Anda di halaman 1dari 13

Hajar Anggraeni Isma Rani

240210160037
Kelompok 7
V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
Tepung merupakan partikel padat yang berbentuk butiran halus bahkan
sangat halus tergantung pada pemakaiannya. Tepung biasanya digunakan untuk
bahan baku industri, keperluan penelitian, maupun dipakai dalam kebutuhan rumah
tangga, misalnya membuat kue dan roti. Tepung dapat dibuat dari berbagai jenis
bahan nabati yaitu serealia, umbi-umbian, akar-akaran atau sayur/buah yang
memiliki zat tepung atau pati (Wibowo, 2012).
Pati adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa yang terdiri dari
amilosa dan amilopektin. Sama halnya dengan tepung, pati dapat diperoleh dari
berbagai sumber seperti biji-bijian, umbi-umbian, sayuran, maupun buah-buahan.
Pati memegang peran penting dalam industri pengolahan pangan secara luas juga
dipergunakan dalam industri seperti kertas, lem, tekstil, permen, glukosa, dekstrosa,
sirup fruktosa, dan lain-lain. Dalam perdagangan dikenal dua macam pati yaitu pati
yang belum dimodifikasi dan pati yang telah dimodifikasi (Jacobs dan Delcour,
1998).
Praktikum kali ini mengenai teknologi pembuatan tepung dan pati. Adapun
tepung dan pati pada praktikum kali ini dibuat dari berbagai sumber diantaranya
dari umbi-umbian, serealia, dan buah-buahan. Bahan yang diolah menjadi tepung
dan pati pada praktikum kali ini yaitu beras, pisang, singkong, sukun, dan ubi jalar.
5.1 Pembuatan Tepung
Tepung merupakan bentuk hasil pengolahan bahan dengan cara pengilingan
atau penepungan. Pembuatan tepung memiliki proses dan metode yang berbeda-
beda tergantung dari jenis bahan apa yang akan dijadikan sebagai bahan dasar
tepung. Tahapan proses pengolahan tepung pada umumnya terdiri dari pemilihan
bahan, pembersihan, pengecilan ukuran, pengeringan, penggilingan/penepungan,
dan pengayakan (Suryanti, 2011). Sebelum pembuatan tepung, bahan-bahan harus
dilakukan sortasi terlebih dahulu untuk memisahkan bahan yang mutunya rendah
dengan yang mutunya baik sehingga dapat dihasilkan tepung dengan kualitas yang
baik nantinya. Pembuatan tepung diawali dengan proses pencucian bahan dengan
menggunakan air. Fungsi dari pencucian ini untuk membersihkan bahan dari
kotoran yang menempel pada kulit seperti sisa-sisa tanah. Tahap selanjutnya yaitu
bahan dikupas dan dilakukan pemotongan, pengupasan ini bertujuan untuk
Hajar Anggraeni Isma Rani
240210160037
Kelompok 7
memisahkan kulit dari bagian dagingnya dan pemotongan dilakukan untuk
memperkecil ukuran dari bahan sehingga dapat mempermudah proses pengolahan
selanjutnya. Pisau yang digunakan dalam pengupasan dan pemotongan yaitu pisau
stainless steel. Digunakan pisau tersebut untuk mencegah terjadinya pencoklatan
enzimatis. Jika pisau yang digunakan pisau besi, maka akan lebih mudah
mengalami reaksi pencokelatan enzimatis karena besi mudah teroksidasi dengan
oksigen dan oksigen tersebut dapat berinteraksi dengan enzim polifenol oksidase
sehingga terjadi pencokelatan enzimatis (Fennema, 1996), sehingga dapat
menurunkan kualitas tepung yang akan dihasilkan nantinya.
