Anda di halaman 1dari 12

Skenario – 1

PEMICU
Ny. Ozawa , 35 tahun, G5P4A0 datang ke kamar bersalin pada tanggal 5 november 2018 dengan
keluhan mules-mules dan dari vagina keluar lendir bercampur darah. Hari pertama haid terakhir
11 Februari 2018.
Riwayat persalinan:
1. Partus spontan, perempuan, BB 3000gr, ditolong bidan, 10 thn, sehat
2. Partus spontan, laki-laki , BB 3200gr, ditolong bidan, 8 thn, sehat
3. Partus spontan, perempuan, BB 2800gr, ditolong bidan, 5 thn, sehat
4. Partus spontan, perempuan, BB 3350gr, ditolong bidan, 2 thn, sehat
5. Hamil ini

Dari hasil pemeriksaan diperoleh,


Status present : dalam batas normal
VT (Vgainal Touche) :
 Arah cervix : anterior
 Pendataran Cervix : 80%
 Pembukaan : 8 cm
 Selaput Ketuban : Intact
 Presentasi : Kepala, UUK arah jam 1
 Penurunan Kepala HODGE 2+
Status obstetrikus :
 His : 2 x 20detik/10 menit
 Denyut jantung janin : 144x/I (normal >100-160x/i)
 Taksiran berat janin : 3800-4000gr
 Leopold I : 36cm
 Leopold II : Punggung janin disebelah kiri ibu
 Leopold III : kepala
 Leopold IV : kepala memasuki PAP
Apa yang terjadi pada Ny.Ozawa ?

More Info I
Ny.Ozawa partus spontan pervaginam dengan berat badan lahir 3900gr, jenis kelamin Laki-laki,
setelah 15 menit plasenta lahir secara spontan, kesan lengkap. 30 menit kemudian terjadi
perdarahan pervaginam ±1 liter.
Status present :
sensorium : Apatis
Tekanan darah : 90/60mmHg
Frekuensi Nadi : 120x/i
Apa yng terjadi pada Ny.Ozawa?

More info II
Dari hasil pemeriksaan status obstetrikus diperoleh:
TFU : 2 jari atas pusat, kontraksi uteri lembek
Pemeriksaan dalam, Inspekulo : tidak tampak robekan jalan lahir dan pada kavum uteri tidak
dijumpai jaringan sisa plasenta.
Apa kesimpulan dari kasus ini?

Learning Issue
1. Cara perhitungan taksiran persalinan –Rumus Naeggle
2. Pemeriksaan fisik wanita hamil (Inpartu) : status obstetrikus (leopold, VT)
3. Penyebab terjadinya inisiasi persalinan
4. Tanda-tanda persalinan
5. Kala-kala dalam persalinan
6. Menjelaskan mengenai Perdarahan Post Partum: deinisi, etiologi, diagnosis, prinsip penatalaksanaan
awal, terapi nonfarmakologis dan farmakologis, pencegahan dan komplikasi
7. Kriteria merujuk pada pasien dengan Perdarahan Post Partum

Paparan Teori
1. Cara perhitungan taksiran persalinan –Rumus Naeggle
Metode rumus Naeggle digunakan untuk menghitung usia kehamilan berdasarkan HPHT hingga tanggal
saat anamneses dilakukan. Rumus Naeggle memperhitungkan usia kehamilan yang berlangsung selam
280 hari (40 minggu). Selain usia kehamilan dengan rumus Naeggle dapat diperkirakan pula hari
perkiraan persalinan.
Rumus: (Hari ditambah 7, (bulan dikurang 3), (tahun ditambah 1)
Jika bulan HPHT tidak dapat dikurangi angka 3, yaitu bulan januari, februari, maret, maka bulan HPHT
ditambah 9 dan tahunnya tetap.
Rumus Naeggle berlaku untuk wanita yang memiliki siklus haid teratur dan normal, yaitu selama 28
sampai 30 hari.

