Anda di halaman 1dari 33

A.

Pendidikan Segregatif
1. Hakikat Pendidikan segregatif
Sistem pendidikan dimana anak berkelainan terpisah dari sistem pendidikan
anak normal. Penyelengggaraan sistem pendidikan segregasi dilaksanakan secara
khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal.
Pendidikan segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan
khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini
berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan
peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu),
SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak
tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB,
SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem
pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah
reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai
pada sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini
antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan
pergaulan yang terbatas.

2. Fasilitas dan sarana Pendidikan segregatif


 Tersedia alat-alat bantu belajar yang dirancang khusus untuk siswa. Sebagai contoh
tunanetra, seperti buku-buku Braille, alat bantu hitung taktual, peta timbul, dll.
 Jumlah siswa dalam satu kelas tidak lebih dari delapan orang sehingga guru dapat
memberikan layanan individual kepada semua siswa.
 Lingkungan sosial ramah karena sebagian besar memiliki pemahaman yang tepat
mengenai disability anak.
 Lingkungan fisik aksesibel karena pada umumnya dirancang dengan
mempertimbangkan masalah mobilitas disability, dan kami mendapat latihan
keterampilan orientasi dan mobilitas, baik dari instruktur O&M maupun tutor sesama
disability.
 Dapat menemukan orang disability yang sudah berhasil yang dapat dijadikan sebagai
model.

3. Bentuk-bentuk system pendidikan segregasi:


 Sekolah Khusus
Sekolah khusus untuk anak tunagrahita disebut sekolah luar biasa C dan sekolah
pendidikan luar biasa C. Murid yang ditampung di sekolah ini khusus satu jenis
kelainan atau ada juga khusus melihat berat dan ringannya kelainan, seperti sekolah
untuk tunagrahita ringan.
 Sekolah Dasar Luar Biasa
Berbeda dengan SDLB yang ada di lingkup SLB, SDLB di sini berdiri sendiri dan
hanya menampung anak tunagrahita usia sekolah dasar. Di sini anak tuna grahita di
tempatkan pada satu lokasi khusus dan tiap jenis kelainan menempati satu kelas.
Apabila anak tamat dari sekolah ini maka dia harus mencari sekolah lain yang
menyelenggarakan SLTPLB.
 Kelas Jauh
Kelas jauh adalah kelas yang dibentuk jauh dari sekolah induk karena di daerah
tersebut banyak anak luar biasa. Anak luar biasa yang ditampung adalah dari semua
jenis dan masih dalam usia sekolah.
 Guru Kunjung
Diantara anak tunagrahita terdapat yang mengalami kelainan berat sehingga tidak
memungkinkan untuk berkunjung ke sekolah khusus. Oleh karena itu, guru
berkunjung ke tempat anak tersebut dan memberi pelajaran sesuai dengan kebutuhan
anak.
 Sekolah Khusus Berasrama
Merupakan sistem lembaga pendidikan anak tunagrahita yang tertua. Anak berdiam di
lembaga ini selama 24 jam terpisah dari lingkungan keluarga. Sekolah ini terutama
diperuntukkan untuk tunagrahita berat dan sangat berat.
 Hospital School
Disediakan khusus anak tunagrahita yang tergolong berat dan sangat berat. Disana
mereka mendapat layanan pendidikan dan perawatan sebab tidak jarang anak
tunagrahita berat dan sangat berat menderita penyakit disamping ketunagrahitaan.

4.Keunggulan dan kelemahan pendidikan segregatif


Keuntungan system pendidikan segregasi:
Rasa ketenangan pada anak luar biasa
Komunikasi yang mudah dan lancar
Metode pembelajaran yang khusus sesuai dengan kondisi dan kemampuan
anak.
Guru dengan latar belakang pendidikan luar biasa
Mudahnya kerjasama dengan multidisipliner.
Sarana dan prasarana yang sesuai.
Merasa diakui kesamaan haknya dengan anak normal terutama dalam
memperoleh pendidikan
Dapat mengembangakan bakat ,minta dan kemampuan secara optimal

Kelemahan system pendidikan segregasi:


Sosialisasi terbatas
Penyelenggaraan pendidikan yang relative mahal
Bebas bersaing
Egoistik, menumbuhkan kesenjangan kualitas pendidikan.
Efektif dan efisien untuk kepentingan individu
Menumbuhkan disintegrasi

B.PENDIDIKAN INTEGRATIF
1. Hakikat Pendidikan Integratif
Sistem integrasi memberikan kesempatan kepada anak tunagrahita belajar,
bermain atau bekerja bersama anak normal.
Sistem ini merujuk pada bersekolahnya seorang anak tunagrahita pada sekolah
regular. Dapat diartikan pada proses memindahkan seorang siswa pada lingkungan
yang tidak terlalu terpisah. Seseorang anak yang bersekolah pada sekolah regular,
tetapi berada pada unit atau kelas khusus. Meskipun siswa tersebut berada pada kelas
khusus , jelas bahwa apabila kelas tersebut pada sekolah regular, peluang untuk
berinteraksi dengan anggota lain masyarakat sekolah secara umum jauh lebih besar
dari pada anak yang berada pada sekolah khusus yang terpisah.
3.Pelaksanaan pendidikan terpadu di Indonesia
Sistem Pengajaran
a) Belajar di kelas biasa dengan guru kelas.
Sekarang ini banyak siswa disability yang mendapatkan program pelayanan
pendidikan terpadu secara penuh, dimana siswa disability belajar di kelas biasa dan
ditangani sepenuhnya oleh guru kelas serta masing-masing guru bidang studi. Sistem
ini hanya dapat diikuti oleh siswa disability yang memiliki intelegensi di atas rata-rata.
b) Belajar di kelas biasa dengan guru kelas dan seorang guru pembimbing khusus.
Siswa disability belajar di kelas biasa dengan guru kelas yang didampingi oleh guru
pembimbing khusus. Guru pembimbing khusus dapat berasal dari kalangan guru PLB
tetapi dapat pula dari tenaga ahli di bidangnya.
c) Belajar di kelas biasa dengan guru kunjung
Guru kunjung biasanya menangani siswa disability yang belajar pada beberapa
sekolah. Fungsinya hanya memberikan saran-saran kepada guru kelas atau guru
bidang studi.
d) Belajar di sekolah umum dengan kelas khusus
Siswa disability belajar di sekolah umum tetapi belajar di kelas yang khusus (terpisah
dengan siswa normal lainnya).
e) Belajar dalam satu lokasi sekolah dengan berbagai macam ketunaan
Siswa disability bersama dengan siswa yang memiliki kebutuhan khusus lainnya
belajar dalam satu gedung sekolah yang sama.
f) Kelas khusus penuh
Kelas ini berada di sekolah biasa dengan ruangan khusus yang hanya digunakan untuk
tunagrahita.
g) Di kelas biasa dengan ruang sumber
Yang dimaksud ruang sumber ialah ruangan khusus yang menyediakan berbagai
fasilitas untuk mengatasi kesulitan – kesulitan tunagrahita di kelas biasa. Di ruangan
ini dibantu guru pembimbing khusus untuk mata pelajaran tertentu.
4.Keunggulan dan kelemahan pendidikan integratif
Dibandingkan dengan sistem segregatif, sistem integrasi ini merupakan suatu
kemajuan, yaitu:
1. Siswa disability dapat belajar bersama-sama dengan siswa yang tidak disability.
2. Siswa disability mendapatkan suasana yang lebih kompetitif, karena di sekolah
umum ada lebih banyak siswa dibanding SLB.
3. Siswa disability dapat membangun rasa percaya diri yang lebih baik.
4. Siswa disability dapat bersekolah di mana saja, bahkan sekolah yang dekat dengan
tempat tinggalnya, asal ia memenuhi persyaratan yang diminta; jadi tidak perlu
terpisah dari keluarga mereka.
5. Dari sisi kurikulum, dengan menempuh pendidikan di sekolah umum, disability akan
mendapatkan materi pelajaran yang sama dengan siswa yang tidak disability.
Kelemahan dari sistem integrasi ini adalah siswa disability harus menyesuaikan diri
dengan metode pengajaran dan kurikulum yang ada. Pada saat-saat tertentu, kondisi
ini dapat menyulitkan mereka. Misalnya, saat siswa diwajibkan mengikuti mata
pelajaran ”menggambar.” Karena memiliki hambatan penglihatan, tentu saja siswa
disability tidak bisa ”menggambar.” Tapi, karena mata pelajaran ini wajib dengan
kurikulum yang ”ketat”, ”tidak fleksibel,” tidaklah dimungkinkan bagi guru maupun
siswa disability untuk melakukan ”adaptasi atau subsitusi” –untuk mata pelajaran
”menggambar” tersebut. Yang dimaksud substitusi adalah menggantikan maa
pelajaran tersebut dengan tugas lain yang memiliki nilai kompetensi sama. Misalnya,
menggambar adalah mata pelajaran yang melatih kreatifitas otak kanan untuk bidang
visual; bisa digantikan dengan tugas lain yang memiliki tujuan kompetensi sama tau
setara, misalnya mengarang.

