Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KASUS

DEMAM TIFOID

Oleh :

Dimas Adytia Purnama

2018790001

Pembimbing : dr. Nida

KEPANITERAAN KLINIK STASE IKAKOM I

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FKK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

PUSKESMAS PONDOK KACANG TIMUR

2018

BAB I

1
STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny.A
Usia : 42 tahun
Alamat : Pondok Kacang Timur
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
Status Perkawinan : Menikah
Tanggal kunjungan : 26 Oktober 2018

RIWAYAT PENYAKIT
Keluhan Utama:
Demam
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Puskesmas Pondok Kacang Timur dengan keluhan demam
lebih dari 7 hari yang lalu. Demam tinggi timbul mendadak dirasakan naik turun tidak
tentu waktu. Demam dirasakan cenderung naik pada malam hari, dan demam turun
dengan pemakaian obat. Keluhan demam disertai dengan keringat dingin (-), Pesien
juga mengeluh batuk dan pilek sejak seminggu yang lalu, nyeri ulu hati (+), badan
lemas (+), mual dan muntah setiap makan dan minum, nafsu makan dan minum
pasien menurun. Keluhan mimisan dan gusi berdarah disangkal. Riwayat berpergian
jauh dalam waktu dekat disangkal. Riwayat jajan sembarangan (+), pasien memiliki
kegemaran makan pedas dan pola makan tidak teratur, BAK dan BAB dalam batas
normal.
Pasien sudah minum obat parasetamol dari klinik terdekat, namun demam
hanya turun sebentar dan naik kembali. Untuk riwayat anggota keluarga di rumah
yang memiliki keluhan yang sama di sangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Hipertensi (-)
- Dm (-)
- Penyakit jantung (-)
- Penyakit paru (-)
- Penyakit ginjal (-)
- Alergi (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
- Keluhan serupa pada keluarga disangkal
- Hipertensi (-)
2
- Dm (-)
- Penyakit jantung (-)
- Penyakit paru (-)
- Penyakit ginjal (-)
- Alergi (-)
Riwayat Pengobatan
Paracetamol → demam turun namun naik kembali

PEMERIKSAAN FISIK

STATUS GENERALIS:

 Keadaan umum : Tampak sakit sedang


 Kesadaran : Compos mentis (GCS 15)
 Tanda vital
Tekanan Darah : 110 / 70 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Suhu : 36,7oC
Pernapasan : 20 x/menit

BB : 44 kg

TB : 150 cm

IMT : 19,5 kg/m2
 Status gizi : Kesan gizi cukup

Kepala

 Bentuk : normochepali
 Deformitas : tidak terdapat deformitas
Mata

 Bentuk : normal, kedudukan bola mata simetris


 Konjungtiva : tidak anemis
 Sklera : tidak ikterik
 Pupil : bulat, isokor +/+, diameter 3 mm
Telinga

 Bentuk : normal (eutrofilia)


 Liang telinga : lapang
 Serumen :-/-
Hidung

 Bagian luar : normal, tidak terdapat deformitas


 Mukosa hidung : tidak terdapat hiperemis, konka nasalis eutrofi
 Cavum nasi : perdarahan (-)
3
Mulut dan Tenggorok

 Bibir : normal, tidak pucat, tidak sianosis


 Gigi-Geligi : hygiene kurang baik
 Mukosa mulut : normal, tidak hiperemis
 Lidah : kotor, tidak tremor
 Tonsil : T1/T1 tenang, tidak hiperemis
 Faring : Tidak hiperemis, arcus faring simetris, uvula di tengah
 Gusi : tidak ada perdarahan
Leher

 Bendungan vena : tidak terdapat bendungan vena


 Kelenjar tiroid : tidak membesar, mengikuti gerakan, simetris
 Trakea : di tengah

Kelenjar Getah Bening

 Tidak teraba pembesaran KGB


Thorax

 Pulmo
o Inspeksi : simetris tidak ada hemithorax yang tertinggal, dalam keadaan statis
maupun dinamis
o Palpasi : gerak simetris pada kedua hemithorax vocal fremitus +/+ suara kuat
o Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
o Auskultasi : suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
 Jantung
o Inspeksi : tidak tampak pulsasi ictus cordis
o Palpasi : teraba pulsasi ictus cordis pada ICS V linea midclavicularis
sinistra
o Perkusi : batas jantung kanan pada intercostal V parasternal kanan,
jantung kiri pada intercostal V midclavicula kiri, pinggang
jantung pada intercosta III parasternal kiri
o Auskultasi : BJ I - II reguler, murmur(-), gallop(-)
Abdomen

 Inspeksi : normal, tidak terdapat asites, smiling umbilicus (-), efloresensi (-)
 Auskultasi : bising usus (+) 5x/ menit, normal
 Palpasi : supel, massa (-), hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
epigastrium (+), ballotement (-)

4
 Perkusi : pekak pada keempat kuadran abdomen, nyeri ketok CVA (-),
shifting dullness (-)
Genitalia

 Tidak diperiksa
Ekstremitas

 Tidak tampak deformitas


 Akral hangat pada keempat ekstremitas
 Edema (-)
 Sianosis (-)
 Turgor baik
DIAGNOSA KERJA

 Thyphoid Fever dan ISPA

DIAGNOSIS BANDING
 Dengue Fever

RENCANA TERAPI
(Medikamentosa)
 IVFD RL 20 tpm
 Inj Ranitidin 2x1 amp
 Wicold 3x1
 Antasida 3x1 c
 Neurofit 1x1
 Ceftriaxone 2x1gr

(Non Medikamentosa)
 Pasien disarankan untuk banyak istirahat/ tirah baring yang bertujuan untuk mencegah
komplikasi dan mempercepat penyembuhan.
 Pasien diberikan pengetahuan tentang penyakit demam tifoid, gejala, tanda,
pencegahan dan terapinya.
 Mempertahankan asupan cairan dan kalori yang adekuat:
-Memulai dengan makan makanan yang lunak, seperti bubur sum- sum, kemudian di
lanjutkan dengan nasi yang lunak, kemudian apabila sudah merasa baik bisa
mengganti dengan nasi biasa.

5
-Makan pagi dengan porsi cukup besar merupakan makanan yang paling baik
ditoleransi
-Perbanyak makan buah dan sayuran
-Hindari makan makanan yang terlalu pedas dan asam karena dikhawatirkan akan
mempengaruhi lambung.
 Menghindari aktifitas fisik yang berlebihan.
 Minum vitamin kesehatan

PEMERIKSAAN PENUNJANG

PEMERIKSAAN LABORATORIUM DARAH TANGGAL 22 OKTOBER 2018

PEMERIKSAAN HASIL NILAI SATUAN


RUJUKAN

Hemoglobin 11.8 12.00-14.00 g/dl

Leukosit 16 5,0-10,0 ribu/ul

Hematokrit 34 40 – 54 vol %

Trombosit 290 150-400 ribu/ul

S.Paratyphy H 1/320(+) -

S.Paratyphy O 1/160(+) -

Prognosis

Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

BAB II

6
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Demam Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh
kuman salmonella Thypi.Tifoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-
gejala sistemik yang disebabkan oleh salmonella typhosa,salmonella type A.B.C. penularan
terjadi secara oral melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi.
Tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi Salmonella
Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh
faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella. Tifoid adalah penyakit infeksi
akut usus halus yang disebabkan oleh kuman Salmonella Thypi (Mansjoer, A, 2009).

Etiologi
Penyebab dari demam thypoid yaitu :
1.96% disebabkan oleh Salmonella Typhi, basil gram negative yang bergerak dengan bulu
getar, tidak berspora mempunyai sekuran-kurangnya 3 macam antigen, yaitu :
a. Antigen O (somatic terdiri dari zat komplek lipolisakarida)
b. Antigen H (flagella)
c. Antigen VI dan protein membran hialin
2. Salmonella paratyphi A
3. Salmonella paratyphi B
4. Salmonella paratyphi C
5. Feces dan urin yang terkontaminasi dari penderita typus.

Kuman salmonella typosa dapat tumbuh di semua media pH 7,2 dan suhu 37C dan mati
pada suhu 54,4C. Demam typhoid timbul akibat dari infeksi oleh bakteri golongan
Salmonella yang memasuki tubuh penderita melalui saluran pencernaan. Sumber utama yang
terinfeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit,baik
ketika ia sedang sakit atau sedang dalam masa penyembuhan. Pada masa penyembuhan,
penderita pada masih mengandung Salmonella spp didalam kandung empedu atau didalam
ginjal. Sebanyak 5% penderita demam tifoid kelak akan menjadi karier sementara,sedang 2%
yang lain akan menjadi karier yang menahun.Sebagian besar dari karier tersebut merupakan
karier intestinal (intestinal type) sedang yang lain termasuk urinarytype. Kekambuhan yang
7
yang ringan pada karier demam tifoid,terutama pada karier jenisintestinal,sukar diketahui
karena gejala dan keluhannya tidak jelas.

Patofisiologi
Kuman masuk ke dalam mulut melalui makanan atauminuman yang tercemar oleh
Salmonella (biasanya >10.000 basil kuman). Sebagian kuman dapat dimusnahkan oleh asam
HCL lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus. Jika respon imunitas humoral mukosa
(IgA) usus kurang baik, maka basil Salmonella akan menembus sel-sel epitel (sel M) dan
selanjutnya menuju lamina propia dan berkembang biak di jaringan limfoid plak peyeri di
ileum distal dan kelejar getah bening mesenterika. Kuman Salmonella typi masuk tubuh
manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuma dimusnakan
oleh asam lambung. Sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid
plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertrofi. Di tempat ini komplikasi
perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman Salmonella Typi kemudian
menembus ke lamina propia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe mesenterial,
yang juga mengalami hipertrofi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini salmonella typi
masuk ke aliran darah melalui ductus thoracicus. Kuman salmonella typi lain mencapai hati
melalui sirkulasi portal dari usus.
Salmonella typi bersarang di plaque peyeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain sistem
retikuloendotelial. Semula disangka demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid
disebabkan oleh endotoksemia. Tapi kemudian berdasarkan penelitian ekperimental
disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam dan gejala-
gejala toksemia pada demam tifoid. Endotoksin salmonella typi berperan pada patogenesis
demam tifoid, karena membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan tempat
salmonella typi berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan karena salmonella typi dan
endotoksinnya merangsang sintesis dan penglepasan zat pirogen oleh zat leukosit pada
jaringan yang meradang.
Jaringan limfoid plak peyeri dan kelenjar getah bening mesenterika mengalami
hiperplasia. Basil tersebut masuk ke aliran darah (bakterimia) melalui ductus thoracicus dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotalial tubuh, terutama hati, sumsum tulang, dan
limfa melalui sirkulasi portar dari usus. Hati membesar (hepatomegali) dengan infiltrasi
limfosit, zat plasma, dan sel mononuclear. Terdapat juga nekrosis fokal dan pembesaran limfa
(splenomegali). Di organ ini, kuman S. Thypi berkembang biak dan masuk sirkulasi darah

8
lagi, sehingga mengakibatkan bakterimia kedua yang disertai tanda dan gejala infeksi
sistemik (demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, dan
gangguan mental koagulasi). Pendarahan saluran cerna terjadi akibat erosi pembuluh darah
di sekitar plak peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia. Proses patologis ini
dapat berlangsung hinga ke lapisan otot, serosa usus, dan mengakibatkan perforasi usus.
Endotoksin basil menempel di reseptor sel endotel kapiler dan dapat mengakibatkan
komplikasi, seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler, pernapasan, dan gangguan
organ lainnya. Pada minggu pertama timbulnya penyakit, terjadi jyperplasia (pembesaran
sel-sel) plak peyeri. Disusul kemudian, terjadi nekrosis pada minggu kedua dan ulserasi
plak peyeri pada minggu ketiga. Selanjutnya, dalam minggu ke empat akan terjadi proses
penyembuhan ulkus dengan meninggalkan sikatriks (jaringan parut). Masa inkubasi
demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasi antara 3-60 hari) bergantung jumlah
dan strain kuman yang tertelan. Selama masa inkubasi penderita tetap dalam keadaan
asimtomatis.