2. Pemeriksaan fisik wanita hamil (Inpartu) : status obstetrikus (leopold, VT)


Manuver Leopold I, bertujuan untuk mengetahui letak fundus uteri dan bagian lain yang terdapat pada
bagian fundus uteri. Dengan cara:
1. Wajah pemeriksa menghadap kea rah ibu
2. Palpasi fundus uterus
3. Tentukan bagian janin yang ada pada fundus
Manuver Leopold II, bertujuan untuk menentukan punggung dan bagian kecil janin di sepanjang sisi
material, dengan cara:
1. Wajah pemeriksa menghadap ke arah kepala ibu.
2. Palpasi dengan satu tangan pada tiap sisi abdomen.
3. Palpasi janin di antara dua tangan.
4. Temukan mana punggung dan bagian ekstremitas.
Manuver Leopold III, bertujuan untuk membedakan bagian persentasi dari janin dan sudah masuk
dalam pintu panggul, dengan cara:
1. Wajah pemeriksa menghadap ke arah kepala ibu.
2. Palpasi di atas simfisis pubis. Beri tekanan pada area uterus.
3. Palpasi bagian presentasi janin di antara ibu jari dan keempat jari dengan menggerakkan pergelangan
tangan. Tentukan presentasi janin.
4. Jika ada tahanan berarti ada penurunan kepala.
Manuver Leopold IV, bertujuan untuk meyakinkan hasil yang ditemukan pada pemeriksaan Leopold III
dan untuk mengetahui sejauh mana bagian presentasi sudah masuk pintu atas panggul. Memberikan
informasi tentang bagian presentasi : bokong atau kepala, sikap/attitude (fleksi atau ekstensi), dan station
(penurunan bagian presentasi), dengan cara:
1. Wajah pemeriksa menghadap ke arah ekstremitas ibu.
2. Palpasi janin di antara dua tangan.
3. Evaluasi penurunan bagian presentasi.
Pada pemeriksaan Vaginal Toucher, hal-hal yang perlu dinilai adalah:
a. arah serviks
b. pendataran / penipisan serviks
c. pembukaan serviks
d. selaput ketuban
e. presentasi bagian terendah janin
f. arah “chosen point “dari bagian terendah janin (misalnya UUK pada presentasi belakang kepala)
g. turunnya bagian terendah janin (sesuai bidang hodge panggul)

3. Penyebab terjadinya inisiasi persalinan


-faktor humoral
- pengaruh prostaglandin
- struktur dan sirkulasi uterus
- pengaruh saraf
- nutrisi

4. Tanda-tanda persalinan
- Bloody show/lendir darah keluar
- Kontraksi uterus yang teratur
- Pecahnya selaput ketuban

5. Kala-kala dalam persalinan

Kala I
Kala I adalah persalinan dimulai sejak terjadinya kontraksi uterus dan pembukaan serviks hingga mencapai
pembukaan lengkap (10 cm). Persalinan kala I dibagi menjadi dua fase yaitu fase laten dan fase aktif.
a. Fase laten persalinan
Fase laten adalah fase yang lambat yang ditandai dengan : dimulai sejak awal kontraksi yang menyebabkan
penipisan dan pembukaan serviks secara bertahap, pembukaan kurang dari 4 cm dan biasanya memerlukan
waktu selama 8 jam pada saat primipara.
b. Fase aktif persalinan
Fase aktif adalah fase dimana ditandai dengan : frekuensi dan lama kontraksi uterus umumnya meningkat
(kontraksi dianggap adekuat atau memadai jika terjadi tiga kali atau lebih dalam waktu 10 menit dan
berlangsung selama 40
detik atau lebih, serviks membuka dari 4 ke 10 cm biasanya dengan kecepatan 1 cm atau lebih per jam
hingga pembukaan lengkap 10 cm, dan terjadi penurunan bagian terbawah janin.

Kala II
Kala II adalah persalinan dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm) dan berakhir dengan
lahirnya bayi. Kala II dikenal juga sebagai kala pengeluaran.

