Materi Kualitas Air 3.10
Materi Kualitas Air 3.10
b. Parameter kimia
Parameter kimia meliputi kandungan oksigen terlarut atau Dissolved Oxygen (DO), pH, Ammonia, Nitrat,
Nitrit, Total Ammonia Nitrogen (Tan), Total Organic Matter (TOM), Fosfor, Biochemical Oxygen
Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), Alkalinitas, Kesadahan, Co2 dan lain-lain. Parameter
kimia meliputi:
1) Dissolved Oxygent. Oksigen terlarut adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang berasal dari aktivitas
fotosintesis dan difusi dari atmosfer/udara dengan satuan mg/L atau ppm (part per million).
2) pH (Power of Hydrogen atau Poisson Hard). pH adalah suatu ekpresi dari konsentrasi ion hidrogen
(H+) di dalam air. Besarannya dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentrasi ion H.
3) Chemical OxygentDemand. Chemical OxygentDemand adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh
biota perairan dalam reaksi kimia dengan satuan mg/L atau ppm.
4) Biochemical OxygentDemand. Biochemical oxygen demandadalah jumlah oksigen yang dikonsumsi
oleh mikroorganisme perairan dengan satuan mg/L atau ppm.
5) CO2 (Karbondioksida). Karbondioksida adalah senyawa yang dihasilkan oleh aktivitas respirasi biota
air biasanya dinyatakan dengan satuan mg/L atau ppm.
6) Amonia (NH4). Ammonia adalah senyawa nitrogen yang berasal dari sisa metabolisme kebanyakan
organisme akuatik dan hasil dekomposisi bahan organik yang mengandung bahan nitrogen dalam air
oleh bakteri.
7) Nitrit (NO2-). Nitrit adalah hasil dari proses oksidasi ammonia oleh bakteri Nitrosomonas dalam proses
nitrifikasi.
8) Nitrat (NO3-), Nitrat adalah hasil oksidasi nitrit oleh bakteri Nitrobacter dalam proses nitrifikasi
9) Total ammonia nitrogen (TAN). Di dalam air ammonia bisa terdapat dalam dua bentuk tergantung pada
pH air yaitu NH4+ (ammonia terionisasi, karena memiliki ion positif) dan NH3 (tak terionisasi, karena
tidak memiliki ion). Total ammonia nitrogen adalah gabungan dari dua bentuk senyawa ammonia
tersebut.
10) Total Organic Matter (TOM). Total organik matter atau sering disebut bahan organik total merupakan
kandungan bahan organik total di perairan yang terdiri dari bahan organik terlarut, tersuspensi
(particulate) dan koloid.
11) Alkalinitas. Alkalinitas adalah suatu parameter kimia perairan yang menunjukan jumlah ion karbonat
dan bikarbonat biasanya dinyatakan dalam mg/l CaCO3.
12) Kesadahan. Kesadahan adalah kandungan mineral tertentu di dalam air, umumnya
yaitu ionkalsium (Ca) dan magnesium(Mg) dalam bentuk garam karbonat. Air sadah atau sering disebut
dengan air keras adalah air yang memiliki kadar mineral yang tinggi.
13) Hidrogen Sulfida (H2S). H2S adalah gas beracun yang dihasilkan dari hasil penguraian atau
perombakan bahan organik oleh bakteri.
c. Parameter biologi
Parameter biologi adalah parameter yang digunakan untuk mengetahui kepadatan biota di dalam air. Biota
tersebut dapat berupa plankton, bentos, perifiton, bakteri maupun biota jenis lainnya. Tetapi dalam dunia
perikanan biota air yang sering diukur adalah jenis plankton dan bakteri baik biota yang menguntungkan
maupun yang merugikan. Parameter biologi meliputi:
1) Plankton. Plankton adalah mikroorganisme yang hidup melayang di perairan, mempunyai gerak sedikit
sehingga mudah terbawa oleh arus. Plankton merupakan salah satu komponen utama dalam sistem
rantai makanan atau food chain dan jaring makanan atau food web (Ferianti, 2007). Plankton dibagi
menjadi dua jenis yaitu fitoplankton (plankton tumbuhan) dan zooplankton (plankton hewan).
2) Bakteri. Bakteri adalah salah satu golongan organisme prokariotik (tidak mempunyai selubung inti),
uniselluler dan berukuran renik (mikroskopis). Bakteri merupakan organisme yang paling banyak
jumlahnya dan lebih tersebar luas dibandingkan mahluk hidup yang lain. Bakteri ada yang
menguntungkan tetapi ada pula yang merugikan. Bakteri yang menguntungkan diantaranya adalah yang
berasal dari golongan Bacillus sp, Nitrosomonas, Nitrobacter, dan lain-lain. Sedangkan beberapa jenis
bakteri yang dikenal merugikan karena dapat menyebabkan penyakit pada organisme budidaya antara
lain adalah Vibrio harveyi atau Aeromonas hydrophyla.
