Anda di halaman 1dari 3

Gangguan Patologis Terkait Termoregulasi Pada Lansia

Oleh Nabilah, 1606823696, Focus Group 3, Gerontik Kelas C

Sistem organ dan fungsional semakin melambat seiring bertambahnya usia seperti yang
terjadi pada lansia. Salah satu dari banyaknya sistem dalam tubuh ialah sistem termoregulasi,
yang mana dipengaruhi oleh perubahan yang berkaitan dengan usia dan juga faktor risiko yang
memengaruhinya. Fungsi utama dari termoregulasi adalah untuk mempertahankan suhu inti
tubuh yang stabil dalam berbagai suhu lingkungan (Miller, 2012). Fungsi sistem termoregulasi
pada lansia ini bukanlah rusak, melainkan menjadi lambat dalam merespon apa yang terjadi
pada suhu tubuh kita. Respons adaptif terhadap suhu lingkungan dapat diubah oleh banyak
faktor pengaruh eksternal dan internal. Faktor pengaruh eksternal pada termoregulasi
diantaranya aliran udara, tingkat kelembaban, suhu lingkungan, jenis dan jumlah pakaian serta
penutup yang digunakan. Sedangkan untuk faktor pengaruh internal salah satunya adalah
kondisi patologis yang rentan menyerang lansia.

Kondisi atau gangguan patologis yang memengaruhi termoregulasi berkaitan dengan


usia. Hal ini dikarenakan usia merupakan faktor predisposisi terjadinya hipotermia dan
hipertermia. Hipotermia adalah suhu inti tubuh 35oC atau lebih rendah, sementara hipertermia
adalah suhu tubuh meningkat di atas suhu normal (36,1oC-37,2oC) (Holowatz, Thompson-
Torgerson, & Kenney, 2010). Kejadian ini terjadi karena lansia kurang mampu beradaptasi
secara fisiologis dengan suhu lingkungan, bahkan lingkungan yang cukup dingin atau panas
dapat menjadi risiko hipotermia atau hipertermia. Risiko hipotermia akan meningkat apabila
terdapat kondisi yang menurunkan produksi panas (seperti gangguan endokrin dan kondisi
neuromuskular), meningkatkan kehilangan panas (contohnya luka bakar), atau kondisi yang
memengaruhi proses termoregulasi normal (kondisi patologis sistem saraf pusat).

Kondisi patologis yang memengaruhi termoregulasi meliputi berbagai sistem dalam


tubuh. Kondisi medis utama yang terkait dengan hipotermia diantaranya gangguan
kardiovaskular, infeksi, trauma, gangguan endokrin, dan gagal ginjal kronis (Elbaz et al., 2008)
dalam (Miller, 2012). Obat-obatan dan alkohol dapat mempengaruhi seseorang terhadap
hipotermia dengan menekan respon menggigil atau menyebabkan vasodilatasi (contohnya
alkohol, obat-obatan psikotropika) (Gibbons, Wein, & Paula, 2008) dalam (Miller, 2012).
Penggunaan alkohol yang berlebihan semakin meningkatkan risiko hipotermia dengan
menghilangkan persepsi sensorik dan mengganggu keterampilan kognitif yang diperlukan
untuk memulai perilaku protektif.
Selain hipotermia, kondisi patologis selanjutnya yang sering terjadi pada lansia terkait
dengan termoregulasi adalah hipertermia. Hipertermia merupakan kondisi dimana suhu tubuh
tinggi melebihi batas normal yang disebabkan oleh kegagalan mekanisme pengatur panas tubuh
untuk menangani panas yang berasal dari lingkungan (Calvin, 2012). Kelelahan panas, sinkop
panas (pusing mendadak setelah paparan panas yang berkepanjangan), kram panas, kelelahan
panas dan stroke panas adalah bentuk hipertermia yang umum dikenal (Calvin, 2012). Risiko
untuk kondisi ini dapat meningkat dengan kombinasi suhu luar, kesehatan umum dan gaya
hidup individu. Risiko hipertermia meningkat akibat perubahan fisiologis yang meningkatkan
produksi panas internal (contohnya hipertiroidisme, ketoasidosis diabetik) atau mengganggu
kemampuan menanggapi stres panas (misal penyakit kardiovaskular, ketidakseimbangan
cairan atau elektrolit).

Faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan risiko hipertermia dan biasanya umum
terjadi pada lansia, diantaranya: 1) dehidrasi; 2) Perubahan terkait usia pada kulit seperti
gangguan sirkulasi darah dan kelenjar keringat yang tidak efisien; 3) Penyakit jantung, paru-
paru dan ginjal, serta penyakit apa pun yang menyebabkan demam; 4) Tekanan darah tinggi
atau kondisi lain yang membutuhkan perubahan dalam diet (Calvin, 2012). Obat dapat
menyebabkan seseorang menjadi hipertermia dengan meningkatkan diuresis atau tubuh kurang
mengeluarkan keringat (misal diuretik), meningkatkan produksi panas (contohnya keracunan
salisilat), mengganggu pengeluaran keringat (misal antikolinergik), atau vasodilatasi perifer
(contonya agen penghambat beta-adrenergik). Alkohol meningkatkan risiko hipertermia
dengan menginduksi diuresis, dan konsumsi alkohol berlebihan dapat meningkatkan produksi
panas sehingga risiko hipertermia semakin meningkat.

Berdasarkan pembahasan di atas, suhu tubuh pada lansia mengalami perlambatan


dalam merespon. Hal ini menyebabkan respon adaptif terhadap suhu lingkungan dapat diubah
salah satunya karena faktor kondisi patologis. Hipertermia dan hipotermia merupakan dua
kondisi patologis yang paling sering terjadi pada lansia terkait termoregulasi. Kondisi ini terjadi
karena lansia mengalami penurunan dalam proses adaptasi fisiologis terhadap suhu lingkungan
dan didukung oleh adanya berbagai penyakit di masa lansia. Maka dari itu, diperlukan tindakan
pencegahan terhadap berbagai faktor risiko yang mungkin terjadi agar suhu tubuh pada lansia
tetap berada di rentang batas normal.
Daftar Pustaka
Calvin, K. (2012, June 27). Hyperthermia: Too hot for your health. USA: National Institutes
of Health. Retrieved February 27, 2019, from https://www.nih.gov/news-events/news-
releases/hyperthermia-too-hot-your-health-1

Holowatz, L. A., Thompson-Torgerson, C., & Kenney, W. L. (2010). Aging and the control of
human skin blood flow. Frontiers in Bioscience, 718-739.

Miller, W. A. (2012). Nursing for wellness in older adult: Theory and practice (6th ed.).
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai