Anda di halaman 1dari 91

JOURNAL READING

Kontaminan Logam Toksik pada Lingkungan dan Resiko Penyakit Kardiovaskular:


Tinjauan Sistematis dan Meta-analisis

Diajukan untuk melengkapi tugas kepaniteraan Ilmu Kedokteran Forensik dan


Medikolegal
Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi

Dosen Pembimbing:
Saebani, SKM, MKes
Residen Pembimbing:
dr. Lya

Disusun oleh:
Ester Marcelia Anastasia Purba FK UKRIDA
Brigitte Fani Florencia FK UKRIDA
Novia Kartina FK UKRIDA
Felisia Varian Wibowo FK UKRIDA
Aldesy Yustika Indriani FK UKRIDA
Andreas Anindito Hermawan FK UKRIDA
Willis FK UKRIDA
Puteri Nabella FK UKRIDA

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. KARIADI SEMARANG
PERIODE 08 OKTOBER 2018 – 03 NOVEMBER 201
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Toksikologi merupakan suatu cabang ilmu yang membahas seputar efek
merugikan berbagai efek samping yang merugikan dari berbagai agen kimiawi
terhadap semua sistem makhluk hidup. Sedangkan toksikologi forensik adalah ilmu
yang mempelajari tentang racun dan pengidentifikasian bahan racun yang diduga ada
dalam organ atau jaringan tubuh dan cairan korban. Racun sendiri merupakan suatu
zat yang apabila kontak atau masuk kedalam tubuh dalam jumlah tertentu (dosis
toksik) merusak faal tubuh baik secara kimia maupun fisiologis sehingga
menyebabkan sakit atau pun kematian. Untuk kepentingan di bidang forensik, racun
dibagi berdasarkan sifat kimia, fisik serta pengaruhnya terhadap tubuh.1

Racun dapat masuk ke dalam tubuh melalui ingesti, inhalasi, injeksi, penyerapan
melalui kulit dan pervaginan atau perektal. Intoksikasi merupakan suatu keadaan
dimana fungsi tubuh menjadi tidak normal yang disebabkan oleh suatu jenis racun atau
bahan toksis lain. Korban mati akibat keracunan umumnya dapat dibagi menjadi 2
golongan, yang sejak semula sudah dicurigai kematian akibat keracunan dan kasus
yang sampai saat sebelum di otopsi dilakukan, belum ada kecurigaan terhadap
kemungkinan keracunan.

Sesuai dengan kepaniteraan yang sedang kami jalani, yaitu bagian Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal dalam jurnal ini akan dititikberatkan pada
logam toksik pada lingkungan dan resiko penyakit kardiovaskular, gejala yang
ditmbulkan hingga temuan forensik pada korban.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa definisi toksikologi dalam forensik dan faktor yang mempengaruhi
2. Bagaimana toksikokinetik Arsen, Cadmium, Timbal, Tembaga, dan Merkuri
3. Bagaimana hubungan logam toksik tersebut terhadap resiko penyakit kardiovaskular
4. Bagaimana pemeriksaan forensik yang ditemukan pada korban hidup atau mati akibat
keracunan Arsen, Cadmium, Timbal, Tembaga, dan Merkuri

1.3 TUJUAN PENULISAN


1. Mengetahui definisi toksikologi dalam forensik dan faktor yang mempengaruhi
2. Mengetahui toksikokinetik Arsen, Cadmium, Timbal, Tembaga, dan Merkuri
3. Mengetahui hubungan logam toksik tersebut terhadap resiko penyakit kardiovaskular
4. Mengetahui pemeriksaan forensik yang ditemukan pada korban hidup atau mati
akibat keracunan Arsen, Cadmium, Timbal, Tembaga, dan Merkuri

1.4 MANFAAT PENULISAN


1. Bagi Dokter dan Tenaga Medis
Agar mampu mengidentifikasi tanda-tanda pada korban akibat keracunan Arsen,
Cadmium, Timbal, Tembaga, dan Merkuri
2. Bagi Institusi Pendidikan
 Sebagai materi tinjauan pustaka yang diharapkan dapat melengkapi
database tinjauan ilmiah yang sudah ada
 Sebagai bentuk kotribusi pemikiran kepada masyarakat, terutama terkait
kasus-kasus bidang kedokteran forensik yang berkembang di masyarakat
3. Bagi Polisi dan Masyarakat
Agar mampu mengenali tanda-tanda pada korban akibat keracunan Arsen,
Cadmium, Timbal, Tembaga, dan Merkuri sehingga menjadi informasi tambahan
bahaya Arsen, Cadmium, Timbal, Tembaga, dan Merkuri dalam mengurangi
pemakaian atau konsumsi berlebihan.
BAB II

JOURNAL

Environmental toxic metal contaminants and risk of cardiovascular disease: systematic


review and meta-analysis

Rajiv Chowdhury,1 Anna Ramond,1 Linda M O’Keeffe,2,3 Sara Shahzad,1 Setor K Kunutsor,4,5,6
Taulant Muka,7 John Gregson,8 Peter Willeit,1,9 Samantha Warnakula,1 Hassan Khan,10 Susmita
Chowdhury,1 Reeta Gobin,11 Oscar H Franco,7 Emanuele Di Angelantonio1,12,13

1. Department of Public Health and Primary Care, University of Cambridge,


Strangeways Research Laboratory, Cambridge CB1 8RN, UK,

2. MRC Integrative Epidemiology Unit, University of Bristol, Bristol, UK,

3. Bristol Population Health Science Institute, Bristol Medical School, Bristol, UK,

4. National Institute for Health Research Bristol Biomedical Research Centre, Bristol,
UK,

5. University Hospitals Bristol NHS Foundation Trust, Bristol, UK

6. Translational Health Sciences, Bristol Medical School, Musculoskeletal Research


Unit, University of Bristol, Bristol, UK,

7. Institute of Social and Preventive Medicine, Bern, Switzerland

8. Department of Medical Statistics, London School of Hygiene and Tropical Medicine,


London, UK,

9. Department of Neurology, Medical University of Innsbruck, Innsbruck, Austria,


10. Emory University, Atlanta, Georgia, USA,

11. University of Guyana, Georgetown, Guyana,

12. National Institute for Health Research Blood and Transplant Research Unit in Donor
Health and Genomics, Department of Public Health and Primary Care, University of
Cambridge, Cambridge, UK,

13. NHS Blood and Transplant, Cambridge, UK :

Koresponden : Dr. : S Shahzad

e-mail: ss2231@medschl.cam.ac.uk

ABSTRACT

OBJECTIVE

To conduct a systematic review and meta-analysis of epidemiological studies investigating the


association of arsenic, lead, cadmium, mercury, and copper with cardiovascular disease.

DESIGN

Systematic review and meta-analysis.

DATA SOURCES

PubMed, Embase, and Web of Science searched up to December 2017.

REVIEW METHODS

Studies reporting risk estimates for total cardiovascular disease, coronary heart disease, and
stroke for levels of arsenic, lead, cadmium, mercury, or copper were included. Two investigators
independently extracted information on study characteristics and outcomes in accordance with
PRISMA and MOOSE guidelines. Relative risks were standardised to a common scale and
pooled across studies for each marker using random effects meta- analyses.

RESULT

The review identified 37 unique studies comprising 348 259 non-overlapping participants, with
13 033 coronary heart disease, 4205 stroke, and 15 274 cardiovascular disease outcomes in
aggregate. Comparing top versus bottom thirds of baseline levels, pooled relative risks for
arsenic and lead were 1.30 (95% confidence interval 1.04 to 1.63) and 1.43 (1.16 to 1.76) for
cardiovascular disease, 1.23 (1.04 to 1.45) and 1.85 (1.27 to 2.69) for coronary heart disease, and
1.15 (0.92 to 1.43) and 1.63 (1.14 to 2.34) for stroke. Relative risks for cadmium and copper
were 1.33 (1.09 to 1.64) and 1.81 (1.05 to 3.11) for cardiovascular disease, 1.29 (0.98 to 1.71)
and 2.22 (1.31 to 3.74) for coronary heart disease, and 1.72 (1.29 to 2.28) and 1.29 (0.77 to 2.17)
for stroke. Mercury had no distinctive association with cardiovascular outcomes. There was a
linear dose- response relation for arsenic, lead, and cadmium with cardiovascular disease
outcomes.

CONCULSION

Exposure to arsenic, lead, cadmium, and copper is associated with an increased risk of
cardiovascular disease and coronary heart disease. Mercury is not associated with cardiovascular
risk. These findings reinforce the importance of environmental toxic metals in cardiovascular
risk, beyond the roles of conventional behavioural risk factors.

INTRODUCION

In recent decades, exposures to environmental toxic metals of hydrogeological origin (eg,


arsenic, lead, cadmium, mercury, and copper) have become a global public health concern owing
to their potential deleterious health effects in humans.1-5 For example, according to the World
Health Organization and the International Agency for Research on Cancer, arsenic and cadmium
are group I human carcinogens and arsenic is the world’s second leading water-borne cause of
mortality.6 7
Metalloids such as arsenic often fall into the category of heavy metals due to
similarity in properties.8 Chronic exposure to high levels of arsenic, cadmium, and other toxic
metals has also been associated with higher risk of cancers of the bladder, kidney, liver, lung,
and skin.9 Emerging evidence suggests that these toxic metals may have adverse effects on these
outcomes even at lower concentrations,5 which might be prevalent in many parts of the world.

Additionally, there are increasing suggestions that exposure to arsenic and other (often co-
occurring) toxic metals may be an independent risk factor for cardiovascular disease.10 11

However, despite their well established role as immunotoxicants and carcinogens, the
associations between environmental toxic metals and risk of clinical cardiovascular disease
outcomes remain less well characterised. Although there are several individual reports published
on the topic, they vary greatly in sufficient detail (eg, on associations with diverse cardiovascular
outcomes) and in study design (eg, ecological versus individual- level associations).
Interpretation of the earlier reviews is difficult, as they were mostly systematic reviews without
quantitative synthesis of estimates,12 13 and focused typically on a single toxic metal,14-16 or
combined estimates from ecological study designs (which are prone to suffer from substantial
bias and confounding).17 Additionally, whether a detrimental association with cardiovascular
disease exists in low or medium levels of exposure (ie, typical for many global regions) remains
unclear. Therefore, given the global nature of the toxic metal contamination, accurate
characterisation of the associations between these environmental contaminants and
cardiovascular disease is essential to understand the aetiology of cardiovascular disease, and
critically, to inform public health efforts to reduce toxic metal exposure.

To help clarify the evidence, we aimed to summarise the available population based
epidemiological studies in a comprehensive systematic review and meta-analysis to determine
the associations of selected metal contaminants (measured at individual level) with the risk of
first-ever cardiovascular outcomes (including cardiovascular disease, coronary heart disease, and
stroke), and quantify any dose-response relation. For the current study, we focus primarily on
five major toxic metals or metalloids, owing to their global public health relevance. We have
included arsenic, lead, cadmium, and mercury, which have been included in the World Health
Organization’s list of “Ten chemicals of major public health concern” and have potential
mechanistic links to cardiovascular diseases.18 19 In addition, we have included copper as it
appears to promote atherosclerosis by enhancing the oxidation of LDL-cholesterol and may
increase the risk of clinical cardiovascular disease outcomes.20-23

Methods

Search strategy

This study conducted in accordance with the PRISMA and MOOSE guidelines (see fig
1) and supplementary materials, table S1). We comprehensively searched the MEDLINE,
Embase, and Web of Science electronic databases to identify studies published until 5 December
2017 (date of last search), which examined the association between arsenic, lead, cadmium,
mercury, and copper with primary outcomes of interest. The primary outcomes were coronary
heart disease (defined as non-fatal myocardial infarction, angina, coronary revascularisation (ie,
percutaneous transluminal coronary angioplasty or coronary artery bypass surgery, or coronary
heart disease death), stroke (defined as fatal or nonfatal stroke), and composite cardiovascular
disease (comprised of coronary heart disease and stroke). The computer based searches
combined search terms related to the toxic metal exposures (eg, arsenic*, lead*, mercury*, etc)
and outcomes of interest (eg, cardiovascular disease*, myocardial infarction*, stroke*, etc),
without any language restriction. Further studies were sought by manually searching reference
lists of the relevant articles. When relevant information was unavailable, efforts were made to
contact corresponding authors. Details of the search strategy are presented in supplementary
materials, appendix 1.

Fig 1 | PRISMA flow diagram of search strategy

Selection criteria

We included studies if they met the following initial search criteria: were prospective cohort,
case-control, or nested case-control in design; had sampled from healthy(ie,
participantsorreferents,whereappropriate, were based on initially healthy participants) or general
populations (ie, populations with both healthy and prevalent cases of cardiovascular disease at
baseline); assessed toxic metal exposure at individual level rather than aggregate level (eg,
individual-level exposure to arsenic in drinking water); or reported risk estimates for
cardiovascular disease, coronary heart disease, or stroke, for at least one toxic metal. We
excluded studies for the following reasons: they only reported on mean levels and standard
deviations of toxic metals in cases and non-cases; they only assessed exposure to toxic metals
using a self reported dietary measure; or were cross-sectional or ecological in design. Two
independent reviewers screened the search results to assess conformity with selection criteria,
with disagreement resolved with a third reviewer. In cases of multiple publications from a single
study, we used the most up to date information.

Data extraction and quality assessment

Data on the following characteristics were extracted independently by two investigators using
standardised protocols: sample size; study design; sampling population; location (defined as
Europe, North America, and the Asia-Pacific region); year of baseline survey; study design;
age range of participants at baseline; sex; mean levels of environmental contaminants at
baseline; sample type (serum, plasma, or adipose tissue), storage temperature, assay methods;
duration of follow-up; numbers of disease outcomes of interest and reported effect estimates with
each marker for each outcome; and degree of statistical adjustment used (defined as ‘+’ when
relative risks were adjusted for age and sex only; ‘++’ when adjusted for established vascular
risk factors (eg, age, sex, smoking status, lipids, hypertension, history of cardiometabolic
disease); and ‘+++’ when adjusted other additional factors (eg, social status)). Adequate
adjustments for these factors are essential to control for the potential confounding effect by these
factors in influencing both levels of toxic metals and the risk of cardiovascular disease, resulting
in a spurious association. Two independent reviewers used the Newcastle-Ottawa scale to assess
the quality of the included studies.24 This scale uses a star system (with a maximum of nine stars)
to assess the quality of a study in three domains: selection of participants; comparability of study
groups; and the ascertainment of outcomes of interest. Studies that scored nine stars were
considered to be of high quality, studies that scored seven or eight stars were considered to be of
medium quality, and studies that scored less than seven stars were considered to be of low
quality.
Data synthesis and analysis

To enable a consistent approach to meta-analysis and interpretation of findings in this review,


relative risk estimates for the association of toxic metals and cardiovascular disease, coronary
heart disease, and stroke were transformed to consistently correspond to the comparison of the
top versus bottom third of the distribution in each study, using methods previously described.25
Briefly, log risk estimates were transformed assuming a normal distribution, with the comparison
between top and bottom thirds being equivalent to 2.18 times the og relative risk for a 1 standard
deviation increase (or equivalently, as 2.18/2.54 times the log relative risk for a comparison of
extreme quarters). Standard errors of the log relative risks were calculated using published
confidence limits and were transformed in the same way. For example, the study by Kromhout
et al reported a relative risk of cardiovascular disease of 1.06 (95% confidence interval 0.47 to
2.37) comparing the top versus bottom quartile of lead exposure, corresponding to a log
relative risk of 0.058 and standard errors (log relative risk) of 0.41.26 The conversion of risk
estimates to top versus bottom third exposure of lead in this study is performed as follows:
log relative risk(top v bottom third)=(2.18/2.54)*0.058=0.05 and standard errors log relative
risk =(2.18/2.54)*0.41=0.35. We calculated summary relative risks by pooling the study-
specific estimates using a random- effects model that included between study heterogeneity
(parallel analyses used fixed-effect models). We assessed the consistency of findings across
individual studies by standard ᵡ2 tests and the I2 statistic.27 We assessed heterogeneity between
observational cohorts by comparing results from studies grouped according to prespecified study
level characteristics (such as study design, location, year of baseline survey, duration of follow-
up, numbers of outcomes recorded, outcome definition, degree of statistical adjustment used, and
sample type) using meta-regression. In particular, for studies investigating the association of
arsenic with cardiovascular disease outcomes, the impact of the measurement source (biomarker
v water) on risk estimates was assessed in subgroup analyses. We assessed evidence of
publication bias across studies using funnel plots and Egger test for outcomes where at least
three studies were available.28

We performed dose-response meta-analyses using generalised least-squares trend estimation


(GLST) analysis as described by Greenland and Longnecker.29 We estimated study-specific
slopes (linear trends) from the correlated natural logs of the relative risks across toxic metal
exposure categories. Only studies that reported the number of cases, non-cases, person years of
follow-up, and the relative risks with the variance estimates for at least three quantitative
exposure categories were included. The median or mean level of the toxic metal in the original
scale was assigned to the corresponding relative risk for each exposure category. If data were
not available, we estimated the median using the midpoint of each category. When the highest or
lowest category was open, we assumed it to be of the same amplitude as the adjacent category.
Potential nonlinear dose-response relations were examined by modelling levels of toxic metals
using restricted cubic splines.30 A P value for nonlinearity was calculated by testing the null
hypothesis that the coefficient of the second spline is equal to zero. All statistical tests were two
sided and used a significance level of P<0.05. We performed all analyses using Stata version 12
(StataCorp, College Station, TX).

Patient involvement

No patients were involved in setting the research question or the outcome measures, nor were
they involved in developing plans for design or implementation of the study. No patients were
asked to advise on interpretation or writing up of results. There are no plans to disseminate the
results of the research to study participants or the relevant patient community.

Results

Study level characteristics

A total of 37 unique studies reporting on 348 259 distinct patients were identified, including
relevant available data on arsenic (12 studies), lead (11), cadmium (8), mercury (9), and copper
(6) (see table 1, fig 1, and supplementary material, table S3).

Overall, 12 of these studies were based in North America, 17 in Europe, and 8 in the Asia-Pacific
region. Thirty three studies were prospective (26 cohorts and 7 nested case-control (ie, case-
control study nested in a cohort study) or case-cohort studies) and four studies were case-
control studies. Environmental contaminant measurement methods used in each study are
detailed in supplementary materials, table S4. Primary sources of measurement for arsenic were
individual-level drinking water (6 studies), urine (4), and toenails (2). Lead and copper levels in
blood were measured in all studies. Cadmium levels in urine were reported in three studies, in
blood in four studies, and in toenails in one study. Exposure to mercury levels was measured in
hair (2 studies), blood (4), or toenail (3) samples (supplementary material, table S4). Average
baseline levels of contaminants in studies reporting baseline exposure ranged from 3.7 μg/L to

4.9 μg/L for arsenic in urine and 0.7 μg/L to 131.1 μg/L for arsenic in drinking water, whereas
baseline levels of lead, cadmium, mercury, and copper in blood ranged from 2.6 μg/dL to 44.3
μg/dL, 0.44 μg/L to 1.3 μg/L, 0.004 μg/L to 3.5 μg/L, and 0.96 mg/L to 1.27 mg/L respectively.
Table 2 and table 3 show that study quality assessed using the Newcastle-Ottawa scale varied.
Most studies were of medium to high quality (score ≥7). Twelve studies (10 cohort, 2 case-
control) were of low quality.

associations between environmental contaminants and the risk of cardiovascular disease


outcomes

Thirty five studies were included in the meta-analysis of environmental contaminants and
cardiovascular disease outcomes. Six studies (one reporting on arsenic, two on cadmium, three
on mercury) which did not use an appropriate assessment of heavy metal exposure (ie, use of
cadmium levels in toenails) or did not adjust for important confounders of heavy metal exposure
(eg, smoking for cadmium or seafood intake for mercury) were excluded from the analysis (table
1). In total, 14 706, 12 033, and 3613 cases of cardiovascular disease, coronary heart disease, and
stroke, respectively, across 35 contributing studies were included in the meta-analysis. The total
follow-up duration ranged from five to 36 years in the prospective studies. Twenty three studies
adjusted for conventional risk factors for cardiovascular disease including age, sex, and
sociodemographic factors (ethnicity, education, income) as well as additional risk factors such as
smoking status, blood pressure, lipids, and medical history. Thirteen studies adjusted for age,
sex, and sociodemographic factors. Three studies adjusted for age and sex only. Figure 2 shows
the summary plot for cardiovascular disease, coronary heart disease, and stroke comparing
participants in the top third with those in the bottom third of various environmental
contaminants. Figure 3, figure 4, and figure 5 show the forest plots for each separate outcome.

Arsenic, lead, cadmium, and copper were significantly associated with the risk of coronary heart
disease, with respective relative risks of 1.23 (95% confidence interval 1.04 to 1.45), 1.85 (1.27
to 2.69),
1.29 (0.98 to 1.71), and 2.22 (1.31 to 3.74). There was no association of mercury levels with
coronary heart disease, relative risk of 0.99 (0.65 to 1.49). There was evidence of heterogeneity
in coronary heart disease estimates across studies for most environmental contaminants (I2=78%,
P<0.001 for arsenic; I2=66%, P=0.005 for lead; I2=52%, P=0.08 for cadmium; I2=85%, P<0.001
for mercury; and I2=67%, P=0.03 for copper;).

Similar to the risk of coronary heart disease, arsenic, lead, cadmium, and copper levels were also
associated with an increased risk of cardiovascular disease (respective relative risks of 1.30, 95%
confidence interval 1.04 to 1.63; 1.43, 1.16 to 1.76; 1.33, 1.09 to

1.64; and 1.81, 1.05 to 3.11). There was no evidence of an association of mercury levels with the
risk of cardiovascular disease (0.94, 0.66 to 1.36). However, there was significant evidence
of heterogeneity in cardiovascular disease estimates across studies (I2 ranging from 68%,
P=0.001 for lead to 84%, P<0.001 for mercury).