3) Bentos. Bentos merupakan kelompok organisme yang tinggal di dalam atau di permukaan dasar laut
atau dasar perairan yang dikenal sebagai zona bentik.
4) Nekton. Nekton adalah organisme yang hidup di kolom air yang bergerak secara aktif sehingga
gerakannya kurang dipengaruhi oleh gerakan arus bahkan dapat menantang gerakan arah arus secara
bebas serta migrasi tergantung kehendaknya.
5) Neuston. Neuston adalah organisme yang tidak melekat pada subtrat namun biasanya ditemukan di atas
atau di bawah film air (batas antara air dan udara), termasuk di dalamnya adalah tumbuhan terapung.
Hewan yang hidup di atas lapisan film air disebut epineuston sedangkan yang hidup di bawah film air
disebut hyponeuston.
6) Perifiton. Perifiton adalah organisme yang tersangkut atau melekat pada substrat yang dapat berupa
batang dan tumbuhan yang berakar atau ada juga yang bergerak lurus ke dasar (Odum, 1971). Menurut
Webbel (1979) berdasarkan tipe subtrat yang di hinggapinya periphyton di klasifikasi sebagai berikut:
a) Epilithic adalah periphyton yang menempel pada batu
b) Epipelic adalah periphyton yang menempel pada permukaan sedimen
c) Epiphitic adalah periphyton yang menempel pada permukaan daun atau batang tumbuhan
d) Epizolic adalah periphyton yang menempel pada permukaan hewan
e) Episamic adalah periphyton yang menempel pada permukaan pasir
Konsentrasi DO berkaitan erat dengan suhu di perairan, karena titik jenuh kelarutan oksigen terlarut sangat
ditentukan oleh suhu air. Semakin tinggi suhu air maka semakin rendah kelarutan oksigen. (Effendi, 2003).
Pada saat musim kemarau, kelarutan oksigen semakin rendah, selain karena suhu juga karena volume aliran
air yang berkurang. Selain itu jika volume limbah tidak berkurang maka aktivitas penguraian bahan limbah
oleh mikroorganisme juga meningkat sehingga meningkatkan konsumsi oksigen.
Keadaan ini menyebabkan konsentrasi oksigen menjadi sangat rendah. Sehingga menimbulkan kondisi
yang kritis bagi organisme air (Barus,2001)
Tabel 2. Proporsi ammonia dari total ammonia berdasarkan kondisi suhu dan pH air
SUHU AIR ( 0C)
PH
24 26 28 30 32
7,0 0,005 0,006 0,007 0,008 0,009
7,2 0,008 0,010 0,011 0,013 0,015
7,4 0,013 0,015 0,018 0,020 0,023
7,6 0,021 0,024 0,028 0,031 0,036
7,8 0,033 0,038 0,043 0,049 0,056
8,0 0,051 0,058 0,066 0,075 0,085
8,2 0,078 0,089 0,101 0,114 0,129
8,4 0,119 0,134 0,151 0,170 0,190
8,6 0,176 0,197 0,220 0,245 0,271
8,8 0,253 0,281 0,309 0,340 0,371
9,0 0,349 0,382 0,415 0,449 0,483
9,2 0,460 0,495 0,530 0,564 0,597
9,4 0,574 0,608 0,641 0,672 0,701
9,6 0,661 0,711 0,739 0,762 0,788
Sumber : Tetrapoik (2011)
Biota air ada yang bisa bertahan hidup dengan konsentrasi oksigen kurang dari 4mg/L tetapi nafsu makannya
mulai menurun. Suhu merupakan salah satu faktor yang penting di dalam kegiatan budidaya perikanan.
Aktivitas metabolisme ikan berbanding lurus terhadap suhu air. Semakin tinggi suhu air semakin aktif pula
metabolisme ikan, demikian pula sebaliknya. Kondisi suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan ikan. Pada
suhu rendah, ikan akan kehilangan nafsu makan dan menjadi lebih rentan terhadap penyakit. Sebaliknya jika
suhu terlalu tinggi maka ikan akan mengalami stress pernapasan dan bahkan dapat menyebabkan kerusakan
insang yang permanen. Contoh : suhu air yang optimal untuk pertumbuhan ikan nila berkisar antara 28°C
sampai 32°C. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan ikan nila yang dibudidayakan mampu beradaptasi
dengan suhu air diantara keduanya, mulai dari 18°C sampai 32°C.
Pada perairan alam dan dalam sistem pemeliharaan ikan, konsentrasi karbondioksida diperlukan untuk proses
fotosintesis oleh tanaman air ataupun fitoplankton dalam perairan. Nilai CO2 ditentukan antara lain oleh pH
dan suhu. Jumlah CO2 di dalam perairan yang bertambah akan menekan aktivitas pernapasan biota air dan
menghambat pengikatan oksigen oleh hemoglobin sehingga dapat membuat biota air menjadi stress. Sebagai
contoh kandungan CO2 dalam air untuk kegiatan pendederan nila sebaiknya kurang dari 15 mg/L. Seperti yang
sudah disuraikan diatas bahwa pada proses fotosintesis dihasilkan oksigen tetapi juga memerlukan
karbondioksida, yaitu gas yang dibutuhkan oleh tumbuh-tumbuhan air renik maupuntumbuhan tingkat tinggi
untuk melakukan fotosintesis. Bagi tumbuhan hijau jumlahkarbondioksida harus tersedia dalam jumlah yang
cukup banyak tetapi jika jumlah tersebutmelampaui batas akibatnya kehidupan hewan-hewan air akan
mengalami saat kritis, karenaselain mempengaruhi pH, kadar karbondioksida yang terlampau tinggi dapat
menjadi racun bagihewan air secara langsung. Kandungan karbondioksida tinggi juga sangat membahayakan
bagiorganisme yang dibudidayakan, karena keberadaannyadalam darah dapat menghambat pengikatan Oksigen
terlarut oleh hemoglobin.
Ikan nila dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada lingkungan perairan dengan alkalinitas rendah atau
netral. keberadaan alkalinitas berkolerasi dengan pH. Apabila alkalinitas rendah pH juga akan rendah atau
asam, sebaliknya apabila alkalinitas tinggi maka pH cenderung tinggi juga. Pada lingkungan dengan pH rendah
pertumbuhannya mengalami penurunan namun demikian ikan nila masih dapat
tumbuh dengan baik pada kisaran pH 5 –10. Derajat keasaman (pH) sebagai salah satu faktor kualitas air
memegang peranan sangat penting, karena dapat mengontrol tipe dan laju reaksi beberapa bahan dalam air,
tidak semua mahluk hidup bisa bertahan dengan perubahan nilai pH, untuk itu alam telah menyediakan
mekanisme yang unik agar perubahan tidak terjadi atau terjadi tetapi dengan cara perlahan. Dengan
diketahuinya nilai pH maka kita akan tahu apakah air itu sesuai atau tidak sebagai media hidup ikan. Aktivitas
ikan yang memproduksi karbondioksida dari hasil proses metabolisme dapat mengakibatkan penurunan pH air,
kolam yang lama tidak pernah mengalami penggantian air akan menunjukkan penurunan pH, yang disebabkan
karena peningkatan karbondioksida oleh biota air yang terakumulasi terus-menerus di dalam kolam dan ini
dapat menyebabkan daya racun dari ammonia meningkat jika pH air meningkat. Sehingga dapat menyebabkan
biota air mengalami kehilangan keseimbangan. Pada sistem budidaya biota air, sisa pakan yang berlebih
merupakan salah satu sumber penyebab naiknya kadar ammonia. Namun ammonia yang berlebih tergantung
pada retensi nitrogen oleh organisme budidaya, jika kualitas pakan kurang baik makan nitrogen yang diretensi
akan rendah dan nitrogen yang terbuang dalam bentuk ammonia akan tinggi. Ammonia dalam bentuk tidak
terionisasi merupakan racun bagi kebanyakan biota air, walaupun biasanya biota air dapat menyesuaikan
diri dengan kondisi ammonia akan tetapi perubahan mendadak akan menyebabkan kerusakan jaringan insang.
Keberadaan ammonia dalam air dapat menyebabkan berkurangnya daya ikat oksigen oleh sel-sel darah, hal ini
akan menyebabkan nafsu makan ikan menurun. Kadar oksigen dan ammonia bisa saling mempengaruhi
walaupun tidak berkaitan langsung. Sebagai contoh kadar ammonia yang tinggi pada air dengan kadar oksigen
tinggi juga mungkin terjadi dan sebaliknya. Pada kondisi kadar oksigen tinggi akan mendukung proses
nitrifikasi sehingga ammonia bisa dikonversi menjadi nitrat dengan catatan bakteri nitrifikasi ada dalam
jumlah yang memadai di sistem tersebut. Kadar ammonia harus diupayakan untuk selalu kurang dari 1 ppm,
karena konsentrasi ammonia yang lebih dari 1 ppm dapat membahayakan bagi ikan dan organisme budidaya
lainya.
Sebagai contoh, lingkungan tumbuh (habitat) yang paling ideal bagi ikan nila adalah perairan air tawar yang
memiliki suhu antara 14°C–32oC, atau suhu optimal 25oC–30oC. Keadaan suhu yang rendah yaitu suhu kurang
dari 14°C ataupun suhu yang terlalu tinggi di atas 30°C akan menghambat pertumbuhan ikan nila. Ikan nila
memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan lingkungan hidup. Keadaan pH air antara 5 – 11 dapat ditoleransi
oleh ikan nila, tetapi pH yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakkan ikan ini adalah 7-8. Ikan
nila masih dapat tumbuh dalam keadaan payau atau bahkan di air laut dengan kisaran salinitas 0 – 35 g/L. Oleh
karena itu, ikan nila dapat dibudidayakan di perairan payau, tambak dan perairan laut, terutama untuk tujuan
usaha pendederan.
Salinitas merupakan salah satu parameter lingkungan yang mempengaruhi proses biologi dan secara langsung
akan mempengaruhi kehidupan organisme akuatik antara lain yaitu mempengaruhi laju pertumbuhan, jumlah
makanan yang dikonsumsi, nilai konversi makanan, dan daya kelangsungan hidup. Salinitas adalah kadar
seluruh ion-ion yang terlarut dalam air. Salinitas dapat menyatakan konsentrasi ion-ion pada air laut seperti
sulfat, chlorida, carbonat, natrium, calsium dan magnesium. Salinitas sangat berpengaruh terhadap tekanan
osmotik air, semakin tinggi salinitas semakin besar pula tekanan osmotiknya. Ikan nila merupakan ikan yang
biasa hidup di air tawar, sehingga untuk membudidayakan ikan ini di perairan payau atau tambak perlu
dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu secara bertahap sekitar 1– 2 minggu dengan perubahan salinitas tiap
harinya sekitar 2- 3 ppt agar ikan nila dapat beradaptasi dan tidak stress.
Kekeruhan air terlalu tinggi tidak baik untuk kehidupan ikan. Kekeruhan yang tinggi yang sebabkan oleh
plankton sampai dengan tingkat tertentu memang diharapkan, namun bila kekeruhan diakibatkan oleh endapan
lumpur yang terlalu tebal dan pekat dapat berakibat negatif pada organisme budidaya. Kandungan lumpur yang
terlalu pekat di dalam air akan mengganggu penglihatan ikan dalam air sehingga menjadi salah satu sebab
kurangnya nafsu makan ikan. Selain itu benih yang masih berukuran sangat kecil akan
terganggu pernafasannya karena lumpur akan ikut terpisah air dan tersangkut dalam insang.
Beberapa parameter kuaitas air yang optimal bagi beberapa komoditas perikanan dapat dlihat pada tabel
berikut ini.
Tabel 3. Data Beberapa Parameter Kualitas Air Yang Optimal Untuk Beberapa Komoditas Penting.
Parameter Kualitas Air
Debit
Jenis DO Ammoni Kedalama
NO Suhu Air Salinitas Kecerah
Komoditas (mg/L pH ak n Air
(°C) (L/deti (g/L) an (M)
) (mg/L) (Cm)
k)
1 Lele 24– - 6,5 -
26 9
2 Mas 25– >3 6,7 - <0,1
30 8
3 Gurame 24- 5 6,5–7,5 5 - 12 70 -
28 100
4 Nila 28- >5 5 - 10 0 – 35
32
5 Tiram 25- 5,2- 7,8- 0,4-3,1 32-35 4,5-
Mutiara 30 6,6 8,6 6,5
6 Rumput 8,2- 60 - 80
laut 8,7
7 Patin 26- 6,5-7
28
Parameter kualitas air untuk budidaya dan peralatan pengukuran yang dapat digunakan.
4 Kekeruhan turbiditymeter
7 Salinitas Salinometer/
refraktometer
Parameter Kimia
18 Alkalinitas titrasi
19 Kesadahan dH meter
Parameter Biologi
4) Kekeruhan
Pengukuran parameter kekeruhan dengan menggunaan turbidimeter satuannya NTU. Dasar dari analisis
turbidimetri adalah pengukuran intensitas cahaya yang ditranmisikan sebagai fungsi dari konsentrasi fase
terdispersi, bilamana cahaya dilewatkan melalui suspensi maka sebagian dari energi radiasi yang jatuh
dihamburkan dengan penyerapan, pemantulan, dan sisanya akan ditranmisikan
Cara pengukuran parameter kekeruhan alat turbidimetri yakni :
Larutan standar pada botol kecil/botol sampel diletakkan ke dalam alat.
Alat disetting terlebih dahulu, dimana angka yang tertera harus 0 atau dalam keadaan netral, dengan cara
memutar tombol pengatur hingga nilai yang tertera pada layar pada turbidimeter sesuai dengan nilai standart.
Botol yang berisi air sampel diaduk dengan cara dibolak-balik agar tidak terjadi endapan
Air sampel dipindahkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 20-30 mL selanjutnya sampel dimasukkan pada
tempat pengukuran sampel yang ada pada turbidimeter,
Hasilnya dapat langsung dibaca dan di catat di skala pengukuran kekeruhan yang tertera pada layar dengan
jelas.