Kala III
Kala III adalah persalinan dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhirnya dengan lahirnya plasenta
dan selaput ketuban.
Manajemen aktif kala III terdiri dari 3 langkah utama :
a.Pemberian suntikan oksitosin.
b.Melakukan peregangan tali pusat terkendali.
c.Pemijatan fundus uteri (masase).
Tujuan manajemen aktif kala III adalah untuk menghasilkan kontraksi uterus yang lebih efektif
sehingga memperpendek waktu kala III persalinan dan mengurangi kehilangan darah dibandingkan
dengan penatalaksanaan fisiologis.

6. Menjelaskan mengenai Perdarahan Post Partum: definisi, etiologi, diagnosis, prinsip


penatalaksanaan awal, terapi nonfarmakologis dan farmakologis, pencegahan dan komplikasi

Definisi PPH:
Perdarahan postpartum adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau lebih setelah kala III selesai
(setelah plasenta lahir). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan sebagai kehilangan
darah kehilangan darah post-partum lebih dari 500 ml, itu adalah diagnosis klinis yang meliputi
kehilangan darah yang berlebihan setelah melahirkan bayi dari berbagai tempat: uterus, serviks,
vagina dan perineum. Kehilangan darah selama 24 jam pertama setelah melahirkan dikenal
sebagai PPH primer, sedangkan kehilangan darah dari 24 jam sampai 6 minggu setelah melahirkan
disebut terlambat atau PPH sekunder. Pendarahan juga diklasifikasikan menurut situsnya. Oleh
karena itu PPH primer juga diklasifikasikan sebagai perdarahan plasenta atau ekstra-plasenta.
Eiologi PPH
Secara garis besar etiologi PPH dibagi kepada empat penyebab (4T) : Tonus (gangguan kontraksi), Trauma
(adanya laserasi pada jalan lahir), Tissue (adanya sisa jaringan yang tertinggal), Trombin (gangguan faktor
pembekuan darah).
o Atonia uteri
Penyebab paling umum dari PPH adalah atonia uteri. Pasien yang meningkat risiko untuk atonia uteri
termasuk orang-orang dengan paritas tinggi, uterus yang terlalu distensi (misalnya, kehamilan
multipel, polihidramnion), persalinan lama atau cepat, penggunaan oksitosin untuk induksi atau
augmentasi, dan penggunaan magnesium sulfat. Tonus uteri biasanya dapat dinilai dengan palpasi
abdomen setelah melahirkan; bahkan ketika tonus uterus tampak normal, pengobatan awal untuk PPH
sering diarahkan pada atonia uteri. Namun, ketika upaya pengelolaan awal gagal, dokter kandungan
seharusnya tidak membuang waktu memperlakukan yang diduga atonia uteri sebelum mengevaluasi
penyebab potensial lain dari perdarahan.
o Laserasi
Laserasi perineum, vagina, leher rahim, atau rahim dapat menyebabkan perdarahan terlihat atau
tersembunyi. Pemeriksaan yang cermat dari jalan lahir, termasuk baik inspeksi maupun palpasi, perlu
untuk menghilangkan laserasi sebagai sumber PPH.
Dokter kandungan juga harus menyadari potensi ruptur uterus menyebabkan perdarahan masif.
Meskipun ruptur uteri terjadi paling sering dengan bekas luka uterus sebelumnya, dapat terjadi secara
spontan. Paritas tinggi, penggunaan oksitosin, dan prosedur obstetri (misalnya, forsep, kelahiran
sungsang) merupakan faktor risiko untuk ruptur uterus. Meningkatnya frekuensi kelahiran pervaginam
setelah operasi caesar membuatnya penting untuk mempertimbangkan ruptur uteri pada semua kasus
perdarahan pada populasi ini.
o Retensio Plasenta
Retensi plasenta menyebabkan atonia uteri dengan mencegah kontraksi rahim, yang menekan arteri
spiral miometrium. Jaringan tersisa dapat menyebabkan PPH tertunda dengan mengganggu involusi
daerah plasenta. Pada saat kelahiran, permukaan maternal plasenta harus hati-hati diperiksa untuk
memastikan bahwa tidak ada fragmen yang hilang. Permukaan janin kemudian diperiksa, dengan
perhatian khusus pada batas-batas untuk mencari pembuluh darah terputus yang mungkin telah
menyebabkan lobus plasenta succenturiate. Eksplorasi uterus rutin untuk menyingkirkan jaringan
tersisa adalah tidak nyaman bagi pasien dan dapat meningkatkan risiko infeksi postpartum; namun,
jika ada keraguan tentang potensi untuk jaringan tersisa, eksplorasi uterus adalah tepat.