Lead and cadmium were also associated with a significantly increased risk of stroke (respective
relative. risks of 1.63, 95% confidence interval 1.14 to 2.34 and

1.72, 1.29 to 2.28) with no evidence of heterogeneity across studies (I2=0%, P=0.76 and
I2=10%, P=0.33). There was no evidence of an association of arsenic with risk of stroke, with
little to no evidence of heterogeneity in stroke estimates across studies for either contaminant
(I2=56%, P=0.08).
Fig 2 | Summary of the association of environmental contaminants with cardiovascular
outcomes. Pooled risk estimates were calculated using random effects meta-analyses. the relative
risk compares the risk for each outcome in individuals in the top third with those in the bottom
third of baseline levels of the environmental contaminants (ie, extreme thirds). risk estimates
from separate studies were typically adjusted for basic demographics (eg, age, sex, systolic blood
pressure, smoking, history of diabetes, etc)
Dose-response meta-analyses

The dose-response relations between levels of toxic metals and cardiovascular outcomes, based
on available relevant data are shown in supplementary materials, figure S1. Only two studies
reporting on exposure to arsenic in drinking water, three studies reporting on exposure to
cadmium, and four studies reporting on exposure to lead, provided sufficient information to
perform the dose-response analysis. In summary, for baseline arsenic levels in well water and
risk of cardiovascular disease, there was evidence of a linear association across the full spectrum
of arsenic levels (0 μg/L to 369.5 μg/L, P=0.31 for nonlinearity; see supplementary material, fig
S1A). Similarly, there was evidence of a linear association between lead levels in blood and the
risk of coronary heart disease (P=0.677 for nonlinearity; see supplementary material, fig S1B),
with a pooled relative risk for risk of coronary heart disease per 5 μg/dL increment in lead levels
being 1.07 (95% confidence interval 1.04 to 1.10). By contrast, for the association between
cadmium levels in urine and the risk of cardiovascular disease, an initial steep increase in risk
(within urine cadmium levels of 0.11 μg/g to 1.41 μg/g) was followed by a weaker increase in
risk beyond 1.41 μg/g. The relative risk of cardiovascular disease for each 0.75 μg/g increment
of cadmium was 1.21 (95% confidence interval 1.09 to 1.33, P=0.656 for nonlinearity; see
supplementary materials, fig S1C). There was a significant linear association between cadmium
levels in urine and the risk of coronary heart disease (P=0.865 for nonlinearity; see
supplementary materials, fig S1D).

Subgroup analyses and assessment of publication bias

Little of the variation in risk estimates across contaminants was explained by any of the recorded
study level characteristics (P>0.05 for most factors investigated; see supplementary materials, fig
S2- S6). For example, there was no significant difference in relative risks for cardiovascular
disease across the types of individual exposures (eg, blood v other measurement sources;
P>0.05). Additionally, pooled relative risks were all generally similar regardless of the level of
adjustment for possible confounding factors considered in the included studies, by geographical
location, baseline health, or size of the studies. In analyses investigating the effect of arsenic
measurement source (urine and toenails v water) on risk estimates of cardiovascular disease,
coronary heart disease, and stroke, risk estimates were comparable between studies with no
evidence of significant heterogeneity between studies measuring arsenic in drinking water versus
biomarkers (see supplementary materials, fig S7). Subgroup analyses comparing the risk of
cardiovascular disease, coronary heart disease, and stroke in never-smokers compared to current
and former smokers produced similar results for arsenic and cadmium exposure (see
supplementary materials, fig S8 and S9). Funnel plots (see supplementary materials, fig S10-
S14) and tests for publication bias for other markers and outcomes were non-significant for most
contaminants (P>0.05), however, there was evidence of publication bias for studies reporting
on arsenic association with cardiovascular disease (P=0.01) and coronary heart disease (P<0.001)
(see supplementary materials, table S5).75
Fig 3 | association between environmental contaminants and cardiovascular disease. Nr=not
reported; +=minimally adjusted (typically adjusted for age and sex only); ++=adjusted for at
least one non blood based cardiovascular risk factor (eg, systolic blood pressure, body mass
index, history of diabetes, etc); +++=additionally adjusted for at least one blood based
cardiovascular risk factor (eg, total cholesterol, c-reactive protein, etc)
Discussion

Principal findings

We have conducted a systematic review and meta-analysis, using non-overlapping data from
approximately 350 000 participants from 37 studies, to help clarify available evidence on the
associations of environmental toxic elements with the risk of cardiovascular disease. Overall, our
results indicate that exposures to arsenic, lead, cadmium, and copper are each positively and
importantly associated with cardiovascular disease and coronary heart disease, cardiovascular
disease and stroke, or all cardiovascular outcomes. By contrast, mercury was not significantly
associated with cardiovascular risk. Additionally, based on relevant available data, the shape of
associations for levels of arsenic, lead, and cadmium with cardiovascular outcomes was
approximately linear. comparison with other studies

Findings observed in this review may have several potential explanations. We found a positive
association of arsenic, an environmental toxic metal found in large quantities in rice and
groundwater in many parts of the world, with the risk of coronary heart disease.76-77 Arsenic
exposure has been reported to accelerate and exacerbate atherosclerosis in apolipoprotein E-
knockout mice.78-79 Clinical and experimental studies of arsenic exposure have reported the
production of reactive oxygen species in endothelial cells,80 up regulation of inflammatory
signals,81 and higher blood pressure.82-84 These findings extend several previous epidemiological
studies that reported striking associations with Blackfoot disease (a severe peripheral vascular
disease) in people exposed to extremely high cumulative doses of arsenic.85-86 Although
circulating levels of lead seem to be in decline in the developed world,87 owing principally to
the concomitant decrease in the usage of leaded gasoline and leaded paint, lead exposure remains
considerably high in many areas.5,88 The strong positive association found in our review between
lead and the risk of cardiovascular disease, reinforces lead exposure as a major public health
concern.89 Two key pathways by which lead has been implicated in the risk of cardiovascular
disease are mediation through accelerated systolic blood pressure and damage to renal function.90
Previous studies have also suggested an association of lead with atherosclerosis as a result of
lead-induced oxidative stress and inflammation after exposure.11 15

The present review also shows a positive association of copper with cardiovascular disease, as
suggested in previous studies.91-92 While copper is an essential trace element, excess copper can
induce oxidative stress by generation of reactive oxygen species.11 Copper- mediated lipid
peroxidation has been demonstrated in several in vivo and in vitro studies.21 Another possible
mechanism for the potential deleterious effects of copper is through a copper-homocystein
complex which have been suggested to induce endothelial dysfunction and vascular injury.93 For
both arsenic and copper, albeit based on limited data, the potentially linear dose-response
relation that we have observed indicates that even at lower average exposure levels (common in
many global regions), these toxic metals may have a detrimental impact on vascular health.

We also observed a positive association between levels of cadmium and cardiovascular disease,
which was independent of several potential risk of cardiovascular disease factors (including
smoking status). Cadmium’s adverse effects on the vascular system are thought to be mediated
by oxidative stress, inflammation, and endothelial cell damage, which can result in
atherosclerosis. This is important as cadmium is widely prevalent in groundwater and common
plant- based foods (eg, rice and vegetables).94

Conversely, mercury, a potentially toxic trace metal that humans are exposed to primarily
through fish consumption,95 was not significantly associated with the risk of cardiovascular
disease in the current review. Although some individual studies have observed inverse relations
between mercury levels and the risk of cardiovascular disease,62-66 there is currently no accepted
biological explanation that supports such a link.66
Fig 4 | association between environmental contaminants and coronary heart disease. Nr=not
reported; +=minimally adjusted (typically adjusted for age and sex only); ++=adjusted for at
least one non blood based cardiovascular risk factor (eg, systolic blood pressure, body mass
index, history of diabetes, etc); +++=additionally adjusted for at least one blood based
cardiovascular risk factor (eg, total cholesterol, c-reactive protein, etc)

Comparison with other studies Findings observed in this review may have several potential
explanations. We found a positive association of arsenic, an environmental toxic metal found in
large quantities in rice and groundwater in many parts of the world, with the risk of coronary
heart disease.76-77 Arsenic exposure has been reported to accelerate and exacerbate
atherosclerosis in apolipoprotein E-knockout mice.78-79 Clinical and experimental studies of
arsenic exposure have reported the production of reactive oxygen species in endothelial cells,80
up regulation of inflammatory signals,81 and higher blood pressure.82-84 These findings extend
several previous epidemiological studies that reported striking associations with Blackfoot
disease (a severe peripheral vascular disease) in people exposed to extremely high cumulative
doses of arsenic.85-86 Although circulating levels of lead seem to be in decline in the developed
world,87 owing principally to the concomitant decrease in the usage of leaded gasoline and
leaded paint, lead exposure remains considerably high in many areas.5-88 The strong positive
association found in our review between lead and the risk of cardiovascular disease, reinforces
lead exposure as a major public health concern.89 Two key pathways by which lead has been
implicated in the risk of cardiovascular disease are mediation through accelerated systolic blood
pressure and damage to renal function.90 Previous studies have also suggested an association of
lead with atherosclerosis as a result of lead-induced oxidative stress and inflammation after
exposure.11-15 The present review also shows a positive association of copper with cardiovascular
disease, as suggested in previous studies.91-92 While copper is an essential trace element, excess
copper can induce oxidative stress by generation of reactive oxygen species.11 Coppermediated
lipid peroxidation has been demonstrated in several in vivo and in vitro studies.21 Another
possible mechanism for the potential deleterious effects of copper is through a copper-
homocystein complex which have been suggested to induce endothelial dysfunction and vascular
injury.93 For both arsenic and copper, albeit based on limited data, the potentially linear dose-
response relation that we have observed indicates that even at lower average exposure levels
(common in many global regions), these toxic metals may have a detrimental impact on vascular
health. We also observed a positive association between levels of cadmium and cardiovascular
disease, which was independent of several potential risk of cardiovascular disease factors
(including smoking status). Cadmium’s adverse effects on the vascular system are thought to be
mediated by oxidative stress, inflammation, and endothelial cell damage, which can result in
atherosclerosis. This is important as cadmium is widely prevalent in groundwater and common
plantbased foods (eg, rice and vegetables).94 Conversely, mercury, a potentially toxic trace metal
that humans are exposed to primarily through fish consumption,95 was not significantly
associated with the risk of cardiovascular disease in the current review. Although some
individual studies have observed inverse relations between mercury levels and the risk of
cardiovascular disease,62-66 there is currently no accepted biological explanation that supports
such a link.66

Strengths and limitations of the study

Strengths and limitations of the study Strengths and limitations of this work merit careful
consideration. This is the first comprehensive metaanalysis of several key environmental toxic
metals in relation to the risk of cardiovascular disease. We have focused solely on individual-
level assessments of exposure to toxic metals, and performed our analyses based primarily on
toxic metals measured directly using an objective biomarker or well established measures of
individual level exposure such as arsenic in drinking water. However, it should be noted that the
biological determinants, precision of measurements and ability to reflect long term exposure may
differ across various biomarkers.96 Therefore, to ensure consistent long term exposure
assessment, the use of repeated measurements over time that accounts for any potential
individual variation in levels (ie, regression dilution)97 should be considered in future studies.55
Furthermore, most studies that measured arsenic and cadmium levels in urine were based on spot
or first morning void samples, which might be limited by the fact that they reflect the hydration
status of the individual at the time of collection, and therefore, may differ markedly in dilution
owing to differences in urinary flow rate,98 and differences in stability and reproducibility of
metals measured in them. Additionally, although over half the risk estimates for urinary arsenic
and cadmium from all included studies were creatinine adjusted, some were unadjusted for any
marker of urinary dilution. While this review is limited to published findings, the use of
individual participant data, in future largescale primary studies, would allow a more detailed and
specific assessment of the association between the considered environmental toxic metals and
cardiovascular disease, including: assessing the role of routes of exposure (eg, environmental v
occupational); a standardised adjustment for confounders (eg, smoking status); reduce
heterogeneity resulting from meta-analysis of diverse study populations; and a more consistent
characterisation of any potential dose-response relation. Such comprehensive assessments are
currently underway.99-100 Equally, our review was solely based on observational data which
might be affected by unmeasured confounders – making a causal inference difficult. In this
regard, an earlier randomised trial, based on people with pre-existing cardiovascular disease,
suggested that moderate reduction of cardiovascular events occured after intravenous chelation
therapy (which facilitates urinary excretion of heavy metals)101 compared with placebo.
However, further conclusive trials, especially those involving general populations, are needed.
Additionally, the identification of polymorphisms influencing circulating levels of these toxic
metals which can be used as proxies for circulating levels (such as polymorphisms near AS3MT,
MT1A/B),102-104 may also allow future investigations of potential causal associations with
disease using instrumental variable analysis (ie, mendelian randomisation analyses).105
Implications for clinicians and policy makers Our findings may have important policy and
scientific implications. Firstly, these findings highlight the importance of environmental toxic
metals in enhancing cardiovascular risk, beyond the roles of conventional behavioural risk
factors (such as tobacco use and unhealthy diet). These results may have a key policy implication
given that current global noncommunicable disease prevention strategies (eg, WHO 2018
Report)106 are focused primarily on tackling behavioural determinants. Recognising
environmental factors (such as toxic metals) as additional priorities, therefore, will help gain
wider sociopolitical support for setting up appropriate legislation, preventive strategies and
standards, and investment to tackle these major global determinants of cardiovascular diseases.
Secondly, the observed associations appeared approximately linear for arsenic, lead, and
cadmium levels with cardiovascular disease outcomes, indicating the risk of adverse health
consequences even at a relatively low exposure of these toxic metals. Nonetheless, these current
findings warrant further detailed research to reliably quantify suboptimal levels to define
individuals at risk and to trigger appropriate clinical action. Presently, in clinical practice,
toxicity for these metals, if suspected, are established through a range of diagnostic
investigations including blood and 24-hour urinary analyses and typically involving an
inductively coupled plasma mass spectrometry analytical technique for elemental
determinations.107 Treatment options for heavy metal toxicity include various antidotes and
chelating agents (which enhance the elimination of metals from the body) such as succimer
(DMSA), unithiol (DMPS), sodium calcium edetate, and dimercaprol.108 However, since
efficacy and response of these therapies vary greatly,109 primary prevention, by developing
evidence based public health guidelines and innovative low cost, scalable interventions to reduce
human exposure to these contaminants, should be prioritised. Conclusion Results of this meta-
analysis indicate that exposure to arsenic, lead, cadmium, and copper is associated with an
increased risk of cardiovascular disease and coronary heart disease. By contrast, mercury was not
associated with cardiovascular risk. These findings reinforce the (often under-recognised)
importance of environmental toxic metals in cardiovascular risk, beyond the roles of
conventional behavioural risk factors. Further detailed work, however, to better characterise
these associations and to assess causality, is needed.
JURNAL TERJEMAHAN

Kontaminan logam toksik pada lingkungan dan resiko penyakit kardiovaskular: tinjauan
sistematis Paparan << dampak buruk pada kesehatan vaskular dan meta-analisis

Abstrak

Tujuan

Melakukan penelitian secara tinjauan sistematis dan meta-analisis terhadap studi epidemiologi
mengenai hubungan arsen, timbal, cadmium, merkuri dan tembaga terhadap penyakit
kardiovaskuler.

Desain Penelitian

Tinjauan sistematis dan meta analisis

Sumber data

Pencarian data menggunakan Pubmed, Embase, dan Web of Science hingga Desember 2017

Tinjauan Sistematis

Penelitian-penelitian melaporkan mengenai perkiraan resiko pada penyakit kardiovaskuler,


penyakit jantung coroner, dan stroke yang dipengaruhi oleh kadar arsen, timbal, cadmium,
merkuri atau tembaga. Penelitian ini menggunakan dua investigator yang melakukan ektraksi
informasi mengenai karakteristik studi secara independent menggunakan pedoman PRISMA dan
MOOSE. Risiko relatif disetarakan sesuai dengan skala umum, serta semua penelitian
dikumpulkan, dengan setiap penanda (marker) menggunakan metanalisis efek acak (random
effect meta analysis).

Hasil

Pada tinjauan ini didapatkan 37 penelitian dengan 348.259 partisipan yang terdiri dari 13.033
peserta yang mengalami penyakit jantung coroner, 4205 stroke, dan 15.274 peserta dengan
penyakit kardiovaskuler. Bila dibandingkan kadar limbah ketiga tertinggi dengan ketiga
terendah, resiko relatif pada kadar arsen dan timbal adalah 1.30 (interval kepercayaan 95% 1.04
hingga 1.63) dan 1.43 (1.16 hingga 1.76) untuk penyakit kardiovaskuler, 1.23 (1.04 hingga 1.45)
dan 1.85 (1.27 hingga 2.69) untuk penyakit jantung coroner, dan 1.15 (0.92 hingga 1.43) dan
1.63 (1.14 hingga 2.34) untuk stroke. Resiko relatif untuk kadar kadmium dan tembaga adalah
1.33 (1.09 hingga 1.64) dan 1.81 (1.05 hingga 3.11) untuk penyakit kardiovaskular, 1.29 (0.98
hingga 1.71) dan 2.22 (1.31 hingga 3.74) untuk penyakit jantung coroner, dan 1.72 (1.29 hingga
2.28) dan 1.29 (0.77 hingga 2.17) untuk stroke. Untuk kadar merkuri tidak ada hubungan dengan
terjadinya penyakit kardiovaskular. Terdapat hubungan yang linier antara dosis dengan respon
pada arsen, timbal, dan cadmium dengan penyakit kardiovaskuler.

Kesimpulan

Paparan arsen, timbal, cadmium, dan tembaga berhubungan dengan peningkatan resiko penyakit
kardiovaskular dan penyakit jantung coroner. Merkuri tidak ada hubungan dengan resiko
penyakit kardiovaskular. Temuan-temuan ini mendukung adanya kaitan antara kadar logam
toksik terhadap resiko penyakit kardiovaskular, selain faktor konvensional lainnya seperti
kebiasaan, dan lain-lain

Pendahuluan

Dalam dekade terakhir, paparan terhadap logam toksik pada lingkungan yang berasal dari
hidrogeologikal (seperti arsen, timbal, cadmium, merkuri dan tembaga) menjadi perhatian
kesehatan global karena efek yang merugikan pada kesehatan. Sebagai contoh, menurut WHO
dan International Agency for Research on Cancer, arsen dan cadmium adalah karsinogen
manusia kelompok I, selain itu arsen adalah penyebab kematian kedua dengan media air (water-
borne) di dunia. Metaloid seperti arsen sering dikategorikan ke dalam logam berat yang memiliki
sifat yang sama dengan yang lainnya. Paparan kronik terhadap kadar arsen, cadmium dan logam
toksik lainnya yang tinggi juga berhubungan dengan resiko yang lebih tinggi terhadap kanker
kandung kemih, ginjal, hati, paru dan kulit. Penelitian yang sedang berkembang, menjelaskan
tentang logam-logam toksik ini bisa menyebabkan kejadian yang tidak diinginkan (adverse
effects) dengan dosis rendah sekalipun.

Selain itu, adanya peningkatan informasi bahwa paparan arsen dan logam toksik lainnya menjadi
faktor resiko independent terhadap kejadian penyakit kardiovaskular. Meskipun banyak laporan
yang menyatakan bahwa limbah logam-logam tersebut berperan sebagai imunotoksik dan
karsinogen, hubungan antara logam toksik pada lingkungan dan resiko penyakit kardiovaskular
masih belum jelas. Walaupun banyak laporan secara individu mengenai topik ini, dengan banyak
variasi dan cukup rinci (seperti, hubungan antara logam toksik tersebut terhadap beberapa
penyakit kardiovaskuler) dan dengan berbagai jenis penelitian (contoh, perbandingan antara
kadar dalam individu dengan kadar lingkungan). Sulitnya dalam menginterpretasi tinjauan
sebelumnya karena tinjauan sistematis tersebut tidak ada estimasi sintesis secara kuantitatif
(without quantitative synthesis of estimates) dan lebih berfokus pada logam toksik tunggal, atau
gabungan yang diperkirakan dari desain penelitian ekologikal (dimana akan terjadi bias dan
membingungkan). Oleh karena itu, paparan logam toksik yang ada di dunia, karakterisasi yang
akurat dan hubungannya antara kontaminan lingkungan ini dengan penyakit kardiovaskular
adalah hal-hal yang penting untuk memahami penyebab penyakit kardiovaskular, dan secara
kritis, untuk menginformasikan kepada tenaga kesehatan umum untuk menurunkan kadar
paparan logam toksik.

Guna membuktikan kebenaran dari penelitian-penelitian yang sudah dilakukan maka kami
melakukan penelitian dengan meta analisis dan tinjauan sistematis dengan merangkum semua
penelitian epidemiologi mengenai pengaruhnya kontaminan logam tertentu (yang diukur secara
individu) terhadap risiko pada jantung dan pembuluh darah (termasuk penyakit kardiovaskular,
penyakit jantung coroner dan stroke), serta mengukur hubungan respon-dosis. Dalam penelitian
ini, kami berfokus pada lima logam beracun utama atau metaloid, antara lain arsen, timbal,
cadmium dan merkuri yang sudah dikelompokkan oleh WHO dalam “Sepuluh bahan kimia yang
menjadi perhatian kesehatan public” dan memiliki potensi secara mekanis dalam mempengaruhi
penyakit kardiovaskular. Sebagai tambahan, kami juga memasukkan tembaga dimana tembaga
dapat menyebabkan aterosklerosis dengan mengoksidasi kolesterol LDL dan dapat
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular.

