USULAN PENELITIAN
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Modul Riset Kedokteran
Oleh:
Kelompok 8
‘
Mengetahui, Menyetujui
Ketua Modul Riset Kedokteran Dosen Pembimbing
Segala puji dan sujud syukur hanya untuk Sang Maha Suci Allah SWT, atas
segala lindungan, kemudahan, dan rahmat-Nya, sehingga kami mampu menyusun
laporan ini. Tiada kata yang dapat melukiskan kebahagiaan atas segala dukungan dari
semua pihak, sehingga kami dapat menyusun laporan penelitian.
Hanya ucapan terimakasih sedalam-dalamnya sebagai apresiasi tinggi kepada
dosen pembimbing kami Sri Quintina, dr., M.Kes. kepada semua pihak yang telah
membantu dan mendukung penulisan laporan penelitian sehingga dapat di selesaikan
dengan baik oleh kami. Ucapkan terimakasih tentunya diberikan kepada orang tua
tercinta untuk semangat dan doa yang tiada hentinya. Kami tidak dapat membalas
segala kebaikan, semoga Allah SWT memberikan yang berkali-kali lebih baik.
Laporan penelitian ini masih jauh dari sempurna untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata, semoga
laporan penelitian ini menambah wawasan keilmuan dibidang kedokteran khususnya
dan bagi pembaca pada umumnya.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI........................................................................................................... v
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAB II..................................................................................................................... 4
v
vi
3.2.1 Populasi.......................................................................................... 12
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
x
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
mengalami infeksi yang disebabkan cacing, tiga ratus orang terinfeksi berat dan
seratus lima puluh ribu kematian setiap tahunnya. Laporan terakhir memperkirakan
kejadian infeksi cacing tambang 740 juta.1
Pada tingkat sekolah dasar di Indonesia yang mengalami infeksi STH mencapai
60─80%. Prevalensi ancylostomiasis di Jawa Barat pada tahun 1972 ─ 1979 sekitar
67,0%. Angka kejadian tersebut cukup tinggi dan infeksi ini banyak menyerang anak-
anak usia 5─10 tahun. Pada usia itu imunitas anak masih rendah dibanding usia
dewasa sehingga mudah terkena infeksi, ditambah lagi pada usia tersebut anak-anak
belum bisa menjaga kebersihan dirinya dengan baik.3
Penyakit kecacingan atau biasa disebut cacingan masih dianggap sebagai hal
sepele oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Padahal jika dilihat dampak jangka
panjangnya, kecacingan menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi penderita dan
keluarganya. Kerugian akibat kecacingan tidak terlihat secara langsung, karena itu
penyakit ini sering dianggap sepele oleh masyarakat. Kecacingan dapat menyebabkan
anemia (kurang darah), berat bayi lahir rendah, gangguan ibu bersalin, lemas,
mengantuk, malas belajar, IQ menurun, prestasi dan produktivitas menurun.1
Berdasarkan beberapa paparan yang sudah dijelaskan di atas, kami menilai bahwa
beratnya infeksi terhadap status gizi anak berhubungan erat dengan kejadian stunting
pada balita di Jawa Barat. Oleh karena itu, kami mengangkat judul penelitian sesuai
dengan permasalahan yang terjadi, yaitu “Hubungan infeksi Ancylostoma duodenale
dengan kejadian stunting pada balita di Kota Cimahi tahun 2018”.
TINJAUAN PUSTAKA
4
5
2. Higiene lingkungan
Lingkungan terutama rumah merupakan tempat berinteraksi paling lama dari
anggota keluarga termasuk di dalamnya adalah anak. Kondisi tanah yang lembab
dengan bertumpuknya banyak sampah merupakan habitat yang tepat untuk nematoda
hidup dan berkembang biak. Tesktur tanah yang sangat bervariasi yang terdiri dari
tanah pasir, debu dan liat sangat memungkinkan hidup dan berkembang biak telur-
telur cacing hingga menjadi cacing yang infektif menularkan penyakit kecacingan.
Kondisi lingkungan rumah yang baik dalam hal sanitasi akan membantu
meminimalkan terjadinya gangguan kesehatan bagi penghuninya.5
3. Pendidikan dan kebiasaan
Kejadian infeksi yang lebih kecil ditemukan pada anak sekolah yang orang
tuanya memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik. Perilaku defekasi yang kurang
baik dan di sembarang tempat diduga menjadi faktor risiko dalam infeksi cacing
tambang. 5
4. Kontak dengan cacing
Anak usia sekolah rentan terinfeksi cacing tambang karena pola bermain anak
pada umumnya tidak dapat dilepaskan dari tanah sementara itu pada saat anak
bermain sering kali lupa menggunakan alas kaki.5
5. Asuhan orang tua
Pola asuhan orang tua dan pengasuh merupakan salah satu faktor yang
memengaruhi kejadian infeksi cacing. Mereka yang mengajarkan dan mendidik
tentang kebersihan dan kesehatan. Jika orang tua mengajarkan pendidikan kebersihan
yang baik, maka dapat mengurangi risiko infeksi STH (Soil Transmitted Helminth).5
nama “cacing tambang” karena pada zaman dahulu cacing ini ditemukan di Eropa
pada pekerja pertambangan yang belum mempunyai fasilitas sanitasi yang memadai.