Bahan yang telah dikecilkan ukurannya kemudian direndam dalam larutan
Natrium bisulfit 0,2% selama 15 menit. Tujuan dari proses perendaman ini adalah
untuk mengendalikan reaksi pencoklatan baik enzimatis maupun non-enzimatis.
Hal ini dikarenakan Natrium metabisulfit akan berinteraksi dengan gugus karbonil
sehingga mengikat melanoidin yang merupakan senyawa penyebab terjadinya
pencoklatan (Syaried dan Irawati, 1988). Menurut Winarno (2002), juga
menambahkan bahwa perendaman dengan larutan garam akan mencegah
pencoklatan karena Na akan berikatan dengan gugus fenol (-OH) sehingga tidak
terbentuk senyawa kuinon yang menyebabkan pencoklatan.
Tahap selanjutnya dilakukan pengeringan pada bahan yang telah direndam
Natrium metabisulfit. Tujuan dari pengeringan ini yaitu mengurangi kadar air pada
bahan. Proses pengeringan ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, dengan
menggunakan sinar matahari dan dengan menggunakan oven kabinet pada suhu
60°C selama 16-18 jam. Praktikum kali ini dilakukan pengeringan dengan
menggunakan oven kabinet. Pengeringan dengan sinar matahari merupakan cara
pengeringan yang mudah dan murah, akan tetapi produk yang dihasilkan tergantung
pada cuaca dan iklim, sehingga kualitasnya tidak selalu terjamin. Selain itu,
pengeringan dengan sinar matahari rentan terhadap kontaminasi seperti debu/tanah,
serangga, tikus, serta kapang (Tjahjadi dan Marta, 2008). Pengeringan dengan oven
kabinet pada dasarnya memanaskan udara melalui sumber panas ke dalam ruangan
yang berisi bahan yang akan dikeringkan sehingga pengeringan dapat dikontrol dan
waktu pengeringan bisa lebih cepat dan tidak tergantung oleh cuaca. Pengeringan
Hajar Anggraeni Isma Rani
240210160037
Kelompok 7
dengan oven dianggap lebih menguntungkan karena akan terjadi pengurangan
kadar air dalam jumlah yang besar dalam waktu yang singkat (Muller et al, 2006).
Setelah dilakukan pengeringan bahan, selanjutnya bahan dilakukan
penggilingan dengan menggunakan grinder. Penggilingan dilakukan untuk
memperoleh partikel-partikel tepung yang halus. Selanjutnya, tepung yang sudah
digiling dilakukan pengayakan menggunakan ayakan 80 mesh. Proses pengayakan
dilakukan pemisahan ukuran-ukuran dari butiran partikel suatu bahan dari ukuran
kasar sampai ukuran yang paling halus, sehingga dapat diperoleh tepung yang
benar-benar halus dan ukurannya seragam (Purwantana, 2008). Selanjutnya tepung
yang telah diayak dilakukan penyimpanan pada kemasan plastik PP dan diberi silika
gel. Pengemasan dalam plastik PP dan ditutup rapat bertujuan untuk
mempertahankan mutu tepung hingga 6 bulan tanpa menimbulkan bau, perubahan
warna, serangan jamur, dan serangga (Ginting et al, 2011). Fungsi dari silika gel
tersebut untuk mempertahankan kadar air agar tetap stabil, karena tepung-tepungan
sifatnya mudah menyerap air dari udara atau bersifat higroskopis.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Pembuatan Tepung
Karakteristik Kenampakan
Sampel
Rendemen Warna Aroma Tekstur Gambar
153.994 𝑔𝑟𝑎𝑚 Putih
𝑥100% Khas Halus
Pisang 566 𝑔𝑟𝑎𝑚 agak
pisang +++
= 27,21% krem

517 𝑔𝑟𝑎𝑚
Ubi 𝑥 100% Orange Khas ubi Halus
Jalar 2450 𝑔𝑟𝑎𝑚 muda jalar +++++
= 21,10%

402 𝑔𝑟𝑎𝑚
Ubi 𝑥 100% Putih Khas Sangat
Kayu 1560 𝑔𝑟𝑎𝑚 +++++ Singkong Halus
= 25,67%

201 𝑔𝑟𝑎𝑚 Putih


𝑥 100% Khas Halus
Sukun 848 𝑔𝑟𝑎𝑚 agak
sukun +++++
= 23,70% krem

1058 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑥100% Putih Halus
Beras 1628 𝑔𝑟𝑎𝑚 Khas beras
+++++ dan Licin
= 64,98 %
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2018)
Hajar Anggraeni Isma Rani
240210160037
Kelompok 7
Berdasarkan hasil pengamatan, setiap tepung yang dibuat memiliki
karakteristik yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Tepung pisang
menghasilkan rendemen sebesar 27,21%. Menurut penelitian Kadir (2005), tepung
pisang berbagai varietas menghasilkan rendemen berkisar antara 15,97 - 21,45%
dimana pisang tanduk menghasilkan rendemen 21,45%, pisang kepok 18,91%,
pisang emas 17,78%, dan pisang cavendish 15,97%. Tinggi rendahnya rendemen
yang dihasilkan berhubungan erat dengan berat daging buah dan kandungan
patinya. Daging buah merupakan bahan baku tepung pisang, karenanya semakin
berat daging buah maka semakin tinggi rendemen yang dihasilkan. Selain itu,
semakin tinggi kadar pati maka semakin tinggi juga rendemen yang dihasilkan
(Kadir, 2005). Warna dari tepung pisang yang dihasilkan yaitu berwarna putih agak
krem. Kandungan gula reduksi pada buah pisang berpengaruh terhadap warna
tepung yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar gula reduksinya, maka derajat putih
tepung pisang semakin berkurang karena adanya reaksi maillard selama proses
pengolahan. Camire dan Belbez (1996), mengemukakan bahwa warna coklat/gelap
pada tepung merupakan produk dari reaksi maillard yakni bereaksinya gula reduksi
dan asam amino dalam bahan pangan selama penepungan terutama selama
pengeringan dan penyaringan tepung. Aroma khas pada tepung pisang disebabkan
adanya senyawa volatil yang ada pada buah pisang itu sendiri. Senyawa volatil yang
berperan dalam memberi aroma dan rasa pada pisang yaitu isoamil asetat, amil
asetat, amil propionat, amil butirat, heksil asetat, metil asetat, pentanol, butil
alkohol, amil alkohol, dan heksil alkohol (Hulme, 1981). Tekstur dari tepung pisang
yaitu halus namun tidak sehalus tepung ubi jalar, ubi kayu, sukun, dan pati.
Kemungkinan kurang halusnya tepung pisang yang dihasilkan karena adanya
kandungan serat.
Tepung ubi jalar menghasilkan rendemen sebesar 21,10%. Menurut Koswara
(2013), rendemen tepung ubi jalar dapat mencapai 20% hingga 30% tergantung
varietasnya. Besarnya rendemen tepung yang dihasilkan dari ubi jalar segar dapat
diketahu dari kadar bahan keringnya. Semakin tinggi kadar bahan kering ubi jalar,
maka semakin tinggi pula rendemen tepung yang dihasilkan. Besarnya kadar bahan
kering tergantung pada varietas, lingkungan, dan umur tanaman (Bradbury dan
Holloway, 1988). Warna dari tepung ubi jalar yang dihasilkan yaitu berwarna
Hajar Anggraeni Isma Rani
240210160037
Kelompok 7
orange muda. Richana (2013) menyatakan bahwa pada ubi jalar terkandung β-
karoten yang tinggi, seperti pada ubi jalar putih mengandung β-karoten 260 µg/100
g, ubi jalar berwarna kuning mengandung 2.900 µg/100 g, dan ubi jalar orange
berwarna jingga mengandung 9.900 µg/100 g. Sehingga dapat diketahui warna
orange muda pada tepung ubi jalar yang dibuat disebabkan karena adanya
kandungan β-karoten. Warna tepung ubi jalar orange ini dapat berubah dari
alaminya menjadi kecoklatan akibat reaksi pencoklatan enzimatis ketika proses
pengolahannya kurang tepat, seperti ketika ubi dikupas dan dibiarkan terbuka tanpa
perendaman. Aroma dari tepung ubi jalar yaitu bearoma khas ubi jalar. Umumnya