o Plasenta akreta
Plasenta akreta terjadi ketika vili plasenta melekat langsung ke atau menginvasi miometrium,
mencegah pemisahan plasenta normal. Plasenta akreta umumnya terkait dengan plasenta previa (64%
dari plasenta akreta) atau riwayat seksio sesarea sebelumnya, dilatasi dan kuretase, atau abortus.
Sebuah plasenta previa anterior pada pasien dengan operasi caesar sebelumnya harus membuat dokter
kandungan khususnya waspada terhadap suatu akreta. Akreta harus dipertimbangkan setiap kali
retensio plasenta terjadi atau ketika pembersihan manual plasenta sangat sulit. Meskipun sebagian
besar kasus akreta memerlukan histerektomi, beberapa pasien dapat dikelola dengan kuretase, jahitan
dari tempat perdarahan, atau ligasi arteri hipogastrik. Manajemen modern komplikasi ini dihargai
dengan mengurangi angka kematian ibu dalam kondisi ini dari 37% menjadi 3% .
o Koagulopati
Hemostasis segera setelah melahirkan terjadi dengan kompresi uterus dari arteri spiral miometrium.
Namun, sebagian besar koagulopati (misalnya, thrombocytopenic purpura idiopatik, penyakit von
Willebrand) juga menyebabkan PPH. Koagulasi intravaskular disseminata dari abruptio atau
preeklamsia berat juga dapat mengakibatkan PPH. Koagulopati memiliki potensi untuk menyebabkan
PPH sampai beberapa hari setelah kelahiran. Meskipun dokter kandungan biasanya menyadari masalah
ini sebelum kelahiran, ada potensi untuk koagulopati untuk membuat presentasi awalnya sebagai PPH.
o Inversi Uteri
Inversi uteri telah dilaporkan di masa lalu menjadi sangat jarang (1: 20.000 kelahiran) dan memiliki
angka kematian tinggi terkait . Penelitian terbaru menunjukkan bahwa tingkat inversi uterus adalah
sekitar 1: 2.000. Angka kematian yang tinggi dari inversi uterus di masa lalu mungkin dihasilkan dari
praktek tidak melakukan pemeriksaan rutin vagina dan serviks segera postpartum. Komplikasi utama
dari inversi uterus adalah PPH. Syok secara langsung berkaitan dengan kehilangan volume darah.
Inversi uteri dapat terjadi secara spontan tetapi biasanya berhubungan dengan tekanan fundus uteri dan
traksi tali pusat untuk melahirkan plasenta. Primipara, hipotonia rahim, dan implantasi fundus plasenta
berhubungan dengan peningkatan risiko inversi uterus. Sebuah tinjauan 10 tahun inversi uterus di
Universitas Michigan, 1970-1980, mengungkapkan 10 inversi uterus, dengan kejadian 1: 1770
persalinan. Derajat syok terkait dengan perdarahan. Dalam semua kasus rahim digantikan secara
manual. Pengenalan langsung dari inversi uterus dan penggantian yang cepat muncul untuk menjadi
kunci untuk mencegah kematian dan komplikasi.