Pengukuran sampel harus dilakukan sebanyak 3 kali dengan menekan tombol pengulangan pengukuran
untuk setiap pengulangan agar pengukuran tepat atau valid, dan hasilnya langsung dirata-ratakan
5) Salinitas
Prinsip kerja dari refraktometer sesuai dengan namanya adalah dengan memanfaatkan refraksi cahaya. Salinitas
diukur dengan alat refraktometer dengan cara :
o Refraktometer yang akan digunakan dikalibrasi terlebih dahulu dengan cara meneteskan aquades ke kaca
depan refraktometer.
o Amati kadar salinitas dari lensa belakang hingga menunjukkan angka 0 dengan sambil memutar bagian
kalibrasinya dengan menggunakan obeng kecil di bagian atas refraktometer.
o Bersihkan kaca depan refraktometer dengan mengguakan tisu hingga benar-benar bersih sebelum
digunakan untuk mengamati kadar salinitas sampel.
o Air sampel diambil secukupnya, lalu diteteskan pada kaca depan refraktometer,
o Kemudian diamati melalui lensa belakang,
o Penunjukan nilai salinitas pada alat tersebut, dicatat.
6) Kecerahan
Salah satu cara untuk mengukur kecerahan air dilakukan dengan menggunakan keping Secchi (Secchi-disk), yaitu
sebuah keping bulat dengan garis tengah 20 cm yang terbuat dari seng atau lempengan besi dan dicat putih atau
hitam-putih yang diberi pemberat. Alat tersebut diturunkan ke dalam air sampai tidak tampak, kedalamannya
diukur, kemudian diturunkan lebih dalam lagi. Selanjutnya keping tersebut diangkat kembali dan apabila keping
hampir tampak lagi, maka kedalamannya diukur lagi. Harga rata-rata kedua pengukuran tersebut diambil sebagai
kecerahan keping secchi. (Secchi disc visibility) dengan satuan sentimeter. Pengukuran kecerahan dilakukan pada
pukul 11.00 – 13.00 waktu setempat ketika cuaca sedang cerah, tempat pengukuran tidak terlindung dari sinar
matahari. Apabila pada waktu mau dilakukan pengukuran kecerahan, kondisi cuaca mendung maka sebaiknya
pengukuran diurungkan.
(b)
(a)
Gambar 4. Pengukuran kecerahan (a) secchi disk dengan skala pengukuran dan (b) penggunaan
secchi disk
7) Kedalaman
Pengukuran kedalaman perairan dapat menggunakan tongkat berskala atau meteran tali berskala tergantung dari
lokasi sampling. bila kedalaman lebih dari 2 m maka disarankan menggunakan tali berskala. tongkat berskala
dapat dibuat sendiri dengan menempelkan meteran pada tongkat kayu. tali berskala juga dapat dibuat sendiri
dengan bantuan meteran yang diikat pada pemberat. tujuan digunakan pemberat pada tali adalah supaya tali tidak
terbawa arus dan kedalaman yang terukur dalam keadaan tegak dengan dasar perairan.
8) Kecepatan Arus
Adanya adukan air yang disebabkan oleh adanya pergerakan air akan menghasilkan oksigen di dalam perairan
tersebut. Pada umumnya bila suatu perairan mempunyai arus yang cukup deras maka kadar oksigen yang terlarut
juga akan semakin tinggi.
Alat :
a) Current meter atau benda yang terapung (bola pingpong)
b) Roll meter
c) Stop watch
d) Tali rafia
e) Ranting kayu
Cara Kerja :
Setiap 100 m perairan tersebut diberi tanda dengan ranting kayu searah aliran air.
a) Bola pingpong yang telah diikat dengan tali rafia diletakkan di atas permukaan air berbarengan
dengan dijalankannya stop watch.
b) Kecepatan gerakan bola tiap 100 m dicatat.
c) Percobaan diulangi hingga beberapa kali dan dirata-rata.
Perhitungan :
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ
𝐾𝑒𝑐𝑒𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑎𝑟𝑢𝑠 = = ⋯ 𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟/𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘
𝑊𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑙𝑢𝑘𝑎𝑛
9) Debit air
Debit air adalah volume aliran air per satuan waktu. Debit air dipengaruhi oleh luas penampang perairan dan
kecepatan arus.
Alat :
a) Roll meter
b) Bandul logam
c) Bola pingpong
Cara Kerja :
a) Diukur lebar dan panjang perairan, lebar dan panjang perairan tersebut dibagi rata untuk
beberapa titik.
b) Kemudian pada tiap titik diukur kedalamannya dengan bandul logam untuk kemudian dibuat
gambar penampang perairan dan diukur luas perairan tersebut (A m2).
c) Dihitung juga kecepatan arus air dengan mengunakan bola pingpong.
Perhitungan : Q = A x V
A = luas penampang (luas x dalam)
V = kecepatan arus
10) Padatan Tersuspensi Total dan Padatan Terlarut Total (TSS dan TDS)
Padatan tersuspensi total atau total suspended solids (TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi dan tidak terlarut
dalam air, bahan-bahan ini tersaring pada kertas saring Millipore dengan ukuran pori-pori 0,45 µm. Sedangkan
padatan terlarut total adalah bahan-bahan terlarut yang tidak tersaring dengan kertas saring Millipore dengan
ukuran pori-pori 0,45 µm. Cara pengukuran TSS dilakukan dengan gravimetrik yang terdiri dari kegiatan
penyaringan, penguapan dan penimbangan biasanya pengukurannya digabung dengan pengukuran Padatan terlarut
total atau total dissolved solids (TDS).
Alat dan Bahan :
a) Kertas saring/Filter Millipore dengan porositas 0,45 µm
b) Vacum pump
c) Timbangan
d) Cawan porselin
e) Oven
f) Desikator
g) 500 mL sampel air
h) Gelas piala, gelas ukur dan corong
Cara Kerja Pengukuran TSS:
a) Siapkan filter dan vacuum pump. saring 2 x 20 mL akuades, biarkan penyaringan berlanjut
sampai 2 – 3 menit untuk mengisap kelebihan air
b) keringkan kertas saring dalam oven selama 1 jam pada temperature 103 – 105 °C, diinginkan
dalam desikator, lalu timbang (B g)
c) ambil 100 mL air sampel dengan kertas ukur, aduk, kemudian saring dengan menggunakan
kertas saring (filter) yang telah ditimbang pada prosedur no 2
d) keringkan filter dan residu dalam oven 103 – 105 °C selama paling sedikit 1 jam, dinginkan
dalam desikator, timbang (A g)
Perhitungan :
1000 (𝐴 − 𝐵)
𝑇𝑆𝑆 = = ⋯ 𝑚𝑔/𝐿
𝑚𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
A : berat (mg) filter dan residu
B : berat (mg) filter
Gambar 5. Pengukuran sampel dengan pH paper (a) gambar indikator universal, (b) Indikator
universal digunakan dengan cara mencelupkan indikator universal sampai batas warna ke dalam
larutan yang akan ditentukan pH nya, akan terlihat perubahan warna pada kertas indikator, (c)
kemudian cocokkan perubahan warna dengan warna indikator pada kotak. Dan dapat ditentukan
pH larutan.
b) pH Meter
Prinsipnya pengukuran suatu pH adalah didasarkan pada potensial elektro kimia yang terjadi
antara larutan yang terdapat di dalam elektroda gelas yang telah diketahui dengan larutan yang
terdapat di luar elektroda gelas yang tidak diketahui. Potensial antara sampel yang tidak
diketahui dengan elektroda gelas dapat berubah tergantung sampelnya. Oleh karena itu, perlu
dilakukan kalibrasi dengan menggunakan larutan yang equivalent yang lainnya untuk
menetapkan nilai pH.
2) Oksigen terlarut (DO)
Oksigen terlarut adalah jumlah mg/L gas oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen terlarut dalam air
dapat berasal dari proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tanaman air atau dari difusi udara. kadar
oksigen terlarut dapat ditentukan dengan titrasi maupun alat ukur elektronik DO meter.
Untuk menjaga ketepatan pengukuran, setiap jangka waktu tertentu alat perlu dikalibrasi dengan
membandingkan hasil pengukuran alat terhadap hasil pengukuran dengan metode titrasi winkler
terhadap air sampel yang sama. Alat juga harus dikalibrasi terhadap temperatur dan tekanan
udara (lokasi ketinggian) setempat, alat juga perlu diset pada temperatur dan salinitas air yang
bersangkutan pada saat pengukuran.
3) Ammonia
(1) Pengukuran ammonia dengan metode Nessler
Semua pereaksi yang dibuat dengan menggunakan ammonia bebas air. Pereaksi Nessler
Larutkan 10 g HgI2 dan 7 g KI dalam sejumlah kecil air. Tambahkan campuran ini dengan
pengadukan yang teratur kedalam larutan dingin 16 g NaOH dalam 50 mL ammonia bebas air.
Encerkan sampai 100 ml. Simpan dalam botol gelap.
Cara Kerja :
(1) Ambillah 1 mL NH4Cldalam tabung Nessler. Tabung Nessler dibuat khusus untuk
pengukuran warna optic. Bilamana tidak ada tabung Nessler, gunakan tabung penguji
apapun yang terbuat dari gelas yang jernih. Semua tabung yang digunakan untuk
perbadingan warna harus sama ukuran dan kualitasnya.
(2) Encerkan larutan standar menjadi 100 mL. Tambahkan 2 mL pereaksi Nessler.
(3) Apabila 100 mL sampel tak berwarna dalam tabung lain yang sama, dan tambahkan 2 mL
pereaksi Nessler kedalamnya.
(4) Bilamana sampel air menjadi berkabut pada penambahan pereaksi Nessler, hentikan.
(5) Pada sampel segar tambahkan 2 mL campuran larutan KNaC4H4O6.4H2O 50 % dan pereaksi
Nessler dengan volume yang sama.
(6) Biarkan kedua standar dan sampel selama 10 menit. Warna kuning yang terjadi bandingkan
langsung dengan jumlah ammonia yang ada.
Perkiraan banyaknya ammonia dapat dibuat berdasarkan intensitas warna. Warna coklat
kemerahan mencirikan adanya lebih dari 5 mg/L ammonia. Warna kuning mencolok mencirikan
konsentrasi ammonia antara 1 sampai dengan 5 mg/L. Warna kuning yang hampir tak teramati
mencirikan ammonia kurang dari 0,1 mg/L.
c. Pengukuran parameter biologi
1) Plankton
Secara umum keberadaan plankton di perairan akan dipengaruhi oleh tipe perairannya (mengalir
atau tergenang), kualitas kimia dan fisika perairan (misalnya suhu, kecerahan, arus, pH, kandungan
CO2 bebas dsb) dan adanya kompetitor pemangsa plankton. Pengambilan sampel air untuk
pengamatan parameter plankton terdiri dari beberapa metode, yaitu :
a. Penyaringan (filtration method) dengan menggunakan plankton net dengan ukuran mata jaring
disesuaikan dengan klasifikasi plankton yang diinginkan. Jumlah air yang tertampung bervariasi
5 – 50 L tergantung dari kepadatan plankton yang dapat dilihat dari warna air. Sampel diambil
dengan menggunakan alat sampling dengan volume tertentu, kemudian di saring dengan
menggunakan plankton net. Sampel plankton yang tertampung dalam saringan dipindahkan ke
dalam botol koleksi lalu diawetkan dengan menggunakan formalin atau alcohol sebelum
dilakukan identifikasi plankton di bawah mikroskop.
b. Pengendapan air sampel (sedimentation method) dengan menggunakan tabung penampung
2) Bentos
Bentos merupakan organisme perairan yang hidup di dasar perairan. Pengamatan parameter biologi
untuk bentos umumnya hanya terbatas pada makrobentos. Pengambilan sampel organisme bentik
dapat dilakukan dengan cara sederhana terutama untuk daerah litoral yang dangkal (tepian).
Beberapa larva arthropoda dapat diambil dengan menggunakan jala surber, sedangkan untuk
beberapa jenis moluska karena memiliki ukuran yang besar dapat dilakukan tanpa bantuan alat
khusus.
Pengambilan makrobentos di daerah tepi danau atau waduk dilakukan dengan metode transek garis,
yaitu dengan menarik garis sejajar dengan garis tepian perairan. Pengamatan dilakukan pada daerah
1 m di kanan dan kiri garis sepanjang transek. Larva arthropoda diambil dengan cara menyaring
substrat dasar dengan menggunakan jala surber (saringan tepung) dan diidentifikasi.
Pengambilan sampel bentos dapat menggunakan Ekman grab jika sampel diambil pada perairan
yang berlumpur atau tergenang, penggunaan Ekman grab dilakukan untuk mengetahui sampel
sesaat. atau dapat pula menggunakan jala surber pada sampel yang diambil pada perairan yang
mengalir.
Cara Kerja :
Pengambilan Sampel Menggunakan Ekman Grab
(1) Kedua belahan pengeruk Ekman grab dibuka hingga terbuka lebar dan kaitkan kawat
penahannya pada tempat kaitan yang terdapat pada bagian atas alat tersebut.
(2) Pengeruk dimasukkan secara vertikal dan perlahan-lahan ke dalam air hingga menyentuh dasar
perairan.
(3) Kemudian jatuhkan logam pembeban sepanjang tali pemegangnya sehingga kedua belahan
Ekman grab tertutup, dan lumpur serta hewan yang terdapat di dasar perairan akan terhimpun
dalam kerukan.
(4) Ekman ditarik perlahan-lahan ke atas dan isinya ditumpahkan ke dalam baskom yang sudah
disediakan.
(5) Sampah-sampah dari kerukan tersebut dibuang kemudian hewan bentos diseleksi dengan cermat
dan memasukkan ke dalam botol sampel yang berisi alkohol 70%
(6) Pengambilan sampel dilakukan sekali lagi pada tempat yang berbeda
Hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Pengelolaan Kualitas Air di Kolam Budidaya Ikan Lele
Dalam budiaya lele, kita menginginkan agar nilai pH air kolam adalah sama atau mendekati sama dengan
nilai pH tubuh lele. Lele mempunyai toleransi bisa hidup di kisaran PH 6-9 yang berarti bahwa lele lebih toleran
basa dari pada asam, namun kondisi ideal untuk kehidupan lele ada pada PH 7-8. Jika nilai pH air berada di bawah
kisaran yang distandarkan, maka kita harus menaikkan nilai pH tersebut dengan cara pemberian kapur. Kapur yang
digunakan biasanya adalah kapur dolomit, pH air di luar standar yang ditentukan akan berdampak pada
metabolisme lele, nafsu makan turun dan lain-lain. Salah satu cara menetralisir kandungan pH dalam air kolam lele
adalah dengan memanfaatkan pohon pepaya. Baik dari daun, batang hingga buahnya dapat kita gunakan untuk
menstabilkan pH air kolam ikan lele budidaya dengan cara memasukkannya ke dalam kolam. Air hujan sangat
berpengaruh terhadap perubahan pH , secara alami air hujan bersifat asam dengan PH sekitar 5,6 sehingga akan
menyebabkan PH air kolam turun dan akan membuat ikan lele gelisah, nafsu makan berkurang dan tak jarang
menyebabkan lele (terutama benih lele) mengapung dan mati. Segera ketahui perubahan pH tersebut dan segera
ambil tindakan sebelum terlambat.
Mengelola DO menjadi sangat penting karena DO merupakan salah satu faktor kunci dalam budidaya lele.
Konsentrasi oksigen terlarut dibawah 5 ppm, akan membuat lele menjadi sulit dalam mendapatkan oksigen,
sehingga lele akan naik ke permukaan air untuk mendapatkan oksigen. Jika hal ini berlangsung dalam waktu yang
lama, maka lele akan mati lemas. Perlakuan yang harus kita lakukan dalam kejadian ini adalah diantaranya dengan
mengganti 50% air kolam dengan air yang baru, memaksimalkan operasional aerator dan memberikan kapur agar
proses respirasi selain lele menjadi terhambat. Oksigen terlarut dalam kolam pada siang hari akan meningkat
karena proses fotosintesis dengan bantuan sinar matahari dan turun di malam hari karena respirasi oleh tumbuhan
dan hewan termasuk ikan, tingkat DO akan mencapai titik terendah menjelang fajar. Tingkat DO dinyatakan dalam
ukuran ppm (part per million). Tingkat konsentrasi DO : 5 ppm : baik untuk kesehatan ikan yang optimal 2-4ppm :
Ikan stress Dibawah 2 ppm : Ikan mati Tinggkat DO yang terlalu tinggi dapat menyebabkan emboli atau tekanan
gas yang berlebihan yang dapat menyebabkan ikan kembung.
Salinitas lingkungan yang optimal dibutuhkan lele untuk menjaga kandungan air dalam tubuhnya agar
dapat melangsungkan proses metabolisme dengan baik. Jika kadar garam dalam tubuh lele lebih tinggi dari
lingkungannya, maka air dari lingkungan akan masuk ke dalam tubuh lele, sehingga sel tubuh akan membesar.
Demikian sebaliknya jika kadar garam lingkungannya lebih besar dari sel tubuh, maka cairan dalam sel tubuh akan
tertarik keluar sehingga lele akan “kurus”. Untuk menjaga kadar garam air pada kolam budidaya, terutama jika
terlalu tinggi. Hal yang dapat kita lakukan jika kadar garam terlalu tinggi adalah dengan lebih sering mengganti
air.
5. Suhu (Temperatur).
Suhu perairan sangat mempengaruhi kondisi lele terutama nafsu makannya. Hal ini berkaitan dengan
proses metabolisme tubuh lele. Semakin tinggi suhu perairan, semakin tinggi pula proses metabolisme dalam
tubuh lele. Sebaliknya jika suhu perairan sangat rendah, maka proses metabolisme tersebut akan terhambat
sehingga lele berkurang nafsu makannya. Suhu yang optimal untuk pertumbuhan lele adalah berkisar antara 25 –
30 0C. Cara untuk menjaga stabilitas suhu :
Jika suhu air rendah (< 25 0C), maka nafsu makan lele akan berkurang karena proses metabolismenya
terhambat, namun jika suhu perairan terlalu tinggi (> 300C), maka proses metabolisme lele akan meningkat dan
beban insang untuk membuang hasil ekskresi cair tubuh yang berupa NH3 , akan meningkat.
Sumber air yang digunakan untuk budidaya baik untuk persiapan atau pendederan telah terbebas dari bibit
penyakit/virus yang masuk dari luar melalui air. Sebaiknya menggunakan air sumur yang sudah di kondisikan
dalam kolam tertentu.