Kondisi Dosis
Gangguan persendian Dosis awal 2,4 - 3,6 g/hari, selanjutnya 3,6 - 5,4 g/hari
Indikasi Aspirin
Aspirin termasuk dalam golongan anti-inflamasi non-steroid yang memiliki fungsi penurun
panas, anti-nyeri, dan anti-radang. Komponen yang terdapat dalam aspirin adalah
asam salisilat yang pada awalnya hanya dipakai sebagai obat luar.
Obat ini diindikasikan untuk mengurangi nyeri kepala, nyeri gigi, migraine, nyeri menelan,
dan dismenorrhea (nyeri berlebihan saat menstruasi). Selain itu, aspirin juga dapat digunakan
untuk mengurangi gejala pada influenza, demam, nyeri reumatik, dan nyeri – nyeri otot.
Fungsi lain yang kerap kali berguna adalah efek anti-trombotik (menghambat aktivasi
trombosit) yang merupakan efek yang sangat berguna sebagai pencegah serangan berulang
pada pasien dengan nyeri dada akibat sumbatan pada arteri koroner jantung, dan juga pada
pasien yang sedang mengalami kejadian nyeri dada akibat sumbatan pada arteri koroner
jantung.
Kontraindikasi Aspirin
Selain itu, penggunaan obat ini juga perlu mendapatkan perhatian khusus pada pasien dengan
asma di mana dapat memicu serangan pada pasien dengan hipersensitivitas, polip nasal,
penyakit saluran napas kronik, anemia, gagal jantung, dehidrasi, defisiensi enzim glukosa-6-
fosfat dehidrogenase, gout (asam urat tinggi), pasien dengan gejala perdarahan tertentu,
pasien dengan reaksi kulit yang berlebihan.
Efek samping yang umum terjadi adalah meningkatnya kemungkinan terjadinya perdarahan
spontan dan rasa tidak enak pada lambung. Efek samping lain yang mungkin terjadi seperti
sesak napas, serangan asma, perdarahan menstruasi yang lebih banyak, perdarahan saluran
cerna, mual, muntah, ulkus peptik, gangguan fungsi hati, biduran, sindrom Steven-Johnsons,
gangguan fungsi ginjal dan keracunan salisilat.
Interaksi Obat-obat
Aspirin berpotensi menimbulkan interaksi antar obat jika dikonsumsi bersamaan dengan
beberapa jenis obat tertentu. Interaksi antar obat itu bisa menyebabkan perubahan efek pada
aspirin, bahkan meningkatkan risiko timbulnya efek samping dari penggunaan aspirin. Oleh
karena itu, interaksi antar obat harus diperhatikan.Obat-obatan yang berpotensi menimbulkan
interaksi dengan aspirin contohnya obat antiinflamasi nonsteroid (NSAIDs), obat-obatan
steroid, obat-obatan antikogulan, obat-obatan antidepresan, obat-obatan untuk menangani
tekanan darah tinggi dan epilepsi, serta obat-obatan lain yang mengandung aspirin.
ASAM MEFENAMAT
2. Dosis Asam Mefenamat
Asam mefenamat umumnya dikonsumsi sebanyak tiga kali sehari dengan dosis maksimal 500
mg. Dosis obat ini bisa berubah, tergantung kepada kondisi pasien, tingkat keparahan rasa
sakit, serta respons tubuh terhadap obat. Untuk anak-anak di atas enam bulan, dosisnya
adalah 25 mg/kg, tiga kali sehari, dan dikonsumsi selama maksimal tujuh hari.
Indikasi Asam Mefenamat adalah untuk menghilangkan nyeri akut dan kronik, ringan sampai
sedang sehubungan dengan sakit kepala, sakit gigi, dismenore primer, termasuk nyeri karena
trauma, nyeri sendi, nyeri otot, nyeri sehabis operasi, dan nyeri pada persalinan.
Pada penderita tukak lambung, radang usus, gangguan ginjal, asma dan hipersensitif
terhadap asam mefenamat.
Pemakaian secara hati-hati pada penderita penyakit ginjal atau hati dan peradangan
saluran cerna.
Interaksi obat-obat
Obat yg terikat pada protein plasma : menggeser ikatan dengan protein plasma,
sehingga dapat meningkatkan efek samping (contoh : hidantoin, sulfonylurea).
Obat antikoagulan & antitrombosis : sedikit memperpanjang waktu prothrombin &
Waktu thromboplastin parsial. Jika Pasien menggunakan antikoagulan (warfarin) atau
zat thrombolitik (streptokinase), waktu prothrombin harus dimonitor.
Lithium : meningkatkan toksisitas Lithium dengan menurunkan eliminasi lithium di
ginjal.
Obat lain yang juga memiliki efek samping pada lambung : kemungkinan dapat
meningkatkan efek samping terhadap lambung.
KALIUM DIKLOFENAK
3. Dosis Kalium Diklofenak
Obat ini hanya untuk digunakan para orang dewasa dan remaja. Berikut ini dosisnya:
Dewasa:
Remaja:
Untuk kasus sedang pasien cukup diberikan 75-100 mg sehari 2 sampai 3 kali konsumsi
Orang Tua:
Dosis efektif terendah dan durasi tersingkat yang boleh diberikan kepada pasien.
Jika tidak ada efek 2 jam setelah dosis pertama, maka pasien bisa mengonsumsi dosis 50 mg lagi.
Apabila masih tidak memberi efek, pasien bisa mengonsumsi 50 mg lagi dengan interval 4 – 6 jam
asalkan tidak melebihi dosis total 200 mg per hari.
Obat Kalium diklofenak ini biasanya diresepkan untuk pasien yang memiliki indikasi di
bawah ini:
Bila diberikan bersama dengan sediaan yang mengandung litium atau digoksin, diklofenak
dapat meningkatkan konsentrasi obat-obat tersebut dalam plasma tetapi belum pernah
dilaporkan terjadi tanda-tanda klinis overdosis. Berbagai obat anti-inflamasi nonsteroid dapat
menghambat aktivitas diuretik. Pemberian bersama diuretik hemat kalium kemungkinan
berhubungan dengan peningkatan kadar kalium serum, sehingga perlu dimonitor.
Pemberian bersama dengan senyawa anti-inflamasi nonsteroid sistemik dapat
meningkatkan terjadinya efek sampuling.
Walaupun penelitian klinis tidak menunjukkan diklofenak mempunyai pengaruh terhadap
efek anti-koagulan, terdapat laporan khusus mengenai peningkatan resiko perdarahan dengan
terapi kombinasi penggunaan diklofenak dan anti-koagulan. Karena itu pada penderita yang
demikian, disarankan dilakukan monitoring ketat. Seperti anti-inflamasi nonsteroid lainnya,
diklofenak dosis tinggi (200 mg) dapat menghambat agregasitrombosit untuk sementara.
Penelitian klinis menunjukkan bahwa diklofenak dapat diberikan bersama dengan obat anti-
diabetik oral tanpa mempengaruhi efek klinisnya. Namun terdapat laporan bahwa efek
hipoglikemik dan hiperglikemik diklofenak mengharuskan penyesuaian dosis obat-obat
hipoglikemik.
Perlu diperhatikan bila obat anti-inflamasi nonsteroid diberikan kurang dari 24 jam sebelum
atau sesudah pengobatan dengan metotreksat, karena kadar dan toksisitas metotreksat dapat
meningkat.
Peningkatan nefrotoksisitas siklosporin terhadap prostaglandin ginjal mungkin terjadi
melalui efek obat anti-inflamasi nonsteroid.
IBU PROFEN
4. Dosis Ibu Profen
Ibu profen adalah salah satu jenis anti-inflamasi non-steroid (AINS) yang diindikasikan untuk
meredakan nyeri ringan sampai sedang, nyeri setelah operasi, nyeri pada penyakit sendi (seperti
pengapuran sendi atau rematik), nyeri otot, nyeri haid, serta menurunkan demam. Ibuprofen juga
memiliki efek anti-radang dan anti-pembekuan darah yang lemah.
Kontraindikasi absolut atau orang yang tidak dapat menggunakan ibuprofen adalah orang
yang alergi terhadap obat anti-inflamasi non–steroid (AINS) seperti aspirin. Kontraindikasi
relatif antara lain gangguan perdarahan, luka pada lambung/usus 12 jari, sariawan, penyakit
lupus, kolitis ulseratif, dan wanita hamil trimester 3 (karena dapat menyebabkan penutupan
prematur pembuluh darah jantung). Orang yang mengalami asma, radang mukosa hidung,
atau biduran jika menggunakan aspirin atau obat AINS lain sebaiknya tidak menggunakan
ibuprofen. Hindari penggunaan pada penderita gangguan hati berat dan gangguan ginjal.
Efek samping yang paling sering timbul (1 – 10%) adalah mual, muntah, diare, konstipasi,
nyeri perut atau rasa terbakar pada perut bagian atas, ruam kulit, penurunan kadar trombosit,
penurunan kadar limfosit darah, dan gangguan penglihatan. Efek samping yang lebih jarang
adalah luka pada kerongkongan, gagal jantung, penyempitan saluran napas, gangguan ginjal,
reaksi alergi kulit berat, dan peningkatan kadar kalium darah. Ibuprofen dapat mencetuskan
serangan asma yang pada sebagian kecil orang dapat berakibat fatal.
Penggunaan ibuprofren jangka panjang dan dalam dosis tinggi dapat menyebabkan kematian
jaringan ginjal, tekanan darah tinggi, dan serangan jantung. Penderita yang berisiko besar
mengalami hal tersebut adalah penderita lanjut usia, kekurangan cairan, mengalami gagal
jantung atau gangguan hati.
Gejala overdosis ibuprofen antara lain nyeri perut, muntah, mengantuk, sakit kepala, terlinga
berdenging, perdarahan saluran cerna, gangguan fungsi hati, gagal ginjal, dan koma.
Interaksi Obat
AINS dan penghambat selektif COX-2: berpotensi menimbulkan efek adiktif. Glikosida
jantung: menurunkan kecepatan filtrasi glomerulus dan meningkatkan konsentrasi plasma
glikosida jantung. Kortikosteroid: meningkatkan risiko ulkus atau perdarahan lambung.
Antikoagulan (warfarin): meningkatkan efek dari antikoagulan. Antiplatelet dan golongan
SSRI (klopidogrel, tiklopidin): meningkat risiko perdarahan lambung. Asetosal:
meningkatkan risiko efek samping. Anti hipertensi: menurunkan efek anti hipertensi.
Diuretik: meningkatkan risiko nefrotoksik. Litium: mempercepat eliminasi litium.
Metotreksat: mengurangi bersihan metotreksat. Siklosporin dan takrolimus: meningkatkan
risiko nefrotoksik. Zidovudin: meningkatkan risiko gangguan hematologi. Kuinolon:
meningkatkan risiko kejang. Aminoglikosida: menurunkan eksresi aminoglikosida.
Mifepriston: jangan gunakan AINS selama 8 – 12 hari setelah terapi mifepriston karena dapat
mengurangi efek mifepriston. Ginkgo biloba: meningkatkan risiko perdarahan.
KETOPROFEN
5. Dosis Ketoprofen
Kondisi Bentuk Obat Dosis
Indikasi Ketoprofen
Kontraindikasi Ketoprofen
Ketoprofen tidak boleh digunakan oleh orang dengan kondisi sebagai berikut:
Memiliki alergi terhadap ketoprofen atau obat golongan AINS lainnya serta
komponen-komponen obat lain di dalamnya.
Penderita tukak peptik aktif, pendarahan saluran cerna, ulceratif kolitis atau penyakit
inflamasi aktif pada saluran cerna lainnya.
Gangguan ginjal dan gangguan hati berat.
Wanita hamil terutama pada periode kehamilan akhir karena dapat menyebabkan
penutupan duktus arteriosus yang prematur pada janin. Duktus arteriosus adalah
pembuluh darah janin selama dalam kandungan yang digunakan untuk sistem
pernapasan. Pada kondisi normal, secara otomatis duktus arteriosus akan menutup
saat bayi dilahirkan.
Tidak direkomendasikan untuk ibu menyusui.
Penderita dengan kelainan darah atau pendarahan.
Memiliki riwayat asma bronkial atau bronkospasme (penyempitan dinding bronkial)
berat.
Tidak boleh digunakan untuk anak-anak karena keamanannya belum terbukti.
Pasien sebelum dan setelah melakukan operasi bypass jantung karena dapat
meningkatkan risiko infark miokardiak dan stroke.
Gangguan pencernaan meliputi mual, muntah, nyeri perut, disepsia, diare, konstipasi,
ulkus peptik, pencarahan saluran cerna dan perforasi.
Reaksi alergi berupa gatal, bengkak dan ruam di kulit serta kesulitan bernafas.
Sakit kepala, vertigo dan pusing.
Gangguan fungsi hati dan ginjal.
Gangguan daras seperti trombositopenia dan gangguan pembekuan darah.
Insomnia (gangguan tidur).
Bronkospasme yaitu penyempitan bronki yang dapat memicu asma.
Penglihatan kabur dan gangguan keseimbangan.
Interaksi Obat
Berikut ini adalah dosis yang umumnya diresepkan oleh dokter sesuai dengan kondisi pasien:
Bagi yang memerlukan obat ketorolac dalam bentuk suntik, dosis akan disesuaikan dengan
kondisi pasien di rumah sakit.
Indikasi Ketorolac
Kontraindikasi Ketorolac
Ulkus peptikum
Bronkospasme, alergi rinitis dan urtikaria karena asetosal
Hipersensitif terhadap ketorolac
Gangguan ginjal atau hati derajat berat
Anak di bawah 16 tahun
Risiko perdarahan yang tinggi.
Efek Samping Ketorolac
Sakit perut, mual atau muntah ringan, diare, konstipasi
Heartburn ringan, nyeri perut, kembung
Pusing, sakit kepala, mengantuk
Berkeringat; atau
Telinga berdenging
Interaksi Obat
Warfarin, penghambat ACE, diuretik, agen nefrotoksik, obat-obat antiepilepsi, obat
psikoaktif.
Penggunaan bersama dengan metotrexat dan beberapa NSAID dilaporkan dapat
menurunkan klirens dari metotrexat, sehingga meningkatkan toksisitas metotrexat.
Penggunaan bersama dengan probenecid dapat menyebabkan penurunan klirens
ketorolac.
Penghambatan klirens lithium di ginjal telah dilaporkan.
Obat-obat nefrotoksik. Penggunaan obat dengan aktivitas nefrotoksik seperti
antibiotik aminoglikosida harus dihindari bila sedang memakai ketorolac.
Obat-obat anti-epilepsi. Pernah dilaporkan adanya kasus kejang sporadis selama
penggunaan ketorolac bersama dengan obat-obat anti-epilepsi.
Obat-obat psikoaktif. Pernah dilaporkan adanya halusinasi bila ketorolac diberikan
pada pasien yang sedang mengguanakan obat psikoaktif.
MOFIN
7. Dosis Mofin
Pemberian dosis morfin disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi pasien , berat badan juga
termasuk menjadi pertimbangan untuk penetapan dosis khususnya untuk dosis anak-anak.
Untuk dosis anak berat bdan minimal 50 kg.
Dokter akanmenyuntikan morfin kepada pasien dengan frekuensi 4 jam sekali 3 -5 mg. Dosis
untik sediaan tablet 5 – 20 mg / 4 jam sekali.
Indikasi Mofin
Morfin adalah obat dengan fungsi untuk meredakan sakit atau nyeri yang parah. Morfin
masuk ke dalam kategori analgesik narkotika (opiate). Obat ini bekerja di dalam otak untuk
mengubah cara tubuh dalam merespon dan merasakan rasa sakit.
Kontraindikasi Mofin
mual dan muntah (khususnya pada permulaan), konstipasi, dan rasa mengantuk; dosis lebih
besar menyebabkan depresi napas, hipotensi, dan kekakuan otot; efek samping lain termasuk
kesulitan kencing, spasme bilier atau ureter, mulut kering, berkeringat, sakit kepala, muka
memerah, vertigo, bradikardia, takikardia, palpitasi, hipotensi postural, hipotermia,
halusinasi, disforia, perubahan suasana hati (mood), kertergantungan, miosis, menurunnya
libido atau potensi, ruam kulit, urtikaria, dan pruritus; overdosis: lihat Perawatan Darurat
pada Keracunan; untuk memperbaiki depresi napas yang ditimbulkan oleh opioid
Interaksi Obat
Obat yang menyebabkan depresi SSP (sedatif, hipnotik, anestesi umum, antiemetik,
fenotiazin, atau alkohol) dapat meningkatkan risiko depresi napas, hipotensi, sedasi
dalam, atau koma akibat morfin. Jika ingin digunakan bersamaan, dosis morfin
sebaiknya diturunkan
Morfin dapat meningkatkan efek blok dari obat golongan pelemas otot dan risiko
depresi napas
CODEINE
8. Dosis Codeine
Dokter akan menyesuaikan dosis codeine dengan kondisi dan respons pasien terhadap
pengobatan ini. Berikut adalah dosis yang umumnya disarankan untuk codeine bentuk oral
atau tablet:
Kondisi Dosis
Bagi yang memerlukan pengobatan menggunakan codein suntik, dosis akan disesuaikan oleh
dokter dengan kondisi pasien di rumah sakit.
Indikasi Codeine
Diterapkan untuk mengurangi atau menghilangkan batuk untuk penyakit bronkial dan paru-
paru (termasuk bronkopneumonia, bronkitis, emfisema).
Kontraindikasi Codeine
Insufisiensi pulmonal, serangan akut asma bronkial, peningkatan sensitivitas terhadap kodein.
Jangan gunakan pada anak-anak di bawah usia 1.
Sedangkan penggunaan obat yang memiliki efek depresan pada sistem saraf pusat
(termasuk analgesik opioid, barbiturat, benzodiazepin, clonidine), dapat
meningkatkan aksi kodein.
Dengan penggunaan derivatif morfin secara bersamaan, adalah mungkin untuk
mengintensifkan efek penghambatan pada pusat pernapasan; dengan ibuprofen - efek
analgesik meningkat; dengan carbamazepine - dapat meningkatkan efek analgesik,
tampaknya karena peningkatan pembentukan metabolit dari normorphine kodein,
yang memiliki efek yang lebih kuat.
Dengan aplikasi simultan dengan quinidine, efek analgesik dari kodein menurun atau
secara praktis menghilang.
Dengan aplikasi simultan, kodein meningkatkan efek etanol pada fungsi psikomotor.
FENTANYL
9. Dosis Fentanyl
Dosis fentanyl untuk tiap pasien berbeda-beda. Biasanya, dosis ditentukan dokter berdasarkan
kondisi penyakit dan respons tubuh tiap pasien.
Untuk fentanyl dalam bentuk tablet dosis yang biasa diresepkan dokter adalah 100
mikrogram setiap episode rasa sakit. Jika perlu, fentanyl berdosis sama bisa diberikan
kembali dengan jeda waktu 15 sampai 30 menit. Namun, pemberian fentanyl maksimal hanya
4 kali setiap hari.
Untuk fentanyl suntik dan plaster, dosis yang diberikan dokter akan ditentukan sesuai kondisi
dan respons tubuh pasien. Berkonsultasilah dengan dokter untuk menentukan dosis bagi
anak-anak, yang biasanya disesuaikan dengan berat badannya.
Indikasi Fentanyl
Kontraindikasi Fentanyl
Agonis opiod lainnya, anestetik umum, trankuilizer, sedative, hipnotik : potensiasi efek
depresi sistem saraf pusat.
Diuretik : Opioid menurunkan efek diuretic pada pasien dengan kongestif jantung.
Dosis lazim dewasa dan anak > 17 tahun untuk nyeri sedang dan parah
Obat immediate-release :
Dosis awal : 25 mg secara oral 1 x sehari. titrasi : naikkan 25 mg tiap 3 hari untuk mencapai
dosis 25 mg 4 x sehari. Setelah itu bisa dinaikkan menjadi 50 mg, sehingga dosis menjadi 50
mg 4 x sehari.
Dosis pemeliharaan : Setelah titrasi, 50 – 100 mg secara oral setiap 4 – 6 jam, sesuai
kebutuhan.
Obat extended-Release :
Dosis awal : 100 mg secara oral 1 x sehari. titrasi : naikkan 100 mg tiap 5 hari, berikan sesuai
kebutuhan.
Usia 75 tahun atau lebih : dosis maksimum 300 mg / hari diberikan dalam dosis terbagi.
Indikasi Tramadol
kegunaan tramadol adalah untuk mengobati nyeri sedang sampai berat, baik itu nyeri akut
maupun kronis misalnya nyeri pasca operasi. The European League Against Rheumatism
merekomendasikan penggunaan tramadol untuk pengobatan fibromyalgia, suatu kondisi nyeri
yang terjadi hampir di seluruh tubuh, terutama jika ditekan pada bagian tubuh.
Kontraindikasi Tramadol
Jangan diberikan pada pasien yang memiliki riwayat hipersensitif pada tramadol atau opioid
analgetic lainnya.
Tidak boleh diberikan pada penderita yang sedang diterapi dengan obat-obat monoamine
oxidase (MAO) inhibitors, obat-obat yang berefek hipnotik dan sedatif, analgetik dan obat-
obat lain yang mempengaruhi sistem saraf pusat lainnya.
Jika anda pengguna alkohol sebaiknya jangan menggunakan obat ini.
Pasien yang menderita depresi pernapasan yang signifikan, harus hati-hati jika menggunakan
obat ini.
Obat ini juga kontraindikasi pada penderita asma akut atau asma bronkial berat.
Seperti obat analgetic yang bekerja di sistem saraf pusat lainnya, efek samping tramadol yang
umum misalnya, mual, muntah, pusing, sedasi, rasa lelah, sakit kepala, berkeringat, pruritis,
kulit kemerahan, mulut kering, dispepsia dan sembelit.
Meskipun obat ini bekerja dengan cara mengikat secara stereospesifik reseptor µ-opioid di
sistem saraf pusat, efek samping berupa ketergantungan obat sampai sekarang relatif jarang
terjadi.
Interaksi Obat
obat-obat yang bekerja di sistem saraf pusat seperti tranquiliser, hipnotik dan sedatif
meningkatkan efek analgetic dan sedatif tramadol.
Carbamazepine mengurangi efek analgesik tramadol. penggunaan bersamaan kedua
obat ini tidak dianjurkan.
Tramadol bisa menyebabkan kejang, oleh karena itu hindari penggunaan bersamaan
dengan obat-obat selective serotonine reuptake inhibitors, anorectic, anti depresan
trisiklik, senyawa opioid lain, MAO inhibitors, atau obat lain yang menurunkan
ambang kejang lainnya.
Penghambat enzim CYP2D6 (amitriptyline, quinidine, fluoxetine, paroxetine) dan
penghambat enzim CYP3A4 (ketokonazole, erythromycin), mengurangi klirens
tramadol dari ginjal sehingga meningkatkan resiko efek samping yang serius.