aroma tepung ubi jalar orange memiliki aroma khas ubi jalar yang kurang disukai
karena menimbulkan bau langu. Hal ini terjadi karena degradasi β-karoten akibat
proses pengeringan yang menyebabkan reaksi isomerasi dan oksidasi (Penicaud et
al, 2011). Tekstur tepung ubi jalar yang dihasilkan yaitu halus. Tingkat kehalusan
tersebut dapat dilihat dari banyaknya rendemen tepung yang lolos ayakan.
Tepung ubi kayu pada praktikum kali ini berasal dari singkong. Rendemen
yang dihasilkan yaitu sebesar 25,67%. Menurut Direktorat Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Pertanian (2005), rata-rata rendemen tepung singkong secara
komersil yaitu sebesar 25%. Besarnya rendemen tergantung dari berat bahan yang
digunakan, semakin berat bahan yang digunakan maka rendemen yang dihasilkan
semakin tinggi. Warna dari tepung ubi kayu yang dihasilkan yaitu berwarna sangat
putih. Warna putih tersebut disebabkan ubi kayu yang digunakan yaitu singkong,
dimana dagingnya memiliki warna putih. Selain itu, perendaman dalam Natrium
metabisulfit juga mencegah pencoklatan sehingga dapat dihasilkan tepung
berwarna putih. Derajat putih pada tepung ini menentukan mutu. Semakin tinggi
derajat putih suatu jenis tepung maka semakin baik mutu tepung tersebut
(Desroiser, 1998). Aroma khas dari ubi kayu yaitu aroma khas singkong. Aroma
tersebut berupa bau langu yang timbul akibat adanya oksidasi selama proses
pengeringan. Tepung ubi kayu yang dihasilkan memiliki tekstur sangat halus.
Tekstur tersebut timbul karena pada ayakan 80 mesh banyak rendemen yang lolos
ayakan yang menandakan bahwa ukuran partikelnya sangat kecil sehingga benar-
benar halus.
Hajar Anggraeni Isma Rani
240210160037
Kelompok 7
Tepung sukun menghasilkan rendemen sebesar 23,70%. Menurut penelitian
Masita et al (2017), rendemen yang dihasilkan dari tepung sukun varietas
Toddo’pulli rata-rata sebesar 17,09%. Perbedaan rendemen yang dihasilkan dapat
dipengaruhi jenis varietas sukun yang digunakan. Tingginya rendemen yang
dihasilkan dapat dipengaruhi bobot berat buah sukun yang digunakan. Semakin
berat buah sukun yang digunakan, maka semakin tinggi rendemen yang dihasilkan.
Selain itu, kandungan air yang ada pada bahan juga berpengaruh pada rendemen
yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar air, maka rendemen yang dihasilkan juga
semakin tinggi (Masita et al, 207). Warna dari tepung sukun yang dihasilkan yaitu
berwarna putih agak krem. Warna tepung yang tidak putih sempurna diakibatkan
tepung sukun mengadung enzim polifenol. Enzim polifenol adalah enzim yang
menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan pada buah sukun (Masita et al, 2017).
Selain itu, kandungan gula yang ada pada buah sukun juga berpengaruh pada warna
tepung yang dihasilkan. Semakin tinggi gula yang terkandung maka semakin besar
kemungkinan terjadinya reaksi maillard yang menyebabkan terjadinya warna
coklat (Camire dan Belbez, 1996). Aroma tepung sukun ini memiliki aroma khas
sukun. Aroma tersebut diakibatkan tepung sukun mengandung senyawa volatil
(Masita et al, 2017). Tesktur dari tepung sukun yaitu sangat halus. Sama halnya
dengan tepung yang lain, semakin banyak partikel yang lolos ayakan menandakan
partikel tersebut sangat kecil sehingga menimbulkan tekstur halus.
Tepung beras menghasilkan rendemen yang paling besar yaitu sebesar
64,98%. Menurut penelitian Indriyani et al (2013), rendemen tepung beras merah
yaitu 63,504% - 65,470 %. Perbedaan rendemen dapat disebabkan perbedaan jenis
beras dan varietasnya. Selain itu, pada penelitian tersebut lamanya pengeringan
juga mempengaruhi rendemen tepung beras yang dihasilkan. Warna dari tepung
