Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pancasila selain sebagai dasar negara, juga merupakan falsafah hidup Bangsa Indonesia
yang mengandung nilai-nilai dasar yang dijunjung tinggi oleh bangsaIndonesia, bahkan oleh
bangsa-bangsa yang beradab. Pancasila juga sebagai sistematika, yang dalam kehidupan
berbangsa mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja,
kemandirian, sikap toleransi, rasa malu,tanggung jawab, menjaga kehormatan, serta martabat
diri sebagai warga bangsa sesuai dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam pancasila.
yang kita gunakan sebagai pedoman dan acuan dalam menjalankan aktivitas dalam segala
bidang.kadang nilai-nilai luhur yang ada dalam pancasila yang merupakan penjelmaan dari
seluruh bangsa Indonesia tidak dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari,tetapi diabaikan
sehingga akibat dari itu nilai-nilai luhur tersebut dengan sendirinya akan hilang. menyadari
bahwa untuk kelestarian nilai-nilai pancasila itu perlu diusahakan secara nyata dan terus
menerus penghayatan dan pengamalan nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya, oleh
sebab itu setiap warga Negara Indonesia, penyelenggara Negara, serta lembaga kenegaraan,
dan lembaga kemasayarakatan baik dipusat maupun didaerah harus sama-sama mengamalkan
nilai-nilai Pancasila demi kelestariannya.oleh karena itu, sebagai upaya nyata demi kelestarian
nilai-nilai luhur pancasila,perlu ditanamkan atau perlu ada pemahaman kepada generasi
penerus bangsa,salah satunya lewat pendidikan pancasila.

1.2 Rumusan Masalah

Masalah yang nantinya akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1) Konsep dari Pancasila sebagai filsafat


2) Landasan filsafat Pancasila
3) Sumber historis, sosiologis, dan politis mengenai Pancasila
4) Dinamika dan tantangan Pancasila sebagai sistem filsafat
5) Esensi/hakikat Pancasila sebagai sistem filsafat
6) Urgensi Pancasila sebagai sistem filsafat

1
1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan paper ini yaitu :

1) Untuk mengetahui konsep dari Pancasila sebagai filsafat


2) Untuk mengetahui landasan filsafat Pancasila
3) Untuk mengetahui sumber historis, sosiologis, dan politis mengenai Pancasila
4) Untuk mengetahui dinamika dan tantangan Pancasila sebagai sistem filsafat
5) Untuk mengetahui esensi/hakikat Pancasila sebagai sistem filsafat
6) Untuk mengetahui urgensi Pancasila sebagai sistem filsafat

1.4 Metode Penulisan

Dalam memperoleh data atau informasi penyusunan paper ini, penulis menggunakan
metode studi kepustakaan yakni dilakukan dengan mengambil referensi dari buku-buku
dan internet yang relevan dengan topik penulisan paper ini sebagai dasar untuk mengetahui
dan memperkuat teori yang digunakan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.1 Konsep dari Pancasila Sebagai Filsafat

Pengertian
Secara etimologi kata falsafah/filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu: philosophia,
philo/philos/philein yang artinya cinta /pencinta/mencintai dan Sophia, yang berarti
kebijakan/ wisdom /kearifan/ hikamah / hakikat kebenaran. Jadi filsafat artinya cinta akan
kebijaksanaan atau hakikat kebenaran. Beberapa istilah filsafat dalam berbagai bahasa,
misalnya “falsafah” dalam bahasa arab, “philosophie” bahasa belanda, “philosophy” dalam
bahasa inggris dan masih banyak lagi istilah dalam bahasa lain, yang pada hakekatnya semua
istilah itu mempunyai arti yang sama.
Adapun pengertian filsafat berdasarkan watak dan fungsinya adalah sebagai berikut :
1. Arti secara informal : filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap
kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis.
2. Arti secara formal : filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap
kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi.
3. Arti secara spekulatif : filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran
keseluruhan. Artinya filsafat berusaha untuk mengombinasikan hasil bermacam- macam sains
dan pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam.
4. Arti secara logosentris : filsafat adalah analisis logis dari bahasa serta penjelasan
tentang arti kata dan konsep.
5. Arti secara aktual : filsafat adalah sekumpulan problema yang langsung mendapat
perhatian dari manusia dan yang dicarika jawabannya oleh ahli- ahli filsafat.