C.PENDIDIKAN INKLUSIF
1. Hakikat Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi
system pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi
setiap siswa untuk berpartisipasi penuh daam pendidikan.
Inklusif merupakan perubahan praktis yang memberi peluang anak dengan latar
belakang dan kemampuan yang berbeda bisa berhasil dalam belajar. Perubahan ini
tidak hanya menguntungkan anak yang sering tersisihkan, seperti anak berkebutuhan
khusus, tetapi semua anak dan orangtuanya, semua guru dan administrator sekolah,
dan setiap anggota masyarakat.
Prinsip-prinsip dasar pendidikan inklusif, yang membedakan dengan sistem integratif,
apalagi segregatif adalah:
1. Semua anak, siapapun dia, memiliki hak untuk menempuh pendidikan di sekolah
mana pun, dan sekolah wajib menerima murid, siapapun dia.
2. Setiap anak/murid adalah individu yang unik, olehkarenanya, sistem pendidikan
harus dibuat fleksibel, memberikan kemungkinan pada guru untuk melakukan
penyesuaian, guna mengakomodasikan kebutuhan khusus setiap siswa.
3. Sistem pendidikan dalam suatu negara harus dibuat satu sistem, dan sistem
pendidikan untuk anak-anak yang menyandang kecacatan merupakan bagian integral
dari sistem pendidikan umum tersebut; bukan terpisah atau khusus.
2. Pengembangan kurikulum
Pengembangan kurikulum dilaksanakan dengan:
1. Modifikasi alokasi waktu
Modifikasi alokasi waktu disesuaikan dengan mengacu pada kecepatan belajar siswa.
Misalnya materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam kurikulum reguler
(Kurikulum Sekolah Dasar) diperkirakan alokasi waktunya selama 6 jam.
2. Modifikasi isi/materi
• Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal, materi
dalam kurikulum sekolah reguler dapat digemukkan (diperluas dan diperdalam)
dan/atau ditambah materi baru yang tidak ada di dalam kurikulum sekolah reguler,
tetapi materi tersebut dianggap penting untuk anak berbakat.
• Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal materi
dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan, atau tingkat kesulitannya
diturunkan sedikit.
• Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak
lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat dikurangi
atau diturunkan tingkat kesulitannya seperlunya, atau bahkan dihilangkan bagian
tertentu.
3. Modifikasi proses belajar-mengajar
• Mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi, yang meliputi analisis, sintesis,
evaluasi, dan problem solving, untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki
inteligensi di atas normal;
• Menggunakan pendekatan student centerred, yang menenkankan perbedaan
individual setiap anak;
• Lebih terbuka (divergent)
• Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan siswa di dalam kelas
heterogen, sehingga mungkin ada anak yang saling bergerak kesana-kemari, dari satu
kelompok ke kelompok lain.
• Menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang dengan pendekatan
pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kompetitif anak
dirangsang untuk berprestasi setinggi mungkin dengan cara berkompetisi secara fair.
Keunggulan dan kelemahan pendidikan inklusif
Keuntungan system pendidikan Inklusif:
Keuntungan dari pendidikan inklusif anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa
dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di
masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai potensinya masing-
masing.
Kendala / Kelemahan
Minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi, terbatasnya pengetahuan dan
ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusi menunjukkan betapa sistem
pendidikan inklusi belum benar – benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi sistem
kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi
keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga
sepertinya program pendidikan inklusi hanya terkesan program eksperimental.

PERSONIL PENDIDIKAN ANAK BERKEMAMPUAN MENTAL RENDAH

Untuk memberikan layanan pendidikan yang optimal dibutuhkan adanya


tenaga – tenaga ahli, di samping guru sebagai unsur sentral dalam proses pendidikan
luar biasa bagi penyandang tuna grahita.
Para personil yang terlibat dan dibutuhkan dalam proses pendidikan bagi
penyandang tuna grahita pada satuan pendidikan luar biasa ini meliputi :
1. Guru
Sebagaimana yang tercantum pada pasal 20 ayat 2 peraturan pemerintah RI
No.72 Tahun 1991, bahwa tenaga pendidik merupakan tenaga kependidikan yang
memiliki kualifikasi khusus sebagai guru pada satuan pendidikan luar biasa. Artinya
bahwa tenaga pendidik (guru) untuk anak berkelainan khususnya anak tunagrahita
haruslah seorang yang secara formal telah memiliki kualifikasi khusus dalam
menangani anak – anak tunagrahita. Hal ini sangat diperlukan mengingat
permasalahan yang dihadapi oleh anak tunagrahita sangat bervariasi. Disamping itu,
guru juga diharapkan dapat berperan ganda sebagai tenaga rehabilitasi apabila
lembaga satuan pendidikan luar biasa tempat guru itu bertugas belum tersedia tenaga
ahlinya.
Selain kualifikasi sebagaimana disebutkan, guru untuk anak tunagrahita juga harus
memiliki :
a. Kepribadian
Untuk dapat memberikan pelayanan pendidikan yang sebaik – baiknya bagi
anak tunagrahita, seorang guru harus memiliki kepribadian yang menarik. Hal ini
sehubungan dengan tugasnya dalam membentuk pribadi anak untuk dapat tumbuh
dan berkembang sewajar mungkin. Setiap anak memiliki kebutuhan dan tingkat
perkembangan yang berbeda, sehingga guru diharapkan mampu mengenali dan
memahaminya tiap – tiap anak. Perhatian dan tanggung jawabnya yang besar terhadap
anak – anak akan mendorong terciptanya suasana belajar yang menyenangkan yang
pada akhirnya dapat dicapai tujuan pembelajaran yang diinginkan.
b. Dedikasi
Tenaga pendidik untuk anak tunagrahita diperlukan adanya kesabaran,
keuletan, dan rasa cinta terhadap anak – anak. Sebab tanpa adanya sikap – sikap
semacam itu, dimungkinkan seorang guru akan patah ditengah jalan. Untuk itu,
loyalitas dan semangat pengabdian harus tetap ditumbuhkan. Khususnya melalui
program – program pre-service training maupun in-service training.
c. Pengetahuan
Mendidik anak – anak tunagrahita tidak hanya sebagaimana mendidik anak –
anak pada umumnya (normal), namun diperlukan adanya nilai lebih. Kelebihan ini
terutama adalah bahwa ia harus terlebih dahulu memahami masalah – masalah anak
biasa, untuk kemudian mempelajari masalah – masalah yang berkenaan dengan
pendidikan bagi anak tunagrahita. Ini diperlukan bagi semua tenaga pendidik (guru)
yang akan mengajar di sekolah – sekolah khusus untuk tunagrahita ataupun sekolah –
sekolah terpadu untuk anak – anak yang dimaksud.
d. Ketrampilan
Ketrampilan merupakan salah satu syarat yang harus dipunyai oleh tenaga
pendidik bagi anak tunagrahita, terutama menyangkut masalah kebutuhan,
pengembangan kreativitas dalam menciptakan alat – alat atau fasilitas yang digunakan
dalam proses pembelajaran. Guru yang tidak memiliki ketrampilan akan mengalami
kesulitan dalam menyampaikan materi – materi pembelajaran kepada anak.

2. Guru Bimbingan dan Konseling (BK)


Masalah – masalah yang dihadapi oleh anak tunagrahita cukup banyak,
sehingga untuk dapat membentuk anak tunagrahita dalam menemukan dirinya
diperlukan adanya guru BK.
Sebagimana tenaga pendidik yang lainnya yang memberi layanan kepada anak
tunagrahita, guru BK, juga diperlukan adanya kualifikasi khusus untuk dapat
melaksanakan tugasnya. Disamping itu, guru BK juga harus memiliki beberapa
prasyarat, kepribadian dan kompentensi yang sesuai. Kepribadian yang dimaksud
diantaranya
a. Memiliki kematangan emosional
b. Memiliki sikap jujur
c. Mampu membaca situasi
d. Memiliki toleransi

3. Tenaga rehabilitasi
Kehadiran tenaga rehabilitasi di dalam satuan pendidikan luar biasa bagi anak
tunagrahita sangat diperlukan terutama untuk memberikan bantuan medik, sosial dan
ketrampilan agar mereka mampu mengikuti pendidikan.
Personil yang diperlukan untuk memberikan bantuan sebagaimana yang
dimaksud diatas adalah :
a. Dokter
Untuk memberikan bantuan penyembuhan kesehatan bagi anak tunagrahita
agar dapat mengikuti program pendidikan dengan sebaik – baiknya.
b. Psikolog
Untuk memberikan bantuan pengarahan dan pengembangan diri anak
tunagrahita berkenaan dengan permasalahan yang dihadapi.
c. Pekerja sosial
Diperlukan terutama dalam usaha pemberian bimbingan sosial pada anak
tunagrahita yang mencakup pengarahan pada penyesuaian diri terhadap
lingkungannya.
d. Terapi bicara
Berkenaan dengan upaya pemberian bantuan bagi anak tunagrahita yang
mengalami kesulitan dalam berbahasa atau berbicara.
e. Tenaga – tenaga ahli lainnya
Yang secara langsung atau tidak langsung memberikan dukungan atas
kelancaran pendidikan bagi anak tunagrahita.

4. Tenaga ahli ketrampilan


Secara konkret layanan pendidikan anak tunagrahita ditekankan pada
pengembangan ranah psikomotor atau psychomotor-skill yang secara langsung
berhubungan dengan kebutuhan pokok bagi anak tuna grahita dalam kehidupan sehari
– harinya.
Ketrampilan sebagaimana tersebut diatas antara lain :
a. Ketrampilan intelektual
Yang berhubungan dengan kemampuan anak dalam mengembangkan pendapat
dan pikirannya.
b. Ketrampilan sosial
Yang berhubungan dengan kegiatan anak dalam interaksi dengan orang lain,
cara berkomunikasi atau menarik perhatian orang lain.
c. Ketrampilan gerak
Yang berhubungan dengan penampilan gerak tubuh, olahraga atau tari
d. Ketrampilak teknik
Yang berkenaan dengan kegiatan untuk memperbaiki, membuat atau
meningkatkan kualitas barang atau alat yang digunakan manusia seperti elektronika
atau otomotif.
e. Ketrampilan produktif
Yang berhubungan dengan kegiatan untuk menghasilkan suatu barang seperti
makanan, pakaian, hiasan, alat –alat rumah tangga, dsb.