beras yang dihasilkan yaitu berwarna sangat putih karena beras yang digunakan
yaitu beras putih. Faktor yang mempengaruhi warna putih pada beras adalah derajat
sosoh dan kondisi penyimpanan. Semakin lama beras disosoh semakin putih
warnanya karena banyak lapisan aleuron yang hilang (Mardiah et al, 2016). Aroma
dari tepung beras yaitu beraroma khas beras. Beras sendiri memiliki komponen
aktif yang berperan dalam memberikan aroma. Sebagian besar beras aromatik
mengandung hidrokarbon aromatik dan aldehid yang paling tinggi di antara
Hajar Anggraeni Isma Rani
240210160037
Kelompok 7
senyawa volatil lainnya. Hidrokarbon aromatik ini kemungkinan adalah
kontaminan yang berasal dari udara, air, dan tanah (Liu dan Korenaga, 2001).
Diantara komponen-komponen tersebut, alkohol, aldehid, keton, sebagian diverse
functional group adalah komponen utama yang berkontribusi terhadap profil aroma
(Maga, 1984). Tekstur tepung beras yang dihasilkan yaitu halus dan licin. Tingkat
kehalusan tersebut dapat dilihat dari nilai rendemen yang tinggi. Semakin tinggi
nilai rendemen maka semakin banyak partikel tepung yang lolos ayakan dan
menunjukkan bahwa tepung tersebut benar-benar halus.
5.2 Pembuatan Pati
Pati merupakan zat tepung yang terdiri dari dua jenis polisakarida yaitu
amilosa dan amilopektin yang berwujud putih, tawar, dan tidak larut air. Pati
berbeda dengan tepung, umumnya pati diperoleh dari proses ekstraksi sehingga
lebih murni dibandingkan dengan tepung. Tahapan proses pengambilan pati yang
secara umum dilakukan meliputi pemarutan, penyaringan dengan penambahan air,
pengendapan, pengeringan, dan penggilingan (Radley, 1954). Pembuatan pati pada
praktikum kali ini pertama yaitu dilakukan pengupasan dan pemotongan. Sama
halnya dengan pembuatan tepung, pengupasan dilakukan untuk memisahkan kulit
dari bagian dagingnya dan pemotongan dilakukan untuk memperkecil ukuran dari
bahan sehingga dapat mempermudah proses pengolahan selanjutnya. Setelah
dilakukan pemotongan, bahan dicuci terlebih dahulu untuk membersihkan dari sisa-
sisa kotoran yang menempel.
Tahap selanjutnya yaitu penghancuran. Penghancuran bahan pada praktikum
kali ini digunakan blender. Tujuan dari proses penghancuran ini yaitu memecah sel
pada bahan. Pecahnya dinding sel menyebabkan granula pati bersama dengan
komponen lain akan keluar. Selain itu, penghancuran menyebabkan ukuran bahan
menjadi lebih kecil sehingga jarak perpindahan granula pati ke permukaan lebih
pendek, akibatnya granula pati yang terekstrak lebih banyak (Suharsono, 1999).
Ekstraksi pati ini dilakukan dengan perbandingan bahan dan air yaitu 1:4.
Penambahan air bertujuan untuk memudahkan penghancuran bahan.
Bahan yang telah dihancurkan kemudian disaring menggunakan saringan
kain yang kemudian dilakukan pemerasan. Pemerasan atau ekstraksi dengan
saringan kain bertujuan agar pati dapat lolos dari saringan sebagai suspensi pati juga
Hajar Anggraeni Isma Rani
240210160037
Kelompok 7
memisahkan pati dari ampasnya. Proses penyaringan ini ditambahkan air dengan
perbandingan 1:1. Penambahan air tersebut dimaksudkan untuk mengekstrak
sekaligus mempercepat aliran granula pati melalui penyaringan (Suharsono, 1999).
Penyaringan dengan air dilakukan sampai air hasil saringan jernih untuk
memisahkan butir pati dari ampas.
Suspensi pati yang telah diekstrak selanjutnya ditampung dalam toples untuk
dilakukan proses pengendapan. Tujuan dari proses pengendapan yaitu untuk
memisahkan bagian atau komponen air dengan asta (Mustafa, 2015). Proses
pengendapan suspensi pati ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan alat
sentrifugasi dan dengan cara diendapkan selama 24 jam. Pembuatan pati pada
