKI (Acute Kidney Injury) sangat beragam, pada
gambar 1 dapat dilihat kategori AKI berdasarkan etiologinya. Penggunaan beberapa jenis obat
diketahui dapat menyebabkan nefrotoksik misal penggunaan NSAID, ACEI, ARB, antibiotik
golongan tertentu dsb sehingga perlu perhatian khusus (Dipiro et al., 2015).

2
Gambar 1. Klasifikasi AKI berdasarkan etiologi

1.1.3 Diagnosis
Diagnosis AKI dapat ditegakkan melalui riwayat medis dan riwayat penggunaan obat,
pemeriksaan fisik, penilaian pada hasil laboratorium dan jika diperlukan, studi pencitraan. SCr
dan kadar nitrogen urea darah (Blood Urea Nitrogen/BUN) tidak dapat digunakan sebagai
parameter tunggal dalam diagnosis AKI karena kedua parameter tersebut tidak sensitif terhadap
perubahan GFR dan tidak menggambarkan fungsi ginjal sebenarnya. Kadar BUN pada AKI
sangat terbatas karena produksi urea dan klirens ginjal dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti
penyakit klinis, status volume, ambilan protein dan pengobatan. Tes laboratorium berupa
kenaikan serum kalium, BUN, SCr, Fosfor, atau penurunan kalsium dan pH (asidosis) (Dipiro et
al., 2015).

Gambar 2. Pengkategorian AKI berdasarkan beberapa guidline


1.1.4 Tatalaksana Terapi
Tujuan terapi ialah untuk menghindari dan mengeliminasi kerusakan ginjal lebih lanjut
yang dapat menghambat pemulihan dan untuk menyediakan fungsi penunjang sampai fungsi
ginjal kembali normal.
1. Terapi non farmakologi
3
a. Tujuan terapi suportif meliputi pemeliharaan curah jantung yang memadai dan tekanan
darah untuk mengoptimalkan perfusi jaringan sementara dengan memulihkan fungsi
ginjal untuk pra-gagal ginjal akut.
b. Obat dihentikan terkait dengan aliran darah ginjal berkurang. Memulai cairan yang tepat
dan manajemen elektrolit. Hindari penggunaan nephrotoxins.
c. Pada AKI parah, terapi ginjal pengganti (RRT), seperti hemodialisis dan dialysis
peritoneal, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit.
d. Intermittent hemodialisis (IHD) adalah RRT yang paling sering digunakan dan memiliki
keuntungan dari ketersediaan luas dan kenyamanan hanya berlangsung 3 sampai 4 jam.
Kerugian meliputi sulit akses dialisis vena pada pasien hipotensi dan hipotensi karena
akan dimetabolisme secara cepat.
2. Terapi farmakologi
a. Manitol 20% biasanya dimulai dengan dosis 12,5 sampai 25 g IV selama 3 sampai 5
menit. Kerugian meliputi pemberian IV, risiko hiperosmolalitas, dan kebutuhan untuk
memantau ekskresi urin, serum elektrolit dan osmolalitas karena manitol dapat
berkontribusi untuk gagal ginjal akut.
b. Diuretik loop efektif mengurangi kelebihan cairan namun dapat memperburuk gagal ginjal
akut. Dosis equipotent dari diuretik loop (furosemid, bumetanide, torsemide, dan asam
ethacrynic) memiliki khasiat yang sama. Asam ethacrynic untuk pemberian pada pasien
yang alergi dengan sulfa. Infus kontinu loop diuretik muncul untuk mengatasi resistensi
diuretik dan memiliki efek samping yang lebih sedikit daripada bolus intermiten.
Pemberian dosis awal IV (setara dengan furosemide 40-80 mg) harus diberikan sebelum
memulai infus kontinu (setara dengan furosemid 10-20 mg / h).
c. Strategi yang tersedia untuk mengatasi resistensi diuretik. Dari golongan obat yang
berbeda, seperti diuretik yang bekerja didistal tubulus (tiazid) atau saluran pengumpul
(amilorid, triamterene, dan spironolactone), mungkin sinergis bila dikombinasikan
dengan diuretik loop. Metolazone umumnya digunakan karena tidak seperti tiazid
lainnya, menghasilkan diuresis efektif dimana GFR kurang dari 20 mL / menit (0,33 mL
/menit).
3. Pemberian elektrolit dan nutrisi
a. Pemberian serum harus dipantau setiap hari. Hiperkalemia adalah kelainan elektrolit
yang paling umum dan serius pada pasien gagal ginjal akut. Hipernatremia dan retensi
cairan umumnya terjadi, membutuhkan perhitungan asupan sodium harian, termasuk
sodium yang terkandung dalam zat antibiotik dan antijamur yang umum diberikan.
b. Fosfor dan magnesium harus dipantau, terutama pada pasien dengan kerusakan
jaringan yang signifikan karena peningkatan jumlah fosfor, tidak secara efisien dihentikan
oleh dialisis.
c. Pemberian gizi pasien kritis dengan gagal ginjal akut adalah kompleks karena beberapa
mekanisme gangguan metabolik. Kebutuhan gizi yang diubah oleh stres, peradangan,
dan cedera yang menyebabkan hipermetabolik dan hiperkatabolik
(Dipiro et al., 2015).

1.2 Gangguan Ginjal Kronik


1.2.1 Definisi
Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan masalah kesehatan
baik di negara maju maupun negara berkembang. Progresi penyakit ini untuk berkembang
menjadi penyakit ginjal terminal (End Stage Renal Disease / ESRD) sulit dihindarkan
(Prodjosudjadi & Suhardjono, 2009). Penyakit ginjal kronis merupakan salah satu komplikasi
gagal ginjal akut (Acute Renal Failure (ARF) / Acute Kidney Injury (AKI)). Cedera
iskemia/reperfusi (Cedera I/R) pada ginjal diketahui merupakan penyebab AKI yang paling
sering dijumpai. Lebih dari 70% kasus AKI dapat berkembang menjadi gagal ginjal kronis
(Bonventre & Yang, 2011).

4
1.2.2 Patofisiologi
Beberapa susceptibility factor dapat meningkatkan resiko terjadinya gangguan ginjal,
namun tidak semua faktor tersebut menyebabkan kerusakan ginjal. Faktor-faktor tersebut
diantaranya usia lanjut, penurunan massa ginjal dan kelahiran dengan bobot rendah (low birth
weight), ras dan etnik minoritas, riwayat keluarga, pendidikan atau pendapatan rendah, inflamasi
sistemik, serta dislipedimia.
Faktor inisiasi (initiation factors) yang mengawali kerusakan ginjal dan dapat dimodifikasi
melalui terapi obat. Faktor inisiasi tersebut diantaranya diabetes melitus, hipertensi, penyakit
autoimun, penyakit ginjal polycystic, dan toksisitas obat. Faktor progesif (Progression factors)
dapat mempercepat penurunan fungsi ginjal setelah inisiasi gagal ginjal. Faktor-faktor tersebut
diantaranya glikemia pada diabetes, hipertensi, proteinuria, dan merokok. Kebanyakan
nefropati progresif berakhir pada jalur umum menuju kerusakan parenkimal renal ireversibel
dan ESRD. Elemen utamanya adalah kehilangan massa nefron, hipertensi kapilari glomerular,
dan proteinuria.
CKD dikategorikan menurut tingkat fungsi ginjal, berdasarkan laju filtrasi glomerulus
(Glomerular Filtration Rate/GFR), menjadi tahap 1 sampai tahap 5, dengan peningkatan nomor
menunjukkan peningkatan derajat keparahan penyakit, yang didefinisikan sebagai penuruan
GFR. Sistem klasifikasi ini diperoleh dari National Kidney Foundation’s Kidney Dialysis
Outcomes and Quality Invitative (K/DOQI), dan memperhitungkan kerusakan struktural dari
kerusakan ginjal.

(Dipiro et al., 2015).

1.2.3 Etiologi

Kerusakan fungsi nefron pada CKD merupakan hasil dari gangguan ginjal, komplikasi sekunder
dari penyakit sistemik tertentu (misalnya diabetes mellitus atau hipertensi) atau cedera akut pada
ginjal yang menyebabkan kerusakan ginjal yang tidak dapat diperbaiki (Koda-Kimble, 2013).

1.2.4 Diagnosis
 Perkembangan CKD sangat tersembunyi dan membahayakan. Pasien CKD dengan
stadium 1 atau 2 biasanya tidak memiliki gejala atau gangguan metabolisme yang terlihat
seperti pada stadium 3 sampai 5, contoh gejala yang nampak pada stadium 3-5 seperti
anemia, hiperparatiroidisme sekunder, penyakit kardiovaskular (CVD), malnutrisi, dan
kelainan cairan dan elektrolit yang lebih umum terjadi pada ginjal fungsi memburuk.
 Gejala uremik (kelelahan, lemah, napas pendek, kebingungan mental, mual,
muntah, perdarahan, dan anoreksia) umumnya tidak ada pada stadium 1 dan 2, minimal
selama tahap 3 dan 4, dan umum pada pasien CKD dengan stadium 5 yang mungkin juga
mengalami gatal-gatal, intoleransi dingin, penambahan berat badan, dan neuropati perifer.
 Tanda dan gejala uremia merupakan hal mendasar dalam keputusan untuk menerapkan
RRT (Renal Replacement Therapy)
 Diagnosis dari CKD sendiri dilakukan dengan melihat parameter GFR (Glomerular Filtrate
Rate) yang kemudian akan dapat dikategorikan pasien masuk ke dalam stage berapa
sehingga akan mempermudah pemilihan terapi yang tepat untuk pasien.
(Dipiro et al., 2015).

5
Gambar 3. Pengkategorian CKD berdasarkan nilai GFR (Glomerular Filtrate Rate)

1.2.5 Tatalaksana Terapi

A. Terapi Non Farmakologi


a) Membatasi konsumsi protein 0.8gram/kg/hari jika GFR kurang dari
30ml/min/1.73m2.
b) Menganjurkan menghentikan merokok untuk memperlambat keparahan CKD dan
mengurangi risiko CVD (Cardiovaskular Disease).
c) Menganjurkan melakukan olahraga kurang lebih 30 menit, selama lima kali dalam
seminggu dan mengatur BMI menjadi 20 sampai 25 kg/m2.
(Chisholm-Burns et al., 2016)

B. Terapi Farmakologi
Tujuan Terapi yaitu untuk memperlambat perkembangan CKD, meminimalisir
perkembangan dan keparahan pada penyakit komplikasi. Terapi farmakologi untuk CKD
bergantung pada penyakit penyertanya, diantaranya :
1) Pasien DM dengan CKD
Tabel. Target pengobatan, kontraindikasi, dan obat rekomendasi untuk CKD dengan Diabetes
Kondisi Target Kontraindikasi Obat Rekomendasi
Hiperglikemia Menurunkan gula Sulfonilurea generasi Insulin
dan diabetes darah untuk pertama Sesuaikan dosis
dengan CKD mencegah atau - Acetohexamide berdasarkan respons
memperlambat - Klorpropamid pasien.
peningkatn GFR 50-80 mL/min/1,73 m2: Sulfonilurea
albuminuria kurangi dosis 50%, Hidari generasi kedua
penggunaan pada GFR <50 - Glimepiride
Target hemoglobin mL/min/1,73 m2 mulai konservatif
A1c (HbA1c) ~ - Tolazamide dengan 1 mg setiap
7.0% untuk - Tolbutamide hari
mencegah atau Sulfonilurea generasi Inhibitor DPP-4
menunda kedua - Sitagliptin
perkembangan - Glyburide GFR >50 mL/min/1,73
komplikasi Biguanides m2: 100 mg setiap hari
mikrovaskular - Metformin GFR 30-50 mL / menit
diabetes, termasuk Label FDA Amerika Serikat / 1,73 m2: 50 mg
DKD. menyatakan, "jangan setiap hari
gunakan jika SCr ≥1.5 mg/dL GFR <30 mL / min /
Tidak melakukan pada pria, ≥1.4 mg/dL pada 1,73 m2: 25 mg setiap
pengobatan pada wanita" hari