Hospes parasit ini adalah manusia.5
2.2.1.1 Distribusi Geografik
Penyebaran cacing ini di seluruh daerah khatulistiwa dan di tempat lain dengan
keadaan yang sesuai, misalnya di daerah pertambangan dan perkebunan. Prevalensi di
5
Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan sekitar 40%.
2.2.1.2 Morfologi dan Daur Hidup
Cacing dewasa hidup di rongga usus halus, dengan mulut yang besar melekat
pada mukosa dinding usus. Cacing betina N.americanus setiap hari mengeluarkan
telur 5000-10000 butir, sedangkan A.duodenale kira-kira 10.000-25000 butir. Cacing
betina berukuran panjang kira-kira 1 cm, cacing jantan 0,8 cm. Bentuk N.americanus
menyerupai huruf S, sedangkan A.duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut
kedua cacing ini besar. N.americanus mempunyai benda kitin, sedangkan
A.duodenale ada dua pasang gigi.5
Daur hidupnya, yaitu dari telur menjadi larva rabditiform kemudian menjadi larva
filariform dimana dalam bentuk ini cacing dapat menginfeksi hospesnya dengan
menembus kulit dan juga dapat terjadi dengan menelan larva filariform. Setelah
menembus kulit akan masuk ke kapiler darah kemudian menuju jantung kanan dan
paru dari paru akan naik ke bronkus lalu trakea dan laring yang kemudian dapat
terjadi penyebaran ke usus halus.5
2.2.2 Patologi dan Gejala Klinis
Gejala nekatoriasis dan ankilostomiasis dibagi menjadi dua stadium berikut
1. Stadium larva
Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perubahan
kulit yang disebut ground itch. Perubahan pada paru biasanya ringan. Infeksi larva
filariform A.duodenale secara oral menyebabkan terjadinya gejala mual, muntah,
iritasi faring, batuk, sakit leher, dan serak.5
7
2. Stadium dewasa
Gejala tergantung pada spesies, jumlah cacing, dan keadaan gizi penderita (Fe
dan protein). Pada infeksi kronis atau berat terjadi anemia hipokromatik mikrositer.
Di samping itu, juga terdapat eosinophilia. Cacing tambang biasanya tidak
menyebabkan kematian, tetapi daya tahan tubuh berkurang dan prestasi kerja
menurun.5
2.2.3 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja segar. Dalam tinja
yang lama mungkin ditemukan larva. Untuk membedakan spesies N.americanus dan
A.duodenale dapat dilakukan biakan misalnya dengan cara Harda-Mori.5
2.2.4 Pengobatan
1. Anemia
Apabila terjadi anemia berat harus diberikan transfusi darah secara intravena,
dengan perlahan-lahan dengan menggunakan darah yang telah diendapkan (20
mm/kgBB atau 10 ml/lb berat badan). Jika anemia hanya sedang, zat besi dapat
diberikan secara per oral (dengan miktura fera sulfat) atau dengan suntikan
intramuskular (imferon).5
2. Obat anti cacing
Tetrachlorethylena (TCE) biasanya diberikan 0,1 ml/kg berat badan. Obat ini
harus diberikan kuncahan dalam bentuk cairan pada perut kosong tanpa puasa terlebih
dahulu. Ini dapat diulang setiap hari selama 3 hari. Jika kadar hemoglobin terlalu
rendah, sebaiknya kadar ini dinaikkan terlebih dahulu sampai 40% dengan transfusi
atau pemberian zat besi sebelum memakai obat anti cacing ini.5
2.2.5 Epidemiologi
Insidensi tinggi ditemukan pada penduduk Indonesia, terutama di daerah
pedesaan, khususnya di perkebunan. Seringkali pekerja pekerbunan yang langsung
berhubungan dengan tanah mendapat infeksi lebih dari 70%. Kebiasaan defekasi di
tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun (di berbagai daerah tertentu) penting
dalam penyebaran infeksi. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah
8
gempur (pasir, humus) dengan suhu optimal untuk Necator americanus 28o─32oC,
sedangkan untuk Ancylostoma duodenale lebih mudah 23o─25oC.5
2.4 Stunting
2.4.1 Definisi dan Klasifikasi Stunting
Stunting merupakan suatu retardasi pertumbuhan linier yang berkaitan dengan
adanya proses perubahan patologis. Pertumbuhan fisik berhubungan dengan faktor
lingkungan, perilaku, dan genetik. Kondisi sosial ekonomi, pemberian ASI, dan
kejadian BBLR merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting.