praktikum kali ini, pengendapan dilakukan dengan cara diendapkan selama 24 jam.
Pengendapan dilakukan selama 24 jam supaya pati mengedap sempurna dan benar-
benar terpisah dari air dan sisa-sisa ampas.
Air dibagian atas endapan dipisahkan dengan endapan, air tersebut diambil
dengan wadah lain, sedangkan endapannya diambil dan dikeringkan. Sebelum
dikeringkan, endapan pati dicuci terlebih dahulu dengan menggunakan air.
Pencucian pati ini bertujuan untuk membersihkan komponen pati dari sisa-sisa
ampas yang masih melekat pada pati. Pati yang telah dicuci kemudian dikeringkan
dalam oven kabinet pada suhu 50°C selama 24 jam. Digunakan suhu 50°C karena
apabila suhu pengeringan tinggi maka kadar pati makin rendah karena suhu yang
terlalu tinggi mengakibatkan terjadinya leaching atau rusaknya molekul pati pada
saat pengeringan (Santoso et al, 1997). Tujuan dari pengeringan ini sama dengan
pembuatan tepung yaitu untuk mengurangi kandungan air pada bahan sehingga
diperoleh pati yang benar-benar kering. Jika kadar air terlalu tinggi maka akan
memudahkan tumbuhnya jamur dan menimbulkan bau yang tidak disukai (Mustafa,
2015).
Pati yang telah dikeringkan kemudian dilakukan penggilingan menggunakan
grinder. Penggilingan ini bertujuan agar diperoleh partikel pati yang benar-benar
halus. Setelah dilakukan penggilingan, pati tersebut diayak dengan menggunakan
ayakan 80 mesh. Sama halnya dengan pembuatan tepung, pengayakan ini bertujuan
untuk pemisahan ukuran-ukuran dari butiran partikel suatu bahan dari ukuran kasar
sampai ukuran yang paling halus, sehingga dapat diperoleh partikel yang benar-
Hajar Anggraeni Isma Rani
240210160037
Kelompok 7
benar halus dan ukurannya seragam (Purwantana, 2008). Selanjutnya pati yang
telah diayak disimpan pada kemasan plastik PP dan diberi silika gel. Sama halnya
dengan penyimpanan tepung, pengemasan dalam plastik PP dan ditutup rapat
bertujuan untuk mempertahankan mutu tanpa menimbulkan bau, perubahan warna,
serangan jamur, dan serangga (Ginting et al, 2011). Fungsi dari silika gel tersebut
untuk mempertahankan kadar air agar tetap stabil.
Tabel 2. Hasil Pengamatan Pati
Karakteristik Kenampakan
Sampel
Rendemen Warna Aroma Tekstur Gambar
0,008 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑥100% Putih Tidak Halus
Pisang 1674 𝑔𝑟𝑎𝑚 Kecoklatan Beraroma ++++
= 1,39%
234 𝑔𝑟𝑎𝑚
Ubi 𝑥100% Tidak Halus
Jalar 2676 𝑔𝑟𝑎𝑚 Putih
beraroma dan kesat
= 8,74%
325 𝑔𝑟𝑎𝑚
Ubi 𝑥100% Putih Tidak Halus
Kayu 2950 𝑔𝑟𝑎𝑚 +++++ beraroma dan kesat
= 11,016%
32 𝑔𝑟𝑎𝑚 Khas
𝑥 100% sukun +, Halus +
Sukun 1654 𝑔𝑟𝑎𝑚 Putih +++
Bau busuk dan kesat
= 1,935% ++
504 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑥100% Khas Halus
Beras 2750 𝑔𝑟𝑎𝑚 Putih
Beras dan Licin
= 18,33%
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2018)
Berdasarkan hasil pengamatan, pati pisang memiliki rendemen sebesar
1,39%. Menurut penelitian Musita (2009), pisang batu memiliki rendemen pati
sebesar 0,87%, pisang raja bulu memiliki rendemen pati sebesar 24,12%. Perbedaan
nilai rendemen pati dapat dipengaruhi varietas pisang yang digunakan. Selain itu,
rendemen pati yang dihasilkan dapat dipengaruhi tingkat kematangan dari pisang
yang digunakan. Semakin matang atau masak buah yang digunakan, maka kadar
pati dalam tepung pisang semakin rendah. Hal tersebut disebabkan semakin masak
buah maka semakin banyak pati yang terurai menjadi gula (Harefa dan Pato, 2017).
Warna pati yang dihasilkan yaitu putih kecoklatan. Aroma tekstur
Pati ubi jalar yang dibuat menghasilkan rendemen sebesar 8,74%.
Hajar Anggraeni Isma Rani
240210160037
Kelompok 7
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari praktikum kali ini yaitu:

6.2 Saran
Saran yang dapat diberikan pada praktikum kali ini yaitu:
Hajar Anggraeni Isma Rani
240210160037
Kelompok 7
DAFTAR PUSTAKA

Bradbury, J. H., dan Holloway, W. D. 1988. Chemistry of Tropical Root:


Significance for Nutrition An Agriculture in Pasific Asian. Canberra.
Camire, M. E., dan Belbez, E. O. 1996. Flavour Formation During Extrution
Cooking. Cereal Foods World. 41 (9):734-746
Desroiser, N. W. 1998. Teknologi Pengawetan Pangan. UI Press. Jakarta.
Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2005. Pengembangan Usaha
Pengolahan Tepung Tapioka. Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Fennema, O. R. 1996. Food Chemistry. Marcel Dekker Inc, New York
Ginting, E., Joko, S., Utomo, R. Y., dan Jusuf, M. 2011. Potensi Ubi Jalar Ungu
Sebagai Pangan Fungsional. Volume 6. Iptek Tanaman Pangan.
Harefa, W., dan Pato, U. 2017. Evaluasi Tingkat Kematangan Buah Terhadap Mutu
Tepung Pisang Kepok Yang Dihasilkan. Jom FAPERTA Vol.4 No.2.
Universitas Riau.
Hulme, A. C. 1981. The Biochemistry of Fruits and Their Product. Vol 2. Academic
Press London and New York.
Indriyani, F., Nurhidajah, dan Suyanto, A. 2013. Karakteristik Fisik, Kimia, dan
Sifat Organoleptik Tepung Beras Merah Berdasarkan Variasi Lama
Pengeringan. Jurnal Pangan dan Gizi Vol.4 No.8. Universitas
Muhammadiyah Semarang.
Jacobs, H., dan Delcour, J. A. 1998. Hidrotermal Modifications of Granular Starch
with Retention of The Granular Structure: A Review. Journal of Agriculuture.
Food Chemistry. 46(8) pp 2895-2905
Kadir, S. 2005. Karakterisasi Tepung Empat Varietas Pisang di Lembah Palu.
Junral Agrisains 6 (1):1-6. Universitas Tadulako. Palu.
Koswara, S. 2013. Teknologi Pengolahan Umbi-umbian: Ubi Jalar. UNIMED IPB.
Bogor.
Liu, X., dan Korenaga, T. 2001. Dynamics Analysis fo The Distribution of
Polycyclic Aromatic Hydrocarbons in Rice. J. Health Sci. 47(5):446-451.
Maga, J. A. 1984. Rice Product Volatiles. J. Agric. Food Chem. 32:964-970.
Mardiah, Z., Rakhmi, A. T., Indrasari, S. D., dan Kusbiantoro, B. 2016. Evaluasi
Mutu Beras untuk Menentukan Pola Preferensi Konsumen di Pulau Jawa.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Subang.
Masita, S., Wijaya, M., dan Fadilah, R. 2017. Karakteristik Sifat Fisiko-Kimia
Tepung Sukun (Artocarpus altilis) dengan Varietas Toddo’pulli. Jurnal
