Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sebuah permukaan tanah yang terbuka yang berdiri membentuk sudut tertentu
terhadap horisontal disebut sebuah lereng tanpa perkuatan. Lereng dapat terjadi secara
ilmiah atau buatan manusia. Jika tanah tidak horisontal, suatu komponen gravitasi akan
cenderung untuk menggerakkan tanah ke bawah. Jika kompoen gravitasi cukup besar,
kegagalan lereng akan terjadi, yakni massa tanah dapat meluncur jatuh. Gaya yang
meluncurkan mempengaruhi ketahanan dari kuat geser tanah sepanjang permukaan
keruntuhan. Insinyur teknik sipil sering diminta untuk membuat perhitungan untuk
memeriksa keamanan dari lereng alamiah, lereng galian, dan lereng timbunan.
Pemeriksaan ini termasuk menentukan kekuatan geser yang terbangun sepanjang
permukaan keruntuhan dan membedakannya dengan kekuatan geser tanah. Proses ini
disebut analisa stabilitas lereng. Permukaan keruntuhan itu biasanya adalah permukaan
kritis yang memiliki faktor keamanan minimum.
Analisa stabilitas lereng adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Evaluasi variabel-
variabel seperti stratifikasi tanah dan parameter-parameter tanahnya bisa menjadi suatu
pekerjaan yang berat. Rembesan pada lereng dan pemilihan suatu permukaan gelincir
potensial menambah kompleksitas dari pemasalahan ini. Pengertian tanah longsor
sebagai respon dari pada yang merupakan faktor utama dalam proses geomorfologi akan
terjadi di mana saja di atas permukaan bumi, terutama permukaan relief pegunungan yang
berlereng terjal, maupun permukaan lereng bawah laut. Tanah longsor didefinisikan
sebagai tanah longsor batuan atau tanah di atas lereng permukan kearah bawah lereng
bumi disebabkan oleh gravitasi/gaya berat.
Didaerah yang beriklim tropis termasuk Indonesia, air hujan yang jatuh keatas
permukaan tanah memicu gerakan material yang ada diatas permukaan lereng. Material
berupa tanah atau campuran tanah dan rombakan batuan akan bergerak kearah bawah
lereng dengan cara air meresap kedalam celah pori batuan atau tanah, sehingga
menambah beban material permukaan lereng dan menekan material tanah dan bongkah-
bongkah perombakan batuan, selanjutnya memicu lepas dan bergeraknya material
bersama-sama dengan air.

1
2

2.1 Soil Bioengineering

Penanggulangan erosi permukaan dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:
mengubah geometri lereng, mengendalikan air permukaan, membangun konstruksi ( rip
rap, retaining wall) dan cara lainnya, yang biasanya membutuhkan biaya yang cukup
mahal. Cara penanggulangan lain yang dapat dipertimbangkan adalah bioteknologi ( soil
bioengineering), yaitu teknologi yang menggunakan vegetasi untuk mencegah erosi.
Lereng tanah yang mengandung akar tanaman dapat meningkatkan kuat geser tanah,
sehingga akan lebih besar dari tegangan geser yang bekerja, dan secara otomatis akan
meningkatkan stabilitas tanahmya. Teknologi bioteknologi ( soil bioengineering) ini
mempunyai berbagai macam jenis metode pelaksanannya, ada yang mengunakan
kombinasi antara struktur dengan vegetasi, ada juga yang menggunakan kombinasi antara
vegetasi hidup dengan vegetasi mati, dan ada juga yang menggunakan vegetasi hidup
secara penuh.
Dengan meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap masalah lingkungan, serta
keterbatasan kemampuan finansial akibat krisis ekonomi yang belum berakhir, menjadikan
teknologi ini lebih dapat diterima dan sangat kompetitif serta memiliki potensi yang sangat
besar untuk diterapkan di Indonesia.