Inklusi, Solusi Atau Masalah

Inklusi, Solusi Atau Masalah

Pendidikan untuk anak yang berkebutuhan khusus telah dicantumkan dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam
kebijakan tersebut memberi warna baru bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus.
Ditegaskan dalam pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus
merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki
kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan
khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.

Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak
berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara lebih operasional, hal ini
diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor Tahun tentang Pendidikan Khusus dan
Pendidikan Layanan Khusus.

Melalui pendidikan inklusi ini diharapkan anak berkelainan atau berkebutuhan khusus dapat
dididik bersama-sama dengan anak normal lainnya. Tujuannya adalah tidak ada kesenjangan
di antara anak berkebutuhan khusus dengan anak normal lainnya. Diharapkan pula anak
dengan kebutuan khusus dapat memaksimalkan potensi yang ada dalam dirinya.

Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak
berkebutuhan khusus yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu
anak yang berkebutuhan khusus perlu diberkan kesempatan yang sama dengan anak normal
lainnya untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di jenjang pendidikan yang ada.

Namun untuk masa sekarang, jenjang pendidikan yang disiapkan untuk menerapkan
kebijakan sekolah inklusi ini adalah pendidikan sekolah dasar (SD). Dan pendidikan inklusi
pada jenjang sekolah dasar diharapkan mampu untuk memecahkan salah satu persoalan
dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus atau anak berkelainan.

Jadi dapat dikatakan bahwa pendidikan inklusi merupakan solusi pemberian pelayanan
pendidikan yang diberikan kepada seluruh anak-anak. Perlu adanya partisipasi masyarakat
dan kerjasama yang sinkron antara orang tua, guru, pemerintah, dan masyarakat.

Sekolah Inklusi, Alternatif Lain SLB

“Mereka yang terkucil dari pendidikan sering kali tidak terlihat; jika terlihat, mereka tidak
diperhitungkan, jika diperhitungkan, mereka tidaklah dilayani. Pendidikan Inklusif
sebenarnya berarti membuat yang tidak tampak menjadi tampak dan memastikan semua
siswa mendapatkan hak memperoleh pendidikan dengan kualitas yang baik”
Demikian diungkapkan Direktur UNESCO’s PROAP, Bangkok Sheldon Shaeffer. Dia
mencoba meningkatkan dan memperluas jaringan pemberdayaan pendidikan terutama
mengarah pada penyetaraan di bidang pendidikan yaitu ”Konsep Pendidikan Untuk Semua
(PUS) atau Education For All (EFA)”.

Sangatlah penting untuk disadari bahwa keragaman di antara manusia adalah normal dan
demikian juga berbagai kategori orang dalam kecacatan berbeda. Seorang guru bisa saja
mempunyai dua murid tunanetra yang membutuhkan pendekatan pembelajaran yang sangat
berbeda karena keragaman itu normal baik diantara orang-orang yang tanpa dan yang
memiliki kecacatan.

Pendidikan bagi anak-anak yang kurang beruntung (cacat) sangat penting dalam upaya
mencapai kesejahteraan sosial. Meskipun di Indonesia pendidikan merupakan suatu
kewajiban bagi semua anak berusia 7-15 tahun, tanpa kecuali, namun anak-anak yang kurang
beruntung dan yang memiliki kebutuhan khusus secara tidak resmi mendapat pengecualian.

Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap
warganegara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini
menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama
dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan.

Mainstream, Integrasi & Inklusi

Mainstreaming, integrasi, dan inklusi merupakan penjabaran situasi dimana anak berkelainan
/ dengan kecacatan diperbolehkan belajar bersama dengan teman sebayanya tanpa kecacatan
dengan anggapan mereka dapat menyesuaikan kepada sistem mainstream dan peraturannya
(mainstreaming/integrasi). Hanya inklusi mencerminkan hak asasi manusia dan isu keadilan
sosial dari pendidikan eksklusif mungkin akibat kebijakan dan praktek yang kaku dalam
sistem pendidikan mainstream.

Mainstream adalah sistem pendidikan yang menempatkan anak-anak cacat di sekolah-sekolah


umum, hanya jika mereka mengikuti kurikulum akademis yang berlaku, dan guru juga tidak
harus melakukan adaptasi kurikulum. Mainstream kebanyakan diselenggarakan untuk anak
yang sakit yang tidak berdampak pada kemampuan kognitif, seperti epilepsi, asma dan anak-
anak dengan kecacatan (dengan fasilitas peralatan, seperti alat bantu dengar dan buku-buku
Braille) dan juga mereka yang memiliki tunadaksa.
Integrasi berarti menempatkan siswa yang berkelainan dalam kelas dengan teman-teman
sebaya mereka yang tidak memiliki kecacatan. Sering terjadi di sekolah integrasi dimana
anak-anak hanya mengikuti pelajaran-pelajaran yang dapat mereka ikuti dari gurunya, dan
untuk kebanyakan mata pelajaran akademis, anak-anak ini menerima pelajaran pengganti di
kelas berbeda, terpisah dari teman mereka. Penempatan terintegrasi tidak sama dengan
integrasi pengajaran dan integrasi sosial, karena ini sangat tergantung pada dukungan yang
diberikan sekolah (dan dalam komunitas yang lebih luas).

Inklusi adalah sebuah filosofi pendidikan dan sosial. Mereka yang percaya inklusi meyakini
bahwa semua orang adalah bagian yang berharga dalam kebersamaan masyarakat, apapun
perbedaan mereka. Dalam pendidikan ini berarti bahwa semua anak, terlepas dari
kemampuan maupun ketidak mampuan mereka, latar belakang sosial-ekonomi, suku, latar
belakang budaya atau bahasa, agama atau jender, menyatu dalam komunitas sekolah yang
sama.

Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak yang
memiliki kelainan, seperti tuna netra, tuna daksa, tuna grahita, tuna rungu, maupun tuna laras.
Secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia
tentang Pendidikan Berkelainan bulan Juni 1994 bahwa prinsip mendasar dari pendidikan
inklusi adalah (selama memungkinkan) semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa
memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.

Sekolah inklusi dimulai dengan filosofi bahwa semua anak dapat belajar dan tergabung dalam
sekolah dan kehidupan komunitas umum. Keanekaragaman antar anak dihargai, dan diyakini
bahwa keanekaragaman menguatkan kelas dan menawarkan semua kesempatan yang lebih
besar untuk pembelajaran anak.

Mereka yang percaya inklusi meyakini bahwa semua orang adalah bagian yang berharga
dalam kebersamaan masyarakat, apapun perbedaan mereka. Dalam pendidikan ini berarti
bahwa semua anak, terlepas dari kemampuan maupun ketidak mampuan mereka, latar
belakang sosial-ekonomi, suku, latar belakang budaya atau bahasa, agama atau jender,
menyatu dalam komunitas sekolah yang sama.

Lawan kata inklusi adalah eksklusi yang berarti penolakan, keterbatasan dan
ketidakberdayaan dan sering mengarah kepada frustasi dan kebencian. Inklusi dan pendidikan
inklusif tidak mempermasalahkan apakah anak dapat mengkuti program pendidikan, namun
melihat para guru dan sekolah agar dapat mengadaptasi program pendidikan bagi kebutuhan
individu.

Inklusi Sebagai Model Pendidikan Khusus

Model pendidikan khusus tertua adalah Model Segregasi yang menempatkan anak
berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Di Indonesia
pendidikan khusus ini dinamakan Sekolah Luar Biasa (SLB). Sekolah-sekolah ini memiliki
kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, sistem evaluasi, dan guru khusus. Dari
segi pengelolaan, model segregasi memang menguntungkan, karena mudah bagi guru dan
administrator. Namun demikian, dari sudut pandang peserta didik, model segregasi
merugikan. Disebutkan oleh Reynolds dan Birch (1988), antara lain bahwa model segregatif
tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal,
karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Kecuali itu, secara
filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat
berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi mereka dipisahkan dengan masyarakat normal.

Model yang muncul pada pertengahan abad XX adalah Model Mainstreaming. Belajar dari
berbagai kelemahan model segregatif, model mainstreaming memungkinkan berbagai
alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan. Alternatif yang tersedia mulai dari
yang sangat bebas (kelas biasa penuh) sampai yang paling berbatas (sekolah khusus
sepanjang hari). Oleh karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak
berbatas (the least restrictive environment), artinya seorang anak berkelainan harus
ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan jenis / tingkat
kelainannya. Secara hirarkis, Deno (1970) mengemukakan alternatif sebagai berikut:

1. Kelas biasa penuh

2. Kelas biasa dengan tambahan bimbingan di dalam,

3. Kelas biasa dengan tambahan bimbingan di luar kelas,

4. Kelas khusus dengan kesempatan bergabung di kelas biasa,


5. Kelas khusus penuh,

6. Sekolah khusus, dan

7. Sekolah khusus berasrama.

Di Amerika Serikat, diperkirakan hanya sekitar 0,5% anak berkelainan yang bersekolah di
sekolah khusus, lainnya berada di sekolah biasa (Ashman dan Elkins,1994). Sedangkan di
Inggris, pada tahun 1980-1990-an saja, peserta didik di sekolah khusus diproyeksikan
menurun dari sembilan juta menjadi sekitar dua juta orang, karena kembali ke sekolah biasa
(Warnock,1978), dan ternyata populasi peserta didik di sekolah khusus kurang dari 3% dari
jumlah anak berkelainan (Fish,1985).

Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback (1990)
mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di
kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang,
tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan
yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi
juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan
saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar
kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.

Selanjutnya, Staub dan Peck (1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusi adalah
penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler.
Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak
berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya. Sementara itu, Sapon-
Shevin (O’Neil, 1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem layanan
pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah
terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya
perombakan sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan
khusus setiap anak, sehingga sumber belajar menjadi memadai dan mendapat dukungan dari
semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya
Melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal)
untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg, 1995). Hal ini dilandasi oleh
kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan yang tidak
dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.

Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-an,
namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National Academy of Sciences di
Amerika Serikat. Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan
di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Hasil analisis yang
dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian menunjukkan bahwa
pendidikan inklusi berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial
anak berkelainan dan teman sebayanya.

Penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia sampai saat ini memang masih


mengundang kontroversi (Sunardi, 1997). Namun praktek sekolah inklusif memiliki berbagai
manfaat. Misalnya adanya sikap positif bagi siswa berkelainan yang berkembang dari
komunikasi dan interaksi dari pertemanan dan kerja sebaya. Siswa belajar untuk sensitif,
memahami, menghargai, dan menumbuhkan rasa nyaman dengan perbedaan individual.
Selain itu, anak berkelainan belajar keterampilan sosial dan menjadi siap untuk tinggal di
masyarakat karena mereka dimasukkan dalam sekolah umum. Dan dengan sekolah inklusi,
anak terhindar dari dampak negatif dari sekolah segregasi, antara lain kecenderungan
pendidikannya yang kurang berguna untuk kehidupan nyata, label “cacat” yang memberi
stigma pada anak dari sekolah segregasi membuat anak merasa inferior, serta kecilnya
kemungkinan untuk saling bekerjasama, dan menghargai perbedaan.

Manfaat sekolah inklusi bukan hanya dirasakan oleh si anak, namun berdampak pula bagi
masyarakat. Dampak yang paling esensial adalah sekolah inklusi mengajarkan nilai sosial
berupa kesetaraan. Berdasarkan pengalaman dari sekolah segregasi, anak berkelainan disorot
sebagai ancaman bagi masyarakat, maka dari itu harus dipisahkan, dan dikontrol oleh
sekolah, bukan dibantu.

Selain belum banyak bukti empiris yang mendukung asumsi bahwa layanan pendidikan
khusus yang diberikan di kelas segregasi menunjukkan hasil yang lebih positif, biaya
penyelenggaraan sekolah segregasi relatif lebih mahal dari pada sekolah umum. Lagipula,
banyak anak berkelainan yang tidak mampu memperoleh pendidikan karena tidak tersedia
sekolah khusus yang dekat, sehingga menjadikan pendidikan inklusi sebagai jawaban
kontemporer bagi anak-anak berkelainan dan berkebutuhan khusus.

Meneropong Wajah Sekolah Inklusi


Banyak yang belum tahu dan belum mengerti seperti apakah sekolah inklusi itu. Bahkan
istilah ”inklusi” itu sendiri terdengar begitu asing bagi para masyarakat awam. Atau mungkin
hanya para orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah inklusi yang mengetahui
sistem pendidikan baru ini. Walaupun demikian masyarakat yang tahu akan hal ini pun belum
tentu mengerti dan mengetahui persepsi awal yang sebenarnya.

Menurut Idayu, Koordinator Sekolah Inklusi di Kota Malang, Sekolah inklusi adalah sekolah
yang menerapkan pendidikan inklusi yaitu pendidikan yang memungkinkan semua anak
berkumpul dengan yang lainnya, dengan setting pembelajaran ramah anak.

Istilah sekolah inklusi kini telah memperolah popularitas, khususnya dalam literatur Inggris
dan Amerika . Perubahan terminologi ini dapat dipandang sebagai kritik terhadap
kecenderungan dalam kebijakan integrasi pendidikan. Kritik tersebut terfokus pada apa yang
dianggap oleh sebagian orang sebagai setengah hati, ketika sekolah reguler lokal dibuka
hanya untuk sebagian kelompok siswa yang berkebutuhan khusus saja atau ketika kelas
khusus atau “sekolah khusus” dirancang sebagai unit khusus dalam sekolah reguler. Istilah
UNESCO untuk sekolah inklusi ini yaitu Lingkungan yang Inklusi dan Ramah terhadap
Pembelajaran (LIRP) sedangkan istilah dari UNICEF yaitu Sekolah Ramah Anak (SRA).

Beberapa ide utama dari prinsip sekolah inklusif dapat dijelaskan sebagai berikut,:

* Bahwa setiap anak merupakan bagian integral dari komunitas lokalnya dan kelas atau
kelompok reguler.

* Bahwa kegiatan sekolah diatur dengan sejumlah besar tugas belajar yang kooperatif,
individualisasi pendidikan dan fleksibilitas dalam pilihan materinya.

* Bahwa guru bekerjasama dan memiliki pengetahuan tentang strategi pembelajaran dan
kebutuhan pengajaran umum, khusus dan individual, dan memiliki pengetahuan tentang cara
menghargai pluralitas perbedaan individual dalam mengatur aktivitas kelas.

Sekolah inklusi bukanlah sekedar sekolah yang menerapkan konsep penyetaraan terhadap
semua manusia dalam memperoleh pendidikan, tapi juga membutuhkan settinggan ramah
anak didalamnya. Setting ramah anak ini sangat membantu dan mendorong kemajuan
perkembangan penerapan pendidikan inklusi di sekolah.
Dimana para ABK sangat membutuhkan dukungan dan motivasi yang mampu mendorong
mereka untuk berinteraksi dengan lingkungannya, maka komponen utama yang paling
mereka butuhkan di sekolahnya adalah sebuah keramahan, yang menerjamahkan pada
mereka suatu penunjukkan kondisi penerimaan terhadap diri mereka.

Ada lima dimensi sekolah ramah anak yang diungkapkan Delegasi Cina pada Lokakarya Asia
Selatan tentang Pendidikan Inklusi dan Sekolah Ramah Anak di Delhi bulan Nonember 2006
kemarin, yaitu: (1) Secara proaktif inklusi – pencarian anak; (2) Sehat, aman, dan protektif;
(3) Partisipasi masyarakat; (4) Efektif dan Terpusat pada Anak; (5) Responsif Jender. Kelima
dimensi ini digunakan untuk memonitori implementasi rintisan sekolah ramah anak.

Sekolah Inklusi Siap Tampung ABK

Idayu Astuti, Koordinator Sekolah Inklusi di Kota Malang menuturkan ”Seharusnya semua
orang (semua siswa) boleh bersekolah di sekolah ini baik yang normal maupun termasuk
siswa ABK. Namun disayangkan masyarakat belum siap dengan diadakannya sekolah
inklusi.” Jadi Dinas Pendidikan Kota Malang (Dindik) memutuskan bagi siswa yang ABK,
hanya yang sudah siap saja seperti anak yang terkena autis ringan dan tunadaksa, serta
ditetapkan pula bahwa dalam satu kelas maksimal terdapat tiga siswa ABK dan sekolah yang
mempunyai status sekolah inklusi disarankan tidak menerima siswa ABK pindahan,
lanjutnya.

Wanita Pendiri Yayasan Idayu ini menjelaskan bahwa tiap sekolah ditakutkan mengalami
suatu hal yang dapat mengganggu proses belajar mengajar di sekolah tersebut jika mereka
dibolehkan menerima ABK pindahan. Karena siswa ABK yang sejak awal tidak di tangani
oleh pihak sekolah akan cenderung memiliki tingkat resiko yang lebih tinggi.

Hal ini pun disetujui oleh Mutini Kepala Sekolah SDN Percobaan 1 Malang, yang juga
beranggapan bahwa akan terjadi ketidakefektifan belajar bagi siswa ABK jika dalam satu
kelas terdapat banyak siswa ABK.

”Minat masyarakat yang ingin menyekolahkan calon siswa ABK sangat tinggi. Namun kami
membatasi calon siswa yang akan bersekolah di SDN ini. Kalau terlalu banyak siswa ABK
nanti malah mengganggu siswa yang lain” ungkap wanita yang dulu sempat menjadi Ketua
FKSI (Forum Komunikasi Sekolah Inklusi) itu.
Ia juga menanggapi bahwa selain timbulnya ketidakefektifan dalam proses belajar mengajar
dengan adanya siswa ABK pindahan, yang kedua adalah faktor kuantitas siswa ABK itu
sendiri.

”Ya sekolah ini tidak menerima siswa pindahan. Kami menerima siswa ABK mulai dari kelas
1. Karena jika bukan binaan sekolah ini sejak awal, nanti malah merepotkan” ujarnya.
Masalahnya sekolah ini juga ingin nilai itu tetap selalu bagus walaupun ada anak-anak ABK,
makanya rekruitnya juga baru. Kalau ndak ada kebijakan seperti itu banyak orang yang ingin
menyekolahkan calon siswa ABK nya kesini, lanjutnya.

Kenyataan ini menunjukkan pada publik bahwa pendidikan inklusi yang kini berjalan belum
terealisasi secara maksimal. Tidaklah mengherankan jika paradigma baru ini belum mampu
diterima masyarakat sepenuhnya. Maka itu seperti yang telah tertulis, partisipasi masyarakat
merupakan komponen yang sangat penting bagi keberhasilan program baru ini. Agaknya
pemerintah harus lebih gencar dalam mengupayakan realisasi pendidikan inklusi ini, salah
satunya melalui pemberdayaan partisipasi masyarakat dalam pendidikan inklusi.