Metode
Strategi Pencarian

Dalam pencarian, penelitian ini menggunakan pedoman PRISMA dan MOOSE (lihat gambar 1)
dan material tambahan, tabel S1). Pencarian dilakukan secara menyeluruh di situs eletronik
MEDLINE, Embase, dan Web of Science untuk mengidentifikasi penelitian yang dipublikasi
hingga 5 Desember 2017 (tanggal pencarian terakhir), mengenai penelitian yang menguji
hubungan antara arsen, timbal, cadmium, merkuri dan tembaga dengan antara lain penyakit
jantung coroner (infark myokard yang non fatal, angina, revaskularisasi coroner (contoh,
angioplasty perkutan atau bedah bypass arteri coroner, atau kematian akibat penyakit koroner),
stroke (stroke fatal dan non fatal), dan penyakit kardiovaskular gabungan dengan penyakit stroke
sebagai efek utamanya.Pencarian penelitian dengan komputer yang berjudul paparan logam
toksik (contoh, arsen, timbal, merkuri dan lain-lain) dan pengaruhnya terhadap penyakit
kardiovaskular, infark myocard, stroke dan lain-lain. Penelitian lebih lanjut dicari secara manual
dengan mencari daftar referensi yang relevan dengan artikel. Apabila tidak bisa mendapatkan
referensi yang dituju, maka dengan mengontak penulis, rincian mengenai strategi pencaian
dicantumkan dengan material tambahan, pada appendix 1.

Kriteria Seleksi

Kriteria yang dapat dijadikan bahan penelitian adalah penelitian kohort prospektif, kasus-kontrol
atau nested case-control; memiliki sampel sehat atau populasi umum; sudah memeriksa paparan
logam toksik terutama pada individu dibandingkan secara agregat (contoh, kadar arsen individu
pada air minum); atau laporan mengenai perkiraan resiko untuk penyakit kardiovaskular,
penyakit jantung coroner, atau stroke, pada orang yang terpapar minimal satu logam toksik.

Kriteria eksklusinya adalah antara lain: pelaporan hanya berupa kadar rata-rata dan standard
deviasi baik pada yang sakit maupun yang tidak sakit (case and non case); hanya memeriksa
paparan logam toksik berdasarkan makanan yang dijelaskan oleh pesertanya sendiri; atau dengan
studi cross-sectional atau ekologikal. Dua peninjau akan menyaring hasil pencarian untuk
menyesuaikan kriteria inklusi. Bila ada publikasi di berbagai tempat dari suatu penelitian, maka
yang digunakan adalah informasi yang paling dini.
Hasil Data dan Uji Kualitas

Hasil pencarian data dengan kriteria tertentu dengan 2 investigator dengan protokol yang sesuai
standar: jumlah sampel; desain penelitian; populasi sampling; lokasi ( eropa, amerika utara dan
regio asia pasifik); tahun survey; rentang usia peserta; jenis kelamin; kadar rata-rata limbah
lingkungan; tipe sampel (serum, plasma, atau jaringan adiposa), suhu penyimpanan, metode
assay; durasi penindaklanjutan; jumlah penyakit dan jumlah penyakit; dan tingkat penyesuaian
statistic (‘+’ ketika resiko relative hanya berdasarkan usia dna jenis kelamin; ‘++’ bila
disesuaikan dengan faktor resiko vascular (cotoh, usia, jenis kelamin, penggunaan rokok, kadar
lemak, hipertensi, riwayat penyakit kardiovaskular); dan ‘+++’ bila disesuaikan dengan faktor
tambahan lainnya (status sosial).

Gambar 1. Diagram PRISMA untuk strategi pencarian

Penyesuaian adekuat untuk faktor-faktor ini penting sebagai kontrol pada kemungkinan adanya
efek yang membingungkan dari faktor-faktor ini dalam mempengaruhi kadar logam toksik dan
resiko penyakit kardiovaskular, yang menyebabkan suatu asosiasi yang salah. Dua peninjau
independent menggunakan skala Newcastle-Ottawa untuk menguji kualitas penelitian dengan
tiga domain: pemilihan peserta; perbandingan kelompok penelitian; dan pemastian penyakit.
Penelitian yang mendapat skor 9 bintang dinilai berkualitas tinggi, penelitian dengan skor tujuh
atau delapan bintang dinilai kualitas sedang, dan penelitian kurang dari tujuh bintang dinilai
kualitas rendah.

Sintesis dan analisis data

Untuk menghasilkan intepretasi yang konsisten pada meta analisis ini, estimasi resiko relatif
antara logam toksik dengan penyakit kardiovaskular, penyakit jantung koroner dan stroke
ditransformasikan dengan membandingkan distribusi teratas dengan ketiga terbawah dalam
setiap penelitian, dengan metode yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Secara singkat, estimasi log risk ditransformasikan sehingga dapat diasumsikan distribusi
normal, dengan perbandingan antara nilai teratas dengan ketiga terbawah ekuivalen atau setara
dengan 2.18 kali log relative risk untuk 1 standar deviasi (atau setara dengan 2.18/2.54 kali log
relatif risk untuk perbandingan extreme quarters). Dalam menghitung standar eror dari log
relative risks, digunakan angka kepercayaan sesuai dengan yang telah dipublikasikan dan
ditransformasikan dengan cara yang sama. Sebagai contoh, penelitian oleh Kromhout et al
melaporkan resiko relatif dari penyakit kardiovaskular 1.06 (dengan angka kepercayaan 95%
antara 0.47 hingga 2.37) sesuai dengan nilai log relative risk 0.058 dan standar eror dari log
relative risksnya adalah 0.41. Dalam melakukan konversi estimasi risiko antara nilai tertinggi
dengan ketiga terbawah dari paparan timbal dalam penelitian ini adalah dengan cara sebagai
berikut: Log relative risk (top vs bottom third) = (2.18/2.54)*0.058 = 0.05 dan standar eror dari
log relative risk (top vs bottom third) = (2.18/2.54)*0.41 = 0.35. Kami mengkalkulasi total dari
resiko relatif dengan mengumpulkan estimasi setiap penelitian dengan random effect model dan
studi heterogenitas (Analisa parallel menggunakan model fixed-effect). Kami menguji
konsistensi dari hasil pencarian berdasarkan hasil tes chi square dan statistic I2 standar.

Kami menguji heterogenitas pada studi kohort observasional dengan membandingkan hasil
penelitian sesuai dengan yang sudah dikelompokkan berdasarkan karakteristik studi (seperti
desain penelitian, lokasi, tahun survey, durasi penindaklanjutan, jumlah hasil yang terekam,
definisi hasil, tingkat penggunaan penyesuaian statistic, dan tipe sampel) dengan meta-regresi.
Kami menguji bias yang disebabkan oleh publikasi dengan funnel plots dan egger test, pada
minimal 3 penelitian yang sama. Pengujian respon-dosis secara meta-analisis dengan generalized
least-squares trend estimation (GLST) analysis yang dideskripsikan oleh Greenland dan
Longnecker.
Hasil

Karakteristik Penelitian

Sebanyak 37 penelitian melaporkan bahwa pada 348.259 pasien yang berbeda dilakukan
identifikasi, termasuk data yang relevan mengenai arsenik (12 penelitian), timbal (11), kadmium
(8), merkuri (9), dan tembaga (6) (lihat tabel 1, gambar 1, dan materi tambahan pada tabel S3).

Secara keseluruhan, 12 dari penelitian ini dilakukan di Amerika Utara, 17 di Eropa, dan 8 di
kawasan Asia-Pasifik. Tiga puluh tiga penelitian bersifat prospektif (26 kohort dan 7 nested case-
control (yaitu, penelitian nested case-control dalam sebuah penelitian kohort) atau penelitian
kasus-kohort) dan empat penelitian merupakan case-control. Metode pengukuran kontaminan
lingkungan yang digunakan dalam setiap penelitian dijelaskan dalam materi tambahan pada tabel
S4. Sumber utama pengukuran arsen berasal dari tingkat konsumsi air minum per individu (6
penelitian), urin (4), dan kuku ibu jari (2). Kadar timbal dan tembaga dalam darah diukur dalam
semua penelitian. Kadar kadmium dalam urin dilaporkan pada tiga penelitian, dalam darah pada
empat penelitian, dan dalam kuku kaki pada satu penelitian. Paparan terhadap merkuri diukur
pada rambut (2 penelitian), darah (4), atau kuku (3) (materi tambahan, tabel S4). Kadar
kontaminan rata-rata yang dilaporkan pada penelitian berkisar antara 3,7 mg / L sampai 4,9 mg /
L untuk arsenik dalam urin dan 0,7 mg / L sampai 131,1 mg / L untuk arsenik dalam air
minum, sedangkan kadar timbal, kadmium, merkuri, dan tembaga dalam darah berkisar
antara 2,6 ug / dL sampai 44,3 mg / dL, 0,44 mg / L sampai 1,3 mg / L, 0,004 mg / L sampai
3,5 mg / L, dan 0,96 mg / L sampai 1,27 mg / L, masing-masing secara beurutan. Tabel 2
dan Tabel 3 menunjukkan bahwa kualitas yang dinilai dalam penelitian menggunakan skala
Newcastle-Ottawa secara bervariasi. Pada umumnya hasil penelitian berkualitas sedang
hingga tinggi (skor ≥7). Sedagkan dua belas penelitian lainnya (10 kohort, 2 kasus-kontrol)
berkualitas rendah.

Asosiasi Antara Kontaminan Lingkungan Dan Risiko Penyakit Kardiovaskular

Meta-analisis ini melibatkan 35 penelitian mengenai kontaminan lingkungan dan penyakit


kardiovaskular. Enam penelitian (satu pelaporan mengenai arsenik, dua mengenai kadmium, dan
tiga mengenai merkuri) yang tidak menggunakan penilaian yang tepat untuk paparan logam berat
(yaitu, penggunaan tingkat kadmium dalam kuku kaki) atau tidak menyesuaikan paparan logam
berat lainnya (misalnya, merokok untuk kadmium atau asupan makanan laut untuk merkuri)
dikeluarkan dari analisis (tabel 1). Jumlah kasus pada 35 penelitian dalam meta analisis ini sebanyak
14.706 kasus penyakit kardiovaskular, 12.033 kasus penyakit jantung koroner, dan 3613 kasus
stroke. Total durasi follow-up berkisar antara lima sampai 36 tahun.
Dua puluh tiga penelitian menambahkan variable lain sepeti faktor risiko konvensional untuk
penyakit kardiovaskular termasuk usia, jenis kelamin, dan faktor sosiodemografi (etnis,
pendidikan, pendapatan) serta faktor risiko tambahan seperti status merokok, tekanan darah,
lipid, dan riwayat medis. Tiga belas penelitian lainnya melakukan penilaian terkait usia, jenis
kelamin, dan faktor sosiodemografi. Sementara pada tiga penelitian hanya menilai usia dan jenis
kelamin saja. Gambar 2 menunjukkan ringkasan plot mengenai ketiga penyakit (penyakit
kardiovaskular, penyakit jantung koroner, dan stroke) yang membandingkan antara responden
ketiga teratas dengan responden ketiga terbawah yang terpapar kontaminan lingkungan. Gambar
3, gambar 4, dan gambar 5 menunjukan plot untuk setiap penyakitnya.

Gambar 2 | Ringkasan dari asosiasi kontaminan lingkungan dengan penyakit


kardiovaskular. Pooled risk estimate dihitung dengan menggunakan efek acak meta-
analisis. risiko relatif membandingkan risiko untuk setiap hasil pada individu di
ketiga atas dengan orang-orang di ketiga bawah tingkat dasar dari kontaminan
lingkungan (yaitu, pertiga ekstrim). estimasi risiko dari studi terpisah yang biasanya
disesuaikan dengan demografi dasar (misalnya, usia, jenis kelamin, tekanan darah
sistolik, merokok, riwayat diabetes, dll)
Arsenik, timbal, kadmium, dan tembaga memiliki hubungan yang signifikan dengan risiko
penyakit jantung koroner, dengan risiko relatif masing-masing sebesar 1,23 (Interval
Kepercayaan 95%, 1,04-1,45), 1,85(1,27-2,69), 1,29(0,98-1,71), dan 2,22(1,31-3,74) secara
berurutan. Sementara untuk merkuri tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan penyakit
jantung koroner, dengan risiko relatif sebesar 0,99 (0,65-1,49). Ditemukan adanya heterogenitas
pada perkiraan penyakit jantung koroner pada semua penelitian untuk sebagian besar kontaminan
lingkungan (I 2 = 78%, P <0.001 untuk arsenik; I 2 = 66%, P = 0,005 untuk timbal; I 2 = 52%, P
=0,08 untuk kadmium; I 2 = 85%, P <0.001 untuk merkuri; dan I 2 = 67%, P = 0,03 untuk
tembaga;).
Seperti pada risiko penyakit jantung koroner, kadar arsenik, timbal, kadmium, dan tembaga juga
dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular (risiko relatif masing-masing 1,30,
Interval Kepercayaan 95%, 1,04-1,63; 1,43, 1,16-1,76; 1,33, 1,09-1,64; dan 1,81, 1,05-3,11).
Tidak ada bukti yang menunjukan adanya asosiasi antara kadar merkuri dengan risiko penyakit
kardiovaskular (0,94, 0,66-1,36). Namun, terdapat bukti yang signifikan untuk heterogenitas pada
penyakit kardiovaskular di seluruh penelitian (I2 dengan rentang dari 68%, P = 0,001 sampai
dengan 84%, P <0.001 untuk merkuri).
Tabel 1. Ringkasan dari Penelitian pada Kajian Sistemik

Timbal dan kadmium juga dikaitkan dengan peningkatan risiko yang signifikan terjadinya stroke
(masing-masing risiko relative 1,63, 95% interval kepercayaan, 1,14-2,34 dan 1,72, 1,29-2,28)
dan tidak adanya bukti heterogenitas pada penelitian (I 2 = 0%, P= 0,76 dan I2 = 10%, P = 0,33).
Tidak ada bukti yang menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara arsenik dengan risiko
stroke, dengan sedikit atau tidak adanya bukti mengenai heterogenitas dalam perkiraan stroke
yang terpapar kontaminan (I 2 = 56%, P = 0,08).

Respon-dosis meta-analisis
Hubungan respon-dosis antara kadar logam toksik dengan penyakit kardiovaskular, berdasarkan
data yang relevan ditampilkan dalam materi tambahan, gambar S1. Hanya dua penelitian
yang melaporkan mengenai paparan arsenik dalam air minum, tiga studi melaporkan
paparan kadmium, dan empat studi melaporkan paparan timbal,

Tabel 2. Skala Newcastle-Ottawa untuk menilai kualitas studi kohort

yang memberikan informasi yang cukup untuk melakukan analisis respons-dosis.


Singkatnya, untuk kadar arsenik dasar dalam air dan risiko penyakit kardiovaskular, ada
bukti hubungan linear dengan spektrum kadar arsenik (0 ug/L - 369,5 ug/L, P = 0,31 untuk
non-linear, lihat materi tambahan, gambar S1A). Demikian pula, terdapat hubungan linear
antara kadar timbal dalam darah dan risiko penyakit jantung koroner (P = 0,677 untuk non-
linear, lihat materi tambahan, gambar S1B), dengan risiko relatif untuk risiko penyakit
jantung koroner per 5 ug / dL peningkatan kadar timbal menjadi 1,07 (95% interval
kepercayaan 1,04-1,10). Sebaliknya, untuk asosiasi antara kadar kadmium dalam urin dan
risiko penyakit kardiovaskular, peningkatan pesat (dalam tingkat kadmium urine dari 0,11
ug / g menjadi 1,41 ug /g) yang diikuti dengan peningkatan yang kurang pesat dengan risiko
melebihi ambang batas 1,41 ug / g. Risiko relatif penyakit kardiovaskular untuk setiap
kenaikan cadmium sebesar 0,75 ug kenaikan / g kadmium adalah sebesar 1,21 (95% Interval
Kepercayaan 1,09-1,33, P = 0,656 untuk non-linear, lihat materi tambahan, gambar S1C).
Ada hubungan linier yang signifikan antara kadar kadmium dalam urin dan risiko penyakit
jantung koroner (P = 0,865 untuk non-linear, lihat materi tambahan, gambar S1D). untuk
hubungan antara tingkat kadmium dalam urin dan risiko penyakit kardiovaskular, meningkat
tajam awal dalam risiko (dalam tingkat kadmium urine dari 0,11 ug / g menjadi 1,41 g / g)
diikuti dengan peningkatan lemah risiko di luar 1,41 mg / g . Risiko relatif penyakit
kardiovaskular untuk setiap 0,75 ug kenaikan / g kadmium adalah 1,21 (95% confidence
interval 1,09-1,33, P = 0,656 untuk non-linear, lihat materi tambahan, gambar S1C). Ada
hubungan linier yang signifikan antara kadar kadmium dalam urin dan risiko penyakit
jantung koroner (P = 0,865 untuk non-linear, lihat materi tambahan, gambar S1D).

Analisis Subkelompok dan Penilaian Bias Publikasi

Sedikit variasi dalam perkiraan risiko diantara kontaminan yang dijelaskan pada studi penelitian
(P> 0,05 untuk faktor yang paling umum diselidiki, lihat materi tambahan, gambar S2- S6).
Sebagai contoh, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam risiko relatif untuk penyakit
kardiovaskular dengan berbagai jenis eksposur terhadap individu (misalnya, pengukuran pada
darah vs sumber lain; P> 0,05). Selain itu, risiko relatif secara umum terlepas dari tingkat
penyesuaian terhadap faktor pembaur lainnya yang dinilai dalam penelitian yaitu antara lain,
berdasarkan lokasi geografis, kesehatan dasar, atau besar dari penelitian. Dalam analisis yang
menilai mengenai efek dari sumber pengukuran arsen (urin dan kuku v air) pada perkiraan risiko
penyakit kardiovaskular, penyakit jantung koroner, dan stroke. Perkiraan risiko dibandingkan
antara studi yang tidak memiliki bukti heterogenitas yang signifikan dengan studi yang
mengukur arsenik dalam
air minum terhadap biomarker (lihat materi suplemetari, gambar S7). Analisis subkelompok
membandingkan risiko penyakit kardiovaskular, penyakit jantung koroner, dan stroke pada
responden yang tidak pernah-merokok dengan perokok maupun mantan

Tabel 3. Skala Newcastle-Ottawa untuk menilai kualitas studi case-control

perokok menghasilkan hasil yang sama terhadap paparan arsenik dan kadmium (lihat materi
tambahan, gambar S8 dan S9).
Funnel plots (lihat materi tambahan, gambar S10-S14) dan tes bias pada publikasi untuk hasil
dan marker lainnya tidak signifikan untuk sebagian besar kontaminan (P> 0,05), namun, ada
bukti bias pada publikasi pada penelitian mengenai hubungan arsenik dengan penyakit
kardiovaskular (P = 0,01) dan penyakit jantung koroner (P <0.001) (lihat materi tambahan, tabel
S5). 75

Temuan Umum
Kami telah melakukan kajian sistematis dan meta-analisis, dengan menggunakan data yang
berbeda dari sekitar 350 000 partisipan yang berasal dari 37 penelitian, untuk membantu
memperjelas bukti bahwa adanya asosiasi antara elemen toksik lingkungan dengan risiko
penyakit kardiovaskular. Secara keseluruhan, hasil kami menunjukkan
Gambar 3 | Hubungan antara kontaminan lingkungan dan penyakit kardiovaskular.
Nr = tidak dilaporkan; + = Minimal disesuaikan (biasanya disesuaikan dengan usia
dan jenis kelamin saja); ++ = disesuaikan dengan setidaknya satu faktor berdasarkan
risiko kardiovaskular darah non (misalnya, tekanan darah sistolik, indeks massa
tubuh, riwayat diabetes, dll); +++ = juga disesuaikan berdasarkan faktor risiko
kardiovaskular setidaknya satu pemeriksaan darah (misalnya, kolesterol total, c-
reactive protein, dll)

bahwa adanya eksposur arsenik, timbal, kadmium, dan tembaga masing-masing memiliki
hubungan yang signifikan dengan penyakit kardiovaskular dan penyakit jantung koroner,
penyakit jantung dan stroke, atau semua penyakit kardiovaskular. Sebaliknya, merkuri tidak
memiliki hubungan yang signifikan dengan risiko kardiovaskular. Selain itu, berdasarkan data
yang relevan yang tersedia, terdapat asosiasi antara kadar arsenik, timbal, dan kadmium dengan
penyakit kardiovaskular berbentuk linier.

Gambar 4. Hubungan antara kontaminan lingkungan dan penyait jantung koroner.

Perbandingan dengan penelitian lain


Temuan yang diamati dalam tinjauan ini mungkin memiliki beberapa penjelasan potensial. Kami
menemukan adanya hubungan positif antara arsenic (logam toksik lingkungan yang ditemukan
dalam jumlah besar dalam beras dan air tanah di banyak bagian dunia) dengan risiko penyakit
jantung koroner.76,77 Paparan arsenik telah dilaporkan untuk mempercepat dan memperburuk
aterosklerosis pada tikus apolipoprotein E-knockout.78,79 Penelitian klinis dan eksperimental dari
paparan arsenik telah melaporkan adanya produksi oksigen reaktif dalam sel endotel,80
meningkatkan regulasi sinyal inflamasi,81 dan meningkatkan tekanan darah. 82-84
Temuan ini
menjelaskan beberapa studi epidemiologi sebelumnya yang dilaporkan terdapat asosiasi
mencolok dengan penyakit Blackfoot (penyakit vaskular perifer berat) pada orang terkena dosis
kumulatif yang sangat tinggi dari arsenik. 85 86.
87
Meskipun tingkat sirkulasi timbal tampaknya menurun pada negara maju, karena terjadi
penurunan dalam penggunaan bensin bertimbal dan cat bertimbal, paparan timbal tetap cukup
tinggi di banyak daerah.88 Terdapat hubungan positif yang kuat ditemukan dalam review kami
antara timbal dan risiko penyakit kardiovaskular, memperkuat timbal sebagai masalah utama
kesehatan masyarakat. 89 Dua jalur utama yang terlibat dalam terjadinya penyakit kardiovaskular
90
adalah melalui percepatan peningkatan tekanan darah sistolik dan kerusakan fungsi ginjal.
Penelitian sebelumnya juga telah menunjukkan hubungan timbal dengan aterosklerosis sebagai
akibat timbal-diinduksi stres oksidatif dan peradangan setelah terpapar. 11,15
Gambar 5. Hubungan antara kontaminan lingkungan dan stroke.