Status gizi buruk berdampak terhadap menurunnya produksi zat antibodi dalam
tubuh. Penurunan zat antibodi ini mengakibatkan mudahnya bibit penyakit masuk ke
dalam dinding usus dan mengganggu produksi beberapa enzim pencernaan makanan
dan selanjutnya dapat mengganggu penyerapan zat-zat gizi yang penting menjadi
terganggu. Keadaan ini dapat memperburuk status gizi anak. Data Riskesdas 2013,
menunjukkan data prevalensi balita pendek secara nasional adalah 37,2% yang terdiri
dari 18,0% anak sangat pendek dan 19,2% anak pendek.6
2.4.2 Penyebab Stunting
Stunting disebabkan oleh faktor multidimensi. Intervensi yang paling menentukan
adalah 1000 HPK (1000 Hari Pertama Kehidupan) pada balita. Beberapa faktor
tersebut yaitu seperti praktik pengasuhan yang tidak baik oleh orang tua di mana
kurangnya pengetahuan tentang kesehatan dan gizi sebelum dan saat masa kehamilan.
Menurut Buku Saku Desa dalam Penanganan Stunting, diperkirakan 60% dari anak
usia 0─6 bulan tidak mendapatkan ASI eksklusif dan 2 dari 3 anak usia 0─24 bulan
tidak mendapat MPASI (Makanan Pendamping ASI). Selanjutnya yaitu, terbatasnya
layanan kesehatan termasuk layanan ANC (ante natal care), post natal, dan
pembelajaran dini yang berkualitas. Akibat dari terbatasnya layanan kesehatan
tersebut, diperkirakan anak usia 3─6 tahun tidak terdaftar di pendidikan anak usia
dini, 2 dari 3 ibu hamil belum mengonsumsi suplemen zat besi yang memadai,
menurunnya tingkat kehadiran anak di posyandu, dan tidak mendapat akses yang
memadai ke layanan imunisasi. Kemudian faktor selanjutnya yaitu, kurangnya asupan
makanan bergizi sehingga diperkirakan 1 dari 3 ibu hamil mengalami anemia. Salah
satu hal yang menyebabkan kurangnya asupan makanan bergizi, yaitu status sosial
10
dan ekonomi yang rendah sehingga masyarakat menengah ke bawah tidak mampu
mengakses makan-makanan bergizi. Faktor lainnya, yaitu kurangnya akses ke air
bersih dan sanitasi diamana diperkirakan 1 dari 5 rumah tangga masih melakukan
BAB di ruang terbuka dan 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum
bersih.8
2.4.3 Ciri-ciri Stunting pada Anak
Balita pendek atau stunting memiliki ciri-ciri pertumbuhan tinggi yang lambat,
pertumbuhan gigi lambat, wajah tampak lebih muda dari usianya, tanda pubertas
terlambat, performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar. Cara mencegah
terjadinya stunting, yaitu dengan perbaikan gizi, lengkapi imunisasi, dan perbaiki
sanitasi.8
Klasifikasi Kriteria
Underweight BB/U < -2 SD WHO
Stunting
TB/U < -2 SD WHO
Wasting BB/TB < -2 SD WHO
Etiologi
Infeksi
Ancylostoma
cacing pada
duodenale
balita
Pengukuran Kekurangan
Antropometri
(TB/U) Asupan Nutrisi
Stunting
Keterangan
: Hubungan yang diteliti
METODE PENELITIAN
12
13
Waktu
No Jadwal Penelitian
Juni Juli Agustus
1 Penentuan tema
2 Penentuan judul
3 Penyusunan usulan penelitian
4 Bimbingan
Perizinan ke instansi yang
5
terkait
Pengumpulan usulan
6
penelitian
DAFTAR PUSTAKA
1. Semba RD, De PS, Sun K, Sari M, Akhter N, Bloem MW. Effect of parental
formal education on risk of child stunting in indonesia and bangladesh: a cross
sectional study. The Lancet Article 2008;371:322-328.
2. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Riset Kesehatan Dasar 2013. 2013
3. Welasih BD, Wirjatmadi B. Beberapa faktor yang berhubungan dengan status
gizi balita stunting. The Indonesian Journal of Public Health 2012;8(3):99104
4. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Profil Kesehatan Tahun 2016. 2016
5. Sutanto, Ismid IS, Sjarifuddin PK,dkk. Parasitologi Kedokteran. Edisi keempat.
Jakarta. Badan Penerbit FKUI;2008.
6. Kementrian Kesehatan RI (Kemenkes RI). Situasi Balita Pendek. Kemenkes RI.
Jakarta. 2016.
7. World Health Organization (WHO). Nutrition Landscape Information System.
(Country Profile Indicators). WHO. Geneva. 2010
8. Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Buku
Saku Desa dalam Penanganan Stunting. KDPDTT. Jakarta. 2017.
17
18
LAMPIRAN
Lampiran 1
19