Dengan dikatakannya pancasila sebagai sitem filsafat maka ada pula alasan- alasan mengapa
pancasila dapat dikatakan demikian. Adapun alasan- alasan tersebut antara lain :
1. Pada saat sidang BPUPKI yang dilaksanakan pada tanggal1 Juni 1945, Soekarno memberi
judul pidatonya dengan nama Philosofische Grondslag daripada Indonesia Merdeka. Adapun
pidatonya yang disampaikan pada saat itu adalah sebagai berikut:

3
“ Paduka Tuan Ketua yang mulia, saya mengerti apa yang Ketua kehendaki! Paduka
Tuan Ketua minta dasar, minta Philosofische Grondslag, atau jika kita boleh memakai
perkataan yang muluk-muluk, Paduka Tuan Ketua yang mulia minta suatu Weltanschauung,
di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu”. (Soekarno, 1985: 7).”

Jadi pada intinya Pancasila dikatakan sebagai dasar filsafat negara (Philosophische Grondslag)
karena nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam sila-sila Pancasila mendasari seluruh
peraturan hukum yang berlaku di Indonesia. Artinya, nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan harus mendasari seluruh peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

2. Karena Pancasila sebagai Weltanschauung, yang berarti nilai-nilai Pancasila itu merupakan
sesuatu yang telah ada dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia, yang kemudian
disepakati sebagai dasar filsafat negara (Philosophische Grondslag)

2.1.2 Landasan Filsafat Pancasila


Membahas Pancasila sebagai filsafat berarti mengungkapkan konsep-konsep kebenaran
Pancasila yang bukan saja ditujukan pada bangsa Indonesia, melainkan juga bagi manusia pada
umumnya. Wawasan filsafat meliputi bidang atau aspek penyelidikan yang dibagi menjadi 3
yakni :

1. Landasan Ontologis Pancasila.


Ontologi, menurut Aristoteles adalah ilmu yang meyelidiki hakikat sesuatu atau
tentang ada, keberadaan atau eksistensi dan disamakan artinya dengan metafisika.
Bidang ontologi menyelidiki tentang makna yang ada (eksistensi dan keberadaan)
manusia, benda, alam semesta (kosmologi), metafisika. Secara ontologis,
penyelidikan Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui
hakikat dasar dari sila-sila Pancasila. Pancasila yang terdiri atas lima sila, setiap sila
bukanlah merupakan asas yang berdiri sendiri-sendiri, malainkan memiliki satu
kesatuan dasar ontologism. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah
manusia, yang memiliki hakikat mutlak yaitu monopluralis, atau monodualis, karena
itu juga disebut sebagai dasar antropologis. Subyek pendukung pokok dari sila-sila
Pancasila adalah manusia.
Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa yang Berketuhan Yang Maha Esa, yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan yang

4
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta yang
berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah manusia.
Sedangkan manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis
memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa,
jasmani dan rohani. Sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan
makhluk sosial serta sebagai makhluk pribadi dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Maka secara hirarkis sila pertama mendasari dan menjiwai sila-sila Pancasila lainnya.
Hubungan kesesuaian antara negara dan landasan sila-sila Pancasila adalah berupa
hubungan sebab-akibat: Negara sebagai pendukung hubungan, sedangkan Tuhan,
manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal hubungan. Landasan sila-sila
Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat dan adil adalah sebagai sebab, dan
negara adalah sebagai akibat.

2. Landasan Epistemologis Pancasila


Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, syarat, susunan, metode, dan
validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi meneliti sumber pengetahuan, proses dan syarat
terjadinya pengetahuan, batas dan validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi adalah ilmu
tentang ilmu atau teori terjadinya ilmu atau science of science. Menurut Titus terdapat tiga
persoalan yang mendasar dalam epistemologi, yaitu:
a. Tentang sumber pengetahuan manusia;
b. Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia;
c. Tentang watak pengetahuan manusia.
Secara epistemologis kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk
mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan.
Pancasila sebagai sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan sistem pengetahuan. Ini
berarti Pancasila telah menjadi suatu belief system, sistem cita-cita, menjadi suatu ideologi.
Oleh karena itu Pancasila harus memiliki unsur rasionalitas terutama dalam kedudukannya
sebagai sistem pengetahuan.
Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar
ontologisnya. Maka, dasar epistemologis Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep
dasarnya tentang hakikat manusia. Sebagai suatu paham epistemologi, maka Pancasila
mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai
karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius

5
dalamupaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup
manusia.