Diagnosis PPH

Diagnosis perdarahan postpartum dimulai dengan pengenalan perdarahan yang berlebihan dan
pemeriksaan dengan metode untuk menentukan penyebabnya. "Empat T" (Tonus, Trauma, Tissue,
dan Trombin) dapat digunakan untuk mendeteksi penyebab spesifik.
Berdasarkan definisi, perdarahan postpartum adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau lebih
setelah kala III selesai (setelah plasenta lahir). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
mendefinisikan sebagai kehilangan darah kehilangan darah post-partum lebih dari 500 ml, itu
adalah diagnosis klinis yang meliputi kehilangan darah yang berlebihan setelah melahirkan bayi.
Prinsip penatalaksanaan awal perdarahan post partum
Prinisip penatalaksanaan awal perdarahan post partum adalah melakukan resusitasi dengan
pemberian jalur intravena (2 jalur) serta pemberian oksigen. Dilanjutkan dengan pemantauan tanda
vital serta urin output. Bisa sekaligus dilakukan pemberian transfusi darah apabila jumlah
perdarahan yang terjadi sudah sangat banyak (> 1000 hingga 1500 ml). Selanjutnya yang harus
dilakukan adalah identifikasi penyebab, dan penatalaksanaan selanjutnya sesuai dengan
penyebabnya.

Terapi non farmakologis dan farmakologis pada perdarahan post partum


Intervensi untuk mengobati PPH umumnya berlanjut dari kurang ke lebih invasif dan termasuk
teknik kompresi, obat-obatan, prosedur, dan operasi. Manajemen PPH juga dapat melibatkan terapi
ajuvan, seperti penggantian darah dan cairan untuk mengobati kehilangan darah dan gejala sisa
lainnya yang dihasilkan dari PPH. Manajemen PPH bervariasi secara signifikan sesuai dengan
sumber daya yang tersedia.
TONUS
Atonia uteri adalah penyebab paling umum dari perdarahan postpartum. Karena hemostasis terkait
dengan pemisahan plasenta tergantung pada kontraksi miometrium, atonia diperlakukan awalnya
dengan kompresi uterus bimanual dan pijat, diikuti oleh obat-obatan yang mempromosikan
kontraksi uterus.
Pijat uterus
Aliran darah cepat setelah melahirkan plasenta harus membuat dokter waspada untuk
melakukan pemeriksaan bimanual uterus. Jika uterus lembut, pijat dilakukan dengan
menempatkan satu tangan di vagina dan mendorong terhadap badan uterus sementara sisi lain
menekan fundus dari atas melalui dinding abdomen. Aspek posterior uterus adalah dipijat
dengan tangan abdominal dan aspek anterior dengan tangan vagina.

TRAUMA
Laserasi dan hematoma akibat trauma lahir bisa menyebabkan kehilangan darah yang signifikan
yang dapat dikurangi dengan hemostasis dan perbaikan tepat waktu. Jahitan harus ditempatkan
jika tekanan langsung tidak menghentikan pendarahan. Episiotomi meningkatkan kehilangan
darah dan risiko robekan sfingter ani, dan prosedur ini harus dihindari kecuali kelahiran mendesak
diperlukan dan perineum dianggap faktor yang membatasi.
Hematoma dapat hadir sebagai nyeri atau sebagai perubahan tanda-tanda vital yang tidak
proporsional dengan jumlah kehilangan darah. Hematoma kecil dapat dikelola dengan observasi
secara dekat. Pasien dengan tanda-tanda kehilangan volume terus-menerus meskipun penggantian
cairan, serta mereka dengan hematoma besar atau membesar, memerlukan insisi dan evakuasi
bekuan. Daerah yang terlibat harus diirigasi dan pembuluh yang berdarah diikat. Pada pasien
dengan pengeluaran darah yang difus, penutupan berlapis akan membantu untuk mengamankan
hemostasis dan menghilangkan ruang mati.