2.1.1. Pengertian Soil Bioengineering


Soil Bioengineering adalah teknologi yang menggunakan bahan dari tanaman
hidup dan bagian dari tanaman, untuk mengatasi persoalan-persoalan mengenai alam
lingkungan seperti erosi permukaan tanah dan erosi lereng sungai. Dalam sistem soil
bioengineering, tanaman berperan sebagai komponen struktural yang utama, tidak hanya
sebagai bagian dari estetika lansekap.
Hal yang perlu dilakukan sebelum pelaksanaan metode soil bioengineering adalah
pemilihan jenis tanaman dan persiapan lahan. Banyak jenis tanaman yang dapat
digunakan dalam metode soil bioengineering, namun tidak semua jenis tanaman cocok
untuk digunakan. Jenis tanaman yang cocok untuk digunakan adalah jenis tanaman yang
mempunyai karakteristik tumbuh dengan cepat dan berakar cukup dalam dan banyak.
Jenis tanaman yang dapat digunakan untuk menjaga stabilitas lereng dan erosi
permukaan meliputi rerumputan, palawija, semak-semak, dan pepohonan.
3

2.1.2 Sejarah dan Perkembangan Soil Bioengineering


Soil Bioengineering jika ditinjau kembali ke masa lalu sebenarnya sudah
diterapkan di daratan Asia dan Eropa. Seorang sejarahwan Cina pernah menuliskan
tentang penggunaan teknologi ini di daratan Cina yaitu untuk perbaikan tanggul sungai
dengan cara memasukkan batu-batu kedalam anyaman yang terbuat dari pohon tertentu
atau bambu. Sedangkan di daratan Eropa bisa dijumpai dalam bentuk dinding penahan
yang terbuat dari anyaman ranting dan cabang untuk konstruksi-konstruksi hidrolika. Pada
abad ke 16 teknologi ini mengalami perkembangan yang sangat pesat di hampir seluruh
daratan Eropa, terutama untuk proyek-proyek perbaikan tebing sungai menggunakan
metode yang masih dikenal sampai saat ini, yaitu: live stakes yang didokumentasikan oleh
Woltmann 1791.
Pada tahun 1930 soil bioengineering mengalami perkembangan yang sangat
pesat dimana keterbatasan finansial di awal perang dunia kedua memaksa beberapa
negara di Eropa Tengah terutama Jerman dan Austria untuk lebih banyak menerapkan
teknologi ini pada proyek-proyek pekerjaan publiknya. Bahkan di Jerman pernah didirikan
sebuah institut penelitian oleh Adolf Hitler untuk mengembangkan teknologi ini, yang
kemudian melahirkan beberapa pakar terkemuka antara lain Arthur Von Kruedener yang
dikukuhkan sebagai the father of soil bioengineering. Sebagai penghargaan atas karyanya
maka diterbitkan sebuah buku pertama dalam bidang ini dengan judul Ingenieurbiologi
(Engineering Biologi). Pada kurun waktu yang kurang lebih sama di Amerika Serikat
merupakan awal dari perkembangan teknologi ini. Seseorang yang telah mengembangkan
teknologi soil bioengineering dengan metoda live fascine adalah Charles Kraebel yang
bekerja pada USDA Forest Service. Kegunaan dari metode ini antara lain untuk stabilisasi
lereng pada proyek jalan raya.
Setelah perang dunia kedua usai para ahli soil bioengineering kembali
melanjutkan upaya penyempurnaan terhadap teknologi yang sudah dikembangkan
sebelumnya, untuk menyusun standarisasi teknologi dan spesifikasi konstruksi. Pada
tahun 1951 Arthur Von Kruedener mempublikasikan buku pertamanya mengenai soil
bioengineering. Sementara itu pada tahun 1980 terbit buku pertama dalam edisi bahasa
inggris oleh Hugo Schichtl dengan judul Bioengineering for Land Reclamation and
Conservation, disusul dengan buku kedua pada tahun 1997 dengan judul Ground
4

Engineering Techniques for Slope Protection yang sering digunakan sebagai buku acuan
bagi para pemerhati bidang soil bioengineering.
Saat ini sudah semakin banyak tersedia buku-buku soil bioengineering dalam
bahasa asing (inggris khususnya), demikian pula informasi penting lainnya data ditelusuri
dengan mudah di situs-situs internet. Namun sayangnya sampai saat ini sepengetahuan
penulis belum terdapat buku yang tertulis dalam bahasa Indonesia. Hal ini sebagai salah
satu penyebab terhambatnya perkembangan soil bioengineering di Indonesia. Teknologi ini
mempunyai potensi yang sangat besar untuk diterapkan di Indonesia. Dengan belum
berakhirnya krisis yang melanda Indonesia maka teknologi ini menjadi suatu ilmu yang
sangat tepat jika dibanding dengan teknologi yang lain jika dilihat dari segi finansial.
Metode soil bioengineering untuk stabilisasi lereng merupakan suatu usaha
menutupi permukaan lereng yang terbuka dengan tanaman agar dapat mengurangi
infiltrasi aliran air ke dalam tanah. Bagian akar merupakan bagian terpenting karena
berkemampuan mengikat tanah sangat berguna untuk system konstruksi penahan lereng
disamping akar dapat menyerap air dalam tanah yang dapat menurunkan tegangan air
pori. Faisal dan Normaniza (2008), menyatakan keberadaan akar pada tanah berpengaruh
terhadap meningkatnya kohesi tanah tetapi pengaruh terhadap sudut geser tanah tidak
terlalu besar. Pengaruh tersebut diimplementasikan dalam hukum Keruntuhan Mohr-
Coulomb (Wu, 1979).