3.LandasanAksiologisPancasila
Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, yaitu
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan.
Aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila.
Istilah aksiologi berasal dari kata Yunani axios yang artinya nilai, manfaat, dan logos yang
artinya pikiran, ilmu atau teori. Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan,
disukai atau yang baik. Bidang yang diselidiki adalah hakikat nilai, kriteria nilai, dan
kedudukan metafisika suatu nilai.

2.1.3 Sumber Historis, Sosiologis, dan Politis Mengenai Pancasila

1. Sumber Historis Pancasila sebagai Sistem Filsafat


Pembahasan sila-sila Pancasila sebagai sistem filsafat dapat ditelusuri dalam sejarah
masyarakat Indonesia sebagai berikut. (Lihat Negara Paripurna, Yudi Latif).

a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa


Sejak zaman purbakala hingga pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, masyarakat
Nusantara telah melewati ribuan tahun pengaruh agama-agama lokal, yaitu sekitar 14 abad
pengaruh Hindu dan Buddha, 7 abad pengaruh Islam, dan 4 abad pengaruh Kristen. Pada
semua sistem religi-politik tradisional di muka bumi, termasuk di Indonesia, agama
memiliki peranan sentral dalam pendefinisian institusi-institusi social.

b. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab


Nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat Indonesia dilahirkan dari perpaduan pengalaman
bangsa Indonesia dalam menyejarah. Bangsa Indonesia sejak dahulu dikenal sebagai bangsa
maritim telah menjelajah keberbagai penjuru Nusantara, bahkan dunia. Hasil pengembaraan
itu membentuk karakter bangsa Indonesia yang kemudian oleh Soekarno disebut dengan
istilah Internasionalisme atau Perikemanusiaan. Berdasarkan rekam jejak perjalanan bangsa
Indonesia, tampak jelas bahwa sila kemanusiaan yang adil dan beradab memiliki akar yang
kuat dalam historisitas kebangsaan Indonesia.

c. Sila Persatuan Indonesia.


Kebangsaan Indonesia merefleksikan suatu kesatuan dalam keragaman serta kebaruan dan
kesilaman. Indonesia adalah sebuah bangsa besar yang mewadahi warisan peradaban
Nusantara dan kerajaan-kerajaan bahari terbesar di muka bumi. Jika di tanah dan air yang
kurang lebih sama, nenek moyang bangsa Indonesia pernah menorehkan tinta keemasannya,
maka tidak ada alasan bagi manusia baru Indonesia untuk tidak dapat mengukir
kegemilangan.

6
d. Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat memang
merupakan fenomena baru di Indonesia, yang muncul sebagai ikutan formasi negara
republik Indonesia merdeka. Sejarah menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan pra-Indonesia
adalah demokrasi dalam taraf tertentu telah berkembang dalam budaya Nusantara, dan
dipraktikkan setidaknya dalam unit politik kecil.

e. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Masyarakat adil dan makmur adalah impian kebahagian yang telah berkobar ratusan tahun
lamanya dalam dada keyakinan bangsa Indonesia. Impian kebahagian itu terpahat dalam
ungkapan “Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja”. Sejarah mencatat bahwa
bangsa Indonesia dahulunya adalah bangsa yang hidup dalam keadilan dan kemakmuran,
keadaan ini kemudian dirampas oleh kolonialisme.

2. Sumber Sosiologis Pancasila sebagai Sistem Filsafat


Sumber sosiologis Pancasila sebagai sistem filsafat dapat diklasifikasikan ke dalam 2
kelompok. Kelompok pertama, masyarakat awam yang memahami Pancasila sebagai sistem
filsafat yang sudah dikenal masyarakat Indonesia dalam bentuk pandangan hidup, Way of
life yang terdapat dalam agama, adat istiadat, dan budaya berbagai suku bangsa di Indonesia.
Kelompok kedua, masyarakat ilmiah-akademis yang memahami Pancasila sebagai sistem
filsafat dengan teori-teori yang bersifat akademis.
Kelompok pertama memahami sumber sosiologis Pancasila sebagai sistem filsafat dalam
pandangan hidup atau kearifan lokal yang memperlihatkan unsur-unsur filosofis Pancasila
itu masih berbentuk pedoman hidup yang bersifat praktis dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam konteks agama, masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang religius
karena perkembangan kepercayaan yang ada di masyarakat sejak animisme, dinamisme,
politeistis, hingga monoteis.
Kesatuan dan hubungan sila-sila Pancasila yang hierarkis piramidal digambarkan
Notonagoro (1980: 110) dengan bentuk piramida yang bertingkat lima, sila Ketuhanan Yang
Maha Esa berada di puncak piramida dan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
sebagai alas piramida. Rumusan hierarkis piramidal itu dapat digambar sebagai berikut:
a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai dan meliputi sila Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia.
b. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dijiwai dan diliputi oleh sila Ketuhanan
Yang Maha Esa, menjiwai dan meliputi sila Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
c. Sila Persatuan Indonesia dijiwai dan diliputi oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menjiwai dan meliputi sila Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

7
d. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan dijiwai dan diliputi oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, menjiwai dan meliputi, dan
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
e. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dijiwai dan diliputi oleh sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia,
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan.

3. Sumber politis sebagai sistem filsafat


Sumber politis Pancasila sebagai sistem filsafat dapat diklasifikasikan ke dalam dua
kelompok.
- Kelompok pertama, meliputi wacana politis tentang Pancasila sebagai sistem
filsafat pada sidang BPUPKI, sidang PPKI, dan kuliah umum Soekarno antara
tahun 1958 dan 1959, tentang pembahasan sila-sila Pancasila secara filosofis.
- Kelompok kedua, mencakup berbagai argumen politis tentang Pancasila sebagai
sistem filsafat yang disuarakan kembali di era reformasi dalam pidato politik
Habibie 1 Juni 2011.
Wacana politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat mengemuka ketika
Soekarno melontarkan konsep Philosofische Grondslag, dasar filsafat negara.
Artinya, kedudukan Pancasila diletakkan sebagai dasar kerohanian bagi
penyelenggaran kehidupan bernegara di Indonesia. Soekarno dalam kuliah umum di
Istana Negara pada 22 Mei 1958 menegaskan tentang kedudukan Pancasila sebagai
Weltanschauung dapat mempersatukan bangsa Indonesia dan menyelamatkan
negara Indonesia dari disintegrasi bangsa (Soekarno, 2001: 65). Pada kuliah umum
di Istana Negara pada 26 Juni 1958, Soekarno membahas sila-sila Pancasila sebagai
berikut. Sila I, pada garis besarnya manusia Indonesia itu percaya kepada Tuhan,
sebagaimana yang dikenal oleh penganut agama masing-masing.
- Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan konsep yang dapat diterima semua
golongan agama di Indonesia sehingga apabila elemen Ketuhanan ini dibuang,
berarti telah membuang sesuatu yang mempersatukan batin segenap rakyat
sebagai bangsa Indonesia.
Selanjutnya, Soekarno menjelaskan tentang Sila II yang merupakan upaya untuk
mencegah timbulnya semangat nasionalisme yang berlebihan sehingga terjebak
ke dalam chauvinisme atau rasialisme. Soekarno menegaskan bahwa
nasionalisme ala Hitler merupakan nasionalisme yang tidak berperikemanusiaan
karena didasarkan pada sikap chauvinistis (Soekarno, 2001: 142).
Soekarno memberikan kuliah umum tentang Sila III pada Juli 1958 di Istana Negara.
Soekarno bertitik tolak dari berbagai pengertian tentang bangsa yang diambilnya dari
berbagai pemikiran, seperti teori Ernest Renan yang mengatakan bahwa bangsa itu
sekumpulan manusia yang mempunyai keinginan bersatu hidup bersama (Le desire
d’etre ensemble).
Sila IV, Soekarno memberikan kuliah umum tentang sila kerakyatan pada 3
September 1958 di Istana Negara. Soekarno mengatakan bahwa demokrasi yang
harus dijalankan adalah demokrasi Indonesia, yang membawa keperibadian

8
Indonesia sendiri. Demokrasi yang dimaksud bukanlah sekadar alat teknis,
melainkan suatu alam jiwa pemikiran dan perasaan bangsa Indonesia.
Dalam kuliah umum seminar Pancasila di Yogyakarta 21 Februari 1959, Soekarno
menguraikan tetang arti sila V sebagai berikut: Keadilan sosial bagi bangsa
Indonesia merupakan suatu keharusan karena hal itu merupakan amanat dari para
leluhur bangsa Indonesia yang menderita pada masa penjajahan, dan para pejuang
yang telah gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Sumber politis Pancasila sebagai sistem filsafat berlaku juga atas
kesepakatan penggunaan simbol dalam kehidupan bernegara. Garuda Pancasila
merupakan salah satu simbol dalam kehidupan bernegara. Dalam pasal 35 Undang-
Undang Dasar 1945 berbunyi sebagai berikut. ”Bendera Negara Indonesia ialah sang
merah putih”. Pasal 36, ”Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”. Pasal 36A,
”Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika”.
Pasal 36B, ”Lagu kebangsaan Indonesia ialah Indonesia Raya”. Bendera merah
putih, Bahasa Indonesia, Garuda Pancasila, dan lagu Indonesia Raya, semuanya
merupakan simbol dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