Ruptur Uteri
Meskipun jarang dalam rahim tak meninggalkan parut, ruptur uteri yang secara klinis
signifikan terjadi pada 0,6-0,7 persen kelahiran vagina setelah melahirkan secara caesar pada
wanita dengan parut uterus melintang rendah atau tidak diketahui. Risiko meningkat secara
signifikan dengan sayatan klasik sebelumnya atau operasi rahim, dan pada tingkat lebih
rendah dengan interval yang lebih singkat antara kehamilan atau riwayat beberapa kelahiran
seksio sesarea, terutama pada wanita tanpa kelahiran per vaginam sebelumnya. Dibandingkan
dengan persalinan spontan, induksi atau augmentasi meningkatkan tingkat ruptur uterus,
terlebih lagi jika prostaglandin dan oksitosin digunakan secara berurutan. Namun, kejadian
ruptur masih rendah (yaitu, 1 sampai 2,4 persen). Misoprostol sebaiknya tidak boleh
digunakan untuk pematangan serviks atau induksi saat mencoba kelahiran pervagina setelah
kelahira caesar sebelumnya.
Sebelum kelahiran, tanda utama dari ruptur uteri adalah bradikardia janin. Takikardia atau
deselerasi lambat juga dapat menggambarkan ruptur uteri, seperti juga perdarahan vagina,
nyeri perut, takikardia ibu, kolaps sirkulasi, atau peningkatan lingkar perut. Ruptur uterus
simtomatik membutuhkan perbaikan bedah dari defek atau histerektomi. Ketika terdeteksi
pada periode postpartum, suatu defek kecil asimtomatik atau dehiscence tak berdarah pada
segmen bawah uterus kecil dapat diikuti dengan pengharapan.

JARINGAN (TISSUE)
Tanda-tanda klasik dari pemisahan plasenta termasuk penyemburan kecil darah dengan
perpanjangan tali pusat dan sedikit kenaikan uterus di panggul. Kelahiran plasenta dapat dicapai
dengan menggunakan manuver Brandt-Andrews, yang melibatkan penerapan traksi yang kuat
pada tali pusat dengan satu tangan sementara yang lain melakukan counterpressure suprapubik.
Waktu rata-rata dari pengiriman sampai pengeluaran plasenta adalah delapan sampai sembilan
menit. Interval yang lebih panjang akan dikaitkan dengan peningkatan risiko perdarahan
postpartum, dengan angka dua kali lipat setelah 10 menit. Retensio plasenta (yaitu, kegagalan
plasenta untuk lahir dalam waktu 30 menit setelah lahir) terjadi dalam waktu kurang dari 3 persen
dari kelahiran pervaginam. Salah satu pilihan penanganan adalah untuk menyuntikkan vena
umbilikalis dengan 20 mL larutan 0,9 persen NaCl dan 20 unit oksitosin. Hal ini secara signifikan
mengurangi kebutuhan untuk pengeluaran manual plasenta dibandingkan dengan menyuntikkan
NaCl sendiri. Atau, dokter dapat melanjutkan langsung ke pengeluaran manual plasenta,
menggunakan analgesia yang sesuai. Jika bidang jaringan antara dinding rahim dan plasenta tidak
dapat dikembangkan melalui diseksi tumpul dengan tepi tangan bersarung, plasenta invasif harus
dipertimbangkan.
TROMBIN
Gangguan koagulasi, penyebab yang jarang dari perdarahan post-partum, tidak mungkin untuk
berespon terhadap ukuran yang dijelaskan di atas. Kebanyakan koagulopati diidentifikasi sebelum
persalinan, memungkinkan untuk perencanaan awal untuk mencegah perdarahan postpartum.
Gangguan ini termasuk thrombocytopenic purpura idiopatik, thrombotic thrombocytopenic
purpura, penyakit von Willebrand, dan hemofilia. Pasien juga dapat mengembangkan sindroma
HELLP (hemolisis, peningkatan enzim hati, dan kadar platelet rendah) atau disseminated
intravascular coagulation. Faktor risiko untuk disseminated intravascular coagulation termasuk
parah pre-eklampsia, emboli cairan ketuban, sepsis, solusio plasenta, dan retensi berkepanjangan
kematian janin. Abrupsi dikaitkan dengan penggunaan kokain dan kelainan hipertensi. Perdarahan
yang berlebihan dapat menguras faktor koagulasi dan membawa ke koagulasi konsumtif, yang
memajukan perdarahan lebih lanjut. Defek koagulasi harus dicurigai pada pasien yang tidak
berespon terhadap langkah-langkah yang biasa untuk mengobati perdarahan pasca-melahirkan,
dan pada mereka yang tidak membentuk bekuan darah atau mengalir dari tempat tusukan.
Evaluasi harus mencakup jumlah trombosit dan pengukuran waktu protrombin, waktu
tromboplastin parsial, kadar fibrinogen, dan produk split fibrin (yaitu, d-dimer). Penatalaksanaan
terdiri dari mengobati proses penyakit yang mendasari, menyokong volume intravaskular, secara
serial mengevaluasi status koagulasi, dan mengganti komponen darah yang sesuai. Administrasi
faktor rekombinan VIIA atau obat promotor-gumpalan (misalnya, asam traneksamat
[Cyklokapron]) mungkin dapat dipertimbangkan.