Jurnal ini juga menunjukkan hubungan positif tembaga dengan penyakit kardiovaskular, seperti
91 92
yang dijelaskan dalam penelitian sebelumnya. Tembaga merupakan elemen penting.
11
Kelebihan tembaga dapat menginduksi stres oksidatif oksigen reaktif. Tembaga memediasi
peroksidasi lipid telah ditunjukkan dalam beberapa penelitian in vivo dan in vitro. 21 Mekanisme
lain yang dapat merusak adalah melalui kompleks tembaga-homocystein yang telah menginduksi
93
disfungsi endotel dan cedera vaskular. Untuk kedua arsenik dan tembaga, meskipun
berdasarkan data yang terbatas, dosis dan respons hubungan berpotensi linier, kita telah
mengamati menunjukkan bahwa pada tingkat paparan rata-rata lebih rendah (umum di banyak
daerah global), logam toksik ini mungkin memiliki dampak merugikan pada kesehatan vaskuler.

Kami juga mengamati hubungan positif antara tingkat kadmium dan penyakit kardiovaskular
yang independen, dari beberapa potensi risiko faktor penyakit kardiovaskuler (termasuk
merokok). Efek samping kadmium pada sistem vaskular diduga dimediasi oleh stres oksidatif,
inflamasi, dan kerusakan sel endotel, yang dapat mengakibatkan aterosklerosis. Hal ini penting
karena kadmium secara luas lazim di tanah dan makanan. Ditanam umum berdasarkan
(misalnya, beras dan sayuran). 94
Sebaliknya, merkuri, logam berpotensi toksik yang manusia terkena terutama melalui konsumsi
95
ikan, tidak bermakna dikaitkan dengan risiko penyakit kardiovaskular dalam review ini.
Meskipun beberapa penelitian individu mengamati hubungan terbalik antara tingkat merkuri dan
62,66
risiko penyakit kardiovaskular, saat ini belum ada penjelasan biologis yang diterima yang
mendukung seperti link.

Kelebihan dan keterbatasan penelitian


Kelebihan dan keterbatasan pada penelitian ini memerlukan pertimbangan yang cermat.
Penelitian ini merupakan metaanalisis pertama yang komprehensif dari beberapa logam toksik
dalam kaitannya dengan risiko penyakit kardiovaskular. Kami telah berfokus hanya pada
penilaian paparan logam toksik per individu, dan dilakukan analisis dengan mengukur logam
toksik menggunakan biomarker objektif atau paparan individu terhadap arsenik dalam air
minum. Namun, perlu dicatat bahwa faktor-faktor penentu biologis, presisi pengukuran dan
kemampuan untuk mencerminkan paparan jangka panjang mungkin berbeda di berbagai
96
biomarker. Oleh karena itu, untuk memastikan penilaian paparan jangka panjang yang
konsisten, pengukuran berulang dari waktu ke waktu yang terhadap kadar logam toksik pada
97
individu yang bervariasi (yaitu, regresi dilusi) harus dipertimbangkan dalam penelitian di
55
masa depan. Selain itu, kebanyakan studi yang mengukur arsenik dan kadmium dalam urin
didasarkan pada urinasi pertama di pagi hari, yang mungkin dibatasi oleh status hidrasi individu
pada saat pengumpulan, dan karena itu, mungkin berbeda di pengenceran karena perbedaan laju
98
aliran urin, dan perbedaan dalam stabilitas dan kemampuan untuk memproduksi logam yang
diukur. Sementara tinjauan ini terbatas pada temuan yang dipublikasikan, penggunaan data
peserta individu, dalam penelitian primer skala besar di masa depan, akan memungkinkan
penilaian yang lebih rinci dan spesifik dari asosiasi antara logam lingkungan toksik dan penyakit
kardiovaskular, termasuk: menilai rute paparan (misalnya, lingkungan vs kerja); penyesuaian
standar untuk perancu (misalnya Status merokok,); mengurangi heterogenitas yang dihasilkan
dari meta-analisis dari populasi penelitian yang beragam; dan karakterisasi lebih konsisten dari
setiap potensi dosis-respons penilaian saat ini sedang berlangsung.99,100 Sama halnya dengan
review kami berdasarkan data observasional yang mungkin akan dipengaruhi oleh perancu
lainnya yang tidak terukur sehingga membuat inferensi kausal yang sulit. Dalam hal ini, sebuah
uji coba secara acak sebelumnya, yang berdasarkan pada orang dengan penyakit jantung yang
sudah ada sebelumnya, menyarankan bahwa penurunan kejadian kardiovaskular terjadi setelah
101
terapi kelasi intravena (yang memfasilitasi ekskresi logam berat melalui urin) dibandingkan
dengan plasebo. Namun, uji coba lanjut, terutama yang melibatkan populasi umum, diperlukan.
Selain itu, perlu identifikasi polimorfisme yang mempengaruhi kadar logam toksik di sirkulasi
yang dapat digunakan sebagai proxy untuk kadar sirkulasi (seperti polimorfisme AS3MT,
MT1A/B), dengan penyakit menggunakan analisis variabel instrumental (yaitu, pengacakan
Mendel analisis). 105

Implikasi untuk dokter dan pembuat kebijakan


Temuan kami mungkin memiliki kebijakan penting dan implikasi ilmiah. Pertama, temuan ini
menjelaskan peran logam toksik lingkungan dalam meningkatkan risiko kardiovaskular, di luar
faktor risiko perilaku konvensional (seperti penggunaan tembakau dan diet yang tidak sehat).
Hasil ini mungkin memiliki implikasi, mengingat bahwa saat ini strategi global untuk
106
pencegahan penyakit tidak menular (misalnya, WHO 2018 Laporan) difokuskan terutama
pada penanggulan faktor perilaku. Menyadari faktor lingkungan (seperti logam toksik) sebagai
prioritas tambahan, oleh karena itu, diharapkan dukungan sosial politik yang lebih luas untuk
menyiapkan undang-undang yang tepat, strategi dan standar pencegahan, dan investasi untuk
mengatasi masalah global utama mengenai penyakit kardiovaskular.

Kedua, adanya hubungan linier untuk arsenik, timbal, dan kadmium tingkat dengan penyakit
kardiovaskular, menunjukkan bahwa paparan logam toksik yang lebih rendah dapat memberikan
dampak buruk pada kesehatan. Meskipun demikian, temuan saat ini menjamin penelitian lebih
lanjut dan rinci untuk mengukur dan menentukan individu yang berisiko terhadap penyakit serta
memicu tindakan klinis yang tepat. Saat ini, dalam praktek klinis, toksisitas logam ini, jika
memang dicurigai, ditetapkan melalui berbagai investigasi diagnostik termasuk darah dan
analisis urin 24 jam dan biasanya melibatkan teknik analisis plasma spektrometri massa
digabungkan induktif untuk penentuan
107
unsur. Pilihan pengobatan untuk keracunan logam berat termasuk berbagai antidot dan agent
kelasi (yang meningkatkan eliminasi logam dari tubuh) seperti succimer (DMSA), unithiol
108
(DMPS), natrium kalsium edetat, dan dimerkaprol. Namun, karena kegunaan dan respon dari
109
terapi ini sangat bervariasi, pencegahan primer, dengan mengembangkan pedoman kesehatan
masyarakat berbasis bukti dan dengan biaya rendah, melakukan intervensi untuk mengurangi
paparan kontaminan ini, harus diprioritaskan.

Kesimpulan
Hasil meta-analisis menunjukkan bahwa paparan arsenik, timbal, kadmium, dan tembaga
dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan penyakit jantung koroner.
Sebaliknya, merkuri tidak terkait dengan risiko kardiovaskular. Temuan ini memperkuat (sering
kurang diakui) pentingnya logam toksik pada resiko penyakit kardiovaskular, di luar faktor risiko
perilaku konvensional. Selanjutnya untuk hasil yang lebih terperinci, perlu dilakukan
karakterisasi yang menilai hubungan dan kausalitas selanjutnya.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Kardiovaskular
Sistem kardiovaskuler terdiri atas dua bagian yaitu jantung dan pembuluh darah. Jantung
adalah suatu organ vital dalam tubuh. Meskipun jantung bukan organ sasaran biasa, organ ini
dapat dirusak oleh berbagai jenis zat kimia. Zat itu bekerja secara langsung pada otot jantung
atau secara tak langsung melalui susunan saraf atau pembuluh darah (Frank, 1995).

1. Jantung
Anatomi fisiologi jantung
Jantung terletak dalam ruang mediastinum rongga dada, yaitu di antara paru. Secara
fungsional, jantung terdiri atas dua pompa yang terpisah, yakni jantung kanan yang
memompakan darah ke paru dan jantung kiri yang memompakan darah ke organ-organ perifer.
Selanjutnya, setiap bagian jantung yang terpisah ini merupakan dua ruang pompa yang dapat
berdenyut, yang terdiri atas satu atrium dan satu ventrikel (Anggraeni, 2009).
Efisiensi jantung sebagai pompa bergantung pada nutrisi dan oksigenasi otot jantung
melalui sirkulasi koroner. Sirkulasi ini meliputi seluruh permukaan epikardium jantung,
membawa nutrisi dan oksigen ke miokardium melalui cabang-cabang intramiokardial yang kecil-
kecil (Anggraeni, 2009). Berkaitan dengan oksigenasi dan nutrisi, maka berhubungan erat
dengan otot jantung. Jantung terdiri atas tiga tipe otot jantung yang utama yakni: otot atrium,
otot ventrikel, dan serat otot khusus penghantar rangsangan dan pencetus rangsangan. Tipe
atrium dan ventrikel berkontraksi dengan cara yang sama seperti otot rangka, hanya saja lamanya
kontraksi otot-otot tersebut lebih lama (Anggraeni, 2009).

Fungsi Jantung

Pada saat berdenyut, setiap ruang jantung mengendur dan terisi darah (disebut diastol),
selanjutnya jantung berkontraksi dan memompa darah keluar dari ruang jantung (disebut sistol).
Kedua atrium mengendur dan berkontraksi secara bersamaan, dan kedua ventrikel juga
mengendur dan berkontraksi secara bersamaan (Sanjoyo, 2005).

Darah yang kehabisan oksigen dan mengandung banyak karbondioksida dari seluruh tubuh
mengalir melalui 2 vena berbesar (vena kava) menuju ke dalam atrium kanan. Setelah atrium
kanan terisi darah, dia akan mendorong darah ke dalam ventrikel kanan (Sanjoyo, 2005). Darah
dari ventrikel kanan akan dipompa melalui katup pulmoner ke dalam arteri pulmonalis, menuju
ke paru-paru. Darah akan mengalir melalui pembuluh yang sangat kecil (kapiler) yang
mengelilingi kantong udara di paru-paru, menyerap oksigen dan melepaskan karbondioksida
yang selanjutnya dihembuskan (Sanjoyo,2005). Darah yang kaya akan oksigen mengalir di
dalam vena pulmonalis menuju ke atrium kiri. Peredaran darah diantara bagian kanan jantung,
paru-paru dan atrium kiri disebut sirkulasi pulmoner(Sanjoyo, 2005).

Darah dalam atrium kiri akan didorong ke dalam ventrikel kiri, yang selanjutnya akan
memompa darah yang kaya akan oksigen ini melewati katup aorta masuk ke dalam aorta (arteri
terbesar dalam tubuh). Darah kaya oksigen ini disediakan untuk seluruh tubuh, kecuali paru-paru
(Sanjoyo, 2005).

Pembuluh darah

Pembuluh darah adalah bagian dari sistem sirkulasi dan berfungsi mengalirkan darah ke
seluruh tubuh. Jenis-jenis yang paling penting, arteri dan vena, juga disebut demikian karena
mereka membawa darah keluar atau masuk ke jantung. Kerja pembuluh darah membantu jantung
tuk mengedarkan sel darah merah atau eritrosit ke seluruh tubuh dan mengedarkan sari makanan,
oksigen dan membawa keluar karbon dioksida. Fungsi pembuluh darah arteri adalah
mengedarkan darah dari jantung ke seluruh tubuh, sedangkan fungsi pembuluh darah vena
adalah mengalirkan darah dari seluruh tubuh ke jantung (Wikipedia, 2010).

Pembuluh darah terdiri atas arteri dan vena. Arteri berhubunan lengsung dengan vena pada
bagian kapiler dan venula yang dihubungkan oleh bagian endotheliumnya. Arteri dan vena
terletak bersebelahan. Dinding arteri lebih tebal dari pada dinding vena. Dinding arteri dan vena
mempunyai tiga lapisan bagian dalam yang terdiri dari endothelium, lapisan tengah yang terdiri
atas otot polos dengan serat elastis dan lapisan paling luar yang terdiri atas jaringan ikat
ditambah dengan serat elastis. Cabang terkecil dari arteri dan vena disebut kapiler. Pembuluh
kapiler memilki diameter yang sangat kecil dan hanya memilki satu lapisan tunggal endothelium
dan sebuah membran basal (Wikipedia, 2010).

B. Mekanisme Patofisiologi

Pada keracunan akut, kerusakan jantung dapat terjadi dengan dua cara:

1. Kerja langsung pada otot jantung atau system hantaran jantung (misal: efek hidrokarbon
halogen pada jantung)

2. Akibat hipoksia jaringan (karbon monoksida, hidrogen disulfida, hidrogen sianida).


Walaupun efek serupa dapat timbul pada paparan kadar rendah jangka panjang, keprihatinan
utama adalah perkembangan aterosklerosis yang meningkat, diikuti perubahan-perubahan
iskemik pada organ-organ vital (otak, jantung). Patofisiologi perubahan vascular yang diinduksi
getaran belum jelas sama sekali. Diduga terdapat efek merusak langsung pada dinding vascular
ataupun mekanisme reflex vasospatik yang tercetus melalui reseptor saraf (WHO, 1993).

C. Efek bahan toksik terhadap jantung

1. Penyakit jantung koroner

Morbiditas dan mortalitas akibat penyakit jantung iskhemik yang tinggi telah dipastikan
pada para pekerja yang terpapar karbon disulfida pada industry bubur rayon. Di samping
penyakit jantung iskhemik, berbagai sindrom kardiovaskuler akibat keracunan karbon
disulfida kronik antara lain, tekanan darah tinggi, gangguan mikrosirkulasi retina, dan
gangguan fungsi system saraf pusat akibat efek toksik langsung maupun efek vaskuler.
Karena karbon disulfida tidak menyebabkan gejala kardiovaskuler yang patognomonik,
konfirmasi etiologi penyakit kardiovaskular biasanya tidak dimugkinkan secara individual,
dan kemungkinan bahwa temuan-temuan tersebut berhubungan dengan kerja harus
didasarkan pada riwayat paparan serta manifestasi keracunan karbon disulfida yang
beragam (WHO, 1993).

Adanya karboksihemoglobin dalam darah (pada paparan terhadap karbon monoksida atau
metilen, yag metabolitnya adalah karbon monoksida) atau methemoglobin (pada paparan
terhadap derivat amino dan aterosklerosis koroner yang sebelumnya sudah ada, dapat
timbul tanda-tanda akut iskemia miokardium (angina pectoris, infark miokard). Demikan
pula disfungsi organ-organ lain yang terkena aterosklerosis (missal kelainan
serebrovaskular, klaudikasio intrmiten pada tungkai) (WHO, 1993). Bahan toksik lainnya
adalah metilin klorida, debu fibrigonik, nitrat dan arsen (Djojodibroto, 1999).

6. Kor pulmonale kronik

Bentuk kronik kor pulmonale (dengan atau tanpa gagal jantung) ditandai dengan hipertrofi
dan dilatasi ventrikel kanan karena meningkatnya tekanan dalam sirkulasi pulmonal. Hal
ini disebabkan oleh ganggan vascular paru-paru dalam perjalanan reaksi fibrotic terhadap
debu seperti silika, asbes, batubara, dan bahan-bahan organic. Selain itu juga dapat
disebabkan hipoventilasi pada penderita bronchitis kronik atau emfisema dengan atau
tanpa kelainan paru akibat kerja lainnya (biasanya muncul lambat dalam perjalanan
penyakitnya) (WHO, 1993).

D. Efek Toksik Pada Pembuluh Darah

1. Meningkatnya Permeabilitas Kapiler

Timbal, merkuri, dan beberapa toksikan lain merusak endotel sel kapiler dalam otak. Efek
ini akan mengakibatkan edema otak dan kerusakan sawar darah otak, Inhalasi gas yang
mengiritasi dan dapat menginduksi edema paru-paru (Frank, 1995).

2. Vasokonstriksi

Konsumsi alkaloid ergot (jamur pencemar dalam makanan tertentu) dapat menyebabkan
gangrene akibat vasokonstriksi. Sindroma klinis yang dikenal sebagai “penyakit kaki hitam –
Blackfoot disease” bersifat endemis pada daerah tertentu di Amerika Selatan dan Taiwan.
Penyakit ini diduga disebabkan oleh vasokonstratiksi setelah mengkonsumsi air minum yang
kadar air seninya tinggi (Frank, 1995).

Beberapa pekerja pabrik yang terpajan nitrogliserin pada tiap hari kerja dilaporkan
mengalami kematian mendadak karena serangan jantung pada akhir pekan. Tampaknya pajanan
yang berlanjut terhadap vasodilator koroner telah membuat para pekerja terbiasa terhadap tingkat
aliran koroner yang rendah, dan berhentinya pajanan ini secara mendadak menimbulkan iskemia
jantung (Frank, 1995).

3. Perubahan degenerasi

Aterosklerosis merupakan suatu penyakit degenerasi kompleks yang terutama


mempengaruhi pembuluh darah besar, misalnya arteri koroner dan carotid. Menyempitnya arteri
ini dapat mengakibatkan serangan jantung dan stroke. Meski etiologi aterosklerosis bersifat
komplek, toksikan tertentu diketahui dapat memperburuk keadaan patologik ini. Karbon
monoksida dapat meningkatkan permeabilitas kapiler di sekitar arteri ini dan menyebabkan
proses degeerasi. Demikian juga CS2 yang termasuk endothelium arteri ini (Frank, 1995).
4. Fibrosis

Kadmium dan Timbal dapat mempengaruhi pembuluh darah dalam ginjal dan
menyebabkan fibrosis ginjal. Gangguan pada pasokan darah dapat mengganggu “fungsi
nonekskretori” ginjal, dan secara tidak langsung menyebabkan hipertensi (Frank, 1995).

5. Reaksi Hipersensitivitas

Garam emas, penisilin, sulfonamide dan beberapa toksikan lain dapat menginduksi
vaskulitis atau memperburuk poliarteritis yang telah ada. Keadaan itu biasanya mempengaruhi
pembuluh kecil dan berhubungan dengan infiltrasi eosinofil dan sel berinti satu yang
menunjukan keterlibatan system imun (Frank, 1995).

Toksikologi
Definisi Toksikologi
Toksikologi adalah ilmu yang menelaah tentang kerja dan efek berbahaya zat kimia
(racun) terhadap mekanisme biologi. Sehingga oksikologi forensic ini merupakan cakupan
terapan ilmu alam dalam analisi racun sebagai bukti dalam tindak kriminal.

Klasifikasi Racun

Racun adalah suatu zat yang apabila kontak atau masuk kedalam tubuh dalam jumlah tertentu
(dosis toksik) merusak faal tubuh baik secara kimia maupun fisiologis sehingga menyebabkan
sakit atau pun kematian. Sifat racun dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis, konsentrasi racun
di reseptor, sifat fisika kimia toksikan tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme,
paparan terhadap organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan.3

Untuk kepentingan di bidang forensik, racun dibagi berdasarkan sifat kimia, fisik serta
pengaruhnya terhadap tubuh manusia, yaitu:3

1. Racun Anorganik
a. Racun Korosif
b. Racun Metalik dan non- metalik
2. Racun Organik

a. Racun Volatil
b. Racun non Volatil dan non alkaloid

3. Racun Gas

4. Racun lain–lain

a. Racun makanan
b. Racun binatang
c. Racun tumbuh–tumbuhan

1. Arsen

Definisi Arsen

Arsen merupakan logam berat dengan valensi 3 atau 5, dan berwarna metal (steel-grey).
Arsenik merupakan logam berat dengan nomor atom 33, berat atom 74.91. Senyawa arsen
didalam alam berada dalam 3 bentuk: Arsen trichlorida (AsCl3) berupa cairan berminyak,
Arsen trioksida (As2O3, arsen putih) berupa kristal putih dan berupa gas arsine (AsH3).
Lewisite, yang sering disebut sebagai gas perang, merupakan salah satu turunan gas arsine. Pada
umumnya arsen tidak berbau, tetapi beberapa senyawanya dapat mengeluarkan bau bawang
putih. Racun arsen pada umumnya mudah larut dalam air, khususnya dalam air panas.1,2,3

Arsen merupakan unsur dari komponen obat sejak dahulu kala. Senyawa arsen
trioksida misalnya pernah digunakan sebagai tonikum, yaitu dengan dosis 3 x 1-2 mg. Dalam
jangka panjang, penggunaan tonikum ini ternyata telah menyebabkan timbulnya gejala
intoksikasi arsen kronis. Arsen juga pernah digunakan sebagai obat untuk berbagai infeksi
parasit, seperti protozoa, cacing, amoeba, spirocheta dan tripanosoma, tetapi kemudian tidak lagi
digunakan karena ditemukannya obat lain yang lebih aman.3,4

Jenis-jenis Arsen4,5

Bermacam-macam bentuk senyawa kimia dari arsen ini yaitu sebagai berikut :

1. Arsen triokasida (As2O3), ialah bentuk garam inorganic dan bentuk trivial dari asam
arsenat (H4AsO4) berwarna putih dan padat seperti gula.

2. Arsen pentaoksida (As2O5)


3. Arsenat (misalnya : PbHAsO4), ialah bentuk garam dari asam arsenat, merupakan senyawa
arsen yang banyak dijumpai di alam dan bersifat kurang toksik.

4. Arsen organic, arsen berikatan kovalen dengan rantai karbon alifatik atau struktur
cincin,dimana arsen terikat dalam bentuk trivalent ataupun pentavalen.Bentuk senyawa arsen ini
kurang toksin dibandingkan denagn bentuk senyawa arsen inorganic trivalent.

Bentuk senyawa arsen yang paling beracun ialah gas arsin (AsH3),yang terbentuk bila
asam bereaksi dengan arsenat yang mengandung logam lain.

