Anda di halaman 1dari 23

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan. Luas pantai di Indonesia

berpotensi membentuk ekosistem dengan keanekaragamannya. Ekosistem

terpenting yang ada di perairan laut, yaitu ekosistem mangrove, ekosistem

terumbu karang dan ekosistem lamun. Keberadaan ketiga ekosistem tersebut

menjadi habitat berbagai biota laut. Biota laut yang ada di dalamnya merupakan

kekayaan laut pesisir.

Banyaknya pulau yang dimiliki Indonesia , sehingga Indonesia disebut

negara kepulauan. Keberadan pulau-pulau tersebut tersebar di seluruh wilayah di

Indonesia. Bahkan wilayah pesisir mempunyai keunggulan wilayah yang berbeda

diantara wilayah yang lain. Keunggulan suatu wilayah dapat terlihat dari

keunggulan sumberdaya alamnya, misalnya mangrove, terumbu karang,dan

lamun. Sumberdaya tersebut saling keterkaitan serta mempunyai karakteristik

kultur yang khas. Keberadaan sumberdaya alam juga berhubungan dan salaing

keterkaitan dengan masyarakat.

Ekosistem di perairan laut dipengaruhi oleh berbagai aspek yang berkaitan

dengan kehidupannya. Ekosistem laut berbeda dengan ekosistem darat. Ekosistem

laut akan dapat beradaptasi dengan lingkungan hidup yang ekstrim, suhu yang

rendah serta tekanan yang tinggi. Pada laut dalam yang lingkungannya ekstrim

banyak terdapat aktivitas thermal vents. Hal itu dikarenakan cahaya matahri tidak

dapat menembus perairan. Oleh karena itu, di perairan dalam proses fotosintesis

tidak terjadi secara optimal.


2

Kompleksnya suatu struktur di perairan menunjukan diversity spesies. Akan

terjadi siklus materi dan arus energi pada komponen-komponen yang ada. Segala

aktivitas yang terjadi juga dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya faktor kimia,

fisika dan biologi. Hubungan yang terjadi di dalam ekosistem merupakan satu

kesatuan komunitas perairan. Komponen tersebut terdiri atas komponen biotik

(mahluk hidup) dan abiotik (mahluk tak hidup).

B. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dilaksanakannya Praktik Lapang Ekologi Laut Tropis adalah untuk

mengetahui proses ekologi yang terjadi di perairan dengan lakukan pengamatan

dan pengukuran Kerapatan jenis, kerapatan relatif, frekuensi jenis, frekuensi

relatif, penutupan jenis, penutupan relatif, dan indeks nilai penting dari ekosistem

mangrove dan padang lamun serta tampak morfologi ekosistem terumbu karang

yang ada di perairan Tanjung Tiram.

Manfaat dari dilaksanakannya Praktik Lapang Ekologi Laut Tropis yaitu

untuk menambah wawasan praktikan mengenai cara pengukuran Kerapatan jenis,

kerapatan relatif, frekuensi jenis, frekuensi relatif, penutupan jenis, penutupan

relatif, dan indeks nilai penting dari ekosistem mangrove dan padang lamun serta

tampak morfologi ekosistem terumbu karang.


3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ekosistem Manggrove

Hutan mangrove merupakan formasi dari tumbuhan yang spesifik, dan

umumnya dijumpai tumbuh dan berkembang pada kawasan pesisir yang

terlindung di daerah tropika dan subtropika. Kata mangrove sendiri berasal dari

perpaduan antara bahasa Portugis yaitu mangue, dan bahasa Inggris yaitu grove.

Dalam bahasa Portugis, kata mangrove dipergunakan untuk individu jenis

tumbuhan, dan kata mangal dipergunakan untuk komunitas hutan yang terdiri atas

individu-individu jenis mangrove. Sedangkan dalam bahasa Inggris, kata

mangrove dipergunakan baik untuk komunitas pohon-pohonan atau rumput-

rumputan yang tumbuh di kawasan pesisir maupun untuk individu jenis tumbuhan

lainnya yang tumbuh yang berasosiasi dengannya (Pramudji, 2001).

Hutan Mangrove merupakan vegetasi khas daerah tropis dan sub-tropis yang

dijumpai di tepi sungai, muara sungai dan tepi pantai yang dipengaruhi oleh

pasang surut air laut. Dengan kata lain bahwa mangrove termasuk vegetasi

halofita (halophytic vegetation) yaitu vegetasi yang hanya terdapat pada tempat-

tempat yang tanahnya berkadar garam tinggi (Atmoko, et al., 2007).

Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil.

Kekomplekan ekosistem ini terlihat bahwa hutan mangrove menyumbangkan

konstribusi besar detritus organik yang mendukung jaring makanan dalam

ekosistem. Tingginya kelimpahan makanan dan tempat tinggal, serta rendahnya

tekanan predasi, menyebabkan ekosistem mangrove membentuk habitat yang

ideal untuk berbagai spesies satwa dan biota perairan, untuk sebagian atau

seluruh siklus hidup mereka. Karena itu, mangrove dapat berfungsi sebagai
4

tempat pengasuhan yang penting untuk kepiting, udang dan berbagai jenis ikan,

dan mendukung keberadaan populasi ikan lepas pantai dan perikanan. Bukti

hubungan antara habitat mangrove dan perikanan lepas pantai masih langka,

namun sangat diperlukan untuk tujuan pengelolaan dan konservasi (Nagelkerken,

et al., 2008).

Hasil-hasil studi di beberapa daerah pantai juga menunjukkan bahwa

keberadaan hutan mangrove sangat memberikan manfaat pada masyarakat pesisir

berupa barang yang didapat melalui peningkatan hasil tangkapan dan perolehan

kayu bakau yang mempunyai nilai ekspor tinggi. Selain itu, kawasan tersebut

menyediakan jasa lingkungan yang sangat besar, yaitu perlindungan pantai dari

badai dan erosi serta pendapatan langsung bagi masyarakat manusia melaui

kegiatan wisata (Krauss, et al., 2008; et al., 2009). Dengan demikian, potensi

ekonomi mangrove diperoleh dari tiga sumber utama yaitu hasil hutan, perikanan

estuarin dan pantai (perairan dangkal), serta wisata alam.

Hutan mangrove terbentuk karena adanya perlindungan dari ombak, masukan

air tawar, sedimentasi, aliran air pasang surut, dan suhu yang hangat. Proses internal

pada komunitas ini seperti fiksasi energi, produksi bahan organik dan daur hara

sangat dipengaruhi proses eksternal seperti suplai air tawar dan pasang surut, suplai

hara dan stabilitas sedimen. Faktor utama yang mempengaruhi komunitas mangrove

adalah salinitas, tipe tanah, dan ketahanan terhadap arus air dan gelombang laut.

Faktor-faktor ini bervariasi sepanjang transek dari tepi laut ke daratan, sehingga

dalam kondisi alami, campur tangan manusia sangat terbatas dalam membentuk

zonasi vegetasi (Gultom, 2010).


5

B. Ekosistem lamun

Lamun adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang hidup terendam

dalam kolom air dan berkembang dengan baik di perairan laut dangkal dan

estuari. Tumbuhan lamun terdiri dari daun dan seludang, batang menjalar yang

biasanya disebut rimpang (rhizome), dan akar yang tumbuh pada bagian rimpang.

Di Indonesia terdapat 13 jenis lamun yang tersebar di hampir seluruh perairan

Indonesia, dengan perkiraan luas 30.000 Km2 (Kuo, 2007).

Ekosistem padang lamun merupakan ekosistem pesisir yang ditumbuhi oleh

lamun sebagai vegetasi yang dominan serta mampu hidup secara permanen di

bawah permukaan air laut (Tangke, 2010). Ekosistem padang lamun merupakan

salah satu ekosistem yang terdapat di daerah pesisir. Padang lamun merupakan

ekosistem yang terdiri dari satu atau lebih spesies lamun yang berinteraksi dengan

faktor biotik dan abiotik di lingkungannya. Lamun merupakan kelompok

tumbuhan angiospermae yang memiliki kemampuan beradaptasi terhadap salinitas

yang tinggi, menempati perairan laut dengan suhu berkisar 38-420C

(McKenzie, 2008), dan berada di daerah intertidal sampai kedalaman 70 m

(El Shaffai, 2011). Selain itu, lamun berperan sebagai penghubung ekosistem

mangrove dengan ekosistem terumbu karang (McKenzie, 2008).

Lamun adalah produsen primer dalam ekosistem padang lamun, sehingga

merupakan komponen yang penting di wilayah perairan laut karena menghasilkan

oksigen dan materi organik dari hasil fotosintesis. Oleh karena itu, padang lamun

digunakan oleh biota laut sebagai tempat mencari makan (feeding ground),

pemijahan (spawning ground), dan asuhan (nursery ground) (Bortone, 2000).

Padang lamun juga berfungsi sebagai penyaring nutrient yang berasal dari sungai
6

atau laut, pemecah gelombang dan arus, serta meningkatkan kualitas air laut

dengan membantu pengendapan substrat dan menstabilkan sedimen.