Mengapa Sekolah Inklusi

Pendidikan sangat dibutuhkan bagi anak-anak untuk mencapai kesejahteraan sosialnya. Tak
terkecuali anak-anak yang kurang beruntung baik dalam segi fisik maupun mental. Namun
kenyataan di lapangan, anak-anak yang kurang beruntung dan berkebutuhan khusus menjadi
anak yang dapat dikatakan mendapat pengecualian.

Rencana pendidikan nasional, pendidikan untuk belum semua terpenuhi. Sebanyak 49.647
anak berkebutuhan khusus dari total sekitar satu juta anak berkebutuhan khusus yang dapat
mengenyam pendidikan.

Eksklusivitas dalam pendidikan menutup kesempatan bagi anak berkebutuhan khusus dalam
memperoleh pendidikan. Sikap eksklusivitas semakin membuat anak yang kurang beruntung
dan berkebutuhan khusus semakin terpinggirkan.

Tujuan dari dibentuknya sekolah inklusi adalah untuk menekan dampak yang ditimbulkan
oleh sikap eksklusif. Sekolah inklusi juga memberikan kesempatan bagi anak berkebutuhan
khusus dan kurang berutung dapat mengenyam pendidikan.
Partisipasi masyarakat dan adanya kemandirian menetukan berjalannya kebijakan sekolah
inklusi ini. Karena dalam sekolah inklusi ini dibutuhkan kerjasama antara masyarakat dengan
pengajar di kelas untuk menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima
keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.

Selain itu dalam sekolah inklusi, guru-guru diharuskan untuk mengajar secara interaktif. Hal
ini nantinya dapat menciptakan komunikasi antar guru dan siswa, sehingga dapat timbul
kedekatan. Dengan adanya kedekatan tersebut akan menghilangkan adanya isolasi profesi.
Dalam sekolah inklusi, makna orang tua juga berperan dalam menentukan perencanaan baik
dari segi perencanaan kurikulum di sekolah maupun bantuan belajar di rumah.

R13

Penerapan Sekolah Inklusi Layaknya penerimaan siswa-siswa reguler biasa, para siswa ABK
pun untuk dapat diterima oleh sekolah inklusi perlu melewati ujian atau test terlebih dahulu.
Di Malang khususnya test dilakukan di sekolah masing-masing siswa ABK yang ingin di
masuki, namun perkembangan terbaru yang ada kini agar test yang dilakukan lebih efisien
dan efektif maka ditentukan pusat sumber untuk melakukan tes siswa ABK yang nantinya
akan ditempatkan di salah satu sekolah inklusi yaitu di Sekolah Bakti Luhur.

Bakti Luhur merupakan sekolah luar biasa (SLB) yang terbesar se-Asia Tenggara. ”Kita
sudah melakukan kerjasama dengan pihak Bakti luhur. Pak Sofyan sudah menandatangi
MoU, maka itu Bakti Luhur kini menjadi pusat sumber test ABK.” ujar Idayu, ketua
kordinasi sekolah inklusi di Malang, saat ditemui di Sekolah Bakti Luhur. Sistem tes yang
berpusat seperti ini dirasa lebih memudahkan dalam pengkoordinasian seluruh sekolah
inklusi di Malang ini.

Dengan adanya pusat sumber ini, maka nantinya pelatihan-pelatihan yang akan diberikan
kepada GPK (Guru Pembimbing Khusus) akan diadakan disini (red. Bakti Luhur). Pelatihan
ini dilakukan dengan mengirim para GPK ke Bakti Luhur secara periodik. Pelatihan yang
sering dilakukan yaitu terutama pelatihan untuk menangani anak-anak autis, karena para GPK
sering terkendala dengan ABK yang mengalami autis.
Penerapan sistem pembelajaran yang dilakukan pada sekolah inklusi tidak memiliki suatu
sistem khusus, proses pembelajaran berjalan layaknya sekolah reguler biasa. Hanya saja
lingkungan yang dibangun lebih pada konsep lingkungan yang ramah anak, hal ini
dikarenakan agar ABK merasa lebih nyaman dan mampu menyesuaikan diri terhadap
lingkungannya dengan baik.

Tantangan Sekolah Inklusi

Tidak seperti layaknya SLB yang secara keseluruhan memang dikhususkan untuk menangani
siswa ABK, tentunya banyak kesulitan yang terjadi dalam menerapkan sekolah inklusi ini.
Kesulitan yang dihadapi terutama dalam penanganan ABK itu sendiri, dimana ABK yang
harus ditangani bervariasi jenis kelainannya. ABK yang selama ini dianggap paling sulit
diatasi yaitu ABK yang mengidap autis, karena biasanya prilaku dari sang anak bersifat
mengganggu. Dalam hal ini, GPK lah yang paling merasa tertantang untuk menyelesaikan
permasalahan ini.

Selain itu, dari segi ketenagaan sekolah inklusi yang ada saat ini kebanyakan masih kurang
memadai. Hal ini dapat terlihat dari beberapa sekolah yang masih belum memiliki ruang BK
(bimbingan konseling), tidak adanya alat bantu peraga bagi ABK khusus yang
memerlukannya, dan sedikitnya GPK yang harus menangani banyak ABK dalam suatu
sekolah inklusi. Namun, sejauh ini selalu diusahakan untuk terus memperbaiki sistem fasilitas
yang ada, sehingga dalam proses penerapan pendidikan inklusi menjadi lebih baik. Hal ini
diakui oleh Idayu, ”Dindik selalu mengusahakan ada APBD untuk sekolah inklusi, dan ini
nantinya untuk pendanaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan sekolah inklusi”.

Yang paling menantang sebenarnya adalah mensosialisasikan konsep daripada sekolah


inklusi ini kepada masyarakat. Beberapa sekolah inklusi serentak menjawab hal yang sama
ketika ditanya mengenai kendala yang dialami ”Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat
tentang sekolah inklusi ini sehingga banyak orang tua siswa yang masih menentang.”
Kendala ini terjadi mungkin karena kurangnya tindak lanjut dari tiap-tiap sekolah inklusi,
sehingga kurang tersosialisasikan juga konsep pendidikan inklusi ini.

Penyelenggaraan Inklusi, Perlu Kesiapan Sekolah

Kemunculan sekolah inklusi masih mengalami banyak kendala dalam peneraannya. Jeanne
Leonardo, salah satu psikolog di Kota Malang, memaparkan beberapa perihal menyangkut
sekolah inklusi agar berjalan dengan lebih baik.
Siapakah yang berhak bersekolah di sekolah inklusi?

UNESCO menyatakan bahwa sekolah inklusi ini diperuntukkan bagi semua anak usia
sekolah yang tidak memiliki kesempatan sekolah. Contohnya yaitu anak jalanan, anak autis,
dll yang tergolong dalam kategori ABK.

ABK yang seperti apakah yang mampu masuk sekolah inklusi?

Syarat anak ABK yaitu anak yang kemampuannya ada di tingkat D (IQ 50-70). Kalau IQ 80
sudah masuk pada tingkat anak normal.

Bagaimanakah agar sekolah inklusi ini mampu berjalan dengan baik?

Ya harus ada kesiapan dari pihak yang normal

Bagaimana pandangan anda tentang sekolah inklusi ( dari segi psikolog)?

Kalau menurut saya inklusi itu ada potitifnya dan ada negatifnya. Positifnya anak-anak yang
berekonomi rendah dapat tetap sekolah dan segi negatifnya yaitu persepsi yang salah dari
masyarakat.

Efektifkah adanya sekolah inklusi ini?

Untuk efektifitasnya, sekolah inklusi ini sangat efektif sekali untuk dapat merangkul mereka
(red. ABK) semua.

Apa saja yang seharusnya ada di sekolah inklusi ini?


Sarana sekolah dan kesiapan mental harus berjalan bersamaan. Sarana teknis yang ada ya
tergantung dari muridnya dan tergantung kebutuhan pihak sekolah. Fasilitas secara umumnya
yaitu semua hal-hal yang dirancang untuk anak ABK, jadi kembali pada ABKnya. Pada
dasarnya semua anak ABK dapat masuk sekolah inklusi tidak hanya yang nilainya D, asalkan
intelektual mencukupi untuk masuk sekolah reguler. Dan untuk lingkungannya, sekolah
inklusi ini lingkungannya harus ramah terhadap mereka.

Apakah basic GPK harus dari sajana psikologi?

Oh, gak harus. S1 Psikologi itu hanya alternatif, lebih gampang jika lulusannya dari sarjana
IKIP Ilmu Kependidikan.

Apa saja yang harus dimikili GPK?

Sebenarnya siapa saja bisa jadi GPK, orang luar juga bisa jadi GPK tapi harus belajar dari
awal. Syarat umum untuk GPK itu sendiri adalah harus memiliki rasa tanggung jawab yang
tinggi, sayang anak, dan komitment yang kuat.

Lalu bagaimana dengan para psikolog? Bukankah sekolah inklusi ini membutuhkan
psikolog?

Iya tentunya seperti itu. Untuk psikolog itu sendiri harusnya terjub langsung ke sekolah-
sekolahnya dan melihat perkembangan sekolah inklusi tersebut.

Apa harapan anda sebagai psikolog terhadap sekolah inklusi ini?

Harapan saya, agar sekolah inklusi ini dapat berjalan dengan lancar. Kemudian pemerintah
juga lebih memperhatikan dan mempersiapkan segalanya baik masyarakat dan intern sekolah.
Selain itu, adanya sosialisasi dan penyuluhan gratis juga akan sangat membentu
perkembangan sekolah inklusi ini menjadi lebih baik. Untuk yang lebih utamanya harus ada
kesiapan dari pihak internalnya.

Menguak Kontroversi Sekolah Inklusi


Paradigma baru yang terjadi dalam pendidikan melalui hadirnya konsep baru pendidikan
khusus yaitu berupa sekolah inklusi, menghasilkan berbagai issue yang terdengar dalam
masyarakat. Ini merupakan kontroversi awal bagi hadirnya new product di dunia pendidikan
yang disebut “Education For All (EFA)”. Sebenarnya ini bukanlah suatu produk baru lagi,
namun para ilmuan pendidikan baru menyadari bahwa pendidikan yang selama ini ada
sebenarnya adalah hak semua manusia yang pantas untuk mereka tuntut, entah itu untuk
manusia normal maupun manusia yang berkebutuhan khusus.

EFA merupakan suatu kesadaran publik yang membawa banyak pembenahan pada
pendidikan yang selama ini telah ada. Perkembangan pendidikan luar biasa (PLB) yang
terbukti melalui hadirnya pendidikan inklusi adalah suatu realisasi dari program EFA.

Bagi sebagian besar masyarakat pendidikan inklusi sangatlah baik untuk diterapkan di semua
sekolah. Secara teoritis pendidikan inklusi ini memanglah sebuah pendidikan untuk semua
orang. Tetapi jika dilihat dalam realisasinya, di luar negeri pendidikan inklusi lebih
cenderung mensolusikan bagi permasalahan marginalisasi dalam hal minoritas etnis
sedangkan di Indonesia khususnya Kota Malang lebih cenderung pada permasalahan
marginalisasi bagi anak berkebutuhan khusus (ABK).

Sejauh ini, di Kota Malang tidak terdapat perbedaan pendapat yang begitu berarti, semua
mampu menyamakan persepsi tentang pendidikan inklusi yang perlahan-lahan ini mulai
terealisasikan. Namun, bagaimanakah kondisi pendidikan inklusi di Ibukota kita, yang
berperan sebagai tempat pijakan awal hadirnya pendidikan inklusi di Indonesia. Ternyata
tidak sama adem ayemnya dengan kondisi realisasi yang terjadi di Kota Malang. Mungkin hal
ini disebabkan oleh perkembangan realisasi pendidikan inklusi di Ibukota (Jakarta) yang telah
jauh lebih maju dibandingkan ”Tahap Melangkah” yang sedang dijalani oleh Kota Malang.

Sebuah kontroversi terjadi ketika dalam persyaratan penerimaan murid baru sekolah
menengah atas (SMA) tahun 2005 dicantumkan persyaratan bahwa calon siswa tidak boleh
memiliki cacat fisik yang mengganggu kegiatan belajar mengajar.

”Itu sama saja dengan melegalkan stigmatisasi terhadap orang cacat yang secara kultural
telah lama diterapkan di sekolah ketika menerima siswa baru,” ucap Presiden Penyandang
Cacat Indonesia (PPCI) Siswadi. Menurut Siswadi, kebijakan itu sangat bertentangan dengan
kebijakan sekolah inklusi (sekolah umum yang memberi peluang handicap yang memiliki
nilai seleksi nasional tinggi) yang dibangun pemerintah.
Hal itu, ujarnya, juga bertentangan dengan UU No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat
dimana penyandang cacat diberi kesempatan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk
pendidikan.

Padahal sekolah khusus penyandang cacat sendiri, ujarnya, sangat tidak mencukupi
jumlahnya. Sekolah Luar Biasa (SLB) hanya ada 1350 sekolah di seluruh Indonesia. Jika
rata-rata hanya 1 SLB untuk 4 kecamatan. ”Mobilitas mereka hampir tidak mungkin. Antar
desa saja sulit,” sesalnya. Ia sadar di Indonesia banyak sekolah yang tidak memiliki fasilitas
khusus bagi orang cacat memperoleh pendidikan yang dapat memudahkan kegiatan belajar
mengajar. ”Justru itu yang menimbulkan diskriminasi,” katanya.

Padahal target Asia Pasific dimana Indonesia turut menandatanganinya di tahun 2002,
sekurangnya 75 % anak cacat usia sekolah bisa memperoleh pendidikan. Saat ini, ujarnya,
baru 5 % dari 1,5 juta anak usia sekolah yang memperoleh pendidikan. ”Yang sekarang
sekolah baru 63 ribu di seluruh Indonesia,” katanya.

Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI, Margani M. Mustar,
mengakui dalam penerimaan siswa baru tahun 2005 mensyaratkan siswa baru tidak memiliki
cacat fisik yang dapat mengganggu kegiatan belajar mengajar. ”Juga bagi yang memiliki
kelainan yang sulit dideskripsi,” ujarnya.

Ia membantah persyaratan cacat fisik ini bersifat diskriminatif. ”itu untuk kepentingan belajar
mengajar juga,” jelasnya. Ia menuturkan, untuk sekolah menengah khusus seperti tata boga,
tata busana dan teknik memang memerlukan indera yang baik. ”Kalau buta warna kan mesti
pakai huruf braille. Dan tidak semua sekolah punya huruf braille,” ucapnya.

DKI Jakarta, ucapnya, juga mengembangkan sekolah inklusi. ”Di Jakarta ada beberapa,
karena sekolah inklusi kan butuh peralatan lebih dan penanganan khusus,” ujarnya.
Penyandang cacat, ujarnya, bisa datang ke Dikmenti untuk mendapat bantuan pendidikan.

Menanggapi persoalan ini Idayu sebagai orang yang telah terjun langsung menangani sekolah
inklusi di Kota Malang mengatakan bahwa ini semua terjadi dikarenakan masih banyak
masyarakat yang kurang meneriman siswa ABK.
Ternyata di balik kesempurnaan pendidikan inklusi yang di elu-elukan para pakar pendidikan,
memiliki sebuah keterbatasan, yang dimana siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus)
tetaplah tidak mampu melangkah sejajar dengan siswa yang normal. Akankah inklusi mampu
terus merambah hingga jejang perguruan tinggi?

Kontroversi ini menunjukkan bahwa kesenjangan yang terjadi antara siswa ABK dan siswa
normal hanya sebatas meminimalisir, tidak dapat dihilangkan. Inklusi agaknya bukan solusi
terbaik bagi permasalahan marginalisasi yang terjadi di dunia pendidikan. Mungkinkah akan
ada lagi pendidikan-pendidikan lain yang menawarkan perubahan bagi permasalahan
maginalisasi ini.

Tidak Semudah Guru Reguler

Sebelumnya Santi adalah seorang guru di salah satu SLB di Kota Malang sekitar 1,5 tahun.
Wanita yang bernama lengkap Santi Dwi Puspitaningrum mengakui ketika ada program
sekolah inklusi, dirinya langsung tertarik dan ingin menjadi GPK. Wanita asli malang ini juga
menuturkan bahwa syarat untuk menjadi GPK itu adalah harus tahu apa yang akan kita
dihadapi karena nantinya kita akan menghadapi anak-anak ABK dan GPK itu minimal harus
bergelar Spd PLB dan sarjana psikologi.

Untuk menjadi GPK ternyata tidaklah semudah yang dikira layaknya guru-guru reguler yang
ada. Santi menuturkan beberapa kesulitan yang ia rasakan selama menjadi GPK di SD
Pandan Wangi 3 yaitu: Pertama, pengalaman yang ia miliki tidak mencukupi untuk
menyelesaikan berbagai masalah yang timbul di sekolah; Kedua, ada sesuatu yang baru yang
harus dihadapi. Santi mengakui karena pengalamannya yang sangat terbatas tersebut
sehingga menyulitkannya menghadapi sesuatu yang baru yang ia temui dalam penerapan
sekolah inklusi ini; Ketiga, tidak adanya alat peraga. Tidak hanya santi, mungkin seluruh
GPK akan merasa kesulitan tanpa adanya alat peraga yang dibutuhkan untuk menunjang
proses belajar ABK.

Berbica mengenai efektifitas sekolah inklusi, ia mulai mengeluarkan suara, ”Efektifitasnya


ini diukur darimana sudut pandang mana dulu, kalau dari aspek kelas reguler sekolah inklusi
ini kurang efektif karena ABK terutama yang memiliki kelainan autis biasanya suka
menganggu”. Ia juga menambahkan bahwa sejauh ini sosialisasi sekolah inklusi ini bagus dan
para wali murid juga telah menyetujuinnya, soal efektifitas memang perlu proses untuk
memaksimalkan sekolah inklusi.
1. Nama-nama responden atau nama di dalam berita diperhatikan lagi (misal, idayu menyebut
soyfan. Nama sofyan merujuk ke kadin pendidikan bernama shofwan)

2. kalimat langsung memakai ungkapan baku saja mengingat mereka bukan anak muda.
(misal, gak seharusnya tidak)

3. berita tidak memakai poin-poin dan biasakan gunakan bahasa jurnalistik bukan kalimat
seperti teori kuliah

4. Dinas pendidikan bukan disingkat Dindik, melainkan dindik. Kata Dindik merujuk ke
depDindik (pusat). Jika berada di dalam kutipan, lebih baik diganti Dindik.

5. Setiap kalimat harus didasarkan pada responden, bukan terkesan opini penulis. (misal, Mrs
X mengungkapkan….. atau ini diungkapkan Mrs X pada DIANNS saat dijumpai di ruang
kerjanya atau pernyataan tersebut disampaikan Mrs X dsb )

Pendidikan Integratif dan Pendidikan Inklusif

Pendahuluan

Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali
dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada
tahun1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke
Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang
ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act.
1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya
pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif.
Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak
diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang
pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi ’education for all’.

Implikasi dari statemen ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa
kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanana pendidikan secara
memadai. Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan
konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif
yang selanjutnya dikenal dengan ’the Salamanca statement on inclusive education”.

Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif,


Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan
Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif.
Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan
simposium internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang
isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif
sebagai salah satu cara menjamin bahwa anak benar-benar memperoleh pendidikan.
Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut, maka Pemerintah
Republik Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan program pendidikan inklusif.
Program ini merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah
diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang, dan baru
mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia,
menggunakan pendidikaninklusif.

1. Pengertian Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak
berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman
seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil, 1994) Sekolah inklusif adalah sekolah yang
menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan
yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid
maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil
(Stainback,1980)

Global View of Disability: Mithu Alur and Michael Bach (Inclusive Education for children
With Disability 2005:11)

· 550 million disabled people (6,5 billion of human population

· 80 % live in develoving countries

· 33% are children

· 80% Live in rural area

· Labeled the “poorest of the poor

· 55% of the disabled children live in poverty

· In some countries, 90 % disabled children won’t survive beyond age 20

· WHO estimates 98% of disabled people in developing countries are totally neglected
(no free medical care or social security)

Menurut CAPP Mithu Alur and Michael Bach (Inclusive Education for children With
Disability 2005:59)

Inclusive education means every child learning together in his/her neibourhood school All
children are welcomed in the school and all children learn together in the regular classroom.
Afford “open access”to students with disabilities

Uses Identifiable school, classroom and instructional practice that promote inclusion and
make real involment and acceptance probable.

Ensure that student with disabilities take part in all aspect of the social life of the school

Inclusive education is for every child

Berdasarkan batasan tersebut pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan


pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak
sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Semangat
penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan atau akses yang seluas-
luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan
kebutuhan individu peserta didik tanpa diskriminasi.

Pendidikan Segregasi, Pendidikan integratif dan Pendidikan Inklusif

a. Pendidikan segregasi Pendidikan segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak


berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi
ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan
peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C
(untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan
lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan
SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem pendidikan yang digunakan
terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga
pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan
evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain aspek perkembangan emosi dan
sosial anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas.

b. Pendidikan terpadu/integratif

Pendidikan terpadu adalah sekolah yang memberikan kesempatan kepada peserta didik
berkebutuhan khusus untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler tanpa adanya perlakuan
khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan individual anak. Sekolah tetap menggunakan
kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, serta sistem pembelajaran
reguler untuk semua peserta didik. Jika ada peserta didik tertentu mengalami kesulitan dalam
mengikuti pendidikan, maka konsekuensinya peserta didik itu sendiri yang harus
menyesuaikan dengan sistem yang dituntut di sekolah reguler. Dengan kata lain pendidikan
terpadu menuntut anak yang harus menyesuaikan dengan sistem yang dipersyaratkan sekolah
reguler. Kelemahan dari pendidikan melalui sekolah terpadu ini antara lain, anak
berkebutuhan khusus tidak mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan individual anak.
Sedangkan keuntungannya adalah anak berkebutuhan khusus dapat bergaul di lingkungan
sosial yang luas dan wajar.

Sistem pendidikan integratif

Penyelenggaraan program pendidikan terpadu bermula dengan keluarnya surat keputusan


Mendikbud No.002/U/1986 tanggal 4 Januari 1986 tentang program pendidikan terpadu bagi
anak cacat. Keputusan itu disusul dengan surat edaran Dirjen Dikdasmen No.6718/C/I/89
tanggal 15 Juli 1989 tentang perluasan kesempatan belajar bagi anak berkelainan di sekolah
umum. Kemudian SK Mendikbud No.0491/U/1992 mempertegas tentang pendidikan bagi
anak berkelainan yang diselenggarakan bersama-sama dengan anak normal di jalur
pendidikan sekolah. Melalui program pendidikan terpadu ini para peserta didik
dimungkinkan untuk saling menyesuaikan diri, saling belajar tentang sikap, perilaku dan
ketrampilan, saling berimitasi dan mengidentifikasi, menghilangkan sifat menyendiri,
menimbulkan sikap saling percaya, meningkatkan motivasi untuk belajar dan meningkatkan
harkat serta harga diri. Selain surat keputusan yang telah diuraikan di atas, juga ada surat
Direktur Pendidikan Dasar No.0267/C2/U/1994 tanggal 30 Maret 1994 tentang
penyelenggaraan pendidikan terpadu yang diberlakukan bagi beberapa jenis kecacatan akan
tetapi memiliki kemampuan inteligensi normal atau di atas rata-rata. Pelaksanaan pendidikan
terpadu di Indonesia terselenggara dengan sistem:

1). Belajar di kelas biasa dengan guru kelas. Sekarang ini banyak siswa tuna netra yang
mendapatkan program pelayanan pendidikan terpadu secara penuh, dimana siswa belajar di
kelas biasa dan ditangani sepenuhnya oleh guru kelas serta masing-masing guru bidang studi.

2). Belajar di kelas biasa dengan guru kelas dan seorang guru pembimbing khusus.

Siswa tuna netra belajar di kelas biasa dengan guru kelas yang didampingi oleh guru
pembimbing khusus. Guru pembimbing khusus dapat berasal dari kalangan guru PLB tetapi
dapat pula dari tenaga ahli di bidang ketunanetraan.

3). Belajar di kelas biasa dengan guru kunjung Guru kunjung biasanya menangani siswa tuna
netra yang belajar pada beberapa sekolah. Fungsinya hanya memberikan saran-saran kepada
guru kelas atau guru bidang studi.

4). Belajar di sekolah umum dengan kelas khususSiswa tuna netra belajar di sekolah umum
tetapi belajar di kelas yang khusus (terpisah dengan siswa normal lainnya).

5). Belajar dalam satu lokasi sekolah dengan berbagai macam ketunaan.

Siswa tuna netra bersama dengan siswa yang memiliki kebutuhan khusus lainnya belajar
dalam satu gedung sekolah yang sama.

Hambatan pelaksanaan pendidikan integratif


Di beberapa daerah di Indonesia, banyak sekolah umum yang tidak mau menerima siswa
berkebutuhan khusus untuk belajar di sekolah tersebut dengan alasan tidak adanya surat
keputusan dari pemerintah yang menyatakan bahwa sekolah tersebut harus menerima siswa
yang memiliki kebutuhan khusus. Sesuai surat keputusan Kepala Kanwil Depdiknas Propinsi
DKI Jakarta No.31/101.B2/LL/1999 tanggal 23 April 1999 ditunjuklah beberapa sekolah
umum di DKI Jakarta menjadi sekolah terpadu. Pada kenyataannya, banyak Kepala Sekolah
yang ditunjuk sebagai sekolah terpadu merasa keberatan dengan penunjukan tersebut.
Alasannya sekolah mereka tidak akan mendapatkan nilai plus dengan kehadiran siswa yang
berkebutuhan khusus di sekolah mereka. Kepala sekolah juga merasa bahwa dengan
penunjukan tersebut akan menurunkan nilai kinerja sekolah, sementara nilai kinerja sekolah
tersebut yang diperoleh melalui nilai akademis siswa merupakan dasar bagi penilaian
akreditasi sekolah yang akan dilaksanakan mulai tahun ajaran 2002/2003 di seluruh sekolah
negeri di Jakarta.

Penunjukan sekolah umum menjadi sekolah terpadu juga tidak disertai dengan sosialisasi
anak berkebutuhan khusus kepada kepala sekolah beserta staff dan gurunya. Selain itu
prasarana dan sarana penunjang pelayanan pendidikan terpadu juga tidak disediakan oleh
pemerintah.Penunjukan sekolah terpadu di Jakarta hanya ditujukan untuk SLTP dan SMU.
Sedangkan untuk jenjang sekolah dasar belum ada penunjukan untuk sekolah terpadu. Masih
banyak anggapan di benak guru-guru di sekolah umum yang menyatakan bahwa mengajar
anak yang memiliki kebutuhan khusus adalah sesuatu yang remeh. Sehingga mereka akan
merasa menjadi rendah apabila sekolah dimana tempat mereka mengajar dijadikan sekolah
terpadu.Surat Direktur Pendidikan Dasar No.0267/C2/U/1994 tanggal 30 Maret 1994 tentang
penyelenggaraan pendidikan terpadu yang diberlakukan bagi beberapa jenis kecacatan akan
tetapi memiliki kemampuan inteligensi normal atau di atas rata-rata menjadi kendala pula
bagi pelaksanaan pendidikan terpadu di Indonesia. Sebab dengan surat keputusan tersebut
pihak sekolah umum dapat menolak siswa berkebutuhan khusus yang memiliki intelegensi di
bawah rata-rata, dengan demikian pelaksanaan pendidikan terpadu menjadi sangat terbatas
hanya bagi siswa yang sangat pandai saja.

c. Pendidikan inklusif

Pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah
inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani
secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan/atau penyesuaian, mulai dari
kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai
pada sistem penilaiannya. Dengan kata lain pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah
yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta
didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Keuntungan dari pendidikan inklusif
anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai
dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya dapat
terpenuhi sesuai potensinya masing-masing. Konsekuensi penyelenggaraan pendidikan
inklusif adalah pihak sekolah dituntut melakukaan berbagai perubahan, mulai cara pandang,
sikap, sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa
diskriminasi.

3. Implikasi manajerial pendidikan inklusif Sekolah reguler yang menerapkan program


pendidikan inklusif akan berimplikasi secara manajerial di sekolah tersebut. Diantaranya
adalah:

a. Sekolah reguler menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima


keanekaragaman dan menghargai perbedaan.

b. Sekolah reguler harus siap mengelola kelas yang heterogen dengan menerapkan
kurikulum dan pembelajaran yang bersifat individual.

c. Guru di kelas reguler harus menerapkan pembelajaran yang interaktif.

d. Guru pada sekolah inklusif dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau
sumberdaya lain dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

e. Guru memahami multiple intelligence

f. Guru memahami perbedaan kebutuhan dalam mengembangkan kurikulum

g. Mampu merubah aturan main antara guru dengan siswa

h. Guru memiliki strategi dan model serta metode mengajar yang bervariasi.

i. Guru pada sekolah inklusif dituntut melibatkan orangtua secara bermakna dalam proses
pendidikan.

Pro dan kontra pendidikan inklusif

Meskipun pendidikan inklusif telah diakui di seluruh dunia sebagai salah satu upaya
mempercepat pemenuhan hak pendidikan bagi setiap anak, namun perkembangan pendidikan
inklusif mengalami kemajuan yang berbeda-beda di setiap negara. Sebagai inovasi baru, pro
dan kontra pendidikan inklusif masih terjadi dengan alasan masing-masing. Sebagai negara
yang ikut dalam berbagai konvensi dunia, Indonesia harus merespon secara proaktif terhadap
kecenderungan perkembangan pendidikan inklusif. Salah satunya adalah dengan cara
memahami secara kritis tentang pro dan kontra pendidikan inklusif.Pro Pendidikan Inklusifa.
Belum ada bukti empirik yang kuat bahwa SLB merupakan satu-satunya sistem terbaik untuk
pendidikan anak berkebutuhan khusus.b. Beaya penyelenggaraan SLB jauh lebih mahal
dibanding dengan dengan sekolah regular.c. Banyak anak berkebutuhan khusus yang tinggal
di daerah-daerah tidak dapat bersekolah di SLB karena jauh dan/atau biaya yang tidak
terjangkau.

1. Pro Pendidikan Inklusif.


a. Belum ada bukti empirik yang kuat bahwa SLB merupakan satu-satunya sistem terbaik
untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus.

b. Biaya penyelenggaraan SLB jauh lebih mahal dibanding dengan dengan sekolah regular.

c. Banyak anak berkebutuhan khusus yang tinggal di daerah-daerah tidak dapat bersekolah di
SLB karena jauh dan/atau biaya yang tidak terjangkau.

2. Kontra Pendidikan Inklusif.

a. Peraturan perundangan memberikan kesempatan pendidikan khusus bagi anak


berkebutuhan khusus.

b.Hasil penelitian masih menghendaki berbagai alternatif pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus.

c. Banyak orangtua yang anaknya tidak ingin bersekolah di sekolah reguler.

d. Banyak sekolah reguler yang belum siap menyelenggarakan pendidikan inklusif karena
menyangkut sumberdaya yang terbatas

e. Sekolah khusus/SLB dianggap lebih efektif karena diikuti anak yang sejenis.5. Pendidikan
Inklusif yang Moderat.

Jalan keluar untuk mengatasi pro dan kontra tentang pendidikan inklusif, maka dapat
diterapkan pendidikan inklusif yang moderat. Pendidikan inklusif yang moderat dimaksud
adalah Pendidikan inklusif yang memadukan antara terpadu dan Inklusi penuh.

a. Model moderat dikenal dengan model ‘Meanstreaming’.

b. Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam prakteknya anak berkebutuhan khusus
disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak
berkebutuhan khusus fleksibel pindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain,
seperti : bentuk kelas reguler penuh, bentuk kelas reguler dengan cluster, bentuk kelas reguler
dengan ’pull out’, bentuk kelas reguler dengan ‘cluster dan pull out’, bentuk kelas khusus
dengan berbagai pengintegrasian. bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler

(1) Inklusi seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip fundamental yang mendasari
kebijakan nasional.

(2) Konsep kualitas seyogyanya difokuskan pada perkembangan nasional, emosi dan fisik,
maupun pencapaian akademik lainnya.

(3) Sistem asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar sesuai dengan prinsip-prinsip
non-diskriminasi dan inklusi serta konsep kualitas sebagaimana telah disebutkan di atas.

(4) Orang dewasa seyogyanya menghargai dan menghormati semua anak, tanpa memandang
perbedaan karakteristik maupun keadaan individu, serta seharusnya pula memperhatikan
pandangan mereka.
(5) Semua kementerian seyogyanya berkoordinasi untuk mengembangkan strategi bersama
menuju inklusi.

(6) Demi menjamin pendidikan untuk Semua melalui kerangka sekolah yang ramah terhadap
anak (SRA), maka masalah non-diskriminasi dan inklusi harus diatasi dari semua dimensi
SRA, dengan upaya bersama yang terkoordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah dan
non-pemerintah, donor, masyarakat, berbagai kelompok local, orang tua, anak maupun sektor
swasta

(7) Semua pemerintah dan organisasi internasional serta organisasi non-pemerintah,


seyogyanya berkolaborasi dan berkoordinasi dalam setiap upaya untuk mencapai
keberlangsungan pengembangan masyarakat inklusif dan lingkungan yang ramah terhadap
pembelajaran bagi semua anak.

(8) Pemerintah seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial maupun ekonomi bila tidak
mendidik semua anak, dan oleh karena itu dalam Manajemen Sistem Informasi Sekolah harus
mencakup semua anak usia sekolah.

(9) Program pendidikan pra-jabatan maupun pendidikan dalam jabatan guru seyogyanya
direvisi guna mendukung pengembangan praktek inklusi sejak pada tingkat usia pra-sekolah
hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan pada pemahaman secara holistik tentang
perkembangan dan belajar anak termasuk pada intervensi dini

(10) Pemerintah (pusat,propinsi, dan lokal) dan sekolah seyogyanya membangun dan
memelihara dialog dengan masyarakat, termasuk orang tua, tentang nilai-nilai sistem
pendidikan yang non-diskriminatif dan inklusif.

Berikut ini ada beberapa analisa untuk mengatasi masalah tersebut di atas agar pendidikan
inklusif bisa terlaksana, pada level community, maupun pada level individual dan family.

Kriteria Calon Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif

1. Kesiapan sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan inlusif (kepala sekolah,


komite sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua)

2. Terdapat anak berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah

3. Tersedia guru khusus/PLB (guru tetap sekolah atau guru yang diperbantukan dari lembaga
lain)

4. Komitmen terhadap penuntasan wajib belajar

5. Memiliki jaringan kerjasama dengan lembaga lain yang relevan

6. Tersedia sarana penunjang yang mudah diakses oleh semua anak

7. Pihak sekolah telah memperoleh sosialisasi tentang pendidikan inklusi


8. Sekolah tersebut telah terakreditasi

Rekomendasi

Rekomendasi berikut ini untuk lebih meningkatkan kualitas sistem pendidikan:

(1) Inklusi seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip fundamental yang mendasari
kebijakannasional.

(2) Konsep kualitas seyogyanya difokuskan pada perkembangan nasional, emosi dan fisik,
maupun pencapaian akademik lainnya.

(3) Sistem asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar sesuai dengan prinsip-prinsip
non-diskriminasi dan inklusi serta konsep kualitas sebagaimana telah disebutkan di atas.

(4) Orang dewasa seyogyanya menghargai dan menghormati semua anak, tanpa memandang
perbedaan karakteristik maupun keadaan individu, serta seharusnya pula memperhatikan
pandangan mereka.

(5) Semua kementerian seyogyanya berkoordinasi untuk mengembangkan strategi bersama


menuju inklusi.

(6) Demi menjamin pendidikan untuk Semua melalui kerangka sekolah yang ramah
terhadap anak (SRA), maka masalah non-diskriminasi dan inklusi harus diatasi dari semua
dimensi SRA, dengan upaya bersama yang terkoordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah
dan non-pemerintah, donor, masyarakat, berbagai kelompok local, orang tua, anak maupun
sektor swasta.

(7) Semua pemerintah dan organisasi internasional serta organisasi non-pemerintah,


seyogyanya berkolaborasi dan berkoordinasi dalam setiap upaya untuk mencapai
keberlangsungan pengembangan masyarakat inklusif dan lingkungan yang ramah terhadap
pembelajaran bagi semua anak.

(8) Pemerintah seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial maupun ekonomi bila tidak
mendidik semua anak, dan oleh karena itu dalam Manajemen Sistem Informasi Sekolah harus
mencakup semua anak usia sekolah

(9) Program pendidikan pra-jabatan maupun pendidikan dalam jabatan guru seyogyanya
direvisi guna mendukung pengembangan praktek inklusi sejak pada tingkat usia pra-sekolah
hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan pada pemahaman secara holistik tentang
perkembangan dan belajar anak termasuk pada intervensi dini

(10) Pemerintah (pusat, provinsi, dan lokal) dan sekolah seyogyanya membangun dan
memelihara dialog dengan masyarakat, termasuk orang tua, tentang nilai-nilai sistem
pendidikan yang non-diskriminatif dan inklusif.
Kesimpulan

1). Landasan yuridis, empirik, dan falsafah pendidikan integratif dan pendidikan inklusif
sudah jelas tetapi banyak faktor yang harus diperhatikan demi terlaksananya pendidikan ini
secara berkesinambungan

2). Pro dan Kontra di masyarakat tentang pelaksanaan pendidikan integratif dan inklusif
perlu di cari solusi nyata sehingga tujuan pendidikan nasional dapat dicapai.

3) Belum ada sinergi yang baik antara pemerintah, seluruh lembaga pendidikan serta
masyarakat dalam upaya mewujudkan pendidikan integratif dan pendidikan inklusif tersebut

Anda mungkin juga menyukai