Selain dapat ditemukan di udara, air maupun makanan, arsen juga dapat ditemukan di
industri seperti industri pestisida, proses pengecoran logam maupun pusat tenaga geotermal.
Elemen yang mengandung arsen dalam jumlah sedikit atau komponen arsen organik (biasanya
ditemukan pada produk laut seperti ikan laut) biasanya tidak beracun(tidak toksik). Arsen dapat
dalam bentuk in organik bervalensi tiga dan bervalensi lima. Bentuk in organik arsen bervalensi
tiga adalah arsenik trioksid, sodium arsenik, dan arsenik triklorida., sedangkan bentuk in
organik arsen bervalensi lima adalah arsenik pentosida, asam arsenik, dan arsenat (Pb arsenat, Ca
arsenat). Arsen bervalensi tiga (trioksid) merupakan bahan kimia yang cukup potensial untuk
menimbulkan terjadinya keracunan akut.

Sumber Pencemaran Oleh Arsen4,5,7

Keberadaan arsen di alam (meliputi keberadaan di batuan (tanah) dan sedimen, udara, air
dan biota), produksi arsen di dalam industri, penggunaan dan sumber pencemaran arsen di
lingkungan.

A. Keberadaan Arsen di Alam

a. Batuan (Tanah) dan Sedimen

Di batuan atau tanah, arsen (As) terdistribusi sebagai mineral. Kadar As tertinggi dalam bentuk
arsenida dari amalgam tembaga, timah hitam, perak dan bentuk sulfida dari emas. Mineral lain
yang mengandung arsen adalah arsenopyrite (FeAsS), realgar (As4S4) dan orpiment (As2S3).
Secara kasar kandungan arsen di bumi antara 1,5-2 mglkg (NAS, 1977). Bentuk oksida arsen
banyak ditemukan pada deposit/sedimen dan akan stabil bila berada di lingkungan. Tanah yang
tidak terkontaminasi arsen ditemukan mengandung kadar As antara 0,240 mg/kg, sedang yang
terkontaminasi mengandung kadar As rata-rata lebih dari 550 mg/kg.

b. Udara

Zat padat di udara (total suspended particulate = TSP) mengandung senyawa arsen dalam bentuk
anorganik dan organic menunjukkan bahwa hanya 35% arsen anorganik terlarut dalam air hujan.
Di lokasi tercemar, kadar As di udara ambien kurang dari satu gram per meter kubik.

c. Air

Beberapa tempat di bumi mengandung arsen yang cukup tinggi sehingga dapat merembes ke air
tanah. Kebanyakan wilayah dengan kandungan arsen tertinggi adalah daerah aluvial yang
merupakan endapan lumpur sungai dan tanah dengan kaya bahan organik. Arsenik dalam air
tanah bersifat alami dan dilepaskan dari sedimen ke dalam air tanah karena tidak adanya oksigen
pada lapisan di bawah permukaan tanah.

Arsen terlarut dalam air dalam bentuk organik dan anorganik. Jenis arsen bentuk organik adalah
methylarsenic acid dan methylarsenic acid, sedang anorganik dalam bentuk arsenit dan arsenat.
Arsen dapat ditemukan pada air permukaan, air sungai, air danau, air sumur dalam, air mengalir,
serta pada air di lokasi di mana terdapat aktivitas panas bumi (geothermal).

d. Biota

Penyerapan ion arsenat dalam tanah oleh komponen besi dan aluminium, sebagian besar
merupakan kebalikan dari penyerapan arsen pada tanaman. Kandungan arsen dalam tanaman
yang tumbuh pada tanah yang tidak tercemari pestisida bervariasi antara 0,01-5 mg/kg berat
kering. Tanaman yang tumbuh pada tanah yang terkontaminasi arsen selayaknya mengandung
kadar arsen tinggi, khususnya di bagian akar Beberapa rerumputan yang mengandung kadar
arsen tinggi merupakan petunjuk/indicator kandungan arsen dalam tanah. Selain itu, ganggang
laut dan rumput laut juga umumnya mengandung sejumlah kecil arsen.

B. Produksi dalam Industri

Berdasarkan data yang digunakan dari Biro Pertambangan Amerika Serikat, dapat
diperkirakan bahwa total produksi senyawa arsen di dunia mulai tahun 1975 sekitar 600.000 ton.
Negara-negara produsen utama adalah: China, Peru, Swedia, USA dan USSR. Negara-negara
tersebut mampu mencukupi sampai 90% produk dunia. Arsen trivalen adalah basis utama
industri kimia arsen dan merupakan produk samping dalam pelelehan bijih tembaga dan timah
hitam.

C. Penggunaan Senyawa Arsen

Arsen banyak digunakan dalam berbagai bidang, yaitu salah satunya dalam bidang pertanian. Di
dalam pertanian, senyawa timah arsenat, tembaga acetoarsenit, natrium arsenit, kalsium arsenat
dan senyawa arsen organik digunakan sebagai pestisida.

Sebagian tembakau yang tumbuh di Amerika Serikat, perlu diberi pestisida yang mengandung
arsen untuk mengendalikan serangga yang menjadi hama tanaman tersebut selama masa
pertumbuhannya. Tembakau ini akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan rokok.

Toksisitas Arsenik5,6

Toksisitas senyawa arsenic sangat bervariasi. Bentuk organik tampaknya memiliki


toksisitas yang lebih rendah daripada bentuk arsenik anorganik.. Penelitian telah menunjukkan
bahwa arsenites (trivalen bentuk) memiliki toksisitas akut yang lebih tinggi daripada arsenates
(pentavalent bentuk). Minimal dosis akut arsenik yang mematikan pada orang dewasa
diperkirakan 70-200 mg atau 1 mg/kg/hari. Sebagian besar melaporkan keracunan arsenik tidak
disebabkan oleh unsur arsenik, tapi oleh salah satu senyawa arsen, terutama arsenik trioksida,
yang sekitar 500 kali lebih beracun daripada arsenikum murni.

Mekanisme Terjadinya Toksisitas4,8

Mekanisme masuknya Arsen dalam tubuh manusia umumnya melalui oral, dari
makanan/minuman. Arsen yang tertelan secara cepat akan diserap lambung dan usus halus
kemudian masuk ke peredaran darah.

Arsen adalah racun yang bekerja dalam sel secara umum. Hal tersebut terjadi apabila
arsen terikat dengan gugus sulfhidril ( -SH), terutama yang berada dalam enzim. Salah satu
system enzim tersebut ialah kompleks piruvat dehidrogenase yang berfungsi untuk oksidasi
dekarboksilasi piruvat menjadi Co-A dan CO2 sebelum masuk dalam siklus TOA
(tricarbocyclic acid). Dimana enzim tersebut terdiri dari beberapa enzim dan kofaktor. Reaksi
tersebut melibatkan transasetilasi yang mengikat koenzim A (CoA-SH) untuk membentuk asetil
CoA dan dihidrolipoil-enzim, yang mengandung dua gugus sulfhidril. Kelompok sulfhidril
sangat berperan mengikat arsen trivial yang membentuk kelat-kelat dari dihidrofil-arsenat dapat
menghambat reoksidasi dari kelompok akibatnya bila arsen terikat dengan system enzim, akan
terjadi akumulasi asam piruvat dalam darah.

Gambar 1. Mekanisme masuknya arsen dalam tubuh

Arsenat juga memisahkan oksigen dan fosfolirasi pada fase kedua dari glikolosis dengan jalan
berkompetisi dengan fosfat dalama reaksi gliseraldehid dehidrogenase. Dengan adanya
pengikatan arsenat reaksi gliseraldehid-3-fosfat, akibatnya tidak terjadi proses enzimatik
hidrolisis menjadi 3-fosfogliserat dan tidak memproduksi ATP. Selama Arsen bergabung dengan
gugus –SH, maupun gugus –SH yang terdapat dalam enzim, maka akan banyak ikatan As dalam
hati yang terikat sebagai enzim metabolic. Karena adanya protein yang juga mengandung gugus
–SH terikat dengan As, maka hal inilah yang meneyebbkan As juga ditemukan dalam rambut,
kuku dan tulang. Karena eratnya As bergabung dengan gugus –SH, maka arsen masih dapat
terdeteksi dalam rambut dan tulang beberapa tahun kemudian.

Patofisiologi Arsen

Bentuk arsenik anorganik lebih beracun daripada bentuk organik. Bentuk trivalen lebih beracun
dan bereaksi dengan gugus tiol, sedangkan bentuk pentavalen kurang beracun. Hampir semua
organ mengalami efek toksik dari arsen. Bentuk trivalent dari arsen anorganik menghambat
piruvat dehydrogenase dengan berikatan ke gugus sulfhidril (-SH) dari dihidrolipoamida.
Akibatnya, konversi piruvat menjadi asetil koenzim A (CoA) menurun, aktivitas siklus asam
sitrat menurun, dan produksi ATP seluler menurun. Arsenik trivalen menghambat banyak enzim
seluler lainnya akibat adanya ikatan terhadap gugus SH. Arsenik trivalen juga menghambat
penyerapan glukosa seluler, glukoneogenesis, oksidasi asam lemak, dan produksi dari asetil
CoA; serta produksi glutathione (mencegah kerusakan oksidatif sel). Efek arsenik anorganik
pentavalen terjadi sebagian karena transformasi ke arsenik trivalen; hasil toksisitas sebagaimana
diuraikan di atas. Lebih penting lagi, arsenik pentavalent menyerupai fosfat anorganik dan
pengganti fosfat dalam jalur respirasi glikolitik dan seluler. Akibatnya, ikatan fosfat berenergi
tinggi tidak dibuat, dan uncoupling fosforilasi oksidatif terjadi. Sebagai contoh, di hadapan
arsenik pentavalent, adenosine difosfat (ADP) membentuk ADP-arsenate sebagai ganti ATP;
obligasi fosfat berenergi tinggi ATP hilang.

Arsen telah terbukti menghasilkan stres oksidatif. Dalam sebuah penelitian terhadap anak-anak
yang terekspos oleh arsen di lingkungan, arsen dapat mengganggu produksi anion superoksida
monosit dan menghambat produksi nitrit oksida.[8] Arsenik trioksida telah terbukti menyebabkan
perpanjangan dari durasi potensial aksi jantung pada berbagai tingkat repolarisasi yang
menghasilkan penundaan konduksi dan peningkatan triangulasi. Ketidakseimbangan elektrolit
[9]
tampaknya meningkatkan toksisitas. Arsen dapat meninaktivasi sintesis nitrit oksida endotel,
yang mengarah kepada penurunan produksi dan bioavailabilitas nitrit oksida. Paparan arsenik
kronis juga berhubungan dengan induksi dan percepatan aterosklerosis, peningkatan agregasi
trombosit dan berkurangnya fibrinolisis.[10] Paparan jangka panjang terhadap arsen rendah
hingga sedang dikaitkan dengan peningkatan insidensi dan mortalitas penyakit kardiovaskular.
[11]
Arsenik terdaftar sebagai zat karsinogenik yang diduga berdasarkan peningkatan prevalensi
kanker paru-paru dan kulit yang diamati pada populasi manusia dengan beberapa eksposur
(terutama melalui industri inhalasi).

Gejala Toksisitas Arsen1,9,10,11

Dosis toksik
Sebelum membahas mengenai dosis toksik arsen, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai kadar
normal arsen dalam tubuh kita, karena dalam keadaan normal sekalipun tubuh kita sering
terpapar dengan zat yang mengandung arsen dan secara rutin tanpa sadar kita juga
mengkonsumsinya setiap hari, misalnya dari makanan dan minuman yang kita konsumsi sehari-
hari. Kadar normal arsen dalam serum adalah kurang dari 5 µg /L. Sedangkan dalam urin 24 jam
kurang dari 50 µg /L. (2,8)

a) Intoksikasi akut

Acute minimal lethal dose untuk arsenik trioksida pada orang dewasa adalah 70 – 200 mg atau 1
mg/kg/hari. Dosis arsenik inorganik kurang dari 1 mg/kg dapat menyebabkan penyakit yang
serius pada anak-anak. Sedangkan untuk gas arsen dapat menyebabkan kematian pada kadar 150
– 250 ppm. Pajanan antara 25 – 50 ppm selama 30 menit atau 100 ppm selama kurang dari 30
menit dapat menyebabkan hemolisis dan kematian. Toksisitas akut arsen biasanya
memperlihatkan gejala alopesia, gangguan saraf tepi yang ditandai dengan kelumpuhan anggota
gerak bagian bawah, daya reflek yang menurun, sakit perut, gejala tersebut disebabkan oleh
adanya vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah) yang akan mengakibatkan terbentuknya vesikel
(lepuh) pada lapisan submukosa lambung dan usus. Gangguan tersebut mengakibatkan rasa
mual, muntah, diare (kadang bercampur darah) dan sakit perut yang sangat. Bau napas seperti
bawang putih, diare profus menyebabkan banyak cairan tubuh keluar sehingga menyebabkan
gejala hipontesi. Terjadinya diare profus menyebabakan banyak larutan protein terbuang keluar
tubuh, sehingga mengakibatkan usus tidak berfungsi normal (enteropati). Arsen juga dapat
menyebabkan terjadinya aritmia jantung (perubahan dari gelombang ST-T, adanya prolong QT
interval), ventrikel fibrilasi, ventrikel takikardi, penurunan permeabilitas pembuluh darah,
vasodilatasi, dan kolaps sirkulasi akut.

b) Intoksikasi kronik

Keracunan Kronis

Ini jauh lebih berbahaya di alam. Gejala awal biasanya terjadi pada 2-8 minggu. Keracunan
kronis dapat terjadi di antara orang-orang yang terlibat dalam peleburan dan pemurnian logam
dan di Sublimasi arsenik putih dalam pembuatan insektisida untuk bulu domba, pestisida, cat,
pewarna, kosmetik, obat-obatan, dll. Itu perlu diingat bahwa keracunan kronis dapat terjadi
setelah keracunan akut, terutama ketika pemulihan telah terjadi dari yang besar dosis arsenik.
Gejala-gejala mungkin termasuk yang berikut:

 Gejala GIT biasanya berhubungan dengan penurunan berat badan, malaise, kehilangan
nafsu makan, air liur, nyeri kolik, sembelit atau kadang-kadang diare dan muntah lendir
berwarna seperti empedu. Lidah biasanya dilapisi dengan lapisan tipis putih keperakan.
Edema edema dari kelopak mata bawah dan pergelangan kaki dapat dilihat.
 Gejala-gejala kulit biasanya dimulai dengan eritematosa yang persisten flush mengarah
ke kulit hiperkeratosis dan deskuamasi. Pigmentasi tidak sempurna ('rain drops on dusty
roads'). Hiperkeratosis paling menonjol di bagian distal tubuh. Dengan ciri khas
deskuamasi difus telapak tangan dan telapak kaki. Mees lines (garis putih melintang dari
kuku jari, secara teknis disebut leukonychia striata) mungkin juga dapat terlihat.
 Anemia dan leukopaenia sering terlihat. Trombositopenia juga sering terlihat. Anemia
yang muncul adalah anemia normocytic dan normochromic dan sebagian disebabkan oleh
hemolisis.
 Neuropati perifer: Sensory dan motor polyneuritis (Gejala sensoris biasanya
mendominasi) dengan manifestasi klinik yang timbul adalah mati rasa dan kesemutan di
tangan dan kaki 'stocking glove' dan kelemahan distal adalah gejala yang penting.
Keterlibatan otot pernafasan juga bisa terjadi

Diagnosis

Ketika dicurigai terjadinya keracunan arsenik akut, foto X-ray dari abdomen dapat menunjukan
adanya arsenic yang tertelan dengan menunjukan adanya gambaran radioopak pada hasil foto X-
ray abdomen. Kadar arsenik serum bisa melebihi 7 μg / dl. Namun arsenik adalah senyawa yang
cepat dibersihkan dari darah, sehingga arsenik urin harus segera diukur dalam 24-jam. Spesimen
yang dikumpulkan adalah 48 jam dengan pantang dari konsumsi makanan laut. Tingkat normal
total urin ekskresi arsenik kurang dari 50 μg / dl, ekskresi 100 μg atau lebih banyak per hari
adalah indikasi keracunan. Urine menjadi positif dalam 6 jam keracunan dan dapat terus positif
selama sekitar beberapa minggu. Arsenik dapat dideteksi pada rambut dan kuku untuk waktu
yang lama setelah terpapar. (Dulu sebelumnya berpikir bahwa butuh satu atau dua minggu untuk
arsenik tertelan untuk muncul di jaringan keratinisasi seperti rambut dan kuku, tetapi teknik
analitik yang lebih sensitif telah menunjukkan logam itu dapat muncul di sana dalam beberapa
jam. Munculnya logam di jaringan-jaringan ini, mungkin, adalah karena ekskresinya yang cepat
menjadi keringat dan sekresi sebasea dan menyebar ke rambut dan kuku melalui difusi
permukaan.)

Temuan otopsi 1,12

Pada kematian akibat keracunan akut, pemeriksaan luar mayat memberi kesan telah
terjadinya dehidrasi hebat pada tubuh. Pada pemeriksaan dalam akan dijumpai adanya mukosa
lambung dan esophagus yang mengalami inflamasi, erosi, kongesti, dan bercak-bercak
perdarahan. Membran mukosa mempunyai lekukan dan diantara lekukan tersebut (rugae) bisa
ditemukan lendir yang kental dan mengikat partikel racun. Isi lambung berwarna gelap. Pada
korban yang meninggal dalam satu atau dua hari setelah pajanan, kelainan tersebut dapat
meluas ke seluruh usus halus, bahkan kadang-kadang disertai juga oleh adanya pseudomembran
diatasnya. Jika korban meninggal lebih lama lagi dari itu, maka akan dijumpai adanya deposit
lemak pada jaringan hati, jantung dan ginjal. Selain itu pada otopsi dapat juga ditemukan adanya
perdarahan subserosa terutama pada jantung, jaringan longgar mesenterium dan daerah
retroperitoneal.Subendokardium ventrikel kiri merupakan tempat predileksi untuk
suatu perdarahan yang jelas dan kecil berupa flame like hemorrhage atau efusi perdarahan yang
luas.3,8,9

Pada kematian akibat keracunan kronis, pemeriksaan luar dapat dijumpai terjadinya kelainan
pigmentasi pada kulit, garis putih pada kuku, serta tubuh korban yang kahektis. Pada
pemeriksaan dalam akan menunjukkan kelainan pada saluran pencernaan yang ringan. Lambung
normal atau dapat juga menunjukan gastritis kronis dengan disertai penebalan mukosa dan
lapisan serosa. Usus halus berdilatasi dengan mukosa yang menebal dan gambaran
keseluruhannya edema kongestif yang non-spesifik yang umum ditemukan pada penyakit
enteritis. Jarang terjadi ulserasi pada mukosa, isi dari usus sendiri dapat berlebihan atau berupa
cairan dengan gambaran seperrti air cucian beras. Kelainan histologi degeneratif juga dapat
ditemukan pada hati dan ginjal. Ditemukan adanya petechiae pada jantung, paru, hepar, dan
otak.9,10
Apabila korban menelan arsen dalam bentuk padat, secara makroskopik kadang-kadang
dapat dijumpai adanya kristal putih melekat pada mukosa lambung dan esofagus. Jika korban
baru diotopsi setelah mayat membusuk, maka kristal putih arsen trioksida akan berubah warna
menjadi kuning. Sementara itu mukosa gaster warnanya juga berubah dari merah padam
menjadi hijau keunguan sampai hijau kecoklatan.9
Pada jaringan otak, arsen menyebabkan destruksi hemoragik dan perivaskuler (dikenal
sebagai Wernicke-like encepphalopathy, arsenical encephalopathy, hemorrhagic arsenical
encephalitis, atau cerebral purpura), yang terjadi akibat kerusakan endotel yang berat. Secara
mikroskopik pada kelainan ini ditemukan adanya trombosis arteriol dan kapiler serta nekrosis
simetris pada daerah pons, korpus kalosum, klaustrum dan thalamus.9
Gambar 2. Destruksi hemoragik pada otak
Gambar 3. Mee’s lines

Gambar 4. Petechiae hemorrhage pada intoksikasi arsen akut

2. Timbal

Pengertian timbal (Pb)

Timbal atau dikenal sebagai logam Pb dalam susunan unsur merupakan logam berat yang
terdapat secara alami di dalam kerak bumi dan tersebar ke alam dalam jumlah kecil melalui
proses alami termasuk letusan gunung berapi dan proses geokimia. Pb merupakan logam lunak
yang berwarna kebiru-biruan atau abu-abu keperakan dengan titik leleh pada 327,5 ºC dan titik
didih 1.740 ºC pada tekanan atmosfer.
Sumber dan kegunaan timbal (Pb )

Timbal secara alamiah terdapat dalam jumlah kecil pada batu-batuan, penguapan
lava, tanah dan tumbuhan. Timbal komersial dihasilkan melalui penambangan, peleburan,
pengilangan dan pengolahan ulang sekunder (Joko S,1995). Sumber-sumber lain yang
menyebabkan timbal terdapat dalam udara ada bermacam-macam. Di antara sumber alternatif
ini yang tergolong besar adalah pembakaran batu bara, asap dari pabrik-pabrik yang mengolah
senyawa timbal alkil, timbal oksida, peleburan biji timbal dan transfer bahan bakar kendaraan
bermotor, karena senyawa timbal alkil yang terdapat dalam bahan bakar tersebut dengan sangat
mudah menguap. Kadar timbal dari sumber alamiah sangat rendah dibandingkan dengan timbal
yang berasal dari pembuangan gas kendaraan bermotor.

Timbal tidak pernah ditemukan dalam bentuk murninya, selalu bergabung dengan logam
lain.Timbal terdapat dalam 2 bentuk yaitu bentuk inorganik dan organik. Dalam bentuk
inorganik timbal dipakai dalam industri baterai (digunakan persenyawaan Pb-Bi) untuk kabel
telepon digunakan persenyawaan timbal yang mengandung 1% stibium (Sb) untuk kabel listrik
digunakan persenyawan timbal dengan As, Sn dan Bi: percetakan, gelas, polivinil, plastik dan
mainan anak-anak. Disamping itu bentuk-bentuk lain dari persenyawaan timbal juga banyak
digunakan dalam konstruksi pabrik-pabrik kimia, kontainer dan alat-alat lainnya. Persenyawaan
timbal dengan atom N (nitrogen) digunakan sebagai detonator (bahan peledak). Selain itu timbal
juga digunakan untuk industri cat (PbCrO4), pengkilap keramik (Pb-Silikat), insektisida (Pb
arsenat), pembangkit tenaga listrik ( Pb-telurium). Penggunaan persenya-waan timbal ini karena
kemampuannya yang sangat tinggi untuk tidak mengalami korosi.

Dalam bentuk organik timbal dipakai dalam industri perminyakan. Alkil timbal
(TEL/timbal tetraetil dan TML/timbal tetrametil) digunakan sebagai campuran bahan bakar
bensin. Fungsinya selain meningkatkan daya pelumasan, meningkatkan efisiensi pembakaran
juga sebagai bahan aditif anti ketuk (anti-knock) pada bahan bakar yaitu untuk mengurangi
hentakan akibat kerja mesin sehingga dapat menurunkan kebisingan suara ketika terjadi
pembakaran pada mesin-mesin kendaraan bermotor. Sumber inilah yang saat ini paling banyak
memberi kontribusi kadar timbal dalam udara.Bahan aditif yang biasa dimasukkan ke dalam
bahan bakar kendaraan bermotor pada umumnya terdiri dari 62% timbal tetra etil, dan
bahan scavenger yaitu 18% etilendikhlorida (C2H4C12), 18% etilendibromida (C2H4Br2) dan
sekitar 2% campuran tambahan dari bahan-bahan yang lain. Senyawa scavenger dapat mengikat
residu timbal yang dihasilkan setelah pembakaran, sehingga di dalam gas buangan terdapat
senyawa timbal dengan halogen. Jumlah senyawa timbal yang jauh lebih besar dibandingkan
dengan senyawa-senyawa lain dan tidak terbakar musnahnya timbal dalam peristiwa pembakaran
pada mesin menyebabkan jumlah timbal yang dibuang ke udara melalui asap buangan kendaraan
menjadi sangat tinggi.

Manusia menyerap timbal melalui udara, debu, air dan makanan. Salah satu penyebab kehadiran
timbal adalah pencemaran udara. Yaitu akibat kegiatan transportasi darat yang menghasilkan
bahan pencemar seperti gas CO2, NOx, hidrokarbon, SO2,dan tetraethyl lead, yang merupakan
bahan logam timah hitam (timbal) yang ditambahkan ke dalam bahan bakar berkualitas rendah
untuk menurunkan nilai oktan.

Penggolongan Sumber Timbal (Pb)

1. Sumber dari alam

Kadar Pb yang secara alami dapat ditemukan dalam bebatuan sekitar 13 mg/kg. Khusus Pb yang
tercampur dengan batu fosfat dan terdapat didalam batu pasir (sand stone) kadarnya lebih besar
yaitu 100 mg/kg. Pb yang terdapat di tanah berkadar sekitar 5 – 25 mg/kg dan di air bawah tanah
(ground water) berkisar antara 1- 60 μg/liter.

Secara alami Pb juga ditemukan di air permukaan. Kadar Pb pada air telaga dan air sungai
adalah sebesar 1 -10 μg/liter. Dalam air laut kadar Pb lebih rendah dari dalam air tawar. Laut
bermuda yang dikatakan terbebas dari pencemaran mengandung Pb sekitar 0,07 μg/liter.

Sumber dari Industri

Industri yang perpotensi sebagai sumber pencemaran Pb adalah semua industri yang memakai Pb
sebagai bahan baku maupun bahan penolong, misalnya :

 Industri pengecoran maupun pemurnian.


Industri ini menghasilkan timbal konsentrat (primary lead), maupun secondary lead yang berasal
dari potongan logam (scrap).

 Industri batery.

Industri ini banyak menggunakan logam Pb terutama lead antimony alloy dan lead oxides
sebagai bahan dasarnya.

 Industri bahan bakar.

Pb berupa tetra ethyl lead dan tetra methyl lead banyak dipakai sebagai anti knock pada bahan
bakar, sehingga baik industri maupun bahan bakar yang dihasilkan merupakan sumber
pencemaran Pb.

 Industri kabel.

Industri kabel memerlukan Pb untuk melapisi kabel. Saat ini pemakaian Pb di industri kabel
mulai berkurang, walaupun masih digunakan campuran logam Cd, Fe, Cr, Au dan arsenik yang
juga membahayakan untuk kehidupan makluk hidup.

 Industri kimia, yang menggunakan bahan pewarna.

Pada industri ini seringkali dipakai Pb karena toksisitasnya relatif lebih rendah jika dibandingkan
dengan logam pigmen yang lain. Sebagai pewarna merah pada cat biasanya dipakai red lead,
sedangkan untuk warna kuning dipakai lead chromate.

Sumber dari Transportasi

Senyawa Pb-organik seperti Pb-tetraetil dan Pb-tetrametil banyak digunakan sebagai zat aditif
pada bahan bakar bensin untuk meningkatkan angka oktan secara ekonomi dan merupakan
bagian terbesar dari seluruh emisi Pb ke atmosfer. Pb-tetraetil dan Pb-tetrametil berbentuk
larutan dengan titik didih masing-masing 110 ºC dan 200 ºC. Karena daya penguapan kedua
senyawa tersebut lebih rendah dibandingkan dengan unsur-unsur lain dalam bensin, maka
penguapan bensin akan cenderung memekatkan kadar Pb-tetraetil dan Pb-tetrametil. Kedua
senyawa ini akan terdekomposisi pada titik didihnya dengan adanya sinar matahari dan senyawa
kimia lain di udara seperti senyawa halogen asam atau oksidator.

Kandungan Senyawa Timbal dalam Gas Buangan Kendaraan Bermotor

Senyawa Pb (%) 0 jam 18 jam

PbBrCl 32,0 12,0

PbBrCl2PbO 31,4 1,6

PbCl2 10,7 8,3

Pb(OH)Cl 7,7 7,2

PbBr2 5,5 0,5

PbCL22PbO 5,2 5,6

Pb(OH)Br 2,2 0,1

PbOx 2,2 21,2

PbCO3 1,2 13,8

PbBr22PbO 1,1 0,1

PbCO32PbO 1,0 29,6

Kandungan PbBrCL dan PbBrCL2PbO merupakan kandungan senyawa timbal yang utama. Ke
dua senyawa tersebut telah dihasilkan pada saat pembakaran pada mesin kendaraan dimulai,
yaitu saat waktu 0 jam. Selanjutnya jumlah dari ke dua senyawa tersebut akan
berkurang setelah waktu pembakaran berjalan 18 jam dimana jumlah buangan atas ke dua
senyawa tersebut menjadi berkurang jauh (50% untuk PbBrCl) dan menjadi sangat sedikit untuk
PbBrCl2PbO. Sedangkan kandungan oksida-oksida timbal (PbOx ) dan PbCO32PbO mengalami
peningkatan yang sangat tinggi dan menggantikan posisi dua kandungan pertama setelah masa
pembakaran sampai 18 jam.

Emisi Pb masuk ke dalam lapisan atmosfer bumi dan dapat berbentuk gas dan partikel. Emisi Pb
yang masuk dalam bentuk gas terutama berkaitan sekali berasal dari buangan gas kendaraan
bermotor. Emisi tersebut merupakan hasil samping pembakaran yang terjadi dalam mesin-mesin
kendaraan, yang berasal dari senyawa tetrametil-Pb dan tetril-Pb yang selalu ditambahkan dalam
bahan bakar kendaraan bermotor yang berfungsi sebagai antiknock pada mesin-mesin kendaraan.
Musnahnya timbal (Pb) dalam peristiwa pembakaran pada mesin yang menyebabkan jumlah Pb
yang dibuang ke udara melalui asap buangan kendaraan menjadi sangat tinggi. Berdasarkan
estimasi skitar 80–90% Pb di udara ambien berasal dari pembakaran bensin tidak sama antara
satu tempat dengan tempat lain karena tergantung pada kepadatan kendaraan bermotor dan
efisiensi upaya untuk mereduksi kandungan Pb pada bensin.

Hasil pembakaran dari bahan tambahan (aditive) Pb pada bahan bakar kendaraan bermotor
menghasilkan emisi Pb organik. Logam berat Pb yang bercampur dengan bahan bakar tersebut
akan bercampur dengan oli dan melalui proses di dalam mesin maka logam berat Pb akan keluar
dari knalpot bersama dengan gas buang lainnya.

Timbal di udara terutama berasal dari penggunaan bahan bakar bertimbal yang dalam
pembakarannya melepaskan timbal oksida berbentuk debu/partikulat yang dapat terhirup oleh
manusia. Mobil berbahan bakar yang mengandung timbal melepaskan 95 persen timbal yang
mencemari udara di negara berkembang.

Sumber dari Perairan

Timbal (Pb) dan persenyawaannya dapat berada di dalam badan perairan secara alamiah dan
sebagai dampak dari aktivitas manusia. Pb yang masuk ke dalam perairan sebagai dampak
aktivitas kehidupan manusia diantaranya adalah air buangan dari pertambangan bijih timah
hitam, buangan sisa industri baterai dan bahan bakar angkutan air. Secara alamiah, Pb dapat
masuk ke badan perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan. Selain itu,
proses korosifikasi dari batuan mineral akibat hempasan gelombang dan angin, juga merupakan
salah satu jalur sumber Pb yang akan masuk dalam badan perairan. Pb yang masuk ke badan
perairan sebagai dampak dari aktiviatas kehidupan manusia. Senyawa Pb yang ada dalam badan
perairan dapat ditemukan dalam bentuk ion-ion divalen atau ion-ion tetravalen (Pb2+, Pb4+).
Badan perairan yang telah kemasukan senyawa atau ion-ion Pb, sehingga jumlah Pb yang ada
dalam badan perairan melebihi kosentrasi yang semestinya, dapat mengakibatkan kematian bagi
biota perairan.

Kosentrasi logam toksik salah satunya Pb dalam lingkungan perairan secara alamiah biasanya
sangat kecil sekali. Kosentrasi logam Pb secara alamiah dalam air laut 0,03 µg/L dan air sungai 3
µg/L. Standar kosentrasi logam Pb dalam air yang direkomendasikan yaitu 0,10 mg/L. Timbal
dapat berasal dari kontaminasi pipa, solder dan kran air. Kandungan timbal dalam air sebesar
15mg/l dianggap konsentrasi yang aman untuk dikonsumsi.

Sumber dari Makanan

Dalam makanan, timbal berasal dari kontaminasi kaleng makanan dan minuman dan solder yang
bertimbal. Kandungan timbal yang tinggi ditemukan dalam sayuran terutama sayuran hijau.

Sumber dari Kosmetik

Produk kosmetik yang mengandung Pb salah satunya yaitu terdapat pada lipstik. Hal ini
diperkuat dengan adanya penelitian Malkan bersama timnya yang menginginkan agar FDA
menetapkan batas kandungan timbal dalam lipstik dan mempelajari apakah ada bahayanya jika
produk yang mengandung timbal tersebut digunakan pada bibir manusia, khususnya anak-anak
dan wanita hamil. Malkan juga mengatakan bahwa lima dari sembilan merek lipstik dengan
kandungan timbal tertinggi diproduksi oleh produsen kosmetik terbesar di dunia. Lipstik
keluaran L’Oreal dengan tema ‘Color Sensational’ Pink Petal adalah paling tinggi kandungan
timbalnya, yaitu sebanyak 7,19 ppm. Sebagai perbandingan, produk anak-anak yang dijual di
Amerika Serikat dilarang memiliki kandungan timbal lebih dari 100 ppm.

Berikut merupakan ciri-ciri dari timbal ialah :

1. Merupakan logam yang lunak, sehingga dapat dipotong dengan menggunakan pisau atau tangan
dan dapat dibentuk dengan mudah.
2. bersifat anorganik dan umumnya dalam bentuk garam anorganik yang umumnya kurang larut
dalam air
3. Tahan terhadap korosi atau karat, sehingga logam timbal sering digunakan sebagai coating
4. Titik lebur rendah, hanya 327,5 derajat C
5. Merupakan penghantar listrik yang tidak baik.
6. Mempunyai kerapatan yang lebih besar dibandingkan dengan logam-logam biasa, kecuali emas
dan mercuri
7. tidak mengalami degradasi (penguraian) dan tidak dapat dihancurkan
8. tidak mengalami penguapan namun dapat ditemukan di udara sebagai partikel

Dampak timbal terhadap kesehatan

Efek Pb terhadap kesehatan terutama terhadap sistem haemotopoetic (sistem pembentukan


darah), adalah menghambat sintesis hemoglobin dan memperpendek umur sel darah merah
sehingga akan menyebabkan anemia. Pb juga menyebabkan gangguan metabolisme Fe dan
sintesis globin dalam sel darah merah dan menghambat aktivitas berbagai enzim yang diperlukan
untuk sintesis heme.

Anak yang terpapar Pb akan mengalami degradasi kecerdasan alias idiot. Pada orang dewasa Pb
mengurangi kesuburan, bahkan menyebabkan kemandulan atau keguguran pada wanita hamil,
kalaupun tidak keguguran, sel otak tidak bisa berkembang. Dampak Pb pada ibu hamil selain
berpengaruh pada ibu juga pada embrio/ janin yang dikandungnya. Selain penyakit yang diderita
ibu sangat menentukan kualitas janin dan bayi yang akan dilahirkan juga bahan kimia atau obat-
obatan, misalnya keracunan Pb organik dapat meningkatkan angka keguguran, kelahiran mati
atau kelahiran premature.

Timbal (Plumbum) beracun baik dalam bentuk logam maupun garamnya. Garamnya yang
beracun adalah : timbal karbonat ( timbal putih ); timbal tetraoksida ( timbal merah
); timbal monoksida; timbal sulfida; timbal asetat ( merupakan penyebab keracunan yang
paling sering terjadi ). Ada beberapa bentuk keracunan timbal, yaitu keracunan akut, subakut
dan kronis. Nilai ambang toksisitas timbal ( total limit values atau TLV )
adalah 0,2 miligram/m3. Berikut tipe keracunan timbal yang terjadi ialah:
Keracunan akut

Keracunan timbal akut jarang terjadi. Keracunan timbal akut secara tidak sengaja yang pernah
terjadi adalah karena timbal asetat. Gejala keracunan akut mulai timbul 30 menit setelah
meminum racun. Berat ringannya gejala yang timbul tergantung pada dosisnya. Keracunan
biasanya terjadi karena masuknya senyawa timbal yang larut dalam asam atau inhalasi uap
timbal. Efek adstringen menimbulkan rasa haus dan rasa logam disertai rasa terbakar pada
mulut. Gejala lain yang sering muncul ialah mual, muntah dengan muntahan yang berwarna
putih seperti susu karena Pb Chlorida dan rasa sakit perut yang hebat. Lidah berlapis dan nafas
mengeluarkan bau yang menyengat. Pada gusi terdapat garis biru yang merupakan hasil
dekomposisi protein karena bereaksi dengan gas Hidrogn Sulfida. Tinja penderita berwarna
hitam karena mengandung Pb Sulfida, dapat disertai diare atau konstipasi. Sistem syaraf pusat
juga dipengaruhi, dapat ditemukan gejala ringan berupa kebas dan vertigo. Gejala yang berat
mencakup paralisis beberapa kelompok otot sehingga menyebabkan
pergelangan tangan terkulai ( wrist drop ) dan pergelangan kaki terkulai (foot drop).

Keracunan subakut

Keracunan sub akut terjadi bila seseorang berulang kali terpapar racun dalam dosis kecil,
misalnya timbal asetat yang menyebabkan gejala-gejala pada sistem syaraf yang lebih
menonjol, seperti rasa kebas, kaku otot, vertigo dan paralisis flaksid pada tungkai. Keadaan ini
kemudian akan diikuti dengan kejang-kejang dan koma. Gejala umum meliputi penampilan
yang gelisah, lemas dan depresi. Penderita sering mengalami gangguan sistem
pencernaan, pengeluaran urin sangat sedikit, berwarna merah. Dosis fatal : 20 – 30
gram. Periode fatal : 1-3 hari.

Keracunan kronis

Keracunan timbal dalam bentuk kronis lebih sering terjadi dibandingkan keracunan akut.
Keracunan timbal kronis lebih sering dialami para pekerja yang terpapar timbal dalam bentuk
garam pada berbagai industri, karena itu keracunan ini dianggap sebagai penyakit
industri. seperti penyusun huruf pada percetakan, pengatur komposisi media cetak, pembuat
huruf mesin cetak, pabrik cat yang menggunakan timbal, petugas pemasang pipa gas. Bahaya
dan resiko pekerjaan itu ditandai dengan TLV 0,15 mikrogram/m3, atau 0,007 mikrogram/m3
bila sebagai aerosol. Keracunan kronis juga dapat terjadi pada orang yang minum air yang
dialirkan melalui pipa timbal, juga pada orang yang mempunyai kebiasaan menyimpan Ghee
(sejenis makanan di India) dalam bungkusan timbal. Keracunan kronis dapat mempengaruhi
system syaraf dan ginjal, sehingga menyebabkan anemia dan kolik, mempengaruhi fertilitas,
menghambat pertumbuhan janin atau memberikan efek kumulatif yang dapat muncul kemudian.

Patofisiologi timbal

Mekanisme utama keracunan timbal adalah diakibatkan karena peningkatan pembentukan


Reactive Oxygen Species (ROS) dan gangguan pembentukan antioksidan. Timbal menyebabkan
pembentukan ROS seperti hidroperoksida, hidrogen peroksida, dan singlet oxygen. Kadar ROS
distabilkan oleh glutathione di dalam tubuh. 90% glutathione pada sel dalam bentuk tereduksi
dan 10% dalam bentuk oksidatif, dan biasanya bertindak sebagai mekanisme pertahanan
antioksidan. Glutathione menstabilkan ROS, dan setelah dikonversi (pengoksidasi) menjadi
glutathione disulfide, glutathione disulfide direduksi kembali menjadi GSH oleh glutathione
reduktase. Timbal mengiaktivasi glutathione dengan berikatan pada gugus sulfhidril GSH, yang
menyebabkan produksi GSH menjadi tidak efisien, sehingga meningkatkan stres oksidatif.
Timbal juga mengganggu aktivitas enzim antioksidan lain termasuk superoksida dismutase dan
katalase. Peningkatan stres oksidatif menyebabkan kerusakan membran sel karena peroksidasi
lipid. Stress oksidatif juga berperan pada pathogenesis beberapa penyakit akut dan kronis
lainnya, seperti hipertensi dan penyakit kardiovaskular. Timbal memblok aktivitas 5-
aminolevulinic acid (ALA) dehydratase dan menyebabkan oksidasi hemoglobin, yang bersama
dengan peroksidasi lipid dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah.

Timbal memasuki ruang intravascular dengan mengikat ke sel darah merah secara cepat.
Timbal memiliki waktu paruh sekitar 30 hari di dalam darah, dari mana ia berdifusi ke jaringan
lunak, termasuk ginjal, otak, hati, dan sumsum tulang. Timbal kemudian berdifusi ke tulang dan
disimpan di sana untuk jangka waktu yang sesuai dengan waktu paruh beberapa dekade.
Peningkatan pergantian tulang pada kehamilan, menopause, laktasi, atau imobilisasi dapat
meningkatkan kadar timbal dalam darah. Perkiraan kadar timbal dalam darah lebih berguna
untuk mendiagnosis keracunan timbal akut, sedangkan tingkat paparan timbal masa lalu dapat
diperkirakan dengan menentukan beban tubuh timbal berdasarkan hasil dari edetat (EDTA)
kalsium disodium (CaNa2 EDTA) mobilisasi timbal uji. Timbal terutama diekskresikan dalam
urin dan empedu, tetapi tingkat eliminasi bervariasi, tergantung pada jaringan yang menyerap
timbal. Ginjal mengeluarkan timah melalui filtrasi glomerular dan sekresi tubular. Timbal
memiliki transport dua arah melintasi epitel tubular. Pembersihan timbal berkisar dari 1 hingga 3
mL / menit dan relatif independen dari fungsi ginjal.

Pemeriksaan Kedokteran Forensik

Pada keracunan akut yang meninggal, ditemukan tanda-tanda dehidrasi, lambung


mengerut, hiperemi, isi lambung berwarna putih, usus spastis, dan feses berwarna hitam. Jika
keracunan kronik maka didapatkan tubuh sangat kurus, pucat, terdapat garis Pb, ikterik, gastritis
kronik, dan pada usus ditemukan bercak-bercak hitam.

3. Kadmium

Kadmium adalah unsur yang banyak tersebar secara alami dalam bentuk mineral dan
digunakan secara komersial dalam bentuk bijih kadmium, yang dinamakan greenockite, yang
biasanya ditemukan bersama bijih zink. Produksi komersial bijih kadmium bergantung pada
tambang zink. Secara komersial kadmium tersedia dalam bentuk oksida, klorida atau sulfida.
Logam kadmium (Cd2+) dimurnikan dari bentuk bijih menjadi logam berat yang berwarna putih
keperakan dengan sedikit kebiruan cemerlang dan berbentuk padat pada suhu ruangan. Secara
komersial kadmium tersedia dengan kemurnian 99% sampai 99,999% dalam bentuk bubuk,
alumunium foil, batang atau lempeng logam, dan kristal. Beberapa garam kadmium bersifat larut
dalam air seperti cadmium klorida, kadmium sulfat dan kadmium nitrat. Garam-garam lain yang
sulit larut dalam air dapat menjadi mudah larut air bila diinteraksikan dengan asam, cahaya atau
oksigen.

Kadmium terbentuk secara alami dari proses yang lambat dari erosi dan abrasi bebatuan
dan tanah Emisi alami kadmium ke lingkungan dapat berasal dari letusan gunung berapi,
kebakaran hutan, pembentukan aerosol garam laut dan fenomena alami lainnya. Konsentrasi
kadmium yang cukup tinggi dapat terjadi akibat adanya aktifitas manusia. Sumber dari aktifitas
manusia tersebut antara lain adalah adanya penggunaan pupuk fosfat, pembakaran bahan bakar
fosil, produksi besi, baja, dan logam non besi, produksi semen dan pembakaran sampah. Sumber
pencemaran kadmium lainnya di udara adalah dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batu
bara atau minyak dan pembakaran limbah padat seperti plastik dan baterai nikelkadmium (dapat
terdeposit menjadi limbah padat). Kadmium juga mencemari udara dari proses produksi besi dan
baja. Kadmium secara umum digunakan untuk penyepuhan logam, memproduksi pigmen, baterai
nikel-kadmium, stabilisator plastik dan sebagai absorben neutron pada fasilitas reaktor nuklir.

Kadmium (Cd) adalah salah satu logam berat yang keberadaanya patut mendapat perhatian
khusus karena secara luas terdapat di lingkungan baik sebagai pencemar atau sebagai komponen
dalam rokok yang dikonsumsi oleh masyarakat luas.

Karakteristik Kadmium

1. Sifat-sifat
a. Sifat Fisik
 Logam berwarna putih keperakan
 Mengkilat
 Lunak/mudah ditempa dan ditarik
 Titik lebur rendah

b. Sifat Kimia
 Cd tidak larut dalam basa
 Larut dalam H2SO4 encer dan HCl encer
Cd + H2SO4 → CdSO4 + H2
 Cd tidak menunjukkan sifat amfoter
 Bereaksi dengan halogen dan nonlogam seperti S, Se, P
 Cd adalah logam yang cukup aktif
 Dalam udara terbuka, jika dipanaskan akan membentuk asap coklat CdO
 Memiliki ketahanan korosi yang tinggi
 CdI2 larut dalam alkohol
2. Kesenyawaan Cd3
a. Oksida Cd
Senyawa biner, oksida CdO dibentuk dengan pembakaran logamnya di udara atau
dengan pirolisis karbonat atau nitratnya. Asam oksida dapat diperoleh dengan
pembakaran alkil, asap kadmium oksida luar biasa beracun. Kadmium oksida
warnanya beragam mulai dari kuning kehijauan sampai coklat mendekati hitam
bergantung pada proses pemanasannya. Warna-warna ini adalah hasil dari
keragaman jenis kerusakan kisinya. Oksida menyublim pada suhu yang sangat
tinggi.
b. Hidroksida
Jika larutan garam Cd di tambah NaOH terbentuk Cd(OH)2.
Cd2+ + 2NaOH → Cd(OH)2 ↓(putih) + 2Na+
Hidroksida Cd mudah larut dalam amonia kuat berlebih membentuk kompleksamin
[Cd(NH3)4]2+.
Cd(OH)2(s) + 4NH3(aq) → [Cd(NH3)4]2+(aq) + 2OH-(aq)
c. Sulfida
Senyawa sulfida diperoleh dari interaksi langsung/pengendapan oleh H2S dari
larutan aqua, larutan asam untuk CdS.
Cd + H2S → CdS +H2
d. Halida
Larutan Cd halida mengandung semua spesies Cd2+, CdX+, CdX2+, dan CdX3–
dalam kesetimbangan.
e. Garam Okso dan Ion Aquo
Garam dari okso seperti nitrat, sulfat, sulfit, perklorat, dan asetat larut dalam air. Ion
aquo bersifat asam dan larutan garamnya terhidrolisis bagi larutan Cd Yang lebih
pekat, spesies yang utama adalah
Cd2OH3 + 2Cd2+(aq) + H2O(l) → Cd2OH3+(aq) + H+.
Dengan adanya anion pengompleks, misalnya halide, senyawa seperti Cd(OH)Clatau
CdNO3+ dapat diperoleh.
f. Iodida
Garam Cd dapat larut dalam KI. Jika larutan KI pekat ditambahkan pada larutan
garam amoniakal terbentuk Cd(NH3)¬4I4 yang berbentuk endapan putih. CdI2 larut
dalam alkohol dan digunakan dalam fotografi.
Patofisiologi pajanan kadmium terhadap sistem kardiovaskular

Peningkatan insiden PJK akibat pajanan Cd diduga akibat aktivitas logam tersebut dalam
memicu terjadinya disfungsi endotel. Disfungsi endotel dapat menyebabkan sel endotel tersebut
mengalami kehilangan integritas, sehingga ikatan antar endotel menjadi longgar. Hal ini
selanjutnya menyebabkan lepasnya endotel ke dalam pembuluh darah. Endotel yang terlepas ke
dalam aliran darah tersebut disebut dengan Circulating Endothelial Cell (CEC). CEC
merupakan penanda dari kerusakan atau disfungsi endotel dan kerusakan pembuluh darah. Hal
ini didasarkan oleh beberapa penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa pada pasien-pasien
yang mengalami penyakit jantung dan pembuluh darah, seperti infark miokard akut, unstable
angina, dan gagal jantung kongestif mengalami peningkatan kadar CEC secara bermakna
dibandingkan orang sehat. Patomekasime Cd dalam menyebabkan kerusakan endotel diduga
melalui beberapa mekanisme, antara lain yaitu pajanan Cd yang dapat memicu pembentukan
senyawa oksigen reaktif (SOR) dan penurunan aktivitas antioksidan, sehingga mengakibatkan
terjadinya stres oksidatif pada pembuluh darah.

Pajanan Cd juga dapat meningkatkan insiden PJK melalui aktivitasnya dalam


mengganggu proses metabolisme kolesterol dan lipoprotein. Pajanan Cd diketahui dapat
meningkatkan kadar kolesterol sehingga memicu terjadinya disfungsi endotel. Peningkatan
kadar kolesterol tersebut diduga dapat mengganggu aktivitas beberapa enzim yang berperan
dalam proses metabolisme kolesterol dan liporprotein, seperti lipoprotein lipase dan 3-hidroksi-
3- metilglutaril-koenzim A reduktase (HMG-CoA reduktase). Peningkatan kadar kolesterol ini
diduga melalui beberapa mekanisme, antara lain pajanan Cd yang dapat meningkatkan aktivitas
3- hidroksi-3-metilglutaril-koenzim A reduktase (HMG-CoA reduktase) yang berfungsi
mengkatalisis perubahan HMG-CoA menjadi asam mevalonat, yang merupakan prekursor awal
kolesterol. Peningkatan aktivitas ini disebabkan oleh produksi sitokin proinflamasi seperti
Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) dan interleukin1β (IL-1β) yang dapat meningkatkan
ekpresi gen HMG-CoA reduktase. Selain itu, produksi sitokin tersebut diketahui juga dapat
menghambat ekspresi dari 7α-hidroksilase yang berfungsi pada proses katabolisme kolesterol.
Kedua hal tersebut dapat meningkatkan kadar kolesterol di dalam darah. Selain itu pajanan Cd
dapat juga menurunkan aktivitas lesitin kolesterol asil transferase (LCAT). LCAT merupakan
enzim yang berfungsi dalam proses esterifikasi dan transesterifikasi beberapa fraksi lipoprotein
seperti High Density Lipoprotein (HDL), Very Low Density Lipoprotein (VLDL), dan Low
Density Lipoprotein (LDL) yang berada pada sirkulasi darah. Penurunan aktivitas LCAT
diketahui dapat meningkatkan kadar kolesterol di dalam darah. Pajanan Cd juga diketahui dapat
menurunkan aktivitas enzim lipoprotein lipase (LPO). Enzim ini berfungsi pada proses
katabolisme trigliserid dan asam lemak bebas dari kilomikron dan VLDL. Hal ini juga dapat
meningkatkan kadar kolesterol dan trigliserid di dalam darah.

Efek Cadmium terhadap jantung

Kadmium berpotensi menggantikan dan berinteraksi dengan homeostasis dari beberapa


logam penting, seperti seng, besi dan kalsium. Telah dilaporkan bahwa kadmium dapat memiliki
efek kardiotoksik, yang mungkin menjelaskan hubungan antara kadmium dan Heart Failure.
Paparan kronis terhadap kadmium menyebabkan perubahan degeneratif pada sel miokard pada
tikus, dan efek depresan jantung setelah paparan kadmium dosis rendah telah dilaporkan pada
tikus. Kadmium dapat mempengaruhi struktur jaringan dan integritas otot jantung oleh stres
oksidatif dan peningkatan oksigen reaktif. Cadmium juga mempengaruhi sistem konduksi
jantung dengan mengganggu proses fisiologis dan biokimia yang diperantarai kalsium. Cadmium
juga berefek pada kejadian penyakit jantung coroner. Efek Kadmium terhadap jantung
menyebabkan Hipertrofi ventrikular adalah membesarnya ukuran ventrikel jantung. Perubahan
ini sangat baik untuk kesehatan jika merupakan respon atas latihan aerobik, akan tetapi hipertropi
ventrikular juga dapat muncul akibat penyakit seperti tekanan darah tinggi.

Tes Biologis untuk Mengukur Kadar Kadmium

1. Kadmium dalam darah


Kadar kadmium dalam darah umumnnya menandakan pemajanan yang tidak lama
terjadi. American Conference of Governmental Industrial Hygienists (ACGIH)
menyarankan sebaiknya dilakukan pemantauan pemeriksaan darah pada masa awal
pemajanan dan saat tingkat pemajanan berubah. Pada pekerja yang tidak terpajan,
kadar kadmium darah pada dasarnya akan menurun. Saat penurunan kadar kadmium
darah mencapai kondisi stabil, dapat dianggap sebagai beban tubuh terhadap
pemajanan sebelumnya. Kadar kadmium normal dalam darah pada non perokok
umumnya kurang dari 1 ug/l sedangkan pada perokok berkisar dari 1.4-4.2 ug/l atau
lebih.
2. Kadmium dalam urin
Konsentrasi normal kadmium dalam urin adalah 0.1-1 ug/g kreatinin. Hingga saat ini,
kadar 10 ug Cd/g kreatinin dianggap sebagai ambang batas terhadap efek ginjal.
ACGIH menyarankan Biological Exposure Index (BEI) yang baru, yaitu 5 ug/g
kreatinin sebagai kadar kadmium dalam urin.
3. Penanda dini ginjal
Salah satu protein, yaitu beta2-microglobulin (BMG) telah lama digunakan sebagai
indikator kerusakan tubulus proksimal ginjal yang berhubungan dengan kadmium.
Kadar BMG dianggap meningkat pada 300 ug/g kreatinin, meskipun kadar rendah
seperti 200 atau setinggi 500 ug/g kreatinin uga dianngap abnormal. Akhir-akhir ini,
sejumlah penanda efek kadmium telah banyak direkomendasikan. Beberapa dari
penada tersebut tampaknya lebih sensitif terhadap efek awal kadmium daripada BMG
di urin, antara lain: retinol-binding protein (RBP) dalam urin, albumin dalam urin, N-
acetyl-D-glucosaminidase (NAG) dalam urin, metallothionein (MT) dalam urin,
urinary transferring, dan most tubular antigens.
4. Pemeriksaan langsung pada hati dan ginjal
Analisis aktivasi neutron merupakan metode baru yang dapat mengukur langsung
beban kadmium dalam hati dan ginjal. Teknik ini melibatkan penggunaan ultrasonic
scan pada organ yang diperiksa, diikuti iradiasi dengan sinar neutron untuk mengukur
beban organ dengan pengukuran sinar gamma yang khusus untuk kadmium. Dosis
radiasinya lebih rendah daripada sinar-X konvensional.

4.Tembaga (Cu)

Tembaga adalah logam merah-muda yang lunak, dapat ditempa, liat. Tembaga dapat
melebur pada 1038 . Karena potensial electrode standarnya positif (+0,34 V untuk pasangan
Cu/Cu2+), tembaga tidak larut daalm asam klorida dan asam sulfat encer, meskipun dengan
adanya oksigen masih dapat terlarut sedikit. Dalam table periodik unsur – unsur kimia, tembaga
menempati posisi dengan nomor atom (NA)29 dan mempunyai bobot atau berat atom (BA)
63,546. Unsur tembaga di alam, dapat ditemukan dalam bentuk logam bebas, akan tetapi lebih
banyak ditemukan dalam bentuk persenyawaan atau sebagai senyawa padat dalam bentuk
mineral. Selain itu, tembaga (Cu) juga terdapat dalam makanan. Sumber utama tembaga adalah
tiram, kerang, kacang-kacangan, sereal, dan coklat. Air juga mengandung tembaga dan
jumlahnya bergantung pada jenis pipa yang digunakan sebagai sumber air.

Kegunaan tembaga (Cu)

1) Penting dalam pembentukan Hb dan eritrosit.


2) Tembaga adalah komponen dari berbagai enzim yang diperlukan untuk menghasilkan
energy, anti oksidasi, dan sintesa hormone adrenalin serta untuk pembentukan jaringan ikat.
3) Membantu absorbsi unsur Fe.
4) Memelihara fungsi sistem syaraf.
5) Sintesis substansi hormon.

Garam tembaga bekerja pada tubuh dengan mempresipitasi protein. Garam – garam berikut ini
penting dari segi mediko-legal :

1. Copper Sulphate: biasa disebut Nila thotha atau vitriol biru dengan Rumus kimia
CuSO4. Copper Sulphate adalah bubuk kristal biru yang larut dalam air yang memiliki
rasa styptic, dapat diberikan sebagai anti muntah dalam dosis rendah tetapi dapat
menimbulkan iritasi ketika diberikan dalam dosis besar
2. Cooper Carbonara : garam diperoleh ketika karbonat natrium ditambahkan kelarutan
tembaga sulfat
3. Copper Subacetate : garam ini sering digunakan dalam dunia kedokteran

Bentuk – Bentuk Keracunan Cu

Bentuk tembaga yang paling beracun adalah debu-debu Cu yang dapat mengakibatkan
kematian pada dosis 3,5 mg/kg. Garam-garam khlorida dan sulfat dalam bentuk terhidrasi yang
sebelumnya diduga mempunyai daya racun paling tinggi, ternyata memiliki daya racun yang
lebih rendah dari debu – debu Cu. Pada manusia, efek keracunan utama yang ditimbulkan akibat
terpapar oleh debu atau uap logam Cu adalah terjadinya gangguan pada jalur pernapasan sebelah
atas. Efek keracunan yang ditimbulkan akibat terpapar oleh debu atau uap Cu tersebut adalah
terjadinya kerusakan atropik pada selaput lendir yang berhubungan dengan hidung. Kerusakan
itu, merupakan akibat dari gabungan sifat iritatif yang dimiliki oleh debu atau uap Cu.
Sesuai dengan sifatnya sebagai logam berat beracun, Cu dapat mengakibatkan keracunan
akut dan kronis. Terjadinya keracunan akut dan kronis ini ditentukan oleh besar dosis yang
masuk dan kemampuan organisme untuk menetralisir dosis tersebut.
1. Keracunan akut
Pada keracunan akut Gejala mulai timbul dalam waktu 15-30 menit setelah konsumsi.
Gejala yang timbul meliputi muntah hebat, mual, haus, rasa logam di mulut, dan rasa
nyeri seperti terbakar.. Materi yang dimuntahkan berwarna biru atau hijau dan dapat
dibedakan dari empedu dengan penambahan amonium hidroksida ketika warnanya
berubah menjadi biru tua. Mungkin terdapat diare. Oliguria, hematuria, albuminuria, dan
uremia dapat terlihat. Penyakit kuning sering terjadi. Penyebab kematian biasanya
karena shock. Dosis fatal tembaga sulfat adalah 15 gram pada dosis ini dapat
menyebabkan kematin dan periode fatal pada rentang waktu 1 – 3 hari.
Penampilan post-mortem
Kulit mungkin kuning karena ikterus. Buih hijau dapat dilihat di mulut atau lubang
hidung. Mukosa saluran gastrointestinal tersumbat, bengkak dan mungkin menunjukkan
ulserasi. Isi perut berwarna hijau atau biru. Hati akan membesar dan mungkin
menunjukkan nekrosis.Keracunan kronis
2. Keracunan kronis
Pada manusia, keracunan Cu secara kronis dapat dilihat dengan timbulnya penyakit
Wilson dan Kinsky.gejala dari penyakit Wilson ini adalah terjadi hepatic cirrhosis,
kerusakan pada otak, dan demyelinas, serta terjadinya penurunan kerja ginjal dan
pengendapan Cu dalam kornea mata. Penyakit Kinsky dapat diketahui dengan
terbentuknya rambut yang kaku dan berwarna kemerahan pada penderita. Sementara pada
hewan seperti kerang, bila didalam tubuhnya telah terakumulasi dalam jumlah tinggi,
maka bagian otot tubuhnya akan memperlihatkan warna kehijauan. Hal ini dapat menjadi
petunjuk apakah kerang tersebut masih bisa dikonsumsi manusia atau tidak.
Patofisiologi tembaga dalam jantung
Tembaga atau Cu adalah katalisator yang kuat dalam proses oksidasi LDL, Cu akan
memodifikasi proses oksidasi dari LDL terhadap bentuk bentuk arterogenik. Sampel dari lesi
aterosklerotik mengandung Cu dan Fe bentuk yang dapat mengkatalisasi pembentukan radikal
bebas (Smith et al., 1992). Sedangkan hubungan Cu ion dalam inisiasi oksidasi LDL secara in
vivo masih harus dipelajari lebih lanjut, adalah mungkin bahwa dalam tidak adanya agen
chelating, Cu2+ terikat pada residu histidin apolipoprotein B-100 pada LDL molekul dapat
direduksi untuk membentuk Cu+. Lipid peroksidasi terjadi ketika Cu+ mengurangi preformed
hidroperoksida lipid ke radikal alkoxyl. Dalam tidak adanya hidroperoksida lipid, pro-oksidasi
dapat dimulai oleh radikal hidroksil yang dihasilkandari pengurangan oksigen oleh Cu+ (Burkitt,
2001). Ion Cu bebas bukan satu-satunya bentuk Cu bertanggung jawab atas oksidasi LDL.
Ceruloplasmin, yang mengandung tujuh atom Cu per molekul, dapat berfungsi sebagai sumber
Cu gratis (Harris, 1992) dan terlibat dalam oksidasi LDL (Witting et al., 1995; Iwatsuki et al.,
1995; Lynch dan Frei, 1995; Mukhopadhyay dan Fox, 1998). Peroxynitrite, yang produk reaksi
oksida nitrat dan superoksida, adalah seorang radikal sitotoksik ampuh yang mampu menyerang
protein dan lipid. Selain terlibat dalam oksidasi LDL secara langsung, peroxynitrite mungkin
menghancurkan protein pembawa seruloplasmin dan lepaskan ion Cu. Oksida nitrit endothelium
berfungsi dalam endotelium vaskular dengan mencegah adhesi platelet dan vasospasme yang
tidak tepat (Vanhoutte, 1993). Diperkirakan juga tinggi density lipoprotein (HDL) mungkin lebih
rentan untuk oksidasi yang diinduksi Cu daripada LDL, karena pada konsentrasi Cu rendah,
HDL lebih sensitive untuk oksidasi karena peningkatan tokoferolmediated peroksidasi. Pada
konsentrasi Cu tinggi, HDL memiliki konsentrasi ikatan yang lebih tinggi Cu lipoprotein lipid
meningkatkan kemampuannya mengoksidasi (Raveh et al., 2000). Di sisi lain, defisiensi Cu
dapat meningkat kerentanan seluler terhadap kerusakan oksidatif. Panci dan Loo (2000),
misalnya, telah menunjukkan bahwa Cudeficient T limfosit Jurkat mempertahankan lebih besar
kerusakan DNA oksidatif daripada sel kontrol saat ditantang dengan H2O2, tetapi Cu penipisan
tidak mempengaruhi proliferasi sel, mengubah viabilitas sel, atau mempromosikan kerusakan
DNA oksidatif di sel Jurkat. Juga, suplemen Cu, tetapi tidak Zn atau Fe, mencegah Kerusakan
DNA yang diinduksi H2O2 yang disebabkan oleh 2,3,2-tetraamine, chelatator afinitas tinggi Cu.
Ini data menunjukkan bahwa Cu kekurangan kompromi pertahanan antioksidan sel melalui
kemampuan menurun untuk menghasilkan SOD, sehingga meningkatkan mereka kerentanan
terhadap kerusakan DNA oksidatif.

Efek

1. Kekurangan tembaga
Kekurangan tembaga jarang terjadi pada orang sehat. Paling sering terjadi pada bayi-bayi
prematur atau bayi-bayi yang sedang dalam masa penyembuhan dari malnutrisi yang berat.
Orang-orang yang menerima makanan secara intravena (parental) dalam waktu lama juga
memiliki resiko menderita kekurangan tembaga.

Gejala orang yang kekurangan tembaga, diantaranya adalah :


a.Terjadi pendarahan berupa titik kecil di kulit dan aneurisma arterial.
b. Penurunan jumlah sel darah merah (anemia) dan sel darah putih ( leukopenia).
c. Penurunan jumlah kalsium dalam tulang
d. Kadar tembaga rendah dalam darah
e. rambut yang sangat kusut.
f. keterbelakangan mental.
g. kegagalan sintesa enzim yang memerlukan tembaga.
2. Kelebihan tembaga
Tembaga yang tidak berkaitan dengan protein merupakan zat racun. Mengkonsumsi
sejumlah kecil tembaga yang tidak berkaitan dengan protein dapat menyebabkan mual dan
muntah.
Gejala orang yang kelebihan tembaga ,diantaranya adalah :
a. Mengalami kerusakan ginjal.
b. Menghambat pembentukan air kemih.
c. Menyebabkan anemia karena pecahnya sel-sel darah merah (hemolisis).
d. Penyakit Wilson(yang ditandai dengan gejala sakit perut, sakit kepala, perubahan
suara).
e. Sirosis.
f. Pengumpulan tembaga dalam kornea mata yang menyebabkan terjadinya cincin emas
atau emas kehijauan.
g. Menyebabkan kerusakan otak berupa tremor, sakit kepala, sulit berbicara, hilangnya
Koordinasi, psikosis.

5.Merkuri (Hg)

Merkuri (Hg/Hydrargyricum) adalah unsur yang mempunyai nomor atom (NA=80) serta
mempunyai massa molekul relatif (MR=200,59). Bentuk fisik dan kimianya sangat
menguntungkan karena merupakan satu-satunya logam yang berbentuk cair dalam temperatur
kamar (25°C), titik bekunya paling rendah (-39°C), mempunyai kecenderungan menguap lebih
besar, mudah bercampur dengan logam- logam lain menjadi logam campuran (Amalgam/Alloi),
juga dapat mengalirkan arus listrik sebagai konduktor baik tegangan arus listrik tinggi maupun
tegangan arus listrik rendah. Merkuri terbagi dalam tiga bentuk: logam/elemental (amalgam gigi
merupakan bahan yang sering digunakan pada uap merkuri), anorganik (bentuk dari senyawa
anorganik merupakan senyawa divalent yang beracun bagi jaringan tubuh manusia), dan organik
(bentuk dari senyawa organik merupakan methyl dan ethyl merkuri yang dapat ditemukan di
ikan, mamalia laut dan vaksin thimerosal). Bentuk anorganik terutama mengandung merkuri
sedangkan bentuk organik adalah alkil dan aril. Garam merkuri lebih beracun daripada garam
yang mengandung merkuri.

Karakteristik Merkuri
Sebagai unsur, merkuri (Hg) berbentuk cair keprakan pada suhu kamar. Merkuri
membentuk berbagai persenyawaan baik anorganik (seperti oksida, klorida, dan nitrat) maupun
organik (alkil dan aril). Merkuri dapat menjadi senyawa anorganik melalui oksidasi dan kembali
menjadi unsur merkuri (Hg) melalui reduksi. Merkuri anorganik menjadi merkuri organik
melalui kerja kuman anaerobik tertentu dan senyawa ini secara lambat berdegradasi menjadi
merkuri anorganik. Merkuri mempunyai titik leleh –38,870C dan titik didih 357,00C. Uap
merkuri tidak berbau dan tidak terlihat. Hal ini digunakan dalam pembuatan termometer,
barometer, lampu uap merkuri dan dalam industri listrik. Ini juga digunakan dalam peralatan
gastroenterologi.

Absorbsi, metabolisme dan ekskresi

Merkuri masuk ke dalam tubuh terutama melalui paru-paru dalam bentuk uap atau debu.
Jalan utama absorbsi adalah melalui saluran pernafasan, sekitar 80 % diabsorbsi dan retensi.
Kemungkinan kurang dari 0,01 % diabsorbsi melalui saluran pencernaan. Garam merkuri (Hg2+)
larut dan golongan aril merkuri diabsorbsi melalui inhalasi dan dalam jumlah terbatas secara
ingesti. Golongan alkil merkuri diabsorbsi melalui semua jalan yaitu inhalasi, ingesti atau kontak
kulit.
Golongan anorganik dan aril merkuri didistribusi pada banyak jaringan tubuh, terutama
pada otak dan ginjal. Merkuri terikat pada sulfhidril dan dapat mempengaruhi sejumlah sistem
enzim sel. Produksi metalotionein (protein berat molekul rendah kaya sulfhidril) meningkat
setelah pajanan merkuri dan dapat mempengaruhi efek perlindungan terhadap ginjal. Alkil
merkuri memiliki ikatan kuat dengan karbon-merkuri dan akumulasi pada sistem saraf pusat.
Pada aliran darah, absorbsi terbesar alkil merkuri ditemukan dalam sel darah merah.
Merkuri anorganik dan organik, keduanya dapat melewati sawar darah otak dan plasenta,
disekresi dalam air susu. Seluruh merkuri dieliminasi secara perlahan dalam urin, air liur dan
keringat. Waktu paruh pada manusia untuk bentuk elemental di dalam darah mencapai 1 sampai
3 hari, dan berada di seluruh tubuh dalam waktu 1 sampai 3 minggu. Anorganik memiliki waktu
paruh didalam darah 1 sampai 3 minggu, dan untuk organik memiliki waktu paruh didalam darah
dan seluruh tubuh mencapai 50 hari. Merkuri juga berikatan dengan kelompok tiol dan dapat
diukur pada rambut dan kuku. Ekskresi merkuri dapat berlanjut untuk beberapa bulan sesudah
pajanan merkuri berhenti.

Tanda dan Gejala Keracunan Merkuri

Tanda dan Gejala akut

Keracunan akut timbul dari inhalasi dalam konsentrasi tinggi uap merkuri atau debu.
Pneumonitis interstitialis akut, bronkitis dan brokiolitis dapat timbul pada inhalasi uap merkuri
secara akut. Jika konsentrasi uap merkuri cukup tinggi, pajanan menimbulkan dada rasa berat,
nyeri dada, kesulitan bernafas, batuk. Pada ingesti menimbulkan gejala rasa logam, mual, nyeri
abdomen, muntah, diare, nyeri kepala dan kadang-kadang albuminuria. Kematian dapat timbul
kapan saja. Dalam tiga atau empat hari kelenjar liur membengkak, timbul gingivitis, gejala-
gejala gastroenteritis dan nefritis muncul. Garis gelap merkuri sulfida dapat terbentuk pada gusi
meradang, gigi dapat lepas, dan ulkus terbentuk pada bibir dan pipi.
Pada kasus sedang, pasien dapat mengalami perbaikan dalam satu sampai dua minggu.
Pada kasus lebih berat akan berkembang gejala-gejala psikopatologi dan tremor otot, ini akan
menjadi tipe kronik dan gejala kerusakan neurologi dapat menetap. Pada umumnya kasus akut
pajanan terjadi pada konsentrasi 1,2 – 8,5 mg/m3. Toksisitas merkuri pada ginjal dapat timbul
dengan tanda awal proteinuria dan oliguri sebagai gagal ginjal.
Pajanan alkil merkuri onsetnya timbul secara perlahan tetapi progresif pada sisitem saraf,
dengan gejala awal berupa rasa kebas pada ekstremitas dan bibir. Kehilangan kontrol koordinasi
dengan tungkai, ataxia, tremor dan kehilangan pergerakan yang baik. Pengurangan lapangan
pandang, kehilangan pendengaran sentral, kekakuan otot, spastik dan refleks tendon yang
berlebihan dapat juga terjadi.

Tanda dan Gejala Kronik

Trias klasik pada keracunan kronik uap air raksa adalah eretisme, tremor, dan stomatitis.
Gejala-gejala neurologis dan psikis adalah yang paling karakteristik. Erethisme merupakan
gangguan mental yang berkembang pada pekerja di pabrik yang memproduksi cermin. Orang itu
mungkin mudah tersinggung, depresi mental, kehilangan ingatan, dan, mungkin bingung secara
mental. Halusinasi dapat dilihat. Gejala dini nonspesifik (anoreksia, penurunan berat badan, sakit
kepala) diikuti gangguan-gangguan yang lebih karakteristik; iritabilitas meningkat, gangguan
tidur (sering terbangun, insomnia), mudah terangsang, kecemasan, depresi, gangguan daya ingat,
dan kehilangan kepercayaan diri.
Masalah-masalah yang sifatnya lebih serius seperti halusinasi, kehilangan daya ingat total,
dan kemunduran intelektual, tidak terlihat kini. Tremor merkuri (Mercurial Tremor atau Hater
Shake Tremor) adalah tipe campuran (tremor menetap dan intensional), pertama kali tampak
sebagai tremor halus kelopak mata yang tertutup, bibir dan lidah serta jari-jari. Tulisan tangan
menjadi kacau, tidak teratur dan sering tak terbaca. Tremor tersebut berlanjut ke lengan dan
akhirnya seluruh tubuh.
Keracunan berat sering berakibat kelainan bicara terutama mengenai pengucapan. Tanda-
tanda neurologis lain termasuk kulit bersemu merah, perspirasi meningkat dan dermatografia.
Gingivitis kronik sering terjadi dan dapat menyebabkan hilangnya geligi, kelenjar liur
membengkak dan merkuri diekskresikan pada air liur. Walaupun tingkat akumulasi merkuri
ginjal tinggi, kerusakan ginjal jarang terjadi. Deposit air raksa pada kapsul anterior lensa mata
menimbulkan bayangan coklat kelabu atau kuning dari lensa, atau biasa disebut Mercuria Lentis.
Keracunan akibat kerja dengan senyawa-senyawa aril merkuri (fenil) dan metoksietil
organik sangat jarang. Efek-efeknya serupa dengan efek yang ditimbulkan oleh merkuri
anorganik. Di samping itu, senyawa-senyawa ini dapat menyebabkan dermatitis toksik. Hal ini
juga terlihat pada pasien yang menggunakan salep untuk waktu yang lama yang mengandung
merkuri. Kadar darah di atas 100 mg per 100 ml darah merupakan indikasi keracunan.

Fatal Period

Merkuri memiliki fatal period mencapai 3 sampai 5 hari.

Fatal Dose

1–4 gm adalah dosis fatal untuk merkuri klorida. Aplikasi lokal 7-10 gm oksida merkuri pada
lesi terbuka berakibat fatal
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan adalah dengan mengukur tingkat merkuri
darah dan saluran kemih. Pada saluran kemih dapat mencapai 100-300 mg/l. Pada pemeriksaan
X-ray, merkuri dapat dilihat sebagai bulatan kecil, bulat, dan gambaran opak berdiameter kurang
dari 3 mm. Selain itu dapat diperiksa pada kuku.

Penemuan Post-mortem

Merkuri bersifat korosif, dan dapat terlihat di saluran pencernaan jika diberikan dalam
dosis besar, jika tidak, gejala yang muncul seperti keracunan, dan iritasi akan terlihat. Usus
besar, sekum, kolon dan rektum dapat ditemukan meradang dan ulserasi, dan dapat menunjukkan
gangren jika pasien telah hidup selama beberapa hari. Hati, limpa dan ginjal tersumbat. Perut
dapat menunjukkan kongesti, nekrosis atau bahkan perforasi. Lesi postmortem di saluran
pencernaan terlihat bahkan dalam kasus-kasus di mana sublimasi korosif telah diberikan oleh
rute eksternal.

Gambar Otopsi

Gambar . Mercuria Lentis Gambar , Acrodynia Gambar . Minimata disesase

Komponen Organik dari Merkuri

Senyawa organik merkuri terdiri dari dua jenis: senyawa aril dan alkil merkuri. Senyawa
aril merkuri terdegradasi menjadi merkuri anorganik dalam tubuh sementara senyawa alkil
merkuri tetap sebagai senyawa organic
Fisiologi Dasar dari Keracunan Merkuri

Merkuri menyebabkan disfungsi mitokondria dan stress oksidatif. Disfungsi mitokondria


primer terjadi di daerah ubiquinone-sitokrom B dan dengan NADH dehidrogenase menyebabkan
perpindahan ion Fe ++ dan ion Cu + di Pusat a3Cub sitokrom C (gambar 1). Hal ini
menyebabkan depolarisasi dan auto-oksidasi pada membran dalam mitokondria dengan cara
peroksidasi lipid dan disfungsi mitokondria berat. Dampak fisiologis yang dihasilkan yaitu
peningkatan enzim hidrogen peroksida, berkurangnya glutathione mitokondria lebih dari 50%,
peningkatan penanda peroksidasi lipid seperti TBARS, lebih dari 70%, oksidasi piridin seperti
NAD(p)H, dan perubahan dari homeostatis kalsium. Disfungsi mitokondria berat ini
meningkatkan stres oksidatif dan mengurangi pertahanan antioksidan, sehingga berdampak bagi
kesehatan.

Mercury (Hg)

Disfungsi mitokondria primer terjadi didaerah Ubiquinone-


cytochrome B region dengan NADH dehydrogenase, menyebabkan
perpindahan Fe2+ dan ion Cu= di Pusat A3Cub sitokrom C

Depolarisasi, Auto-oksidasi, dan peroksidase


pada bagian dalam membran mitokondria

Pengubahan H2O2 Berkurangny


homeostatis a glutathione  TBARS, Oksidasi
pada Kalsium mitokondria peroksidase piridin,
(>50%) lipid >70% NAD(p)H

Meningkatkan stress oksidatif dan


mengurangi pertahanan antioksidan

Gambar . Patofisiologi dasar dari toksisitas merkuri


Terdapat 3 penyebab utama peroksidasi lemak yang diinduksi oleh merkuri antara lain,
reaksi Fenton, afinitas untuk kelompok sulfhidril, dan selenium mengalami defisiensi. Merkuri
berfungsi sebagai katalis langsung dalam reaksi Fenton dan sebagai katalis tidak langsung
dengan cara menstimulasi zat besi, dimana akan meningkatkan produksi radikal bebas seperti
spesies oksigen radikal dan anion superoksida. Afinitas tinggi merkuri untuk kelompok sulfhidril
(-SH), seperti glutathione, NAC, dan ALA, dengan kapasitas antioksidan plasma yang tinggi,
mengurangi pertahanan antioksidan baik membran dan plasma. Pada akhirnya, pembentukan
kompleks antara merkuri dengan selenium menyebabkan penurunan kadar availabilitas selenium
itu sendiri. Sementara selenium itu sendiri berfungsi sebagai kofaktor untuk aktivitas enzim
glutathione peroksidase dalam menghancurkan hydrogen peroksida serta racun-racun peroksida
lainnya. Dengan demikian, kapasitas antioksidan plasma dan intraseluler berkurang.

Efek Merkuri Terhadap Vaskular

Berbagai macam efek racun merkuri yang telah dibuktikan secara in vitro dalam studi pada
hewan dan manusia (Tabel 2 memberikan rincian dengan referensi, dan tabel 3 memberikan
ringkasan).

Studi menemukan bahwa merkuri:

- Meningkatkan produksi radikal bebas


- Menonaktifkan pertahanan antioksidan
- Berikatan dengan molekul yang mengandung tiol
- Berikatan dengan selenium, membentuk kompleks seleno-raksa yang mengurangi
ketersediaan selenium untuk aktivitas GPx
- Menonaktifkan glutathione, katalase, dan dismutase superoksida
- Meningkatkan peroksidasi lipid
- Meningkatkan oksidasi LDL (oxLDL)
- Meningkatkan kompleks oxLDL plasma

Trombosis memiliki potensi untuk meningkatan agregasi trombosit dan meningkatan faktor
VIII, faktor platelet, dan trombin, melalui pengurangan protein c. Berkurangnya pembentukan
sel endotel dan migrasi sel, menurunkan perbaikan endotel pembuluh darah, menurunkan oksida
nitrat, dan menyebabkan disfungsi dari endotel. Apoptosis meningkat, sehingga terganggunya
fungsi monosit dan fagositosis, fungsi kekebalan berkurang, dan peradangan vaskular meningkat.
Hal ini dapat meningkatan produksi dan pelepasan anion superoksida dari neutrofil dan monosit,
depolarisasi membran mitokondria menyebabkan disfungsi mitokondria berat, dan terjadi
gangguan integritas membran plasma lipid oleh translokasi fosfatidil serin (PS). Pada akhirnya,
merkuri merangsang proliferasi sel otot polos pembuluh darah dan menonaktifkan paraoxonase,
enzim antioksidan ekstraseluler yang terkait dengan risiko HDL, CHF, dan MI.
Singkatnya, efek merkuri terhadap vaskular menyebabkan stres oksidatif, peradangan,
trombosis, proliferasi dan migrasi VSM, disfungsi endotel, dislipidemia, disfungsi kekebalan
tubuh, dan disfungsi mitokondria. Semua kelainan fungsional ini memiliki potensi untuk
meningkatkan risiko hipertensi dan penyakit vaskular.

Penyakit Jantung Koroner dan Infark Miokard

Pada kelinci yang terpapar uap merkuri yang dihirup, kardiovaskular dan patologis jantung
termasuk bradikardia, trombosis pada arteri kecil dan sedang, nekrosis fokal dengan penebalan
endokardium dari daerah perivalvular, otot papilaris dan katup, dan proliferasi endotel dengan
fokus inflamasi dan edema fokal , proliferasi endotel, peradangan, dan fibrosis aorta asenden.
Dalam studi kasus kontrol di 9 negara dari 684 pria dengan MI pertama mereka, ada
hubungan yang signifikan dari kandungan merkuri kuku, jaringan adiposa DHA, dan MI
pertama. Ada kandungan merkuri kuku 15% lebih tinggi sebagaimana dinilai oleh analisis
aktivasi neutron (NAA) pada pria dengan MI pertama mereka dibandingkan dengan kelompok
kontrol (95% Cl; 5-25%). OR yang disesuaikan risiko untuk MI adalah 2,16 di kuintil tertinggi
dibandingkan dengan terendah (P = 0,006, 95% Cl; 1,09-4,29). DHA adiposa berbanding lurus
dengan kandungan kuku merkuri (P <0,001) dan kandungan DHA berkorelasi terbalik dengan
MI dengan OR 0,59 pada kuintil tertinggi dibandingkan dengan terendah (P = 0,02, 95% Cl;
0,30-1,19). Studi penting ini menyimpulkan bahwa terdapat peningkatan monotonic positif pada
risiko MI dengan kandungan kuku merkuri di atas 0,25 ug /g, yang bahkan lebih curam bila
disesuaikan dengan kandungan jaringan adiposa DHA. Merkuri yang didapat dari ikan dapat
mengurangi perlindungan terhadap kardiovaskular. Studi lain membenarkan hasil ini — kuartil
DHA tertinggi dengan kuartil merkuri terendah dikaitkan dengan penurunan 67% pada PJK.
Dalam studi kontrol kasus bersarang besar lain dari 33.733 profesional perawatan
kesehatan laki-laki antara usia 40-75 tahun (Studi Tindak Lanjut Profesional Kesehatan), tidak
ada hubungan antara kandungan kuku merkuri yang dinilai oleh NAA dan PJK ditemukan.
Namun, ada korelasi yang tidak signifikan dari kuku dan PJK. Selain itu, subjek dengan tingkat
merkuri tertinggi dan tingkat selenium serum terendah mengalami peningkatan PJK yang
signifikan.
Penelitian lainnya telah menunjukkan hasil yang beragam. Satu studi tentang penambang
merkuri tidak menunjukkan hubungan antara PJK dan tingkat merkuri. Namun, studi lain dari
penambang merkuri Eropa menunjukkan hubungan yang signifikan antara paparan merkuri dan
total kematian (meningkat 55%), hipertensi (meningkat 46%), PJK (meningkat 36%). Sebuah
studi Finlandia menemukan hubungan yang signifikan antara merkuri rambut, merkuri urin 24
jam, dan kejadian kardiovaskular. Pada pasien dengan rambut merkuri dalam tertile tertinggi
(lebih dari 2 g / g) dan meningkatkan merkuri urin 24 jam, PJK dan risiko MI meningkat 2 kali
lipat (P = 0,005), kematian kardiovaskular meningkat 2,9 kali dan sirkulasi oxLDL dan
kompleks imun untuk oxLDL meningkat secara signifikan. Studi Gothenburg menunjukkan tidak
ada hubungan antara kadar merkuri serum dan jumlah tambalan amalgam dan PJK atau MI.

Pengobatan

Pengobatan keracunan akut melalui ingesti yaitu melakukan lavage lambung dengan
larutan 5 – 10 % sodium formaldehid sulfoxylate, melepaskan 100 – 200 ml larutan dalam
lambung. BAL (Dimercaprol) dengan dosis 5 mg/kgBB segera diberikan.
Pada keracunan akut secara inhalasi juga diobati sesegera mungkin dengan BAL. Gawat
pernafasan dan gagal ginjal harus diobati dengan tepat. Penicillamin juga efektif diberikan pada
keracunan akut.
Manifestasi gejala kronis toksik merkuri secara individu dapat diperbaiki dari keadaan
lebih lanjut. Keputusan pemberian pengobatan dapat tergantung pada beratnya gejala dan saat
munculnya toksisitas saraf atau ginjal. Gejala neurologi akibat keracunan alkil merkuri bersifat
irreversibel, penekanan diutamakan perlunya pencegahan.

Pencegahan

Bila memungkinkan, merkuri hendaknya dikelola dalam sistem bersekat rapat dan higine

yang ketat hendaknya ditekankan di tempat kerja. Lebih lanjut, penting pula dicegah :

a. terlepasnya merkuri dari kontainer


b. penyebaran percikan merkuri di udara


c. infiltrasi merkuri pada retakan dan celah-celah lantai atau meja kerja (ini menyebabkan

penguapan yang berlangsung lama).


Uap merkuri dan debu yang mengandung senyawa merkuri hendaknya ditekan dengan
langkah-langkah pengendalian teknis. Pada keadaan darurat termasuk pajanan terhadap kadar
merkuri yang tinggi, peralatan pelindung nafas hendaknya dipakai.
Batas-batas pajanan unsur merkuri berbeda di berbagai negara antara 0,01 mg/m3 hingga
0,05 mg/m3. Batasan paparan berdasarkan kesehatan yang dianjurkan oleh suatu Kelompok Studi
WHO adalah 25 μ g/g kreatinin dalam kemih.
Pencegahan bila mungkin adalah substitusi merkuri dengan bahan lain yang kurang
berbahaya. Satu contoh substitusi, pembuatan cermin yang dulu memakai amalgam timah putih
diubah dengan menggunakan larutan amoniakal perak nitrat, dan ternyata cermin yang dihasilkan
lebih baik.
Pencegahan harus dijalankan di tambang-tambang tempat bijih merkuri diambil, yaitu
dengan ventilasi, pengeboran basah, dan pemakaian masker yang dapat menahan uap merkuri. Di
pabrik-pabrik yang membuat barometer dan termometer, lantai harus rata, licin, tidak boleh retak
sehingga kalau terjadi penumpahan merkuri akan segera dapat dibersihkan. Ventilasi umum di
pabrik- pabrik yang menggunakan merkuri tidaklah baik, karena ventilasi memperhebat
terjadinya penguapan merkuri. Pemeriksaan kesehatan berkala, permasuk pemeriksaan gigi dan
mulut sangat membantu dalam menentukan keracunan sedini mungkin.

Anda mungkin juga menyukai