Padang lamun memiliki berbagai fungsi ekologi yang vital dalam ekosistem

pesisir dan sangat menunjang dan mempertahankan biodiversitas pesisir dan lebih

penting sebagai pendukung produktivitas perikanan pantai. Beberapa fungsi

padang lamun, yaitu: 1) sebagai stabilisator perairan dengan fungsi sistem

perakannya sebagai perangkap dan pengstabil sedimen dasar sehingga perairan

menjadi lebih jernih; 2) lamun menjadi sumber makanan langsung berbagai biota

laut (ikan dan non ikan); 3) lamun sebagai produser primer; 4) komunitas

lamun memberikan habitat penting (tempat hidup) dan perlindungan

(tempat berlindung) untuk sejumlah spesies hewan; dan 5) lamun memegang

fungsi utama dalam daur zat hara dan elemen-elemen langka di lingkungan laut

(Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, 2014).

Sebaran dan pertumbuhan lamun ditentukan oleh berbagai faktor kualitas air

seperti suhu, salinitas, ketersediaan nutrien, karakteristik dasar perairan,

kekeruhan/ kecerahan dan iradiasi matahari. Telah diketahui bahwa keterse-diaan

nutrien mempengaruhi pertumbuhan, sebaran, morfologi dan daur musiman

komunitas lamun. Sementara itu, lamun juga tergantung padan tingkat kecerahan

air tertentu agar dapat melakukan proses fotosintesis. Peningkatan kekeruhan dan

sedimentasi memberikan dampak menurunnya kesehatan dan produktivitas lamun

(Sumartin, et al., 2001).

Menurut Rahman (2007), lamun memiliki kemampuan toleransi yang

berbeda terhadap salinitas, namun sebagian besar memiliki kisaran yang lebar

yaitu 10 – 40‰. Nilai salinitas yang optimum untuk lamun adalah 35‰.
7

Walaupun spesies lamun memiliki toleransi terhadap salinitas yang berbeda-beda,

namun sebagian besar memiliki kisaran yang besar terhadap salinitas yaitu antara

10 – 30‰.

Dahuri (2001), menyebutkan bahwa Kecepatan arus laut berpengaruh pada

produktivitas padang lamun. Pada saat kecepatan arus sekitar 0.5 m detik-1,

tumbuhan lamun mempunyai kemampuan maksimal untuk tumbuh. Arus tidak

mempengaruhi penetrasi cahaya, kecuali jika ia mengangkat sedimen sehingga

mengurangi penetrasi cahaya. Aksi menguntungkan dari arus terhadap organisme

terletak pada transport bahan makanan tambahan bagi organisme. Pada daerah

yang arusnya cepat, sedimen pada padang lamun terdiri dari lumpur halus. Hal ini

menunjukkan kemampuan tumbuhan lamun mengurangi pengaruh arus sehingga

mengurangi transport sedimen.

Dahuri (2003), juga menyebutkan bahwa proses fotosintesis merupakan hal

terpenting dalam pertumbuhan lamun sebagai produsen primer dalam kehidupan laut.

Lamun membutuhkan sinar matahari untuk berfotosintesis. Kecerahan perairan

mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk ke kolom perairan. Perairan dengan

kecerahan tinggi maka intensitas cahaya yang masuk ke kolom air akan semakin

dalam dan jika tingkat kecerahan perairan rendah, intensitas cahaya yang masuk akan

dangkal. Faktor yang mempengaruhi kecerahan yaitu kekeruhan atau material

tersuspensi, perairan dengan substrat lumpur akan memiliki tingkat kecerahan rendah

dan tingkat kekeruhan tinggi. Sebaliknya pada perairan dengan substrat pasir atau

batu akan memiliki tingkat kecerahan yang lebih tinggi dan kekeruhan yang rendah.

Pada perairan pantai yang keruh, cahaya menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan

lamun. Kurangnya penetrasi cahaya dapat menimbulkan gangguan terhadap produksi

primer lamun.
8

Oksigen terlarut atau dissolved oxigen (DO) merupakan salah satu parameter

perairan yang sangat penting bagi pertumbuhan lamun. Oksigen terlarut digunakan

untuk respirasi akar dan rhizome lamun, respirasi biota air dan proses nitrifikasi

dalam siklus nitrogen di padang lamun (Efriyeldi, 2003).Oksigen terlarut di perairan

berasal dari hasil fotosintesis lamun serta difusi dari udara.

Nutrien merupakan salah satu faktor penting bagi pertumbuhan lamun yang

dibutuhkan untuk proses fotosintesis. Lamun mampu tumbuh dengan subur pada

daerah oligotrofik seperti daerah dekat terumbu karang. Seperti halnya tumbuhan

produsen primer akuatik lainnya, lamun hanya membutuhkan nutrien yaitu nitrogen

dan fosfat (Hogarth 2007).

Substrat merupakan tempat tumbuhnya tanaman yang terkandung mineral

organik dan inorganik di dalamnya, pori-pori substrat mengandung air antara

(interstitial water) yang mengandung unsur hara. Berdasarkan ukuran, substrat

dikelompokkan menjadi kerikil (>2 mm), pasir (0,05-2 mm), lumpur (silt) (0,002-

0,05 mm) dan lempung (<0,002 mm). substrat yang menjadi tempat hidup lamun

adalah lumpur, pasir, karang mati (rubble), campuran dari dua jenis substrat tersebut

atau campuran ketiganya (Kiswara dan Azkab, 2000).

C. Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan ekosistem yang dibangun oleh biota laut

penghasil kapur, terutama oleh hewan karang, bersamasama dengan biota lain

yang hidup di dasar laut maupun kolom air. Hewan karang, yang merupakan

penyusun utama terumbu karang, terdiri dari polip dan skeleton. Polip merupakan

bagian yang lunak, sedangkan skeleton merupakan bagian yang keras. Pada

bagian polip terdapat tentakel (tangan-tangan) untuk menangkap plankton sebagai


9

sumber makanannya. Setiap polip karang mengsekresikan zat kapur CaCO3 yang

membentuk kerangka skeleton karang (Gianto, et al., 2017).

Menurut Djaelani (2009), pertumbuhan terumbu karang dibatasi oleh

beberapa faktor, salah satunya adalah sedimentasi dimana sedimentasi yang terjadi

didalam air atau diatas memiliki pengaruh negative terhadap karang. Sedimentasi

mengurangi cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis oleh zooxanthellae dalam

jaringan karang. Akibatnya, perkembangan terumbu karang di daerah yang

mengedepankan lebih besar akan berkurang atau menghilang.

Pertumbuhan karang dan penyebaran terumbu karang juga tergantung pada

kondisi lingkungan. Kecepatan arus memiliki hubungan yang sangat tinggi,

mungkin hal ini dikarenakan arus akan membawa oksigen yang dibutuhkan hewan

karang dan kekuatan arus mempengaruhi jumlah makanan yang terbawa dan

mempengaruhi kecepatan pertumbuhan binatang karang. Salinitas menunjukan

hubungan yang lemah, daya tahan setiap jenis hewan karang tidak sama. Pengaruh

salinitas sangat bervariasi tergantung pada kondisi suatu perairan

(Supriharyono, 2000).

Cahaya matahari merupakan faktor paling penting dalam pertumbuhan terumbu

karang, karena cahaya matahari digunakan oleh Zooxanthellae dalam proses

fotosintesis. Tanpa cahaya yang cukup laju fotosintesis akan terhambat dan

pembentukan kerangka Kalsium Karbonat (CaCO 3) atau Kalsifikasi dalam terumbu

karang akan terhambat pula (Aldilla, 2014).

Secara ekologis, terumbu karang berfungsi melindungi komponen ekosistem

pesisir lainnya (lahan pantai) dari gempuran gelombang dan badai. Menurut Sirait

(2009), ekosistem terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat penting bagi

kehidupan di laut, diantaranya yang pertama sebagai pelindung pantai. Terumbu


10

karang yang tumbuh didaerah pasang surut sangat berperan dalam mengurangi

energy arus atau ombak yang datang ke pantai sehingga mencegah terjadinya erosi

dan mendukung terbentuknya pantai berpasir. Kedua, terumbu karang sebagai

penyedia makanan, tempat tinggal untuk berkembang biak, tempat asuhan dan

perlindungan bagi mahkluk laut.

Ekosistem terumbu karang terdapat di lingkungan perairan yang agak

dangkal seperti paparan benua dan gugusan pulau-pulau di perairan tropis. Untuk

mencapai pertumbuhan maksimum, terumbu karang memerlukan perairan yang

jernih dengan suhu perairan yang hangat, gerakan gelombang yang besar dan

sirkulasi air yang lancar serta terhindar dari proses sedimentasi. Ekosistem

terumbu karang memiliki kemampuan yang baik dalam memperbaiki bagian yang

rusak apabila karakteristik habitat dari berbagai macam formasi terumbu karang

dan faktor lingkungan yang memengaruhinya terpelihara dengan baik. Seperti

ekosistem lainnya, terumbu karang tidak memerlukan campur tangan atau

manipulasi langsung manusia untuk kelangsungan hidupnya (Irawati, 2013).


11

III. METODE PRAKTEK

A. Waktu dan Tempat

Praktek lapang Ekologi Laut Tropis dilaksanakan pada hari Minggu, 02

Desember 2018, pukul 09.00 – Selesai dan bertempat di Desa Tanjung Tiram,

Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara.

B. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada Praktik Lapang Ekologi Laut Tropis

ini dapat dilihat pada Tabel 1. berikut.

Tabel 1. Alat dan bahan beserta kegunaannya.


No. Alat dan Bahan Kegunaan
Alat
1
- Meteran
Mengukur panjang tali
- Tali Rafiah Menentukan batas lokasi pengamatan
Menandai nama dari setiap organisme
- Kertas Label
Menyimpan organisme
- Plastik sampel Mengambil gambar
2 Sebagai pembatas lokasi pengamatan
- Kamera

- Patok Sebagai objek pengamatan


Sebagai objek pengamatan
Bahan
Sebagai objek pengamatan
- Ekosistem Lamun
- Ekosistem mangrove
- Ekosistem terumbu karang

C. Prosedur Kerja

Adapun prosedur kerja yang digunakan dalam praktek lapang ini adalah

sebagai berikut.

- Menyiapkan alat dan bahan.


12

- Melakukan pembuatan plot berukuran kuadrat 1 x 1 meter, di area padang

lamun.

- Mengambil organisme beserta subtstratnya yang terdapat di dalam plot.

- Memasukkan organisme yang didapat kedalam plastik sampel secara

terrpisah.

- Melabeli masing-masing organisme dengan kertas sampel.

- Mengambil gambar masing-masing organisme sebagai dokumentasi.

D. Analisis Data

1. Ekosistem lamun

a. Kerapatan jenis

Kerapatan jenis (Di) merupakan jumlah tegakan jenis ke-1 dalam suatu unit
area (Bengen, 2002). Penentuan kerapatan jenis melalui rumus :
mi
Di=
A
Dimana : Di : Kerapatan jenis ke-i
ni : Jumlah total induvidu ke-i
A : Luas total area pengambilan contoh (m²)
b. Kerapatan relatif
Kerapatan Relatif (RDi) merupakan perbandingan antara jumlah jenis
tegakan jenis ke-I dengan total tegakan seluruh jenis (Bengen, 2002). Penentuan
Kerapatan Relatif (RDi) menggunakan rumus :
mi
RDi= x 100
∑n
Dimana : RDI : Kerapatan Relatif
ni : Jumlah Total
Σn : Total tegakan seluruh jenis
c. Frekuensi jenis
13

Frekuesi jenis (Fi) yaitu peluang ditemukan suatu jenis ke-i dalam semua
petak contoh dibanding dengan jumlah total petak contoh yang dibuat (Bengen,
2002). Untuk menghitung frekuensi jenis (Fi) digunakan rumus :

pi
Fi=
∑F
Dimana : Fi : Frekuensi Jenis ke-i
Pi : Jumlah petak contoh dimana ditemukan jenis ke-i
ΣF : Jumlah total petak contoh yang dibuat (3 Plot)
d. Penutupan jenis
Penutupan jenis (Ci) adalah luas penutupan jenis ke-i dalam suatu unit area
tertentu (Bengen, 2002).
∑ BA
Ci=
A
Dimana : Ci : Penutupan Jenis
ΣBA : πd2/4 (d=diameter batang setinggi dada, π = 3,1416)
A : Luas total area pengambilan contoh (m2)
e. Penutupan relatif
Penutupan Relatif (RCi) yaitu perbandingan antara penutupan jenis ke-I
dengan luas total penutupan untuk seluruh jenis (Bengen, 2002). Untuk
menghitung RCi, maka digunakan rumus :
Ci
R Ci= x100
∑C
Dimana : RCi : Penutupan Relatif
Ci : Penutupan jenis ke-i
C : Penutupan total untuk seluruh jenis
f. Indeks nilai penting
Indeks Nilai Penting (INP) adalah penjumlahan nilai relatif (RDi), frekuensi
relatif (RFi) dan penutupan relatif (RCi) dari mangrove (Bengen, 2002).
INP = RDi + Fri + RCi
Dimana INP : Indeks Nilai Penting
RDi : Kerapatan Relatif
RFi : Frekuensi Relatif
14