2.1.4 Dinamika dan Tantangan Pancasila Sebagai Sistem Filsafat

1. Dinamika Pancasila sebagai Sistem Filsafat


Pancasila sebagai sistem filsafat mengalami dinamika sebagai berikut. Pada era
pemerintahan Soekarno, Pancasila sebagai sistem filsafat dikenal dengan istilah
“Philosofische Grondslag”. Gagasan tersebut merupakan perenungan filosofis Soekarno
atas rencananya berdirinya negara Indonesia merdeka. Ide tersebut dimaksudkan sebagai
dasar kerohanian bagi penyelenggaraan kehidupan bernegara. Ide tersebut ternyata
mendapat sambutan yang positif dari berbagai kalangan, terutama dalam sidang BPUPKI
pertama, persisnya pada 1 Juni 1945. Namun, ide tentang Philosofische Grondslag belum
diuraikan secara rinci, lebih merupakan adagium politik untuk menarik perhatian anggota
sidang, dan bersifat teoritis. Pada masa itu, Soekarno lebih menekankan bahwa Pancasila
merupakan filsafat asli Indonesia yang diangkat dari akulturasi budaya bangsa Indonesia.
Pada era Soeharto, kedudukan Pancasila sebagai sistem filsafat berkembang ke arah yang
lebih praktis (dalam hal ini istilah yang lebih tepat adalah weltanschauung). Artinya, filsafat
Pancasila tidak hanya bertujuan mencari kebenaran dan kebijaksanaan, tetapi juga
digunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari. Atas dasar inilah, Soeharto mengembangkan
sistem filsafat Pancasila menjadi penataran P-4.
Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem filsafat kurang terdengar resonansinya. Namun,
Pancasila sebagai sistem filsafat bergema dalam wacana akademik, termasuk kritik dan
renungan yang dilontarkan oleh Habibie dalam pidato 1 Juni 2011.

2. Tantangan Pancasila sebagai Sistem Filsafat


Beberapa bentuk tantangan terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat muncul dalam bentuk-
bentuk sebagai berikut:

kapitalisme, yaitu aliran yang meyakini bahwa kebebasan individual pemilik modal untuk
9
mengembangkan usahanya dalam rangka meraih keuntungan sebesar-besarnya merupakan
upaya untuk menyejahterakan masyarakat. Salah satu bentuk tantangan kapitalisme
terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat ialah meletakkan kebebasan individual secara
berlebihan sehingga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti monopoli, gaya
hidup konsumerisme, dan lain-lain.

komunisme adalah sebuah paham yang muncul sebagai reaksi atas perkembangan
kapitalisme sebagai produk masyarakat liberal. Komunisme merupakan aliran yang
meyakini bahwa kepemilikan modal dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat secara
merata. Salah satu bentuk tantangan komunisme terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat
ialah dominasi negara yang berlebihan sehingga dapat menghilangkan peran rakyat dalam
kehidupan bernegara.

2.1.5 Esensi/Hakikat Pancasila Sebagai Sistem Filsafat

Hakikat (esensi) Pancasila sebagai sistem filsafat terletak pada hal-hal sebagai berikut:

1) Hakikat sila ketuhanan terletak pada keyakinan bangsa Indonesia bahwa Tuhan sebagai
prinsip utama dalam kehidupan semua makhluk. Artinya, setiap makhluk hidup,
termasuk warga negara harus memiliki kesadaran yang otonom (kebebasan,
kemandirian) di satu pihak, dan berkesadaran sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
yang akan dimintai pertanggungjawaban atas semua tindakan yang dilakukan. Artinya,
kebebasan selalu dihadapkan pada tanggung jawab, dan tanggung jawab tertinggi
adalah kepada Sang Pencipta.
2) Hakikat sila kemanusiaan adalah manusia monopluralis, yang terdiri atas 3 monodualis,
yaitu susunan kodrat (jiwa, raga), sifat kodrat (makhluk individu, sosial), kedudukan
kodrat (makhluk pribadi yang otonom dan makhluk Tuhan) (Notonagoro).
3) Hakikat sila persatuan terkait dengan semangat kebangsaan. Rasa kebangsaan terwujud
dalam bentuk cinta tanah air, yang dibedakan ke dalam 3 jenis, yaitu tanah air real,
tanah air formal, dan tanah air mental. Tanah air real adalah bumi tempat orang
dilahirkan dan dibesarkan, bersuka, dan berduka, yang dialami secara fisik sehari-hari.
Tanah air formal adalah negara bangsa yang berundang-undang dasar, yang Anda,
manusia Indonesia, menjadi salah seorang warganya, yang membuat undang-undang,
menggariskan hukum dan peraturan, menata, mengatur dan memberikan hak serta
kewajiban, mengesahkan atau membatalkan, memberikan perlindungan, dan
menghukum, memberikan paspor atau surat pengenal lainnya. Tanah air mental bukan
bersifat territorial karena tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, melainkan imajinasi yang

10
dibentuk dan dibina oleh ideologi atau seperangkat gagasan vital (Daoed Joesoef, 1987:
18-20)
4) Hakikat sila kerakyatan terletak pada prinsip musyawarah. Artinya, keputusan yang
diambil lebih didasarkan atas semangat musyawarah untuk mufakat, bukan
membenarkan begitu saja pendapat mayoritas tanpa peduli pendapat minoritas.
5) Hakikat sila keadilan terwujud dalam tiga aspek, yaitu keadilan distributif, legal, dan
komutatif. Keadilan distributif adalah keadilan bersifat membagi dari negara kepada
warga negara. Keadilan legal adalah kewajiban warga negara terhadap negara atau
dinamakan keadilan bertaat. Keadilan komutatif adalah keadilan antara sesama warga
negara (Notonagoro dalam Kaelan, 2013: 402).

2.1.6 Urgensi Pancasila Sebagai Sistem Filsafat

Hal-hal penting yang sangat urgen bagi pengembangan Pancasila sebagai sistem filsafat
meliputi hal-hal sebagai berikut :

1) Pancasila sebagai sistem filsafat dapat memulihkan harga diri bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang merdeka dalam politik, yuridis, dan juga merdeka dalam mengemukakan
ide-ide pemikirannya untuk kemajuan bangsa, baik secara materiil maupun spiritual.
2) Pancasila sebagai sistem filsafat membangun alam pemikiran yang berakar dari nilai-
nilai budaya bangsa Indonesia sendiri sehingga mampu dalam menghadapi berbagai
ideologi dunia.
3) Pancasila sebagai sistem filsafat dapat menjadi dasar pijakan untuk menghadapi
tantangan globalisasi yang dapat melunturkan semangat kebangsaan dan melemahkan
sendi-sendi perekonomian yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat banyak.
4) Pancasila sebagai sistem filsafat dapat menjadi way of life sekaligus way of thinking
bangsa Indonesia untuk menjaga keseimbangan dan konsistensi antara tindakan dan
pemikiran. Bahaya yang ditimbulkan kehidupan modern dewasa ini adalah
ketidakseimbangan antara cara bertindak dan cara berpikir sehingga menimbulkan
kerusakan lingkungan dan mental dari suatu bangsa.

11
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Setelah membaca seluruh isi daripada makalah ini, maka kami mengambil beberapa
kesimpulan dari atas adalah filsafat merupakan ilmu yang paling umum yang mengandung
usaha mencari kebijaksanaan dan cinta akan kebijakan. Pancasila dapat digolongkan sebagai
filsafat dalam arti produk, filsafat sebagai pandangan hidup, dan filsafat dalam arti praktis.Hal
itu berarti pancasila mempunyai fungsi dan peranan sebagai pedoman dan pegangan dalam
sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi bangsa Indonesia dimanapun mereka
berada.

12
Daftar Pustaka

http://www.artikelsiana.com/2015/09/pancasila-sebagai-sistem-filsafat-pancasila.html
(diakses pada 19 Oktober 2017)
https://guruppkn.com/pancasila-sebagai-filsafat
(diakses pada 19 Oktober 2017)
https://wikipedia.com/pancasila-sebagai-sistem-filsafat
(diakses pada 19 Oktober 2017)

13

Anda mungkin juga menyukai