Sumber. Daniele Cazzuffi & Enrico Crippa, 2005

Gambar 1.1. Kurva hipotesis dari rasio daerah berakar (RAR) dengan kedalaman (z)
5

τ = (c + cR) + (σ – u) tan ϕ (1.1)


CR = 1.2 TR RAR (1.2)
Keterangan:
CR = konstribusi akar terhadap kohesi tanah
TR = kuat tarik akar

Untuk rasio daerah akar (RAR) digunakan persamaan linear ditunjukkan pada
Gambar 1.1 dengan distribusi rasio daerah akar (RAR) = (1/400) * (2-z).

2.2 Tanaman Bambu dan Karakteristiknya

Bambu adalah tanaman jenis rumput-rumputan dengan rongga dan ruas di


batangnya. Bambu memiliki banyak tipe. Nama lain dari bambu adalah buluh, aur, dan eru.
Bambu adalah tanaman dengan laju pertumbuhan tertinggi di dunia, dilaporkan dapat
tumbuh 100 cm (39 in) dalam 24 jam. Namun laju pertumbuhan ini amat ditentukan dari
kondisi tanah lokal, iklim, dan jenis spesies. Laju pertumbuhan yang paling umum adalah
sekitar 3–10 cm (1,2–3,9 in) per hari. Bambu pernah tumbuh secara besar-besaran
pada periode Cretaceous, di wilayah yang kini disebut dengan Asia. Beberapa dari spesies
bambu terbesar dapat tumbuh hingga melebihi 30 m (98 ft) tingginya, dan bisa mencapai
diameter batang 15–20 cm (5,9–7,9 in). Namun spesies tertentu hanya bisa tumbuh
hingga ketinggian beberapa inci saja.

2.2.1. Karakteristik Bambu


Bambu termasuk dalam keluarga rumput-rumputan, yang dapat menjadi
penjelasan mengapa bambu memiliki laju pertumbuhan yang tinggi. Hal ini berarti bahwa
ketika bambu dipanen, bambu akan tumbuh kembali dengan cepat tanpa mengganggu
ekosistem. Tidak seperti pohon, batang bambu muncul dari permukaan dengan diameter
penuh dan tumbuh hingga mencapai tinggi maksimum dalam satu musim tumbuh (sekitar
3 sampai 4 bulan). Selama beberapa bulan tersebut, setiap tunas yang muncul akan
tumbuh vertikal tanpa menumbuhkan cabang hingga usia kematangan dicapai. Lalu,
cabang tumbuh dari node dan daun muncul. Pada tahun berikutnya, dinding batang yang
mengandung pulp akan mengeras. Pada tahun ketiga, batang semakin mengeras. Hingga
tahun ke lima, jamur dapat tumbuh di bagian luar batang dan menembus hingga ke dalam
6

dan membusukkan batang. Hingga tahun ke delapan (tergantung pada spesies),


pertumbuhan jamur akan menyebabkan batang bambu membusuk dan runtuh. Hal ini
menunjukkan bahwa bambu paling tepat dipanen ketika berusia antara tiga hingga tujuh
tahun. Bambu tidak akan bertambah tinggi atau membesar batangnya setelah tahun
pertama, dan bambu yang telah runtuh atau dipanen tidak akan digantikan oleh tunas
bambu baru di tempat ia pernah tumbuh.
Banyak spesies bambu tropis akan mati pada temperatur mendekati titik beku,
sementara beberapa bambu di iklim sedang mampu bertahan hingga temperatur −29 °C
(−20 °F). Beberapa bambu yang tahan dingin tersebut mampu bertahan hingga zona 5-6
dalam kategori USDA Plant Hardiness Zones, meski pada akhirnya mereka akan
meruntuhkan daun-daunnya dan menghentikan pertumbuhan, namun rizomanya akan
selamat dan menumbuhkan tunas bambu baru di musim semi berikutnya.

