Anda di halaman 1dari 6

HIPERTROFI ADENOID

Definisi
Adenoid merupakan massa yang terdiri dari jaringan limfoid pada dinding posterior nasofaring di
atas batas palatum molle dan termasuk dalam cincin waldeyer. Secara fisiologik pada anak-anak,
adenoid dan tonsil mengalam hipertrofi. Adenoid ini membesar pada anak usia 3 tahun dan
kemudian mengecil dan menghilang sama sekali pada usia 14 tahun. Apabila sering terjadi
infeksi pada saluran napas bagian atas, maka dapat terjadi hipertrofi adenoid yang akan
mengabatkan sumbatan pada koana, sumbatan tuba eustachius serta gejala umum.
Epidemiologi
Di dalam beberapa penelitian hipertrofi adenoid dapat ditemukan padausia dewasa. Hamdan dkk
menyatakandari pasien yang datang dengan keluhan hidung tersumbat, 63,6% ditemukan
hipertrofi adenoid, seluruhnya menderita alergi dan secara signifikan ditandai secret purulen.
Etiologi
Penyebab hipertrofi aenoid belumlah dapat dibuktikan secara jelas, namun dapat disimpulkan,
yaitu secara fisiologi, faktor inflamasi, serta proses keganasan. Hipertrofi adenoid secara
fisiologis umumnya bersifat asimtomatik, gejala klinis akan timbil jika ukuran pembesaran
ukuran adenoid atau hipertrofi adenoid.
Faktor inflamasi adenoid dapat terjadi akibat infeksi saluran napas atas berulang, iritasi dari asap
rokok, gangguan pertahanan tubuh, refluks laringofaring, seta yang paling sering akibat alergi.
Patogenesis
Pada balita jaringan limfoid dalam cincin waldeyer sangat kecil. Pada anak berumur 4 tahun
bertambah besar karena aktivitas imun, karena tonsil dan adenoid (pharyngeal tonsil) merupakan
organ limfoid pertama di dalam tubuh yang memfagosit kuman-kuman patogen. Jaringan tonsil
dan adenoid mempunyai peranan penting sebagai organ yang khusus dalam respon imun humoral
maupun selular, seperti pada bagian epithelium kripte, folikel limfoid dan bagian ekstrafolikuler.
Oleh karena itu, hipertrofi dari jaringan merupakan respons terhadap kolonisasi dari flora normal
itu sendiri dan mikroorganisme patogen.
Adenoid dapat membesar seukuran bola ping-pong, yang mengakibatkan tersumbatnya jalan
udara yang melalui hidung sehingga dibutuhkan adanya usaha yang keras untuk bernapas sebagai
akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang terbuka. Adenoid dapat menyebabkan obstruksi
pada jalan udara pada nasal sehingga mempengaruhi suara. Pembesaran adenoid dapat
menyebabkan obstruksi pada tuba eustachius yang akhirnya menjadi tuli konduktif karena
adanya cairan dalam telinga tengah akibat tuba eustachius yang tidak bekerja efisien karena
adanya sumbatan.
Gejala Klinis
Pembesaran adenoid dapat menimbulkan beberapa gangguan sebagai berikut ini:
a. bstruksi nasi oleh karena adenoid menyumbat parsial atau total respirasi hidung sehingga
terjadi ngorok, percakapan hiponasal, dan membuat anak-anak akan terus bernafas
melalui mulut. Bernafas melalui mulut juga menyebabkan udara pernafasan tidak
disaring dan kelembabannya kurang, sehinnga mudah terjadi infeksi saluran pernafasan
bagian bawah.
b. Secara umum telah diketahui bahwa anak dengan pembesaran adenoid mempunyai
tampak muka yang karakteristik yang disebut facies adenoid yang berupa mulut yang
terbuka, gigi atas yang prominen dan bibir atas yang pendek (namun sering juga muncul
pada anak-anak yang minum susu dengan menghisap dari botol dalam jangka panjang),
hidung yang kecil, maksila tidak berkembang/hipoplastik, sudut alveolar atas lebih
sempit, arkus palatum lebih tinggi
c. Pada sumbatan, tuba eustachius akan terjadi otitis media serosa baik rekuren maupun
otitis medis akut residif, otitis media kronik dan terjadi tuli konduktif. Obstruksi ini juga
menyebabkan perbedaan dalam kualitas suara.
d. Sleep apnea pada anakyang berupa adanhya episode apnea pada saat tidur dan
hipersomnolen pada siang hari. Sering juga disertai dengan hipoksemia dan bradikardi.
Episode apnea dapat terjadi akibat adanya obstruksi sentral atau campuran.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisis, yang terbagi dua:
Directa:
- Dengan melihat transoral langsung ke dalam nasofaring setelah palatum molle di
retraksi.
- Dengan rhinoskopi anterior melihat gerakan keatas palatum molle waktu
mengucapkan "i" yang terhambat oleh pembesaran adenoid, hal ini disebut fenomena
palatum molle yang negative.
Indirecta:
- Dengan cermin dan lampu kepala melihat nasofaring dari arah orofaring dinamakan
rhinoskopi posterior.
- Dengan nasofaringioskop, suatu alat seperti scytoskop yang mempunyai sistem lensa
dan prisma dan lampu diujungnya, dimasukkan lewat cavum nasi, seluruh nasofaring
dapat dilihat.
c. Palpasi:
Jari telunjuk yang dimasukkan ke nasofaring dapat meraba adenoid yang membesar
d. Pemeriksaan penunjang:
- Radiologi
Pengambilan foto polos leher lateral juga bisa membantu dalam mendiagnosis
hipertrofi adenoid jika endoskopi tidak dilakukan karena ruang postnasal kadang sulit
dilihat pada anak-anak, dan dengan pengambilan foto lateral bisa menunjukkan
ukuran adenoid dan derajat obstruksi.

Gambar 1: gambaran radiologis adenoid pada foto polos kepala


lateral.

- Endoskopi
Endoskopi yang flexible membantu dalam mendiagnosis adenoid hipertrofi, infeksi
pada adenoid, dan insufisiensi velopharyngeal (VPi), juga dalam menyingkirkan
penyebab lain dari obstruksi nasal.

Gambar 2: gambaran endoskopi adenoid.


Penatalaksanaan
Tidak ada bukti yang mendukung bahwa adanya pengobatan medis untuk infeksi kronis
adenoid, pengobatan dengan menggunakan antibiotik sistemik dalam jangka waktu yang panjang
untuk infeksi jaringan limfoid tidak berhasil membunuh bakteri. Sebenarnya, banyak kuman
yang mengalami resistensi pada penggunaan antibiotik jangka panjang. Beberapa penelitian
menerangkan manfaat dengan menggunakan steroid pada anak dengan hipertrofi adenoid.
Penelitian menujukkan bahwa selagi menggunakan pengobatan dapat mengecilkan adenoid
(sampai 10%). Tetapi jika pengobatan tersebut itu dihentikan adenoid tersebut akan terulang lagi.
Pada anak dengan efusi telinga tengah yang persisten atau otitis media yang rekuren,
adeinoidektomi meminimalkan terjadinya rekuren. Indikasi adenoidektomi adalah:
a. Sumbatan hidung yang menyebabkan bernafas melalui mulut
b. Sleep apnea
c. Gangguan menelan
d. Gangguan berbicara
e. Kelainan bentuk wajah muka dan gigi (adenoid face)
f. Infeksi
g. Kecurigaan neoplasma jinak/ganas
Adenoidektomi dan tonsilektomi dilakukan dengan anestesi general dan penyembuhan terjadi
dalam waktu 48 hingga 72 jam. Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai
kontraindikasi, namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
mempertimbangkan manfaat dan risikonya, keadaan tersebut antara lain:
a. Gangguan perdarahan
b. Risiko anastesi yang besar atau penyakit berat
c. Anemia
d. Infeksi akut yang berat
Komplikasi
Komplikasi dari tindakan adenoidektomi adalah perdarahan bila pengerokan adenoid kurang
bersih. Jika terlalu dalam menyebabkan akan terjadi kerusakan dinding belakang faring. Bila
kuretase terlalu ke lateral maka torus tubarius akan rusak dan dapat mengakibatkan oklusi tuba
eustachius dan timbul tuli konduktif.
Prognosis
Adenotonsillektomi merupakan suatu tindakan yang kuratif pada kebanyakan individu. Jika
pasien ditangani dengan baik diharapkan dapat sembuh sempurna.
1234691011
DAFTAR PUSTAKA
Rusmarjono. Penyakit serta kelainan pada faring dan tonsil. Dalam: Efiaty AS; Iskandar,
Nurbaiti, editors. Buku ajar ilmu kesehatan telinga-hidung-tenggorok kepala leher. 5th ed:
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. P. 184

Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, tenggorok, Kepala dan Leher. 13th ed. Alih bahasa: staf
Ahli Bagian THT RSCM-FKUI Indonesia. Jakarta: Binarupa Aksara. 1994.p.369-371

Adams G. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Effendi H, Santoso RA, editors.
Boies buku ajar penyakit THT. 6th ed: Jakarta : penerbit buku kedokteran EGC; 1997. p. 320-
327

McClay J. Adenoidectomy. Available from:http://emedicine.medscape.com/


article/872216overview

Hultcrantz E. Surgical treatment of children with obstructive sleep apnea. In: Onerci M,
Kountakis SE, editors. Rhinologic and sleep apnea surgical techniques. Berlin: Springer. 2007. p.
379-390

Bull TR. Color Atlas of ENT Diagnosis. 4th ed. Stuttgart.Newyork: Thieme. 2003. P 109-111

Anda mungkin juga menyukai