6
pasien dengan Formularium Nasional - Saxagliptin
HbA1c <7,0% Inggris dan Masyarakat GFR >50 mL / min /
karena berisiko Nefrologi Jepang 1,73 m2: 5 mg setiap
hipoglikemia merekomendasikan hari
penghentian jika GFR ≤50 mL/min/1,73
Disarankan bahwa eGFR <30 mL/min/1,73 m2 m2: 2,5 mg setiap hari
target HbA1c Inhibitor alfa-glukosidase
diperpanjang di - Acarbose
atas 7,0% pada Hindari jika GFR <30
individu dengan mL/min/1,73 m2
komorbiditas atau - Miglitol
harapan hidup yang Hindari jika GFR <25
terbatas dan risiko mL/min/1,73 m2
hipoglikemia. Mimesis incretin
- Exenatide
tidak direkomendasikan jika
GFR <30 mL/min/1,73 m2
- Liraglutide
tidak dianjurkan jika GFR
<60 mL/mnt/1,73 m2

Dislipidemia Menurunkan LDL Direkomendasikan untuk Direkomendasikan


dengan untuk mengurangi tidak menggunakan penggunaan obat
Diabetes dan risiko kejadian inhibitor enzim penurun LDL-C,
CKD aterosklerotik pengonversi angiotensin seperti statin atau
utama pada pasien (ACE-I) atau angiotensin kombinasi statin/
dengan diabetes receptor blocker (ARB) ezetimibe,
dan CKD untuk pencegahan primer untuk mengurangi
DKD pada Pasien risiko kejadian
normoalbuminuria aterosklerotik utama
normotensif dengan pada pasien dengan
diabetes. diabetes dan CKD,
termasuk pasien yang
telah menerima
transplantasi ginjal.

Direkomendasikan
untuk tidak memulai
terapi statin pada
pasien dengan
diabetes yang dirawat
oleh
dialisis.

Albuminuria Penurunan ekskresi Disarankan


pada pasien albumin urin yang penggunaan ACE-I
normotensif dapat atau ARB pada pasien
dengan memperlambat normotensi dengan
diabetes perkembangan diabetes dan
DKD bahkan tanpa albuminuria
hipertensi. kadar ≥ 30 mg/g yang
penurunan ekskresi berisiko tinggi terkena
albumin urin dapat DKD atau
memperlambat perkembangannya.
perkembangan
DKD bahkan tanpa
hipertensi.

(KDOQI, 2012).

7
2) Pengoptimalan Kontrol Tekanan Darah (pasien Hipertensi dengan CKD)
Penurunan tekanan darah dikaitkan dengan penurunan proteinuria, sehingga membantu
mengurangi laju perkembangan penyakit ginjal. NKF merekomendasikan tekanan darah
sasaran kurang dari 130/80 mmHg pada pasien dengan stadium 1 hingga 4 CKD. Pasien
CKD tahap 5 yang menerima hemodialisis harus mencapai tekanan darah tujuan kurang dari
140/90 mmHg sebelum hemodialisis dan kurang dari 130/80 setelah hemodialisis. Karena
hipertensi dan disfungsi ginjal terkait, kontrol tekanan darah bisa lebih sulit untuk dicapai
pada pasien dengan CKD dibandingkan dengan pasien dengan fungsi ginjal normal. Semua
agen antihipertensi memiliki efek yang sama pada penurunan tekanan darah. Namun, tiga
atau lebih agen umumnya diperlukan untuk mencapai tujuan tekanan darah kurang dari
130/80 mm Hg pada pasien CKD (Chisholm-Burns et al., 2016)

Gambar 4. Algoritama hipertensi pada pasien CKD Non Dialisis (Abraham et al., 2017)

Gambar 5. Algoritama hipertensi pada pasien CKD dengan Dialisis (Abraham et al., 2017)

8
Gambar 6. Tabel Obat yang direkomendasikan dan dikontraindikasikan pada pasien
CKD dengan dialisis (Abraham et al., 2017)

3) Pengobatan Anemia
Anemia menurunkan pengiriman oksigen ke tubulus ginjal, sehingga mendorong pelepasan
sitokin inflamasi dan vasoaktif, yang kemudian berkontribusi pada perkembangan CKD.
Pengobatan anemia pada pasien dengan CKD mengurangi efek kardiovaskular anemia dan
telah terbukti mengurangi morbiditas dan mortalitas sebanyak 20% . ( Chisholm-Burns et al.,
2016). Algoritma untuk anemia dengan CKD dapat dilihat pada gambar 7.

Gambar 7. Algoritma Penanganan Anemia dengan CKD (Dipiro et al., 2015)

Tindakan transfusi darah sedapat mungkin dihindari pada pasien CKD, karena banyak
komplikasi yang bisa timbul baik saat transfusi maupun setelahnya. Penyulit yang sering
terjadi adalah kelebihan cairan di sirkulasi, transmisi penyakit infeksi, reaksi transfusi,

9
kelebihan zat besi.Transfusi dipertimbangkan jika manfaatnya lebih besar daripada risiko
jika transfusi dilakukan sebaiknya diberikan secara bertahap untuk mencegah kelebihan
cairan disirkulasi (Perhimpunan Nefrologi Indonesia, 2010 ).

4) CKD dengan MBD (Mineral Bone Disorder)


Gangguan metabolisme mineral dan tulang (CKD-MBD) sering terjadi pada pasien
CKD dan terjadi kelainan pada hormon paratiroid (PTH), kalsium, fosfor, the calcium-
phosphorus product dan vitamin D. Ketika penyakit ginjal berlanjut, aktivasi vitamin D ginjal
terganggu, yang mengurangi penyerapan kalsium usus. Konsentrasi kalsium darah rendah
merangsang sekresi PTH. Ketika fungsi ginjal menurun, keseimbangan kalsium serum
hanya dapat dipertahankan dengan mengorbankan peningkatan resorpsi tulang, yang pada
akhirnya menghasilkan osteodistrofi ginjal (ROD).

Kondisi Klinis Manajemen Note


Terapi
Nilai PTH tinggi calcitriol or vitamin Jika nilai PTH masih tinggi setelah diberikan
D analogs treatmen maka bisa dilakukan
Parathyroidectomy
Defisiensi Vitamin D cholecalciferol dose
of 1,000-2,000 IU/d
atau Agen Vitamin D
lainnya
Hiperfosfatemia Phosphat Binding Contoh obat dapat dilihat pada gambar di
Agent bawah
(KDOQI, 2009)

Gambar 8. Tabel Obat yang termasuk Phosphate-Binding Agents (Dipiro et al., 2015)

10
Gambar 9. Tabel Obat yang termasuk Vitamin D Agents (Dipiro et al., 2015)

DAFTAR PUSTAKA

(1) Abraham, G., Arun, K., Gopalakrishnan, N., Renuka, S., Pahari, D. K., Deshpande, P., ... &
Sakhuja11, V. 2017. Management of Hypertension in Chronic Kidney Disease: Consensus
Statement by an Expert Panel of Indian Nephrologists. J Assoc Physicians India, 65(2), 6-
22.

(2) Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson, P.A.,
Kradjan, W.A., et al., 2013, Koda-Kimble & Young’s Applied
Therapeutics The Clinical Use of Drugs, 10th ed., Lippincott Williams &
Wilkins, Pennsylvania, United States of America.

(3) Bonventre, J.V. & Yang, L. 2011. Cellular Pathophysiology Of Ischemic Acute Kidney Injury.
J.Clin. Invest. 121: 4210-4221.

(4) Chisholm-Burns M.A., Schwinghammer T.L., Wells B.G., Malone P.M., Kolesar
J.M. and Dipiro J.T., 2016, Pharmacotherapy Principles and Practice, Mc
Graw-Hill Companies, New York.

(5) Dipiro, J. T., R. L. Talbert, G. C. Yee, G. R. Matzke, B. G. Wells, and L. M. Posey.


2015. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 9th ed. The McGraw Hill
Companies Inc, United States of America.

(6) Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group.
2012.Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney
Disease.

(7) KDOQI. 2009. Evaluation and Treatment of Chronic Kidney Disease-Mineral and Bone
Disorder (CKD-MBD).

(8) KDOQI. 2012. Clinical Practice Guideline For Diabetes And CKD.

(9) Perhimpunan Nefrologi lndonesia. 2010. Konsensus Manajemen Anemia pada


Gagal Ginjal kronik.

11
12

Anda mungkin juga menyukai