2.2.2 Akar
Peranan akar pohon sebagai pengcekeraman tanah dapat memberikan kestabilan
tanah, tetapi sangat bergantung pada faktor seperti sistem morfologi, penguatan, distribusi
akar, dan interaksi antara akar-tanah seperti yang dikemukakan oleh Reubens, et al,
(2007). Kekuatan tanah oleh akar terjadi dekat dengan batang pohon biasanya
diasumsikan berjarak 1 meter seperti yang dikemukakan oleh Danjon, et. al, (2008). Selain
itu, peranan ukuran diameter akar juga penting dan mempengaruhi mekanika pada
stabilitas lereng. De Baets, et al, (2008) menyatakan bahawa diameter akar lebih kecil
dengan penyebaran banyak menghasilkan kekuatan tegangan yang lebih tinggi. Untuk
tanah yang diperkuat oleh akar pohon adalah berkaitan dengan perlawanan geser antara
interaksi akartanah, dimana kegagalan terjadi oleh tarikan keluar akar (Wu, 2012).
Menurut Sotir (1984), posisi penetrasi akar di bagi menjadi 4 (empat) bagian
sebagai berikut:
1. Tipe A, akar vegetasi hanya mencapai lapisan top soil tanah, sehingga dapat
untuk menanggulangi erosi permukaan
2. Tipe B, akar vegetasi sudah mencapai tanah asli sehingga penjangkaran akar
cukup kuat untuk mencegah erosi permukaan dan longsor dangkal.
7

3. Tipe C, akar vegetasi menembus dua lapisan tanah, sehingga efek pengangkuran
akar lebih effektif.
4. Tipe D, hampir mirip dengan tipe A tapi beda ketebalan dari top soilnya. Top soil
pada Tipe D lebih tebal dari pada tipe A.

Tipe-tipe tersebut sangat bergantung dari jenis tanaman, jenis akar, jenis lapis-
lapisan tanah. Untuk lebih jelasnya lihat pada Gambar 2.2 berikut ini.

Sumber. (Sotir et al, 1984)


Gambar 2.2. Penetrasi akar pada lapisan tanah

Penguatan akar, menurut Van Beek, et al, (2005), merupakan perpanjangan akar
di slip surface yang berpotensi menghasilkan kuat geser dengan memindahkan kekuatan
tarik ke tanah oleh kelekatan dan geseran antara akar dan tanah. Untuk meningkatkan
stabilitas lereng, panjang akar mesti mencukupi supaya akar-tanah dapat berinteraksi dan
mengcengkeram tanah. Cara akar berinteraksi dengan tanah cukup rumit, tetapi untuk
kekuatan di lapangan dapat diukur dengan pengujian tarikan cabut keluar akar
(Greenwood, et al, 2004).
Penguatan akar merupakan fungsi dari kekuatan yang menyebar dalam tanah
yang berinteraksi. Pengaruh mekanika terhadap kekuatan merupakan fungsi dari sifat akar
seperti; kepadatan, panjang, diameter, kekasaran, kekokohan, dan orientasi ke arah
tegangan utama. Pengaruh kepadatan akar dapat meningkat dengan signifikan terhadap
kekuatan geser tanah. Kekuatan geser maksimum tanah bertambah secara linear dengan
peningkatan akar pohon Mutohar (2010).
8

2.3 Stabilitas Lereng


2 Pada permukaan tanah yang miring, komponen gravitasi
cenderung
3 untuk menggerakkan tanah ke bawah. Jika komponen gravitasi
sedemikian
4 besar sehingga perlawanan geseran yang dapat dikerahkan oleh
tanah pada
5 bidang longsornya terlampaui, maka akan terjadi kelongsoran
lereng.
6 Analisis stabilitas pada permukaan tanah yang miring ini, disebut
analisis
7 stabilits lereng. Analisis stabilitas lereng mempunyai banyak
faktor yang
8 mempengaruhi hasil hitungan, banyaknya faktor tersebut yang
membuat
9 perhitungan tidak mudah. Faktor-faktor tersebut misalnya,
kondisi tanah
10 berlapis-lapis, kuat geser tanah yang anisotropis, aliran
rembesan air dalam
11 tanah dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai