Pertama tau 10 muwashshaffat ini pas baca Gue Never Die-nya Salim A. Fillah tahun 2007
(benernya itu buku udah terbit tahun 2005-an). Saking terkesannya langsung saya catet di
notes jaman kuliah. Padahal waktu itu belum terlalu ngerti tentang tarbiyah (emangnya
sekarang ngerti?). Di lampiran buku itu, Akh Salim menjabarkan berbagai bentuk
implementasi sepuluh muwashshaffat yang dicetuskan oleh Asy Syahid Hassan al Banna,
yang ternyata maksudnya adalah bentuk pribadi Muslim ideal yang ingin dibentuk oleh
dakwah tarbiyah, ke dalam tiga aspek: fisik, emosi dan spiritual.
Pengamalannya, wow, sungguh bukan perkara mudah. Di mana kalau kita berhasil
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, akan melahirkan pribadi Muslim yang komplet
dan oke banget deh pokoknya. Penjabarannya gini nih (versi idealnya saya, tapi comot-comot
dari Gue Never Die juga sih).
Salimul ‘Aqidah
Shahihul ‘Ibadah
Matinul Khuluq
menghindari ghibah, su’udhan, ghadhab, riya’, bakhil, ujub, takabur, serakah dan
kufur ni’mat
menerapkan qaulan sadiida, qaulan ma’rufa, qaulan maysura, qaulan
layyina, dan qaulan kariima
menjadi pribadi yang ramah: membiasakan senyum, sapa, salam, sopan dan santun (aa
gym banget), nggak jutek dan ngebetein
memperhatikan orang lain, lebih banyak mendengarkan, nggak cuma mendengar
apalagi didengar
mengurangi ngomong yang tidak bermanfaat
apresiatif, menghargai orang lain dan tidak meremehkan
mengurangi ego dengan banyak mengalah
menghindari berdebat (walaupun berada di atas kebenaran)
nggak hasad, ghill dan dendam
bahagia dengan kehidupan sendiri, nggak membanding-bandingkn dengan kehidupan
orang lain, banyak bersyukur
bahagia dengan kebahagiaan keluarga, sahabat dan teman
mementingkan orang lain (menerapkan “muslim satu dengan muslim lain bagaikan
satu tubuh”)
nggak menghakimi/nge-judge sembarangan
menanamkan kepedulian
nggak merasa diri paling baik, benar, bebas dosa sementara orang lain penuh dosa
amanah (terhadap rahasia atau urusan yang dipercayakan orang lain kepada kita)
nggak menasihati kecuali: perlu, diminta, hanya berdua
percaya yang terbaik dari setiap orang
menahan emosi dan nafsu untuk memenangkan pembicaraan
nggak mudah marah, bisa mengendalikan diri
pemberani terhadap apapun, kecuali Allah
menerapkan birrul walidayn
perhatian sama keluarga
bersosialisasi di dunia nyata (nggak hanya eksis di dunia maya)
menjaga izzah sebagai Muslim
menutupi aib orang lain yang sudah ditutup Allah
nggak mengadu domba, memata-matai dan memfitnah
menerapkan al wala’ wal bara’ terhadap makhluk Allah
menampakkan keceriaan dalam segala kondisi, terutama kondisi sulit
menanamkan keikhlasan, nggak berharap balasan apapun kecuali ridha dan balasan
dari Allah
nggak berlebihan, proporsional, bersikap wasath (pertengahan)
lemah lembut
sabar dan “ngemong” orang lain, terutama ketika menghadapi “orang sulit”
nggak eksklusif dan membeda-bedakan orang (asal nggak niru yang jelas jelek)
berperilaku sesuai prinsip Quran dan sunnah
menjadi orang yang “sedikit”, nggak ngikutin tren sesaat, nggak terjebak mode dan
tren, nggak sembarang ngikut yang nggak ada juntrungan
selalu ingat dosa dan nggak mengingat-ingat kebaikan
selalu merasa kurang amal, kurang taat, kurang ibadah
nggak mengeluh kepada manusia, hanya mengeluh kepada Allah
memelihara empati, bukan malah nggak mau kalah soal “kemalangan”
merahasiakan musibah, sakit dan sedekah
nggak merekomendasikan diri sendiri
belajar akhlak dari orang-orang shalih
berguru nggak hanya dari buku atau internet, tapi murabbi beneran
menjaga silaturrahim dan ukhuwah
Mujahidul Linafsihi