RCi : Pentupan Relatif

2. Ekosistem Padang Lamun


a. Kerapatan jenis
Kerapatan jenis merupakan perbandingan antara jumlah total individu
dengan unit area yang diukur. Kerapatan jenis lamun dapat dihitung dengan
persamaan (Tuwo, 2011) :
KJi= ¿
A
Dimana : KJi = Kerapatan jenis ke-i (tegakan/m2)
Ni = Jumlah total individu dari jenis ke-i (tegakan)
A = Luas area total pengambilan sampel (m2)
b. Kerapatan relatif
Kerapatan relatif merupakan perbandingan antara jumlah individu jenis dan
jumlah total individu seluruh jenis. Kerapatan relatif lamun dapat dihitung dengan
persamaan (Tuwo, 2011) :
KR= ¿ x 100
∑n
Keterangan : KR = Kerapatan relatif (%)
ni = Jumlah individu jenis ke-i (ind/m2)
Σn = Jumlah individu seluruh jenis (ind/m2)
c. Frekuensi jenis
Frekuensi jenis merupakan perbandingan antara jumlah petak sampel yang
ditemukan suatu jenis lamun dengan jumlah total petak sampel yang diamati.
Frekuensi jenis lamun dapat dihitung dengan persamaan (Tuwo, 2011) :
Pi
FJi=
∑P
Dimana : FJi = Frekuensi jenis ke-i
Pi = Jumlah petak sampel tempat ditemukan jenis ke-i
ΣP = Jumlah total petak sampel yang diamati
d. Frekuensi relativf
15

Frekuensi relatif merupakan perbandingan antara frekuensi jenis ke-i


dengan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis. Frekuensi relatif lamun dapat
dihitung dengan persamaan (Tuwo, 2011) :
Fi
FR=
∑F
Keterangan : FR = Frekuensi relatif (%)
Fi = Frekuensi jenis ke-i
ΣF = Jumlah frekuensi untuk seluruh jenis
e. Penutupan jenis
Penutupan jenis merupakan perbandingan antara luas area yang ditutupi
oleh jenis lamun ke-i dengan jumlah total area yang ditutupi lamun. Penutupan
jenis lamun dapat dihitung dengan persamaan (Tuwo, 2011) :
αi
PJ=
A
Keterangan : PJ = Penutupan jenis ke-i (%/m2)
ɑi = Luas total penutupan jenis ke-i (%)
A = jumlah total area yang ditutupi lamun (m2)
f. Penutupaun relatif
Penutupan Relatif (PR) yaitu perbandingan antara penutupan individu jenis
ke-i dan total penutupan seluruh jenis. Penutupan relative lamun dapat dihitung
dengan pesamaan (Tuwo, 2011) :
Pi
PR=
P
Keterangan : PR = Penutupan relatif (%/m2)
Pi = Penutupan jeni ke-i (%/m2)
P = Penutupan seluruh jenis lamun (%/m2)
16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum

Perairan Tanjung Tiram secara administratif terletak di bagian wilayah

Desa Tanjung Tiram Kecamatan Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan yang

memiliki luas wilayah ± 23.00 km2 dengan panjang garis pantai ± 1 km. Secara

astronomis, Desa Tanung Tiram terletak pada posisi 122 o 43’ – 122o 44’ 03’’ BT

dan 4o 6’ 26’’- 4o 6’ 46’’ LS.

Desa Tanjung Tiram memiliki luas wilayah kurang lebih 23.00 km2

dengan panjang garis pantai kurang lebih 1 km. Daerah ini memiliki dua musim

yaitu musim barat dan musim timur. Musim barat terjadi pada bulan November-

Maret dimana angin bertiup dari timur ke barat. Perairan pantai Desa Tanjung

Tiram memiliki topografi pantai yang landai dengan substrat dasar perairan

berpasir, pasir berlumpur dan pecahan karang.

Gambar 1. Peta lokasi Pantai Tanjung Tiram


(Sumber : Google.maps, 2018)
17

B. Hasil Pengamatan

Hasil pengamatan yang kami dapatkan pada praktik Lapang Ekologi Laut

Tropis dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Ekosistem Mangrove pada Praktik Lapang Ekologi


Laut Tropis.
No. Jenis Di RDI Fi Rfi Ci RCi INP
1. Rhyzopora 50 50 3,61 0,74 79,74
apculata
- Anakan 0,19 50
- Pohon 0,12 32
- Semai 0,04 5
2. Sonneratia alba 500 50 1,26 0,26 57,76
- Anakan 0,01 -
- Pohon 0,04 12
- Semai - 3

Tabel 2. Hasil Pengamatan Ekosistem Mangrove pada Praktik Lapang Ekologi


Laut Tropis.
No. Jenis Kji Kr Fji Fr Pj
1. Enhalus acroides 0,17 59 0,12 0,5 0,36
%
2. Thallasia 0,12 40 0,12 0,5 0,36
hemprichi %

C. Pembahasan

1. Ekosistem mangrove

Berdasarkan hasil pengamatan yang kami dapatkan, maka dapat diketahui

bahwa kerapatan individu pada setiap bagian mangrove berbeda-beda. Kerapatan

individu ini banyak ditentukan oleh sejumlah faktor, yaitu faktor lingkungan dan

faktor manusia. Berdasarkan observasi di lapangan, kondisi lingkungan di sekitar

lokasi praktek lapang merupakan kondisi yang cukup baik bagi pertumbuhan

mangrove, baik suhu, salinitas dan substrat. Kondisi lingkungan yang baik akan

mendukung bagi pertumbuhan mangrove.perbedaan kerapatan masing-masing

jenis mangrove lebih banyak disebabkan oleh perbedaan laju pertumbuhan


18

sebagai akibat perbedaan lokasi (Bengen, 2002). Pernyataan tersebut menjelaskan

perbedaan kerapatan masing-masing jenis mangrove di lokasi praktek lapang.

Rhizophora apiculata, memiliki kerapatan relative lebih tinggi dibandingkan

dengan Sonneratia alba, hal ini disebabkab karena letaknya yang ideal (lebih

kearah darat sehingga pertumbuhan Rhizophora apiculata lebih optimal

dibandingkan dengan Sonneratia alba .

Pada setiap titik lokasi pengamatan, hampir ditemukan jenis Rhizophora

apiculata dan Sonneratia alba. Keberadaan kedua jenis mangrove ini ditentukan

oleh kondisi lingkungan yang memungkinkan mangrove untuk tumbuh optimal.

Lebih lanjut dijelaskan penyebaran vegetasi mangrove ditentukan oleh berbagai

faktor lingkungan, salah satunya adalah salinitas (Bengen, 2002) membagi zonasi

mangrove menjadi 2 zona. Berdasarkan zonasi tersebut, jenis mangrove pada

lokasi penelitian berada pada kondisi lingkugnan dengan kisaran salinitas

10–30 %. Hal tersebut menunjukkan mangrove jenis Rhizophora apiculata dan

Sonneratia alba yang diidentifikasi masuk dalam zona A (zona air payau hingga

air laut).

Penutupan jenis relative (RCi) pada tabel 2, menunjukkan mangrove jenis

Rhizophora apiculata memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan jenis Sonneratia

alba. Hal ini menunkukkan bahwasanya keberadaan mangrove jenis Rhizophora

apiculata meondominasi di unit areal tersebut. Kondisi tersebut berarti lokasi

pengamatan lebih memberikan kondisi lingkungan yang lebih baik bagi

pertumbuhan mangrove jenis Rhizophora apiculata. Selain disebabkan oleh lokasi

yang lebih kedarat, faktor lainnya yang berpengaruh adalah jenis substrat. pada

lokasi pengamatan, jenis substrat yang diidentifikasi berupa lumpur. Hal ini
19

sejalan dengan pernyataan Suprihayyono (2007), yang menyatakan bahwa kualitas

jenis tanah ini paling baik karena sangat subur, kedap air dan sangat baik dibuat

pematang tambak. Substrat ini juga dapat mengendalikan tata air dalam tanah

berupa kecepatan inflasi, penetrasi dan kemampuan pengikatan air oleh tanah.

Tingkat dominansi (INP) antara 0-300 menunjukan keterwakilan jenis

mangrove yagn berperan dalam ekosistem, sehingga jika INP 300 berarti

mangrove memiliki peran yang penting dalam lingkungan pesisir (Bengen, 2002).

Nilai indeks penting (INP) Rhizophora apiculata bernilai 79,74 pada skala 0 -

300, menunjukan bahwa Rhizophora apiculata cukup berperan tinggi dalam

menjaga keberlangsungan ekosistem. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya nilai

RDi, RFi, dan RCi dari mangrove jenis Rhizophora apiculata. Nilai INP dari tiap

jenis mangrove sangant tergantung kondisi pertumbuhan mangrove. Mangrove

untuk tumbuha dengan baik, memerlukan sejumlah faktor pendukung utama

dalam pertumbuhan mangrove adalah ketersediaan nutrient atau bahan organic

(Supriharyono, 2007).

2. Ekosistem lamun

Frekuensi spesies adalah peluang suatu spesies ditemukan dalam titik contoh

yang diamati, bertujuan untuk mengetahui penyebaran jenis lamun tersebut dalam

komunitas. Spesies yang mempunyai frekuensi besar, umumnya memiliki daya

adaptasi yang lebih besar terhadap faktor lingkungan yang berbeda. Suatu jenis

lamun yang memiliki nilai kerapatan tinggi belum dapat dipastikan akan memiliki

nilai frekuensi yang tinggi pula (Febry, et al,. 2017).

Penutupan lamun menggambarkan seberapa luas lamun yang menutupi suatu

perairan dan biasanya dinyatakan dalam persen. Nilai persen penutupan tidak
20

hanya bergantung pada nilai kerapatan jenis lamun, melainkan dipengaruhi juga

oleh keadaan morfologi dari jenis lamun tersebut.


21

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pada ekosistem

mangrove, Rhizophora apiculata, memiliki kerapatan relative lebih tinggi

dibandingkan dengan Sonneratia alba. mangrove Jenis Rhizophora apiculata dan

Sonneratia alba yang diidentifikasi masuk dalam zona A (zona air payau hingga

air laut), penutupan jenis relative (RCi) menunjukkan mangrove jenis Rhizophora

apiculata memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan jenis Sonneratia alba dan Nilai

indeks penting (INP) Rhizophora apiculata bernilai 79,74 pada skala 0-300,

menunjukan bahwa Rhizophora apiculata cukup berperan tinggi dalam menjaga

keberlangsungan ekosistem.

B. Saran

Pada saat praktik lapang sedang berlangsung, sebaiknya praktikan

melaksananakan praktik lapang dengan baik dan benar agar data yang didapatkan

\dapat lebih akurat.


22

DAFTAR PUSTAKA

Aldilla, A. 2014. Analisis Kondisi Habitat Karang di Pulau Rimaubalak,


Kandangbalak, dan Panjurit Lampung Selatan [Tesis]. IPB : Bogor.
Atmoko, T & Sidiyasa, K. 2007. Hutan Mangrove dan Peranannya dalam
Melindungi Ekosistem Pantai. Prosiding Seminar Pemanfaatan HHBK dan
Konservasi Biodiversitas menuju Hutan Lestari, Balikpapan.
Azkab, M. H. dan W. Kiswara. 1994. Pertumbuhan dan Produksi Lamun di Teluk
Kuta, Lombok Selatan. in W. Kiswara, M. K. Moosa dan M. Hutomo.
Struktur Komunitas Biologi Padang Lamun di Pantai Selatan Lombok dan
Kondisi Lingkungannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi
LIPI. Jakarta.
Bengen, D. G. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan
Lautan serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Laut. IPB : Bogor.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia. PT. Garamedia Pustaka Utama. Jakarta.
Dahuri, R., 2001, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu. PT Pradnya Paramita : Jakarta.

Hogarth, P. 2007. The Biology of Mangroves and Seagrasses, 2 ndedition. Oxford


University Press. New York.
Irawati, D. D. A. 2013. Potensi Terumbu Karang Indonesia“Tantangan dan Upaya
Konservasinya”. INFO BPK Manado, 3(2) :147 – 173.
Kiswara, W., Kasim, M. M., et al. 1994. Struktur Komunitas Biologi Padang
Lamun di Pantai Selatan Lombok dan Kondisi Lingkungannya. LIPI :
Jakarta.
Krauss K W, C E Lovelock, et al. 2008. Environmental Ddrivers in Mangrove
Establishment and Early Development: A Review. Journal Aquatic Botany
89: 105–127.
Martinuzzi S, W A Gould, et al, 2009. Conversion and Recovery of Puerto Rican
Mangroves: 200 Years of Change. Journal Forest Ecology and Management
257: 75–84.
Nagelkerken, I., S Bouillon, et al. 2008. The Habitat Function of Mangroves for
Terrestrial and Marine Fauna: A Review. Journal Aquatic Botany 89:55–
185.
Pramudji. 2001. Ekosistem Hutan Mangrove dan Peranannya sebagai Habitat
Berbagai Fauna Aquatik. Oseana. 26(4) : 13-23.
Rahman, A., Nur, M. R., et al. 2013. Analisis Pertumbuhan Lamun (Enhalus
acoroides) berdasarkan Parameter Oseanografi di Perairan Desa dolong a
dan Desa Kalia. Gravitasi, 15 (1) : 1-7.
23

Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan.


Jakarta.
___________. 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Peisir
dan Laut Tropis. Putaka Pelajar : Yogjakarta.
Tangke, U. 2010. Ekosistem Padang Lamun (Manfaat, Fungsi dan Rehabilitasi).
Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan (Agrikan UMMU-Ternate), 3(1) : 9-
29.
Zulkifli, E. (2003). Kandungan zat hara dalam air poros dan air permukaan
padang lamun Bintan Timur. Jurnal Natur Indonesia, 5(2), 139-144.

Anda mungkin juga menyukai