Terapi farmakologi pada PPH


Ergometrine, dan kemudian oksitosin diperkenalkan dalam pengobatan PPH atas dasar
prinsip-prinsip biologis dan farmakologis. Identifikasi segi uterotonika dan pengakuan bahwa
atonia uteri memainkan peran utama dalam PPH menyebabkan adopsi luas mereka sebagai
obat lini pertama dalam pengelolaannya. Oleh karena itu penggunaan profilaksis mereka di
kala III persalinan adalah perpanjangan dari peran mereka dalam perawatan. Namun, sangat
menarik bahwa lebih banyak data percobaan ada dalam mendukung penggunaannya dalam
profilaksis dibandingkan dengan pengobatan. Ketika segi uterotonika prostaglandin yang
kemudian diidentifikasi mereka sama-sama digunakan dalam pengobatan PPH. Penggunaan
carboprost sebagai suntikan intramiometrial, daftar panjang kontraindikasi dan kemungkinan
efek samping yang namun mahal untuk penggunaan yang lebih luas dari analog prostaglandin
ini. Misoprostol adalah obat terbaru untuk diidentifikasi sebagai agen yang berguna dalam
pengobatan PPH dan beberapa data percobaan yang mendukung ada untuk penggunaannya.
Namun, ada perdebatan tentang dosis dan rute pemberian.
Misoprostol telah banyak diteliti dengan rute oral vagina untuk induksi aborsi. Segera menjadi
jelas bahwa rute vagina optimal bagaimanapun karena kontraksi rahim yang dihasilkan lebih
kuat dan efek samping yang lebih rendah dibandingkan dengan oral. Pemberian misoprostol
pervaginam diperkirakan, paling tidak pada awalnya, tidak sesuai untuk pengelolaan PPH
karena pendarahan. Penggunaan rektal misoprostol datang sebagai jawaban untuk masalah ini.
Pemberian obat melalui rute rektal atau vagina mungkin lebih praktis dan efektif daripada rute
oral. Memasukkan obat vagina atau rektal dengan mendatangi dokter lebih praktis daripada
penanganan sendiri ole pasien yang baru saja melahirkan untuk menelan dengan segelas air!
Ada beberapa penelitian yang menunjukkan misoprostol dapat digunakan secara efektif
sebagai tindakan pencegahan dengan rute rektal dan yang terbaru vagina.
O'Brien et al melaporkan dalam studi percontohan bahwa misoprostol 1000 mcg diberikan per
rektal adalah intervensi yang efektif pada wanita dengan PPH berat, tidak responsif terhadap
agen uterotonika standar. Studi observasional berikutnya dan penelitian secara acak baru-baru
ini mendukung penggunaan misoprostol rektal (800 mcg) dalam pengobatan PPH. Percobaan
yang terakhir juga menyimpulkan bahwa misoprostol lebih efektif daripada kombinasi injeksi
syntometrine intramuskular dan infus oksitosin. Menariknya, meskipun bolus dan infus
oksitosin adalah praktek standar dalam pengobatan PPH, ada sedikit penelitian untuk
mendukung penggunaan regimen ini. Penambahan misoprostol untuk terapi ini tampaknya
akan lebih didukung oleh data ilmiah dari penggunaan agen uterotonika lainnya.5
Penggunaan rektal misoprostol tersebar cukup cepat berdasarkan studi klinis. Protokol
manajemen rumah sakit berubah untuk memasukkan obat dalam pedoman pengelolaan pasca-
partum. Sebuah survei terbaru dari Norwegia menunjukkan bahwa 20% dari dokter
kandungan sekarang menggunakan misoprostol dalam pengobatan PPH. Hal ini terlepas dari
kenyataan bahwa, sampai saat ini, tidak ada studi farmakokinetik yang telah menunjukkan
bahwa misoprostol diserap dari rektum. Pengelolaan perdarahan post partum mulai dari
diagnosis, tata laksana awal, hingga penanganan berdasarkan penyebab dapat dilihat pada
algoritma berikut :
Pencegahan dan komplikasi perdarahan post partum (Obgyn)
Rekomendasi untuk Pencegahan Postpartum Perdarahan (PPH) - Uterotonika
1. Penggunaan uterotonika untuk pencegahan PPH selama kala III persalinan dianjurkan untuk
semua kelahiran. (Rekomendasi kuat, bukti-kualitas sedang)
2. Oksitosin (10 IU, intravena [IV] / intramuskular [IM]) adalah obat uterotonika yang
direkomendasikan untuk pencegahan PPH. (Rekomendasi kuat, bukti-kualitas sedang)
3. Dalam keadaan di mana oksitosin tidak tersedia, penggunaan uterotonika suntik lainnya
(misalnya ergometrin / metilergometrin atau kombinasi obat tetap oksitosin dan ergometrin)
atau misoprostol oral (600 mg) dianjurkan. (Rekomendasi kuat, bukti-kualitas sedang)
4. Dalam keadaan di mana tenaga persalinan terlatih tidak hadir dan oksitosin tidak tersedia,
administrasi misoprostol (600 ug lisan [PO]) oleh petugas kesehatan masyarakat dan petugas
kesehatan awam dianjurkan untuk pencegahan PPH. (Rekomendasi kuat, bukti-kualitas
sedang)