menerapkan gaya hidup halal mulai dari makanan, tempat tinggal, sumber
penghasilan, dll
hanya mengonsumsi produk-produk yang terjamin kehalalannya (bersertifikat MUI
atau organisasi lain yang berhak menyatakan kehalalan suatu produk)
nggak memajang foto, patung, boneka atau apapun yang menyerupai makhluk hidup
di rumah
menghindari uang syubhat, apalagi haram
nggak merubah ciptaan Allah kecuali darurat dan alasan kesehatan
nggak ber-KB buatan kecuali alasan kesehatan
menjauhi tempat-tempat maksiat
nggak ber-khalwat dan ikhtilat dengan non mahram
menutup aurat dan ghadul bashar (menjaga pandangan)
memprioritaskan dakwah, tarbiyah, harakah (ini kata Ummi Salim)
belajar dari kehidupan syaikhut tarbiyah Ustadz Rahmat Abdullah (Allah yarham) dan
Ustadzah Yoyoh Yusroh (Allah yarham)
punya murabbi, konsisten dalam menuntut ilmu dan mengamalkan
menerapkan muraqabah (merasa selalu diawasi Allah), mu’ahadah (menepati
komitmen), muhasabah (evaluasi diri), mu’aqabah (menghukum diri jika melakukan
kesalahan) dan mujahadah (bersungguh-sungguh)
bersungguh-sungguh dalam mencapai cita-cita
mencita-citakan akhirat, memprioritaskan akhirat jauh di atas dunia dan seisinya
Qadirun ‘Alal Kasbi
Qawiyyul Jismi
Mutsaqaful Fikri
hanya membaca dan berlangganan media massa terpercaya, berimbang dan tidak
mendiskreditkan Islam
hanya membaca dan membeli buku bermutu yang bermanfaat dantidak menyesatkan
melatih kemampuan menulis
melatih kemampuan menyampaikan pendapat dan berbicara di depan umum
memanfaatkan social dan information media dengan bijak
nggak mudah terprovokasi isu-isu menyesatkan dengan membiasakan klarifikasi dan
mengembangkan perspektif tajam
mencari tahu perkembangan dunia Islam melalui media terpercaya
berniat dan berusaha memperbaiki bacaan Quran
berniat dan berusaha menghafal Quran
mengikuti kajian keislaman serta liqa’at tarbiyah
mengikuti seminar, workshop, training yang bermanfaat bagi diri dan pekerjaan
profesional dalam bekerja
nggak nonton televisi kecuali secukupnya
nggak ngikutin gosip artis atau aneka rupa berita remeh yang nggak bermanfaat
berorientasi pada solusi, bukan masalah yang dihadapi
Munazham Fi Syu’nihi
membuat prioritas
membuat rencana kegiatan dan mengevaluasinya
membuat rencana keuangan dan mengevaluasinya
menyusun proposal hidup dan berusaha memenuhinya (versi Pak Jamil Azzaini)
merapikan dokumen pribadi dan pekerjaan
aktif dalam kegiatan dakwah dan masyarakat
bersosialisasi di masyarakat: pengajian, takmir masjid setempat, PKK, RT RW,
komunitas yang bisa meng-upgrade diri
memegang janji dan amanah yang dipercayakan
profesional dan semangat belajar sepanjang hayat
berani ber-‘amar ma’ruf nahi munkar
menjaga komitmen dalam aktivitas dan resolusi yang telah disepakati
memprioritaskan waktu untuk kegiatan yang: penting dan mendesak, penting tetapi
tidak mendesak, mendesak tetapi tidak penting, tidak penting dan tidak mendesak
berusaha produktif dengan menetapkan prioritas
tidak menunda-nunda perbuatan baik sedetikpun
boleh menunda kesenangan sesaat
berusaha menepati janji dan waktu yang telah disepakati
membuat perencanaan kegiatan serta evaluasinya
mengurangi kegiatan yang tidak bermanfaat
menerapkan reward and punishment pada diri sendiri kalau berhasil dan gagal dalam
menggunakan waktu
selalu ingat mati, agar lebih produktif dalam beramal shalih
mendisiplinkan shalat
Nafi’un Lighayrihi
shadaqah
‘amar ma’ruf nahi munkar
tulus ikhlas dalam berbuat baik
nggak membunuh binatang apapun yang nggak mengganggu
cinta lingkungan: menerapkan green lifestyle dengan bergabung dalam green
community
dinamis, enerjik, nggak pasif
peka dengan masalah yang menimpa orang lain dan berusaha mencarikan solusinya
menjadi orang yang solutif, bukan malah membebani
hanya melakukan yang bermanfaat bagi orang lain dan diri sendiri
mementingkan orang lain (menerapkan “muslim satu dengan muslim lain bagaikan
satu tubuh”)
bergabung dalam komunitas pemberdayaan masyarakat
mengikuti kegiatan sosial kemasyarakatan
menjadi donatur/relawan panti asuhan/lembaga amal
berkontribusi pada masyarakat
tolong-menolong dalam kebaikan
saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran
orang lain harus merasa aman dari gangguan lisan dan tangan kita
nggak membawa mudharat bagi orang lain
nggak membuat sedih orang lain, nggak mematikan harapan orang lain
nggak mencela orang lain
berusaha keras menjadi manusia wajib, dan menghindarkan diri dari menjadi manusia
yang mubah, makruh bahkan haram
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak semua orang melakukan perbuatannya
dengan ikhlas (mukhlish) dapat disebut mukhlash. Dengan kata lain, semua orang
yang memiliki kapasitas mukhlash sudah pasti mukhlish, tetapi belum tentu seorang
mukhlish adalah mukhlash.
Dari kata ikhlash lahir kata mukhlash, yang berarti orang yang mencapai puncak
keikhlasan sehingga bukan dirinya lagi yang yang berusaha menjadi orang ikhlas
(mukhlish) tetapi Allah SWT yang proaktif untuk memberikan keikhlasan itu.
Mukhlish masih sadar bahwa dirinya berada pada posisi ikhlas, sedangkan mukhlash
sudah tidak sadar bahwa dirinya sedang berada pada posisi ikhlas. Keikhlasan sudah
menjadi bagian dari habit dan karakternya dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Kalangan sufi memaksudkan konsep ikhlas itu sebagai mukhlash. Syekh al-Fudhail
mengatakan: "Menghentikan suatu amal karena manusia adalah riya, dan
mengerjakan suatu karena manusia adalah syirik." Sahl bin Abdullah mengatakan,
ikhlas merupakan ibadah yang paling sulit bagi jiwa, sebab diri manusia tidak punya
bagian di dalamnya. Abu Said al-Kharraz menambahkan, riyanya para 'arifin (ahli
makrifat) adalah lebih utama dari pada ikhlasnya para murid.
Al-Sariy Rahmatullah 'alaih mengatakan, barang siapa berhias karena manusia dengan
apa yang bukan miliknya, maka ia akan terlempar dari penghargaan Allah. Kata
Ruwaim bin Ahmad bin Yazid al-Baghdadi, ikhlas adalah segala amal yang dilakukan
pelakunya tanpa bermaksud mendapatkan balasan, baik di dunia maupun di akhirat.
Ikhlas adalah orang yang menyembunyikan kebaikannya sebagaimana ia
menyembunyikan kejelekannya. Abu Ya'kub al-Susiy Rahimahullah mengatakan,
barang siapa melihat dalam keikhlasannya suatu keikhlasan, maka keikhlasannya itu
masih memerlukan keikhlasan lagi.
Jika masih dalam kadar mukhlish maka yang bersangkutan masih riskan untuk digoda
berbagai manuver iblis, karena masih menyadari dirinya berbuat ikhlas. Sedangkan
dalam kadar mukhlash, iblis sudah menyerah dan tidak bisa lagi mengganggunya
karena langsung di-back-up oleh Allah SWT.
Firman Allah SWT menyebutkan, orang-orang yang sudah sampai di tingkat
mukhlash, iblis sudah tidak berdaya lagi untuk menggodanya, sebagaimana
pernyataan iblis yang disebutkan dalam ayat berikut: "Iblis berkata: 'Ya Tuhanku,
oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan
mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan
menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlash di
antara mereka'." (QS al-Hijr [15]: 39-40).
Dalam ayat lain disebutkan: "Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan
menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas di antara
mereka. (QS Shad [38]: 82-83).