Pendidikan Teknologi Pertanian Vol. 3: S234-S241.
Hajar Anggraeni Isma Rani
240210160037
Kelompok 7
Muller, J., dan Heindl. 2006. Drying Of Medical Plants In R.J. Bogers, L.E. Cracer,
and D> Lange (eds), Medical and Aromatic Plant, Spinger. The Netherland.
p.237-252
Musita, N. 2009. Kajian Kandungan dan Karakteristik Pati Resisten Dari Berbagai
Varietas Pisang. Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian Vol.14 No.1.
Balai Riset dan Standarisasi Industri. Bandar Lampung.
Mustafa, A. 2015. Analisis Proses Pembuatan Pati Ubi Kayu (Tapioka) Berbasis
Neraca Massa. Jurnal Agrointek Volume 9 No.2. Politeknik Pertanian Negeri
Pangkep. Sulawesi Selatan.
Penicaud, C., Nawel, A., Claudie, D. M., Manuel, D., dan Philippe, B. 2011.
Degradation of β-karoten During Fruit And Vegetable Processing or Storage:
Reaction Mechanisms and Kinetic Aspects: A Review. Journal Fruit Vol. 66
No.6 p. 417-440.
Purwantana, B. 2008. Kajian Kinerja Mesin Ekstraksi Tipe Ulir Pada Proses
Pembuatan Pati Aren (Arenga pinnata Merr). Available at www.i-
lib.ugm.ac.id (Diakses pada tanggal 11 November 2018)
Radley, 1954
Richana (2013
Santoso et al, 1997
Suharsono, 1999
Suryanti, 2011
Syaried dan Irawati, 1988
Tjahjadi, C., dan Marta, H. 2008. Pengantar Teknologi Pangan Volume 1.
Universitas Padjadjaran. Sumedang
Wibowo, D. 2012. Uji Coba Pembuatan Cookies Dengan Tepung Kulit Telur Ayam
Sebagai Pengganti Tepung Terigu. Universitas Bina Nusantara. Jakarta.
Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia. Jakarta.
Hajar Anggraeni Isma Rani
240210160037
Kelompok 7
JAWABAN PERTANYAAN

1. Menurut saudara bagaimana karakteristik tepung dan pati yang baik?


Jawab:

2. Apa fungsi perendaman dalam Natrium metabisulfit pada pembuatan tepung?


Jawab:
Fungsi perendaman dalam Natrium metabisulfit pada pembuatan tepung yaitu
untuk mengendalikan reaksi pencoklatan baik enzimatis maupun non-
enzimatis. Hal ini dikarenakan Natrium metabisulfit akan berinteraksi dengan
gugus karbonil sehingga mengikat melanoidin yang merupakan senyawa
penyebab terjadinya pencoklatan. Selain itu, perendaman dengan larutan
garam akan mencegah pencoklatan karena Na akan berikatan dengan gugus
fenol (-OH) sehingga tidak terbentuk senyawa kuinon yang menyebabkan
pencoklatan.

3. Apa fungsi pencucian pada proses pembuatan pati?


Jawab:

Anda mungkin juga menyukai