7. Kriteria merujuk pada pasien dengan perdarahan post partum


Perdarahan post partum merupakan kompetensi 3B berdasarkan SKDI, yang artinya lulusan dokter
mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat
darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien.
Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien
selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
Pada kasus ibu hamil dengan perdarahan post partum harus dirujuk ke rumah sakit. Namun seorang
dokter umum diharapkan dapat melakukan penanganan awal/stabilisasi dengan pemberian
resusitasi, dan melakukan identifikasi penyebab dari perdarahan post partum yang terjadi sebelum
merujuk pasien ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi.
Penatalaksanaan berdasarkan kompetensi dokter umum adalah sebagai berikut :
Apabila penyebab perdarahan adalah kontraksi yang kurang baik :
- Kompresi bimanual (eksterna, interna, aorta) merupakan kompetensi dokter umum
(kompetensi 4A, SKDI 2012)
Apabila penyebab perdarahan adalah adanya laserasi jalan lahir :
- Menjahit luka episiotomi serta laserasi derajat 1 dan 2 (kompetensi 4A, SKDI 2012)
- Menjahit luka episiotomi serta laserasi derajat 3 (kompetensi 3B, SKDI 2012)
- Menjahit luka epsiotomi derajat 4 (kompetensi 3B, SKDI 2012)
Apabila penyebab perdarahan adalah adanya jaringan yang tertinggal :
- Pengambilan plasenta secara manual (kompetensi 3, SKDI 2012)
- Kuretase (kompetensi 3, SKDI 2012)

Anda mungkin juga menyukai