Perhatikan ayat-ayat tersebut di atas semuanya menggunakan kata al-mukhlashin
(bentuk jamak dari mukhlash)¸ bukannya al-mukhlishin (bentuk jamak dari
mukhlish). Ini menunjukkan bahwa jika keikhlasan seseorang baru sampai di tingkat
keikhlasan awal maka tidak ada jaminan untuk bebas dari godaan iblis. Orang-orang
yang sudah mencapai tingkat al-mukhlashin bukan hanya terhindar dari cengkeraman
iblis tetapi juga terhindar dari fitnah dan berbagai kecelakaan sosial.
Untuk mencapai tingkat mukhlash diperlukan latihan spiritual (mujahadah) yang
tinggi dan telaten (istiqamah). Mencapai derajat mukhlish saja begitu sulit, apalagi
mencapai tingkat mukhlash.
Seorang ulama tasawuf bernama Makhul mengatakan: "Tidak seorang pun hamba
yang ikhlas selama 40 hari kecuali akan tampak hikmah dari hatinya melalui
lidahnya." Barang siapa yang sudah mencapai tingkat mukhlash maka patutlah
bersyukur karena ia sudah berhasil menjadi orang yang langka. Kelangkaannya
terlihat dari sulitnya menemui orang yang betul-betul ikhlas tanpa pamrih sedikit pun
dari amal kebajikannya.
Banyak sekali orang yang kelihatannya sudah menjadi tokoh bahkan ulama, tapi
masih berhasil tergoda dan jatuh ke dalam cengkeraman nafsu dan perbuatan
terlarang. Itu menjadi pertanda perlunya kita selalu mengasah keikhlasan. Kita
memohon agar kita ditingkatkan menjadi manusia yang tadinya tidak pernah ikhlas
menjadi mukhlis, lalu terus berdoa dan berusaha untuk meraih martabat mukhlash.
Wallahu alam.
Posting kali ini adalah posting berseri dari judul “Berusaha untuk Ikhas“. Kita nanti akan
memulai mengenal definisi ikhas, tanda-tanda ikhlas dan beberapa point ikhlas lainnya.
Semoga Allah memudahkan.
***
Allah akan senantiasa menolong kaum muslimin karena keikhlasan sebagian orang dari umat
ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ص ََلتِ ِه ْم َو ِإ ْخ ََل
ص ِه ْم َ َّللاُ َه ِذ ِه ْاْل ُ َّمةَ ِب
َ ض ِعي ِف َها ِبدَع َْوتِ ِه ْم َو ُ ِإنَّ َما َي ْن
َّ ص ُر
“Allah akan menolong umat ini karena sebab orang miskin, karena do’a orang miskin
tersebut, karena shalat mereka dan karena keikhlasan mereka dalam beramal.”[1]
Ikhlas adalah salah satu syarat diterimanya suatu amalan, di samping amalan tersebut harus
sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tanpa ikhlas, amalan jadi sia-sia belaka.
Ibnul Qayyim dalam Al Fawa-id memberikan nasehat yang sangat indah tentang ikhlas,
“Amalan yang dilakukan tanpa disertai ikhlas dan tanpa mengikuti tuntunan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaikan seorang musafir yang membawa bekal berisi pasir.
Bekal tersebut hanya memberatkan, namun tidak membawa manfaat apa-apa.”
Setiap amalan sangat tergantung pada niat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Sesungguhnya amal itu tergantung dari niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh apa
yang dia niatkan.”[2]
Dan niat itu sangat tergantung dengan keikhlasan pada Allah. Hal ini berdasarkan firman
Allah Ta’ala,
Allah pun mengetahui segala sesuatu yang ada dalam isi hati hamba. Allah Ta’ala berfirman,
Dalam ayat lainnya, Allah memperingatkan dari bahaya riya’ –yang merupakan lawan dari
ikhlas- dalam firman-Nya,
“Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam
perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan
meninggalkannya (maksudnya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan
syiriknya.”[3] An Nawawi mengatakan, “Amalan seseorang yang berbuat riya’ (tidak ikhlas),
itu adalah amalan batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia akan mendapatkan dosa.”[4]
“Barangsiapa yang menutut ilmu yang sebenarnya harus ditujukan hanya untuk mengharap
wajah Allah, namun ia mempelajarinya hanya untuk mendapatkan materi duniawi, maka ia
tidak akan pernah mencium bau surga pada hari kiamat nanti.”[5]
Para ulama menjelaskan ikhlas dengan beberapa pengertian, namun sebenarnya hakikatnya
sama. Berikut perkataan ulama-ulama tersebut.[6]
Abul Qosim Al Qusyairi mengatakan, “Ikhlas adalah menjadikan niat hanya untuk Allah
dalam melakukan amalan ketaatan. Jadi, amalan ketaatan tersebut dilakukan dalam rangka
mendekatkan diri pada Allah. Sehingga yang dilakukan bukanlah ingin mendapatkan
perlakuan baik dan pujian dari makhluk atau yang dilakukan bukanlah di luar mendekatkan
diri pada Allah.”
Abul Qosim juga mengatakan, “Ikhlas adalah membersihkan amalan dari komentar manusia.”
Jika kita sedang melakukan suatu amalan maka hendaklah kita tidak bercita-cita ingin
mendapatkan pujian makhluk. Cukuplah Allah saja yang memuji amalan kebajikan kita. Dan
seharusnya yang dicari adalah ridho Allah, bukan komentar dan pujian manusia.
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’.
Beramal karena manusia termasuk kesyirikan. Sedangkan ikhlas adalah engkau terselamatkan
dari dua hal tadi.”
Ada empat definisi dari ikhlas yang bisa kita simpulkan dari perkataan ulama di atas.
Artikel https://rumaysho.com
1. Keikhlasan Diri
Tingkatan ini adalah ikhlasnya seseorang untuk meraih kebahagiaan duniawi. Ketika berdoa
pun, ia berharap keinginan duniawi semata. Walaupun ini tingkatan terendah, namun lebih
baik karena ia hanya meminta hanya kepada Allah saja.
2. Keikhlasan Seorang Pedagang
Pada tingkatan ini seseorang berusaha ikhlas namun dengan menghitung-hitung pahala
terlebih dahulu. Jika suatu amal banyak mendatangkan pahala, pasti ia semangat
mengerjakannya. Berharap amal tersebut dapat menghapuskan dosa serta menguntungkan
duniawinya.
3. Keikhlasan Hamba Sahaya
ia takut sekali dengan ancaman Allah, sehingga ia berusaha ikhlas dalam berbuat, hanya demi
Allah agar Allah tidak murka kepadanya.
4. Keikhlasan Golongan Ibadah
Yakni mereka yang beramal hanya kepada Allah semata, agar amalannya tersebut dibalas
oleh Allah dengan pahala (surga) sebagai balasan tertinggi dari Allah dan terhindar dari siksa
api neraka.
5. Keikhlasan Golongan Mahabbah
Yakni mereka yang beramal hanya semata-mata karena kecintaannya kepada Allah dan
bukan untuk mendapatkan pahala atau dihindarkan dari siksa neraka. Ia hanya berkehendak
dapat berjumpa Allah kelak, selain itu terserah Allah, ia tidak begitu peduli dengan balasan
Allah. Cukup baginya cinta dan persuaan dengan Allah nanti.
6. Keikhlasan Golongan Ma’rifat
Ini adalah tingkatan tertinggi dari keikhlasan. Golongan ini berpendapat bahwa apabila ia
beramal, maka yang mendorong dan menggerakkan amal ibadahnya adalah Allah semata dan
mereka tidak memiliki daya dan upaya apapun untuk melakukan sesuatu termasuk
peribadatan kepada Allah. Inilah golongan yang telah sampai kepada La hawla wa la
kuwwata illa billah. Subhanaallah, mudah-mudahan suatu saat kita dapat meraih tingkatan
ikhlas tertinggi ini. Amiin.
Untuk menjadi seorang yang ikhlas pasti memerlukan latihan (riyadhah), berat memang pada
awalnya, namun jika sungguh-sungguh berupaya, pasti akan berbuah keikhlasan yang tiada
bandingnya dengan kehidupan dunia ini.
Cobalah mulai berusaha melupakan setiap amal yang kita lakukan, seakan-akan kita tidak
pernah melakukannya. Dan jangan membeda-bedakan amal besar atau amal kecil, semua
amal sama saja, upayakan berbuat terbaik dalam amal apapun juga.