Pendidikan Segregatif
1. Hakikat Pendidikan segregatif
Sistem pendidikan dimana anak berkelainan terpisah dari sistem pendidikan
anak normal. Penyelengggaraan sistem pendidikan segregasi dilaksanakan secara
khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal.
Pendidikan segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan
khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini
berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan
peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu),
SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak
tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB,
SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem
pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah
reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai
pada sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini
antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan
pergaulan yang terbatas.
B.PENDIDIKAN INTEGRATIF
1. Hakikat Pendidikan Integratif
Sistem integrasi memberikan kesempatan kepada anak tunagrahita belajar,
bermain atau bekerja bersama anak normal.
Sistem ini merujuk pada bersekolahnya seorang anak tunagrahita pada sekolah
regular. Dapat diartikan pada proses memindahkan seorang siswa pada lingkungan
yang tidak terlalu terpisah. Seseorang anak yang bersekolah pada sekolah regular,
tetapi berada pada unit atau kelas khusus. Meskipun siswa tersebut berada pada kelas
khusus , jelas bahwa apabila kelas tersebut pada sekolah regular, peluang untuk
berinteraksi dengan anggota lain masyarakat sekolah secara umum jauh lebih besar
dari pada anak yang berada pada sekolah khusus yang terpisah.
3.Pelaksanaan pendidikan terpadu di Indonesia
Sistem Pengajaran
a) Belajar di kelas biasa dengan guru kelas.
Sekarang ini banyak siswa disability yang mendapatkan program pelayanan
pendidikan terpadu secara penuh, dimana siswa disability belajar di kelas biasa dan
ditangani sepenuhnya oleh guru kelas serta masing-masing guru bidang studi. Sistem
ini hanya dapat diikuti oleh siswa disability yang memiliki intelegensi di atas rata-rata.
b) Belajar di kelas biasa dengan guru kelas dan seorang guru pembimbing khusus.
Siswa disability belajar di kelas biasa dengan guru kelas yang didampingi oleh guru
pembimbing khusus. Guru pembimbing khusus dapat berasal dari kalangan guru PLB
tetapi dapat pula dari tenaga ahli di bidangnya.
c) Belajar di kelas biasa dengan guru kunjung
Guru kunjung biasanya menangani siswa disability yang belajar pada beberapa
sekolah. Fungsinya hanya memberikan saran-saran kepada guru kelas atau guru
bidang studi.
d) Belajar di sekolah umum dengan kelas khusus
Siswa disability belajar di sekolah umum tetapi belajar di kelas yang khusus (terpisah
dengan siswa normal lainnya).
e) Belajar dalam satu lokasi sekolah dengan berbagai macam ketunaan
Siswa disability bersama dengan siswa yang memiliki kebutuhan khusus lainnya
belajar dalam satu gedung sekolah yang sama.
f) Kelas khusus penuh
Kelas ini berada di sekolah biasa dengan ruangan khusus yang hanya digunakan untuk
tunagrahita.
g) Di kelas biasa dengan ruang sumber
Yang dimaksud ruang sumber ialah ruangan khusus yang menyediakan berbagai
fasilitas untuk mengatasi kesulitan – kesulitan tunagrahita di kelas biasa. Di ruangan
ini dibantu guru pembimbing khusus untuk mata pelajaran tertentu.
4.Keunggulan dan kelemahan pendidikan integratif
Dibandingkan dengan sistem segregatif, sistem integrasi ini merupakan suatu
kemajuan, yaitu:
1. Siswa disability dapat belajar bersama-sama dengan siswa yang tidak disability.
2. Siswa disability mendapatkan suasana yang lebih kompetitif, karena di sekolah
umum ada lebih banyak siswa dibanding SLB.
3. Siswa disability dapat membangun rasa percaya diri yang lebih baik.
4. Siswa disability dapat bersekolah di mana saja, bahkan sekolah yang dekat dengan
tempat tinggalnya, asal ia memenuhi persyaratan yang diminta; jadi tidak perlu
terpisah dari keluarga mereka.
5. Dari sisi kurikulum, dengan menempuh pendidikan di sekolah umum, disability akan
mendapatkan materi pelajaran yang sama dengan siswa yang tidak disability.
Kelemahan dari sistem integrasi ini adalah siswa disability harus menyesuaikan diri
dengan metode pengajaran dan kurikulum yang ada. Pada saat-saat tertentu, kondisi
ini dapat menyulitkan mereka. Misalnya, saat siswa diwajibkan mengikuti mata
pelajaran ”menggambar.” Karena memiliki hambatan penglihatan, tentu saja siswa
disability tidak bisa ”menggambar.” Tapi, karena mata pelajaran ini wajib dengan
kurikulum yang ”ketat”, ”tidak fleksibel,” tidaklah dimungkinkan bagi guru maupun
siswa disability untuk melakukan ”adaptasi atau subsitusi” –untuk mata pelajaran
”menggambar” tersebut. Yang dimaksud substitusi adalah menggantikan maa
pelajaran tersebut dengan tugas lain yang memiliki nilai kompetensi sama. Misalnya,
menggambar adalah mata pelajaran yang melatih kreatifitas otak kanan untuk bidang
visual; bisa digantikan dengan tugas lain yang memiliki tujuan kompetensi sama tau
setara, misalnya mengarang.
C.PENDIDIKAN INKLUSIF
1. Hakikat Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi
system pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi
setiap siswa untuk berpartisipasi penuh daam pendidikan.
Inklusif merupakan perubahan praktis yang memberi peluang anak dengan latar
belakang dan kemampuan yang berbeda bisa berhasil dalam belajar. Perubahan ini
tidak hanya menguntungkan anak yang sering tersisihkan, seperti anak berkebutuhan
khusus, tetapi semua anak dan orangtuanya, semua guru dan administrator sekolah,
dan setiap anggota masyarakat.
Prinsip-prinsip dasar pendidikan inklusif, yang membedakan dengan sistem integratif,
apalagi segregatif adalah:
1. Semua anak, siapapun dia, memiliki hak untuk menempuh pendidikan di sekolah
mana pun, dan sekolah wajib menerima murid, siapapun dia.
2. Setiap anak/murid adalah individu yang unik, olehkarenanya, sistem pendidikan
harus dibuat fleksibel, memberikan kemungkinan pada guru untuk melakukan
penyesuaian, guna mengakomodasikan kebutuhan khusus setiap siswa.
3. Sistem pendidikan dalam suatu negara harus dibuat satu sistem, dan sistem
pendidikan untuk anak-anak yang menyandang kecacatan merupakan bagian integral
dari sistem pendidikan umum tersebut; bukan terpisah atau khusus.
2. Pengembangan kurikulum
Pengembangan kurikulum dilaksanakan dengan:
1. Modifikasi alokasi waktu
Modifikasi alokasi waktu disesuaikan dengan mengacu pada kecepatan belajar siswa.
Misalnya materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam kurikulum reguler
(Kurikulum Sekolah Dasar) diperkirakan alokasi waktunya selama 6 jam.
2. Modifikasi isi/materi
• Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal, materi
dalam kurikulum sekolah reguler dapat digemukkan (diperluas dan diperdalam)
dan/atau ditambah materi baru yang tidak ada di dalam kurikulum sekolah reguler,
tetapi materi tersebut dianggap penting untuk anak berbakat.
• Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal materi
dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan, atau tingkat kesulitannya
diturunkan sedikit.
• Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak
lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat dikurangi
atau diturunkan tingkat kesulitannya seperlunya, atau bahkan dihilangkan bagian
tertentu.
3. Modifikasi proses belajar-mengajar
• Mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi, yang meliputi analisis, sintesis,
evaluasi, dan problem solving, untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki
inteligensi di atas normal;
• Menggunakan pendekatan student centerred, yang menenkankan perbedaan
individual setiap anak;
• Lebih terbuka (divergent)
• Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan siswa di dalam kelas
heterogen, sehingga mungkin ada anak yang saling bergerak kesana-kemari, dari satu
kelompok ke kelompok lain.
• Menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang dengan pendekatan
pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kompetitif anak
dirangsang untuk berprestasi setinggi mungkin dengan cara berkompetisi secara fair.
Keunggulan dan kelemahan pendidikan inklusif
Keuntungan system pendidikan Inklusif:
Keuntungan dari pendidikan inklusif anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa
dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di
masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai potensinya masing-
masing.
Kendala / Kelemahan
Minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi, terbatasnya pengetahuan dan
ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusi menunjukkan betapa sistem
pendidikan inklusi belum benar – benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi sistem
kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi
keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga
sepertinya program pendidikan inklusi hanya terkesan program eksperimental.
3. Tenaga rehabilitasi
Kehadiran tenaga rehabilitasi di dalam satuan pendidikan luar biasa bagi anak
tunagrahita sangat diperlukan terutama untuk memberikan bantuan medik, sosial dan
ketrampilan agar mereka mampu mengikuti pendidikan.
Personil yang diperlukan untuk memberikan bantuan sebagaimana yang
dimaksud diatas adalah :
a. Dokter
Untuk memberikan bantuan penyembuhan kesehatan bagi anak tunagrahita
agar dapat mengikuti program pendidikan dengan sebaik – baiknya.
b. Psikolog
Untuk memberikan bantuan pengarahan dan pengembangan diri anak
tunagrahita berkenaan dengan permasalahan yang dihadapi.
c. Pekerja sosial
Diperlukan terutama dalam usaha pemberian bimbingan sosial pada anak
tunagrahita yang mencakup pengarahan pada penyesuaian diri terhadap
lingkungannya.
d. Terapi bicara
Berkenaan dengan upaya pemberian bantuan bagi anak tunagrahita yang
mengalami kesulitan dalam berbahasa atau berbicara.
e. Tenaga – tenaga ahli lainnya
Yang secara langsung atau tidak langsung memberikan dukungan atas
kelancaran pendidikan bagi anak tunagrahita.
Pendidikan untuk anak yang berkebutuhan khusus telah dicantumkan dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam
kebijakan tersebut memberi warna baru bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus.
Ditegaskan dalam pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus
merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki
kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan
khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.
Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak
berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara lebih operasional, hal ini
diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor Tahun tentang Pendidikan Khusus dan
Pendidikan Layanan Khusus.
Melalui pendidikan inklusi ini diharapkan anak berkelainan atau berkebutuhan khusus dapat
dididik bersama-sama dengan anak normal lainnya. Tujuannya adalah tidak ada kesenjangan
di antara anak berkebutuhan khusus dengan anak normal lainnya. Diharapkan pula anak
dengan kebutuan khusus dapat memaksimalkan potensi yang ada dalam dirinya.
Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak
berkebutuhan khusus yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu
anak yang berkebutuhan khusus perlu diberkan kesempatan yang sama dengan anak normal
lainnya untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di jenjang pendidikan yang ada.
Namun untuk masa sekarang, jenjang pendidikan yang disiapkan untuk menerapkan
kebijakan sekolah inklusi ini adalah pendidikan sekolah dasar (SD). Dan pendidikan inklusi
pada jenjang sekolah dasar diharapkan mampu untuk memecahkan salah satu persoalan
dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus atau anak berkelainan.
Jadi dapat dikatakan bahwa pendidikan inklusi merupakan solusi pemberian pelayanan
pendidikan yang diberikan kepada seluruh anak-anak. Perlu adanya partisipasi masyarakat
dan kerjasama yang sinkron antara orang tua, guru, pemerintah, dan masyarakat.
“Mereka yang terkucil dari pendidikan sering kali tidak terlihat; jika terlihat, mereka tidak
diperhitungkan, jika diperhitungkan, mereka tidaklah dilayani. Pendidikan Inklusif
sebenarnya berarti membuat yang tidak tampak menjadi tampak dan memastikan semua
siswa mendapatkan hak memperoleh pendidikan dengan kualitas yang baik”
Demikian diungkapkan Direktur UNESCO’s PROAP, Bangkok Sheldon Shaeffer. Dia
mencoba meningkatkan dan memperluas jaringan pemberdayaan pendidikan terutama
mengarah pada penyetaraan di bidang pendidikan yaitu ”Konsep Pendidikan Untuk Semua
(PUS) atau Education For All (EFA)”.
Sangatlah penting untuk disadari bahwa keragaman di antara manusia adalah normal dan
demikian juga berbagai kategori orang dalam kecacatan berbeda. Seorang guru bisa saja
mempunyai dua murid tunanetra yang membutuhkan pendekatan pembelajaran yang sangat
berbeda karena keragaman itu normal baik diantara orang-orang yang tanpa dan yang
memiliki kecacatan.
Pendidikan bagi anak-anak yang kurang beruntung (cacat) sangat penting dalam upaya
mencapai kesejahteraan sosial. Meskipun di Indonesia pendidikan merupakan suatu
kewajiban bagi semua anak berusia 7-15 tahun, tanpa kecuali, namun anak-anak yang kurang
beruntung dan yang memiliki kebutuhan khusus secara tidak resmi mendapat pengecualian.
Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap
warganegara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini
menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama
dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan.
Mainstreaming, integrasi, dan inklusi merupakan penjabaran situasi dimana anak berkelainan
/ dengan kecacatan diperbolehkan belajar bersama dengan teman sebayanya tanpa kecacatan
dengan anggapan mereka dapat menyesuaikan kepada sistem mainstream dan peraturannya
(mainstreaming/integrasi). Hanya inklusi mencerminkan hak asasi manusia dan isu keadilan
sosial dari pendidikan eksklusif mungkin akibat kebijakan dan praktek yang kaku dalam
sistem pendidikan mainstream.
Inklusi adalah sebuah filosofi pendidikan dan sosial. Mereka yang percaya inklusi meyakini
bahwa semua orang adalah bagian yang berharga dalam kebersamaan masyarakat, apapun
perbedaan mereka. Dalam pendidikan ini berarti bahwa semua anak, terlepas dari
kemampuan maupun ketidak mampuan mereka, latar belakang sosial-ekonomi, suku, latar
belakang budaya atau bahasa, agama atau jender, menyatu dalam komunitas sekolah yang
sama.
Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak yang
memiliki kelainan, seperti tuna netra, tuna daksa, tuna grahita, tuna rungu, maupun tuna laras.
Secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia
tentang Pendidikan Berkelainan bulan Juni 1994 bahwa prinsip mendasar dari pendidikan
inklusi adalah (selama memungkinkan) semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa
memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
Sekolah inklusi dimulai dengan filosofi bahwa semua anak dapat belajar dan tergabung dalam
sekolah dan kehidupan komunitas umum. Keanekaragaman antar anak dihargai, dan diyakini
bahwa keanekaragaman menguatkan kelas dan menawarkan semua kesempatan yang lebih
besar untuk pembelajaran anak.
Mereka yang percaya inklusi meyakini bahwa semua orang adalah bagian yang berharga
dalam kebersamaan masyarakat, apapun perbedaan mereka. Dalam pendidikan ini berarti
bahwa semua anak, terlepas dari kemampuan maupun ketidak mampuan mereka, latar
belakang sosial-ekonomi, suku, latar belakang budaya atau bahasa, agama atau jender,
menyatu dalam komunitas sekolah yang sama.
Lawan kata inklusi adalah eksklusi yang berarti penolakan, keterbatasan dan
ketidakberdayaan dan sering mengarah kepada frustasi dan kebencian. Inklusi dan pendidikan
inklusif tidak mempermasalahkan apakah anak dapat mengkuti program pendidikan, namun
melihat para guru dan sekolah agar dapat mengadaptasi program pendidikan bagi kebutuhan
individu.
Model pendidikan khusus tertua adalah Model Segregasi yang menempatkan anak
berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Di Indonesia
pendidikan khusus ini dinamakan Sekolah Luar Biasa (SLB). Sekolah-sekolah ini memiliki
kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, sistem evaluasi, dan guru khusus. Dari
segi pengelolaan, model segregasi memang menguntungkan, karena mudah bagi guru dan
administrator. Namun demikian, dari sudut pandang peserta didik, model segregasi
merugikan. Disebutkan oleh Reynolds dan Birch (1988), antara lain bahwa model segregatif
tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal,
karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Kecuali itu, secara
filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat
berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi mereka dipisahkan dengan masyarakat normal.
Model yang muncul pada pertengahan abad XX adalah Model Mainstreaming. Belajar dari
berbagai kelemahan model segregatif, model mainstreaming memungkinkan berbagai
alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan. Alternatif yang tersedia mulai dari
yang sangat bebas (kelas biasa penuh) sampai yang paling berbatas (sekolah khusus
sepanjang hari). Oleh karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak
berbatas (the least restrictive environment), artinya seorang anak berkelainan harus
ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan jenis / tingkat
kelainannya. Secara hirarkis, Deno (1970) mengemukakan alternatif sebagai berikut:
Di Amerika Serikat, diperkirakan hanya sekitar 0,5% anak berkelainan yang bersekolah di
sekolah khusus, lainnya berada di sekolah biasa (Ashman dan Elkins,1994). Sedangkan di
Inggris, pada tahun 1980-1990-an saja, peserta didik di sekolah khusus diproyeksikan
menurun dari sembilan juta menjadi sekitar dua juta orang, karena kembali ke sekolah biasa
(Warnock,1978), dan ternyata populasi peserta didik di sekolah khusus kurang dari 3% dari
jumlah anak berkelainan (Fish,1985).
Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback (1990)
mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di
kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang,
tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan
yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi
juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan
saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar
kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.
Selanjutnya, Staub dan Peck (1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusi adalah
penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler.
Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak
berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya. Sementara itu, Sapon-
Shevin (O’Neil, 1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem layanan
pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah
terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya
perombakan sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan
khusus setiap anak, sehingga sumber belajar menjadi memadai dan mendapat dukungan dari
semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya
Melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal)
untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg, 1995). Hal ini dilandasi oleh
kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan yang tidak
dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.
Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-an,
namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National Academy of Sciences di
Amerika Serikat. Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan
di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Hasil analisis yang
dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian menunjukkan bahwa
pendidikan inklusi berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial
anak berkelainan dan teman sebayanya.
Manfaat sekolah inklusi bukan hanya dirasakan oleh si anak, namun berdampak pula bagi
masyarakat. Dampak yang paling esensial adalah sekolah inklusi mengajarkan nilai sosial
berupa kesetaraan. Berdasarkan pengalaman dari sekolah segregasi, anak berkelainan disorot
sebagai ancaman bagi masyarakat, maka dari itu harus dipisahkan, dan dikontrol oleh
sekolah, bukan dibantu.
Selain belum banyak bukti empiris yang mendukung asumsi bahwa layanan pendidikan
khusus yang diberikan di kelas segregasi menunjukkan hasil yang lebih positif, biaya
penyelenggaraan sekolah segregasi relatif lebih mahal dari pada sekolah umum. Lagipula,
banyak anak berkelainan yang tidak mampu memperoleh pendidikan karena tidak tersedia
sekolah khusus yang dekat, sehingga menjadikan pendidikan inklusi sebagai jawaban
kontemporer bagi anak-anak berkelainan dan berkebutuhan khusus.
Menurut Idayu, Koordinator Sekolah Inklusi di Kota Malang, Sekolah inklusi adalah sekolah
yang menerapkan pendidikan inklusi yaitu pendidikan yang memungkinkan semua anak
berkumpul dengan yang lainnya, dengan setting pembelajaran ramah anak.
Istilah sekolah inklusi kini telah memperolah popularitas, khususnya dalam literatur Inggris
dan Amerika . Perubahan terminologi ini dapat dipandang sebagai kritik terhadap
kecenderungan dalam kebijakan integrasi pendidikan. Kritik tersebut terfokus pada apa yang
dianggap oleh sebagian orang sebagai setengah hati, ketika sekolah reguler lokal dibuka
hanya untuk sebagian kelompok siswa yang berkebutuhan khusus saja atau ketika kelas
khusus atau “sekolah khusus” dirancang sebagai unit khusus dalam sekolah reguler. Istilah
UNESCO untuk sekolah inklusi ini yaitu Lingkungan yang Inklusi dan Ramah terhadap
Pembelajaran (LIRP) sedangkan istilah dari UNICEF yaitu Sekolah Ramah Anak (SRA).
Beberapa ide utama dari prinsip sekolah inklusif dapat dijelaskan sebagai berikut,:
* Bahwa setiap anak merupakan bagian integral dari komunitas lokalnya dan kelas atau
kelompok reguler.
* Bahwa kegiatan sekolah diatur dengan sejumlah besar tugas belajar yang kooperatif,
individualisasi pendidikan dan fleksibilitas dalam pilihan materinya.
* Bahwa guru bekerjasama dan memiliki pengetahuan tentang strategi pembelajaran dan
kebutuhan pengajaran umum, khusus dan individual, dan memiliki pengetahuan tentang cara
menghargai pluralitas perbedaan individual dalam mengatur aktivitas kelas.
Sekolah inklusi bukanlah sekedar sekolah yang menerapkan konsep penyetaraan terhadap
semua manusia dalam memperoleh pendidikan, tapi juga membutuhkan settinggan ramah
anak didalamnya. Setting ramah anak ini sangat membantu dan mendorong kemajuan
perkembangan penerapan pendidikan inklusi di sekolah.
Dimana para ABK sangat membutuhkan dukungan dan motivasi yang mampu mendorong
mereka untuk berinteraksi dengan lingkungannya, maka komponen utama yang paling
mereka butuhkan di sekolahnya adalah sebuah keramahan, yang menerjamahkan pada
mereka suatu penunjukkan kondisi penerimaan terhadap diri mereka.
Ada lima dimensi sekolah ramah anak yang diungkapkan Delegasi Cina pada Lokakarya Asia
Selatan tentang Pendidikan Inklusi dan Sekolah Ramah Anak di Delhi bulan Nonember 2006
kemarin, yaitu: (1) Secara proaktif inklusi – pencarian anak; (2) Sehat, aman, dan protektif;
(3) Partisipasi masyarakat; (4) Efektif dan Terpusat pada Anak; (5) Responsif Jender. Kelima
dimensi ini digunakan untuk memonitori implementasi rintisan sekolah ramah anak.
Idayu Astuti, Koordinator Sekolah Inklusi di Kota Malang menuturkan ”Seharusnya semua
orang (semua siswa) boleh bersekolah di sekolah ini baik yang normal maupun termasuk
siswa ABK. Namun disayangkan masyarakat belum siap dengan diadakannya sekolah
inklusi.” Jadi Dinas Pendidikan Kota Malang (Dindik) memutuskan bagi siswa yang ABK,
hanya yang sudah siap saja seperti anak yang terkena autis ringan dan tunadaksa, serta
ditetapkan pula bahwa dalam satu kelas maksimal terdapat tiga siswa ABK dan sekolah yang
mempunyai status sekolah inklusi disarankan tidak menerima siswa ABK pindahan,
lanjutnya.
Wanita Pendiri Yayasan Idayu ini menjelaskan bahwa tiap sekolah ditakutkan mengalami
suatu hal yang dapat mengganggu proses belajar mengajar di sekolah tersebut jika mereka
dibolehkan menerima ABK pindahan. Karena siswa ABK yang sejak awal tidak di tangani
oleh pihak sekolah akan cenderung memiliki tingkat resiko yang lebih tinggi.
Hal ini pun disetujui oleh Mutini Kepala Sekolah SDN Percobaan 1 Malang, yang juga
beranggapan bahwa akan terjadi ketidakefektifan belajar bagi siswa ABK jika dalam satu
kelas terdapat banyak siswa ABK.
”Minat masyarakat yang ingin menyekolahkan calon siswa ABK sangat tinggi. Namun kami
membatasi calon siswa yang akan bersekolah di SDN ini. Kalau terlalu banyak siswa ABK
nanti malah mengganggu siswa yang lain” ungkap wanita yang dulu sempat menjadi Ketua
FKSI (Forum Komunikasi Sekolah Inklusi) itu.
Ia juga menanggapi bahwa selain timbulnya ketidakefektifan dalam proses belajar mengajar
dengan adanya siswa ABK pindahan, yang kedua adalah faktor kuantitas siswa ABK itu
sendiri.
”Ya sekolah ini tidak menerima siswa pindahan. Kami menerima siswa ABK mulai dari kelas
1. Karena jika bukan binaan sekolah ini sejak awal, nanti malah merepotkan” ujarnya.
Masalahnya sekolah ini juga ingin nilai itu tetap selalu bagus walaupun ada anak-anak ABK,
makanya rekruitnya juga baru. Kalau ndak ada kebijakan seperti itu banyak orang yang ingin
menyekolahkan calon siswa ABK nya kesini, lanjutnya.
Kenyataan ini menunjukkan pada publik bahwa pendidikan inklusi yang kini berjalan belum
terealisasi secara maksimal. Tidaklah mengherankan jika paradigma baru ini belum mampu
diterima masyarakat sepenuhnya. Maka itu seperti yang telah tertulis, partisipasi masyarakat
merupakan komponen yang sangat penting bagi keberhasilan program baru ini. Agaknya
pemerintah harus lebih gencar dalam mengupayakan realisasi pendidikan inklusi ini, salah
satunya melalui pemberdayaan partisipasi masyarakat dalam pendidikan inklusi.
Pendidikan sangat dibutuhkan bagi anak-anak untuk mencapai kesejahteraan sosialnya. Tak
terkecuali anak-anak yang kurang beruntung baik dalam segi fisik maupun mental. Namun
kenyataan di lapangan, anak-anak yang kurang beruntung dan berkebutuhan khusus menjadi
anak yang dapat dikatakan mendapat pengecualian.
Rencana pendidikan nasional, pendidikan untuk belum semua terpenuhi. Sebanyak 49.647
anak berkebutuhan khusus dari total sekitar satu juta anak berkebutuhan khusus yang dapat
mengenyam pendidikan.
Eksklusivitas dalam pendidikan menutup kesempatan bagi anak berkebutuhan khusus dalam
memperoleh pendidikan. Sikap eksklusivitas semakin membuat anak yang kurang beruntung
dan berkebutuhan khusus semakin terpinggirkan.
Tujuan dari dibentuknya sekolah inklusi adalah untuk menekan dampak yang ditimbulkan
oleh sikap eksklusif. Sekolah inklusi juga memberikan kesempatan bagi anak berkebutuhan
khusus dan kurang berutung dapat mengenyam pendidikan.
Partisipasi masyarakat dan adanya kemandirian menetukan berjalannya kebijakan sekolah
inklusi ini. Karena dalam sekolah inklusi ini dibutuhkan kerjasama antara masyarakat dengan
pengajar di kelas untuk menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima
keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.
Selain itu dalam sekolah inklusi, guru-guru diharuskan untuk mengajar secara interaktif. Hal
ini nantinya dapat menciptakan komunikasi antar guru dan siswa, sehingga dapat timbul
kedekatan. Dengan adanya kedekatan tersebut akan menghilangkan adanya isolasi profesi.
Dalam sekolah inklusi, makna orang tua juga berperan dalam menentukan perencanaan baik
dari segi perencanaan kurikulum di sekolah maupun bantuan belajar di rumah.
R13
Penerapan Sekolah Inklusi Layaknya penerimaan siswa-siswa reguler biasa, para siswa ABK
pun untuk dapat diterima oleh sekolah inklusi perlu melewati ujian atau test terlebih dahulu.
Di Malang khususnya test dilakukan di sekolah masing-masing siswa ABK yang ingin di
masuki, namun perkembangan terbaru yang ada kini agar test yang dilakukan lebih efisien
dan efektif maka ditentukan pusat sumber untuk melakukan tes siswa ABK yang nantinya
akan ditempatkan di salah satu sekolah inklusi yaitu di Sekolah Bakti Luhur.
Bakti Luhur merupakan sekolah luar biasa (SLB) yang terbesar se-Asia Tenggara. ”Kita
sudah melakukan kerjasama dengan pihak Bakti luhur. Pak Sofyan sudah menandatangi
MoU, maka itu Bakti Luhur kini menjadi pusat sumber test ABK.” ujar Idayu, ketua
kordinasi sekolah inklusi di Malang, saat ditemui di Sekolah Bakti Luhur. Sistem tes yang
berpusat seperti ini dirasa lebih memudahkan dalam pengkoordinasian seluruh sekolah
inklusi di Malang ini.
Dengan adanya pusat sumber ini, maka nantinya pelatihan-pelatihan yang akan diberikan
kepada GPK (Guru Pembimbing Khusus) akan diadakan disini (red. Bakti Luhur). Pelatihan
ini dilakukan dengan mengirim para GPK ke Bakti Luhur secara periodik. Pelatihan yang
sering dilakukan yaitu terutama pelatihan untuk menangani anak-anak autis, karena para GPK
sering terkendala dengan ABK yang mengalami autis.
Penerapan sistem pembelajaran yang dilakukan pada sekolah inklusi tidak memiliki suatu
sistem khusus, proses pembelajaran berjalan layaknya sekolah reguler biasa. Hanya saja
lingkungan yang dibangun lebih pada konsep lingkungan yang ramah anak, hal ini
dikarenakan agar ABK merasa lebih nyaman dan mampu menyesuaikan diri terhadap
lingkungannya dengan baik.
Tidak seperti layaknya SLB yang secara keseluruhan memang dikhususkan untuk menangani
siswa ABK, tentunya banyak kesulitan yang terjadi dalam menerapkan sekolah inklusi ini.
Kesulitan yang dihadapi terutama dalam penanganan ABK itu sendiri, dimana ABK yang
harus ditangani bervariasi jenis kelainannya. ABK yang selama ini dianggap paling sulit
diatasi yaitu ABK yang mengidap autis, karena biasanya prilaku dari sang anak bersifat
mengganggu. Dalam hal ini, GPK lah yang paling merasa tertantang untuk menyelesaikan
permasalahan ini.
Selain itu, dari segi ketenagaan sekolah inklusi yang ada saat ini kebanyakan masih kurang
memadai. Hal ini dapat terlihat dari beberapa sekolah yang masih belum memiliki ruang BK
(bimbingan konseling), tidak adanya alat bantu peraga bagi ABK khusus yang
memerlukannya, dan sedikitnya GPK yang harus menangani banyak ABK dalam suatu
sekolah inklusi. Namun, sejauh ini selalu diusahakan untuk terus memperbaiki sistem fasilitas
yang ada, sehingga dalam proses penerapan pendidikan inklusi menjadi lebih baik. Hal ini
diakui oleh Idayu, ”Dindik selalu mengusahakan ada APBD untuk sekolah inklusi, dan ini
nantinya untuk pendanaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan sekolah inklusi”.
Kemunculan sekolah inklusi masih mengalami banyak kendala dalam peneraannya. Jeanne
Leonardo, salah satu psikolog di Kota Malang, memaparkan beberapa perihal menyangkut
sekolah inklusi agar berjalan dengan lebih baik.
Siapakah yang berhak bersekolah di sekolah inklusi?
UNESCO menyatakan bahwa sekolah inklusi ini diperuntukkan bagi semua anak usia
sekolah yang tidak memiliki kesempatan sekolah. Contohnya yaitu anak jalanan, anak autis,
dll yang tergolong dalam kategori ABK.
Syarat anak ABK yaitu anak yang kemampuannya ada di tingkat D (IQ 50-70). Kalau IQ 80
sudah masuk pada tingkat anak normal.
Kalau menurut saya inklusi itu ada potitifnya dan ada negatifnya. Positifnya anak-anak yang
berekonomi rendah dapat tetap sekolah dan segi negatifnya yaitu persepsi yang salah dari
masyarakat.
Untuk efektifitasnya, sekolah inklusi ini sangat efektif sekali untuk dapat merangkul mereka
(red. ABK) semua.
Oh, gak harus. S1 Psikologi itu hanya alternatif, lebih gampang jika lulusannya dari sarjana
IKIP Ilmu Kependidikan.
Sebenarnya siapa saja bisa jadi GPK, orang luar juga bisa jadi GPK tapi harus belajar dari
awal. Syarat umum untuk GPK itu sendiri adalah harus memiliki rasa tanggung jawab yang
tinggi, sayang anak, dan komitment yang kuat.
Lalu bagaimana dengan para psikolog? Bukankah sekolah inklusi ini membutuhkan
psikolog?
Iya tentunya seperti itu. Untuk psikolog itu sendiri harusnya terjub langsung ke sekolah-
sekolahnya dan melihat perkembangan sekolah inklusi tersebut.
Harapan saya, agar sekolah inklusi ini dapat berjalan dengan lancar. Kemudian pemerintah
juga lebih memperhatikan dan mempersiapkan segalanya baik masyarakat dan intern sekolah.
Selain itu, adanya sosialisasi dan penyuluhan gratis juga akan sangat membentu
perkembangan sekolah inklusi ini menjadi lebih baik. Untuk yang lebih utamanya harus ada
kesiapan dari pihak internalnya.
EFA merupakan suatu kesadaran publik yang membawa banyak pembenahan pada
pendidikan yang selama ini telah ada. Perkembangan pendidikan luar biasa (PLB) yang
terbukti melalui hadirnya pendidikan inklusi adalah suatu realisasi dari program EFA.
Bagi sebagian besar masyarakat pendidikan inklusi sangatlah baik untuk diterapkan di semua
sekolah. Secara teoritis pendidikan inklusi ini memanglah sebuah pendidikan untuk semua
orang. Tetapi jika dilihat dalam realisasinya, di luar negeri pendidikan inklusi lebih
cenderung mensolusikan bagi permasalahan marginalisasi dalam hal minoritas etnis
sedangkan di Indonesia khususnya Kota Malang lebih cenderung pada permasalahan
marginalisasi bagi anak berkebutuhan khusus (ABK).
Sejauh ini, di Kota Malang tidak terdapat perbedaan pendapat yang begitu berarti, semua
mampu menyamakan persepsi tentang pendidikan inklusi yang perlahan-lahan ini mulai
terealisasikan. Namun, bagaimanakah kondisi pendidikan inklusi di Ibukota kita, yang
berperan sebagai tempat pijakan awal hadirnya pendidikan inklusi di Indonesia. Ternyata
tidak sama adem ayemnya dengan kondisi realisasi yang terjadi di Kota Malang. Mungkin hal
ini disebabkan oleh perkembangan realisasi pendidikan inklusi di Ibukota (Jakarta) yang telah
jauh lebih maju dibandingkan ”Tahap Melangkah” yang sedang dijalani oleh Kota Malang.
Sebuah kontroversi terjadi ketika dalam persyaratan penerimaan murid baru sekolah
menengah atas (SMA) tahun 2005 dicantumkan persyaratan bahwa calon siswa tidak boleh
memiliki cacat fisik yang mengganggu kegiatan belajar mengajar.
”Itu sama saja dengan melegalkan stigmatisasi terhadap orang cacat yang secara kultural
telah lama diterapkan di sekolah ketika menerima siswa baru,” ucap Presiden Penyandang
Cacat Indonesia (PPCI) Siswadi. Menurut Siswadi, kebijakan itu sangat bertentangan dengan
kebijakan sekolah inklusi (sekolah umum yang memberi peluang handicap yang memiliki
nilai seleksi nasional tinggi) yang dibangun pemerintah.
Hal itu, ujarnya, juga bertentangan dengan UU No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat
dimana penyandang cacat diberi kesempatan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk
pendidikan.
Padahal sekolah khusus penyandang cacat sendiri, ujarnya, sangat tidak mencukupi
jumlahnya. Sekolah Luar Biasa (SLB) hanya ada 1350 sekolah di seluruh Indonesia. Jika
rata-rata hanya 1 SLB untuk 4 kecamatan. ”Mobilitas mereka hampir tidak mungkin. Antar
desa saja sulit,” sesalnya. Ia sadar di Indonesia banyak sekolah yang tidak memiliki fasilitas
khusus bagi orang cacat memperoleh pendidikan yang dapat memudahkan kegiatan belajar
mengajar. ”Justru itu yang menimbulkan diskriminasi,” katanya.
Padahal target Asia Pasific dimana Indonesia turut menandatanganinya di tahun 2002,
sekurangnya 75 % anak cacat usia sekolah bisa memperoleh pendidikan. Saat ini, ujarnya,
baru 5 % dari 1,5 juta anak usia sekolah yang memperoleh pendidikan. ”Yang sekarang
sekolah baru 63 ribu di seluruh Indonesia,” katanya.
Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI, Margani M. Mustar,
mengakui dalam penerimaan siswa baru tahun 2005 mensyaratkan siswa baru tidak memiliki
cacat fisik yang dapat mengganggu kegiatan belajar mengajar. ”Juga bagi yang memiliki
kelainan yang sulit dideskripsi,” ujarnya.
Ia membantah persyaratan cacat fisik ini bersifat diskriminatif. ”itu untuk kepentingan belajar
mengajar juga,” jelasnya. Ia menuturkan, untuk sekolah menengah khusus seperti tata boga,
tata busana dan teknik memang memerlukan indera yang baik. ”Kalau buta warna kan mesti
pakai huruf braille. Dan tidak semua sekolah punya huruf braille,” ucapnya.
DKI Jakarta, ucapnya, juga mengembangkan sekolah inklusi. ”Di Jakarta ada beberapa,
karena sekolah inklusi kan butuh peralatan lebih dan penanganan khusus,” ujarnya.
Penyandang cacat, ujarnya, bisa datang ke Dikmenti untuk mendapat bantuan pendidikan.
Menanggapi persoalan ini Idayu sebagai orang yang telah terjun langsung menangani sekolah
inklusi di Kota Malang mengatakan bahwa ini semua terjadi dikarenakan masih banyak
masyarakat yang kurang meneriman siswa ABK.
Ternyata di balik kesempurnaan pendidikan inklusi yang di elu-elukan para pakar pendidikan,
memiliki sebuah keterbatasan, yang dimana siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus)
tetaplah tidak mampu melangkah sejajar dengan siswa yang normal. Akankah inklusi mampu
terus merambah hingga jejang perguruan tinggi?
Kontroversi ini menunjukkan bahwa kesenjangan yang terjadi antara siswa ABK dan siswa
normal hanya sebatas meminimalisir, tidak dapat dihilangkan. Inklusi agaknya bukan solusi
terbaik bagi permasalahan marginalisasi yang terjadi di dunia pendidikan. Mungkinkah akan
ada lagi pendidikan-pendidikan lain yang menawarkan perubahan bagi permasalahan
maginalisasi ini.
Sebelumnya Santi adalah seorang guru di salah satu SLB di Kota Malang sekitar 1,5 tahun.
Wanita yang bernama lengkap Santi Dwi Puspitaningrum mengakui ketika ada program
sekolah inklusi, dirinya langsung tertarik dan ingin menjadi GPK. Wanita asli malang ini juga
menuturkan bahwa syarat untuk menjadi GPK itu adalah harus tahu apa yang akan kita
dihadapi karena nantinya kita akan menghadapi anak-anak ABK dan GPK itu minimal harus
bergelar Spd PLB dan sarjana psikologi.
Untuk menjadi GPK ternyata tidaklah semudah yang dikira layaknya guru-guru reguler yang
ada. Santi menuturkan beberapa kesulitan yang ia rasakan selama menjadi GPK di SD
Pandan Wangi 3 yaitu: Pertama, pengalaman yang ia miliki tidak mencukupi untuk
menyelesaikan berbagai masalah yang timbul di sekolah; Kedua, ada sesuatu yang baru yang
harus dihadapi. Santi mengakui karena pengalamannya yang sangat terbatas tersebut
sehingga menyulitkannya menghadapi sesuatu yang baru yang ia temui dalam penerapan
sekolah inklusi ini; Ketiga, tidak adanya alat peraga. Tidak hanya santi, mungkin seluruh
GPK akan merasa kesulitan tanpa adanya alat peraga yang dibutuhkan untuk menunjang
proses belajar ABK.
2. kalimat langsung memakai ungkapan baku saja mengingat mereka bukan anak muda.
(misal, gak seharusnya tidak)
3. berita tidak memakai poin-poin dan biasakan gunakan bahasa jurnalistik bukan kalimat
seperti teori kuliah
4. Dinas pendidikan bukan disingkat Dindik, melainkan dindik. Kata Dindik merujuk ke
depDindik (pusat). Jika berada di dalam kutipan, lebih baik diganti Dindik.
5. Setiap kalimat harus didasarkan pada responden, bukan terkesan opini penulis. (misal, Mrs
X mengungkapkan….. atau ini diungkapkan Mrs X pada DIANNS saat dijumpai di ruang
kerjanya atau pernyataan tersebut disampaikan Mrs X dsb )
Pendahuluan
Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali
dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada
tahun1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke
Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang
ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act.
1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya
pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif.
Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak
diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang
pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi ’education for all’.
Implikasi dari statemen ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa
kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanana pendidikan secara
memadai. Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan
konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif
yang selanjutnya dikenal dengan ’the Salamanca statement on inclusive education”.
1. Pengertian Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak
berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman
seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil, 1994) Sekolah inklusif adalah sekolah yang
menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan
yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid
maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil
(Stainback,1980)
Global View of Disability: Mithu Alur and Michael Bach (Inclusive Education for children
With Disability 2005:11)
· WHO estimates 98% of disabled people in developing countries are totally neglected
(no free medical care or social security)
Menurut CAPP Mithu Alur and Michael Bach (Inclusive Education for children With
Disability 2005:59)
Inclusive education means every child learning together in his/her neibourhood school All
children are welcomed in the school and all children learn together in the regular classroom.
Afford “open access”to students with disabilities
Uses Identifiable school, classroom and instructional practice that promote inclusion and
make real involment and acceptance probable.
Ensure that student with disabilities take part in all aspect of the social life of the school
b. Pendidikan terpadu/integratif
Pendidikan terpadu adalah sekolah yang memberikan kesempatan kepada peserta didik
berkebutuhan khusus untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler tanpa adanya perlakuan
khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan individual anak. Sekolah tetap menggunakan
kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, serta sistem pembelajaran
reguler untuk semua peserta didik. Jika ada peserta didik tertentu mengalami kesulitan dalam
mengikuti pendidikan, maka konsekuensinya peserta didik itu sendiri yang harus
menyesuaikan dengan sistem yang dituntut di sekolah reguler. Dengan kata lain pendidikan
terpadu menuntut anak yang harus menyesuaikan dengan sistem yang dipersyaratkan sekolah
reguler. Kelemahan dari pendidikan melalui sekolah terpadu ini antara lain, anak
berkebutuhan khusus tidak mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan individual anak.
Sedangkan keuntungannya adalah anak berkebutuhan khusus dapat bergaul di lingkungan
sosial yang luas dan wajar.
1). Belajar di kelas biasa dengan guru kelas. Sekarang ini banyak siswa tuna netra yang
mendapatkan program pelayanan pendidikan terpadu secara penuh, dimana siswa belajar di
kelas biasa dan ditangani sepenuhnya oleh guru kelas serta masing-masing guru bidang studi.
2). Belajar di kelas biasa dengan guru kelas dan seorang guru pembimbing khusus.
Siswa tuna netra belajar di kelas biasa dengan guru kelas yang didampingi oleh guru
pembimbing khusus. Guru pembimbing khusus dapat berasal dari kalangan guru PLB tetapi
dapat pula dari tenaga ahli di bidang ketunanetraan.
3). Belajar di kelas biasa dengan guru kunjung Guru kunjung biasanya menangani siswa tuna
netra yang belajar pada beberapa sekolah. Fungsinya hanya memberikan saran-saran kepada
guru kelas atau guru bidang studi.
4). Belajar di sekolah umum dengan kelas khususSiswa tuna netra belajar di sekolah umum
tetapi belajar di kelas yang khusus (terpisah dengan siswa normal lainnya).
5). Belajar dalam satu lokasi sekolah dengan berbagai macam ketunaan.
Siswa tuna netra bersama dengan siswa yang memiliki kebutuhan khusus lainnya belajar
dalam satu gedung sekolah yang sama.
Penunjukan sekolah umum menjadi sekolah terpadu juga tidak disertai dengan sosialisasi
anak berkebutuhan khusus kepada kepala sekolah beserta staff dan gurunya. Selain itu
prasarana dan sarana penunjang pelayanan pendidikan terpadu juga tidak disediakan oleh
pemerintah.Penunjukan sekolah terpadu di Jakarta hanya ditujukan untuk SLTP dan SMU.
Sedangkan untuk jenjang sekolah dasar belum ada penunjukan untuk sekolah terpadu. Masih
banyak anggapan di benak guru-guru di sekolah umum yang menyatakan bahwa mengajar
anak yang memiliki kebutuhan khusus adalah sesuatu yang remeh. Sehingga mereka akan
merasa menjadi rendah apabila sekolah dimana tempat mereka mengajar dijadikan sekolah
terpadu.Surat Direktur Pendidikan Dasar No.0267/C2/U/1994 tanggal 30 Maret 1994 tentang
penyelenggaraan pendidikan terpadu yang diberlakukan bagi beberapa jenis kecacatan akan
tetapi memiliki kemampuan inteligensi normal atau di atas rata-rata menjadi kendala pula
bagi pelaksanaan pendidikan terpadu di Indonesia. Sebab dengan surat keputusan tersebut
pihak sekolah umum dapat menolak siswa berkebutuhan khusus yang memiliki intelegensi di
bawah rata-rata, dengan demikian pelaksanaan pendidikan terpadu menjadi sangat terbatas
hanya bagi siswa yang sangat pandai saja.
c. Pendidikan inklusif
Pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah
inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani
secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan/atau penyesuaian, mulai dari
kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai
pada sistem penilaiannya. Dengan kata lain pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah
yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta
didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Keuntungan dari pendidikan inklusif
anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai
dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya dapat
terpenuhi sesuai potensinya masing-masing. Konsekuensi penyelenggaraan pendidikan
inklusif adalah pihak sekolah dituntut melakukaan berbagai perubahan, mulai cara pandang,
sikap, sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa
diskriminasi.
b. Sekolah reguler harus siap mengelola kelas yang heterogen dengan menerapkan
kurikulum dan pembelajaran yang bersifat individual.
d. Guru pada sekolah inklusif dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau
sumberdaya lain dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
h. Guru memiliki strategi dan model serta metode mengajar yang bervariasi.
i. Guru pada sekolah inklusif dituntut melibatkan orangtua secara bermakna dalam proses
pendidikan.
Meskipun pendidikan inklusif telah diakui di seluruh dunia sebagai salah satu upaya
mempercepat pemenuhan hak pendidikan bagi setiap anak, namun perkembangan pendidikan
inklusif mengalami kemajuan yang berbeda-beda di setiap negara. Sebagai inovasi baru, pro
dan kontra pendidikan inklusif masih terjadi dengan alasan masing-masing. Sebagai negara
yang ikut dalam berbagai konvensi dunia, Indonesia harus merespon secara proaktif terhadap
kecenderungan perkembangan pendidikan inklusif. Salah satunya adalah dengan cara
memahami secara kritis tentang pro dan kontra pendidikan inklusif.Pro Pendidikan Inklusifa.
Belum ada bukti empirik yang kuat bahwa SLB merupakan satu-satunya sistem terbaik untuk
pendidikan anak berkebutuhan khusus.b. Beaya penyelenggaraan SLB jauh lebih mahal
dibanding dengan dengan sekolah regular.c. Banyak anak berkebutuhan khusus yang tinggal
di daerah-daerah tidak dapat bersekolah di SLB karena jauh dan/atau biaya yang tidak
terjangkau.
b. Biaya penyelenggaraan SLB jauh lebih mahal dibanding dengan dengan sekolah regular.
c. Banyak anak berkebutuhan khusus yang tinggal di daerah-daerah tidak dapat bersekolah di
SLB karena jauh dan/atau biaya yang tidak terjangkau.
b.Hasil penelitian masih menghendaki berbagai alternatif pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus.
d. Banyak sekolah reguler yang belum siap menyelenggarakan pendidikan inklusif karena
menyangkut sumberdaya yang terbatas
e. Sekolah khusus/SLB dianggap lebih efektif karena diikuti anak yang sejenis.5. Pendidikan
Inklusif yang Moderat.
Jalan keluar untuk mengatasi pro dan kontra tentang pendidikan inklusif, maka dapat
diterapkan pendidikan inklusif yang moderat. Pendidikan inklusif yang moderat dimaksud
adalah Pendidikan inklusif yang memadukan antara terpadu dan Inklusi penuh.
b. Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam prakteknya anak berkebutuhan khusus
disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak
berkebutuhan khusus fleksibel pindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain,
seperti : bentuk kelas reguler penuh, bentuk kelas reguler dengan cluster, bentuk kelas reguler
dengan ’pull out’, bentuk kelas reguler dengan ‘cluster dan pull out’, bentuk kelas khusus
dengan berbagai pengintegrasian. bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler
(1) Inklusi seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip fundamental yang mendasari
kebijakan nasional.
(2) Konsep kualitas seyogyanya difokuskan pada perkembangan nasional, emosi dan fisik,
maupun pencapaian akademik lainnya.
(3) Sistem asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar sesuai dengan prinsip-prinsip
non-diskriminasi dan inklusi serta konsep kualitas sebagaimana telah disebutkan di atas.
(4) Orang dewasa seyogyanya menghargai dan menghormati semua anak, tanpa memandang
perbedaan karakteristik maupun keadaan individu, serta seharusnya pula memperhatikan
pandangan mereka.
(5) Semua kementerian seyogyanya berkoordinasi untuk mengembangkan strategi bersama
menuju inklusi.
(6) Demi menjamin pendidikan untuk Semua melalui kerangka sekolah yang ramah terhadap
anak (SRA), maka masalah non-diskriminasi dan inklusi harus diatasi dari semua dimensi
SRA, dengan upaya bersama yang terkoordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah dan
non-pemerintah, donor, masyarakat, berbagai kelompok local, orang tua, anak maupun sektor
swasta
(8) Pemerintah seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial maupun ekonomi bila tidak
mendidik semua anak, dan oleh karena itu dalam Manajemen Sistem Informasi Sekolah harus
mencakup semua anak usia sekolah.
(9) Program pendidikan pra-jabatan maupun pendidikan dalam jabatan guru seyogyanya
direvisi guna mendukung pengembangan praktek inklusi sejak pada tingkat usia pra-sekolah
hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan pada pemahaman secara holistik tentang
perkembangan dan belajar anak termasuk pada intervensi dini
(10) Pemerintah (pusat,propinsi, dan lokal) dan sekolah seyogyanya membangun dan
memelihara dialog dengan masyarakat, termasuk orang tua, tentang nilai-nilai sistem
pendidikan yang non-diskriminatif dan inklusif.
Berikut ini ada beberapa analisa untuk mengatasi masalah tersebut di atas agar pendidikan
inklusif bisa terlaksana, pada level community, maupun pada level individual dan family.
3. Tersedia guru khusus/PLB (guru tetap sekolah atau guru yang diperbantukan dari lembaga
lain)
Rekomendasi
(1) Inklusi seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip fundamental yang mendasari
kebijakannasional.
(2) Konsep kualitas seyogyanya difokuskan pada perkembangan nasional, emosi dan fisik,
maupun pencapaian akademik lainnya.
(3) Sistem asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar sesuai dengan prinsip-prinsip
non-diskriminasi dan inklusi serta konsep kualitas sebagaimana telah disebutkan di atas.
(4) Orang dewasa seyogyanya menghargai dan menghormati semua anak, tanpa memandang
perbedaan karakteristik maupun keadaan individu, serta seharusnya pula memperhatikan
pandangan mereka.
(6) Demi menjamin pendidikan untuk Semua melalui kerangka sekolah yang ramah
terhadap anak (SRA), maka masalah non-diskriminasi dan inklusi harus diatasi dari semua
dimensi SRA, dengan upaya bersama yang terkoordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah
dan non-pemerintah, donor, masyarakat, berbagai kelompok local, orang tua, anak maupun
sektor swasta.
(8) Pemerintah seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial maupun ekonomi bila tidak
mendidik semua anak, dan oleh karena itu dalam Manajemen Sistem Informasi Sekolah harus
mencakup semua anak usia sekolah
(9) Program pendidikan pra-jabatan maupun pendidikan dalam jabatan guru seyogyanya
direvisi guna mendukung pengembangan praktek inklusi sejak pada tingkat usia pra-sekolah
hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan pada pemahaman secara holistik tentang
perkembangan dan belajar anak termasuk pada intervensi dini
(10) Pemerintah (pusat, provinsi, dan lokal) dan sekolah seyogyanya membangun dan
memelihara dialog dengan masyarakat, termasuk orang tua, tentang nilai-nilai sistem
pendidikan yang non-diskriminatif dan inklusif.
Kesimpulan
1). Landasan yuridis, empirik, dan falsafah pendidikan integratif dan pendidikan inklusif
sudah jelas tetapi banyak faktor yang harus diperhatikan demi terlaksananya pendidikan ini
secara berkesinambungan
2). Pro dan Kontra di masyarakat tentang pelaksanaan pendidikan integratif dan inklusif
perlu di cari solusi nyata sehingga tujuan pendidikan nasional dapat dicapai.
3) Belum ada sinergi yang baik antara pemerintah, seluruh lembaga pendidikan serta
masyarakat dalam upaya mewujudkan pendidikan integratif dan pendidikan inklusif tersebut