Gejala
Penyakit ini bisa menyerang saat bakteri tersebut masuk melalui makanan atau
minuman, sehingga terjadi infeksi saluran pencernaan yaitu usus halus. Kemudian mengikuti
peredaran
darah, bakteri ini mencapai hati dan limpa sehingga berkembang biak disana yang
menyebabkan rasa nyeri saat diraba. Gejala klinis demam tifoid pada anak dapat bervariasi
dari yang ringan hingga
yang berat. Biasanya gejala pada orang dewasa akan lebih ringan dibanding pada
anak-anak. Kuman yang masuk ke dalam tubuh anak, tidak segera menimbulkan gejala.
Biasanya memerlukan masa tunas sekitar 7-14 hari. Masa tunas ini lebih cepat bila kuman
tersebut masuk melalui makanan, dibanding melalui minuman. Gejala klinik demam tifoid
pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan dapat tanpa gejala
(asimtomatik). Secara garis besar, tanda dan gejala yang
ditimbulkan antara lain :

1. Demam lebih dari seminggu. Siang hari biasanya terlihat segar namun menjelang
malamnya demam tinggi.

9
2. Lidah kotor. Bagian tengah berwarna putih dan pinggirnya merah. Biasanya anak akan
merasa lidahnya pahit dan cenderung ingin makan yang asam-asam atau pedas.
3. Mual Berat sampai muntah. Bakteri Salmonella typhi berkembang biak di hatidan limpa,
Akibatnya terjadi pembengkakan dan akhirnya menekan lambung sehingga terjadi rasa mual.
Dikarenakan mual yang berlebihan, akhirnya makanan tak bisa masuk secara sempurna dan
biasanya keluar lagi lewat mulut.
4. Diare atau Mencret. Sifat bakteri yang menyerang saluran cerna menyebabkan gangguan
penyerapan cairan yang akhirnya terjadi diare, namun dalam beberapa kasus justru
terjadi konstipasi (sulit buang air besar).
5. Lemas, pusing, dan sakit perut. Demam yang tinggi menimbulkan rasa lemas, pusing.
Terjadinya
pembengkakan hati dan limpa menimbulkan rasa sakit di perut.
6. Pingsan, Tak sadarkan diri. Penderita umumnya lebih merasakan nyaman dengan berbaring
tanpa banyak pergerakan, namun dengan kondisi yang parah seringkali terjadi gangguan
kesadaran

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat bervariasi
yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan
sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah
disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas
tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa
perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan
gambaran klinisnya saja. Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul
pada semua penderita demam tifoid.
Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala
yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada S. typhi.
Sifat demam juga muncul saat
sore menjelang malam hari. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada
penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh
malaria. Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu
penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala

10
meningitis, di sisi lain S. typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan
meningitis.
Manifestasi gejala Klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
a. Demam
b. Pada kasus–kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu: Dalam minggu pertama
penyakit keluhan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam,
nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak
enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan
meningkat. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas dengan demam,
bradikardia relatif, lidah yang khas (kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma,
delirium atau psikosis, roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia. Dalam minggu
ketiga suhu badan berangsur – angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
c. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas bau tidak sedap, bibir kering dan pecah – pecah. Lidah
ditutupi selaput putih kotor, ujung ditemukan kemerahan , jarang ditemui tremor.Pada
abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung. Hati dan limfa membesar disertai
nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi akan tetapi mungkin pula normal
bahkan dapat terjadi diare.
d. Gangguan keasadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam yaitu apatis
sampai samnolen. Jarang stupor, koma atau gelisah. Disamping gejala–gejala yang biasanya
ditemukan tersebut, mungkin pula ditemukan gejala lain. Pada punggung dan anggota gerak
dapat ditemukan bintik – bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit.Biasanya
dtemukan alam minggu pertama demam kadang – kadang ditemukan bradikardia pada anak
besar dan mungkin pula ditemukan epistaksis. Transmisi terjadi melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi urin/feses dari penderita tifus akut dan para pembawa
kuman/karier. Empat F (Finger, Files, Fomites dan fluids) dapat menyebarkan kuman ke
makanan, susu, buah dan sayuran yang sering dimakan tanpa dicuci/dimasak sehingga dapat
terjadi penularan penyakit terutama terdapat dinegara-negara yang sedang berkembang
dengan kesulitan pengadaan pembuangan kotoran (sanitasi) yang andal Masa inkubasi
demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasiantara 3-60 hari) bergantung jumlah

11
dan strain kuman yang tertelan. Selamamasa inkubasi penderita tetap dalam keadaan
asimtomatis.

Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan hematologi rutin didapatkan leukopeni atau leukopeni relatif,
kadang-kadang dapat juga terjadi leukositosis, neutropeni, limfositosis, aneosinofilia, dengan
atau tanpa penurunan hemoglobin (anemia) bergantung pada komplikasi yang melibatkan
perdarahan saluran cerna, dengan hematokrit, trombosit dalam rentangan normal atau dapat
terjadi trombositopenia.
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kuman Salmonella
typhi. Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan titer widal 4 kali lipat atau titer
widal O > 1/320, titer H > 1/160 (dalam sekali pemeriksaan).
Sesuai dengan kemampuan SDM dan tingkat perjalanan penyakit demam
tifoid/paratifoid, maka diagnosis klinis demam tifoid diklasifikasikan atas :
1. Possible Case
Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam, gangguan
saluran cerna, gangguan pola buang air besar dan hepato/splenomegali. Sindrom demam
tifoid belum lengkap. Diagnosis ini hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar.
2. Probable Case
Telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap, serta didukung oleh
gambaran laboratorium yang menyokong demam tifoid (titer widal O > 1/160 atau H >
1/160 satu kali pemeriksaan).
3. Definite Case
Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada pemeriksaan biakan atau positif S.Thypi
pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titer Widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan
ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, H > 1/640 (pada pemeriksaan sekali).

Penatalaksanaan
Sebagian besar pasien demam tifoid/paratifoid dapat diobati dirumah dengan tirah
baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian
antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat dirumah sakit agar pemenuhan
kebutuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit
dapat dilakukan dengan seksama. Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena

12
pada dasarnya patogenesis infeksi Salmonella typhi berhubungan dengan keadaan
bakteriemia.

Obat-obat antimikroba yang sering digunakan antara lain :


1. Kloramfenikol
Meskipun telah dilaporkan adanya resistensi kuman Salmonella terhadap
Kloramfenikol di berbagai daerah, Kloramfenikol tetap digunakan sebagai obat pilihan pada
kasus demam tifoid. Sejak ditemukannya obat ini oleh Burkoder sampai saat ini belum ada
obat antimikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat disamping harganya murah
dan terjangkau oleh penderita. Kekurangan kloramfenikol antara lain ialah reaksi
hipersensitifitas, reaksi toksik, grey syndrome, kolaps, dan tidak bermanfaat untuk
pengobatan karier.
Dalam pemberian kloramfenikol tidak terdapat keseragaman dosis. Dosis yang dianjurkan
ialah 50 – 100 mg/kgBB/hari, selama 10 – 14 hari. Untuk neonatus, penggunaan obat ini
sebaiknya dihindari, dan bila terpaksa, dosis tidak boleh melebihi 25 mg/kgBB/hari, selama
10 hari.

2. Tiamfenikol
Tiamfenikol mempunyai efek yang sama dengan Kloramfenikol karena susunan kimianya
hampir sama dan hanya berbeda pada gugusan R-nya. Dengan pemberian Tiamfenikol,
demam turun setelah 5 – 6 hari. Komplikasi hematologi pada penggunaan Tiamfenikol jarang
dilaporkan. Dosis oral dianjurkan 50 – 100 mg/kgBB/hsri, selama 10 – 14 hari.

3. Kotrimoksasol
Pendapat mengenai Efektifitas kotrimksasol terhadap demam tifoid masih
kontroversial. Kelebihan kotrimoksasol antara lain dapat digunakan untuk kasus yang resisten
terhadap kloamfenikol, penyerapan di usus cukup baik, dan kemungkinan timbulnya
kakambuhan pengobatan pengobatan lebih kecil dibandingkan kloramfenikol. Kelemahannya
ialah dapat terjadi skin rash (1 – 15%), sindrom Steven Johnson, agranulositosis,
trombositopenia, anemia megaloblastik, hemolisis eritrosit terutama pada penderita G6PD,
Dosis oral yang dianjurkan adalah 30 – 40 mg/kgBB/hari. Sulfametoksazol dan 6 – 8
mg/kgBB/hari untuk Trimetoprim, diberikan dalam 2 kali pemberian, selama 10 – 14 hari.

13
4. Ampisilin dan Amoksisilin
Merupakan derivat Penisilin yang digunakan pada pengobatan demam tifoid, terutama
pada kasus yang resisten terhadap Kloramfenikol. Pernah dilaporkan adanya Salmonella yang
resisten terhadap Ampisilin di Thailand.
Ampisilin umumnya lebih lambat menurunkan demam bila dibandingkan dengan
Kloramfenikol, tetapi lebih efektif untuk mengobati karier serta kurang toksik.
Kelemahannya dapat terjadi skin rash (3 – 18%), dan diare (11%).
Ampisilin mempunyai daya antibakteri yang sama dengan Ampisilin, terapi
penyerapan peroral lebih baik sehingga kadar oabat yang tercapai 2 kali lebih tinggi, dan
lebih sedikit timbulnya kekambuhan (2 – 5%) dan karier (0 – 5%).
Dosis yang dianjurkan adalah :
Ampisilin 100 – 200 mg/kgBB/hari, selama 10 – 14 hari.
Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari, selama 10 – 14 hari.
Pengobatan demam tifoid yang menggunakan obat kombinasi tidak memberikan
keuntungan yang lebih baik bila diberikan obat tunggal.

5. Seftriakson
Dosis yang dianjurkan adalah 50 – 100 mg/kgBB/hari, tunggal atau dalam 2 dosis iv.

6. Sefotaksim
Dosis yang dianjurkan adalah 150 – 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3- 4 dosis iv.

7. Siprofloksasin
Dosis yang dianjurkan adalah 2 x 200 – 400 mg oral pada anak berumur lebih dari 10 tahun
.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat,
meningitis, endokarditis, dan pneumonia yang mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang
tinggi.

14
Prognosis
Prognosis demam tifoid/paratifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Dinegara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas < 1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya > 10%,
biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi
seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis dan
pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S. ser. Typhi ≥ 3 bulan
setelah infeksi umumnya manjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah
dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1 – 5% dari seluruh pasien demam
tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibanding dengan
populasi umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai
terutama pada individu dengan skistosomiasis.

Pencegahan
Pencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuaidengan perjalanan penyakit, yaitu
pencegahan primer, pencegahansekunder, dan pencegahan tersier.

a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer merupakan upaya untukmempertahankan orang yang sehat agar tetap
sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer dapatdilakukan
dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang
dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3
jenis vaksin tifoid, yaitu :

1. Vaksin oral Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum selang sehari
dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindiksi pada wanita hamil, ibu
menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik. Lamaproteksi 5 tahun.

2. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenisvaksin yakni, K vaccine
(Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved). Dosis untuk
dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 – 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis

15
dengan interval 4 minggu. Efek sampingadalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri
padatempat suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayatdemam pada pemberian
pertama.

3. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara


intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui,
sedang demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi
daerah endemik, orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas
laboratorium/mikrobiologi kesehatan.

b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara dini dan
mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu
dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit demam
tifoid, yaitu :

a. Diagnosis klinik.
b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman.
c. Diagnosis serologik.

Pencegahan sekunder dapat berupa :


 Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha surveilans
demam tifoid.
 Perawatan umum dan nutrisi yang cukup.
 Pemberian anti mikroba (antibiotik) Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila
diagnosa telah dibuat. pada wanita hamil, terutama pada trimester III karena dapat
menyebabkan partus prematur, serta janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat yang
paling aman diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau
amoksilin. c. Pencegahan Tersier Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk
mengurangi keparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit
demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap

16
terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada penderita demam tifoid
yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca penyembuhan untuk
mengetahui kuman masih ada atau tidak.

DAFTAR PUSTAKA

 Background Document.2003.The Diagnosis, Treatment and Prevention of Thypoid


Fever. Comunicable Disease Surveillance and Response Vaccinase and Biologicals.
WHO.

 Bhutta ZA. 2006.Clinical Review. Current Concepts in the Diagnosis and Treatment
of Thypoid Fever. BMJ; 333: 78-82

 Maulani RF. Jakarta EGC

17
 Ranjan L.Fernando et al. 2001. Tropical Infectious Diseases Epidemiology,
Investigation, Diagnosis and Management, London,;45:270-272

 Widodo Djoko. 2007. Demam Tifoid didalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III edisi IV. Jakarta FKUI

 Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update. Cetakan pertama. 2003. Jakarta ;Ikatan Dokter Anak Indonesia:
37-46

 Widodo Darmowandoyo. Demam Tifoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak
Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi pertama. 2002. Jakarta ;Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI: 367-375

18

Anda mungkin juga menyukai