Anda di halaman 1dari 14

I.

PENDAHULUAN

Penurunan kesadaran merupakan kasus gawat darurat yang sering dijumpai


dalam praktek sehari-hari. Penurunan kesadaran dapat disebabkan gangguan pada otak dan
sekitarnya atau karna pengaruh gangguan metabolik. Penurunan kesadaran dapat terjadi secara
akut atau secara kronik. Penurunan kesadaran yang terjadi secara cepat ini yang biasanya
merupakan kasus gawat darurat dan butuh penanganan sesegera mungkin.

Kesadaran merupakan manifestasi dari normalnya aktivitas otak. Kesadaran ditandai


dengan adanya awareness (sadar) terhadap diri sendiri dan lingkungan, serta memiliki
kemampuan untuk merespons stimulus internal maupun eksternal. Menurut Plum dan Posner,
kesadaran memiliki dua aspek, yaitu : derajat dan kualitas, sehingga berhubungan dengan
tingkat kewaspadaan (alertness) atau tingkat keterjagaan (wakefulness).

Sementara itu, kualitas kesadaran menggambarkan fungsi kognitif dan afektif mental
seseorang. Kualitas kesadaran bergantung pada cara pengelolaan impuls aferen oleh korteks
serebri yang kemudian akan menghasilkan isi pikir. Jika derajat kesadaran terganggu, secara
otomatis kualitas kesadaran juga akan terganggu. Namun, terganggunya kualitas kesadaran
tidak selalu diikuti oleh terganggunya derajat kesadaran. 1

Pada referat ini akan dibahas mengenai definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi
klinis, cara pemeriksaan diagnosis serta tata laksana secara komprehensif dan holistik.

II. DEFINISI

Penurunan kesadaran adalah suatu abnormalitas kondisi dari stimulus sensoris, yang
disebabkan oleh trauma, syok, atau kelainan tubuh lainnya. Penurunan kesadaran dimana pasien
dapat secara spontan pulih atau dengan bantuan ringan menggunakan istilah syncope atau
pingsan. Sedangkan, tidak sadar berkepanjangan, lebih dalam lagi dinamakan dengan coma. 2

Pasien dengan gangguan isi kesadaran biasanya tampak sadar penuh, namun tidak dapat
merespon dengan baik beberapa rangsangan-rangsangan, seperti membedakan warna, raut
wajah, mengenali bahasa atau simbol, sehingga sering kali dikatakan bahwa penderita tampak
bingung. Penurunan kesadaran atau koma menjadi petunjuk kegagalan fungsi integritas otak

1
dan sebagai “final common pathway” dari gagal organ seperti kegagalan jantung, nafas dan
sirkulasi akan mengarah kepada gagal otak dengan akibat kematian. Jadi, bila terjadi
penurunan kesadaran maka terjadi disregulasi dan disfungsi otak dengan kecenderungan
kegagalan seluruh fungsi tubuh. Dalam beberapa kasus, kesadaran tidak hanya mengalami
penurunan, namun dapat terganggu baik secara akut maupun secara kronik atau progresif.3

1. Terganggunya kesadaran secara akut, antara lain:


a. Clouding of consciousness (somnolen) adalah keadaan dimana terjadi penurunan
tingkat kesadaran yang minimal sehingga pasien tampak mengantuk yang dapat
disertai dengan mood yang irritable dan respon yang berlebih terhadap lingkungan
sekitar. Biasanya keadaan mengantuk akan lebih tampak pada pagi dan siang hari,
sedangkan pada malam harinya pasien akan terlihat gelisah.
b. Delirium merupakan keadaaan terganggunya kesadaran yang lebih
dikarenakan abnormalitas dari mental seseorang dimana pasien salah
menginterpretasikan stimulan sensorik dan terkadang terdapat halusinasi pada
pasien. Berdasarkan DSM-IV, delirium adalah gangguan kesadaran yang disertai
ketidakmampuan untuk fokus atau mudah terganggunya perhatian. Pada delirium,
gangguan hanya terjadi sementara dalam waktu yang singkat (biasanya dalam
hitungan jam atau hari) dan dapat timbul fluaktif dalam hari. Pasien dengan delirium
biasanya mengalami disorientasi, pertama adalah waktu, tempat, lalu lingkungan
sekitar.
c. Obtundation (apatis), kebanyakan pasien yang dalam keadaan apatis memiliki
penurunan kesadaran yang ringan sampai sedang diikuti dengan penurunan minat
terhadap lingkungan sekitar. Pasien biasanya merespon lambat terhadap stimulan
yang diberikan.
d. Stupor adalah kondisi dimana pasien mengalami tidur yang dalam atau tidak
merespon, respon hanya timbul pada stimulan yang kuat dan terus menerus. Dalam
keadaan ini dapat ditemukan gangguan kognitif.
e. Koma adalah keadaan dimana pasien tidak merespon sama sekali terhadap stimulan,
meskipun telah diberikan stimulan yang kuat dan terus menerus. Pasien mungkin
dapat tampak meringis atau gerakan tidak jelas pada kaki dan tangan akibat
rangsangan yang kuat, namun pasien tidak dapat melokalisir atau menangkis daerah

2
nyeri. Semakin dalam koma yang dialami pasien, respon yang diberikan terhadap
rangsangan yang kuat sekalipun akan menurun.
f. Locked-in syndrome adalah keadaan dimana pasien tidak dapat meneruskan impuls
eferen sehingga tampak kelumpuhan pada keempat ektremitas dan saraf kranial
perifer. Dalam keadaan ini pasien bisa tampak sadar, namun tidak dapat merespon
rangsangan yang diberikan. Terganggunya kesadaran secara akut lebih berbahaya
dibandingkan terganggunya kesadaran yang bersifat progresif.

2. Terganggunya kesadaran secara kronik, dibagi atas, antara lain :


a. Dementia adalah penurunan mental secara progresif yang dikarenakan kelainan
organik, namun tidak selalu diikuti penurunan kesadaran. Penurunan mental yang
tersering adalah penurunan fungsi kognitif terutama dalam hal memori atau ingatan,
namun dapat juga disertai gangguan dalam berbahasa dan kendala dalam
melakukan atau menyelesaikan suatu masalah.
b. Hypersomnia adalah keadaan dimana pasien tampak tidur secara normal
namun saat terbangun, kesadaran tampak menurun atau tidak sadar penuh.
c. Abulia adalah keadaan dimana pasien tampak acuh terhadap lingkungan sekitar
(lack of will) dan merespon secara lambat terhadap rangsangan verbal. Sering kali
respon tidak sesuai dengan percakapan atau gerakan yang diperintahkan, namun
tidak ada gangguan fungsi kognitif pada pasien.
d. Akinetic mutism merupakan keadaan dimana pasien lebih banyak diam dan tidak
awas terhadap diri sendiri (alert-appearing immobility).
e. The Minimally Conscious State (MCS) adalah keadaan dimana terdapat penurunan
kesadaran yang drastis atau berat tetapi pasien dapat mengenali diri sendiri
dan keadaaan sekitar. Keadaan ini biasanya timbul pada pasien yang mengalami
perbaikan dari keadaan koma atau perburukan dari kelainan neurologis yang
progresif.
f. Vegetative state (VS) bukan merupakan tanda perbaikan dari pasien yang
mengalami penurunan kesadaran, meskipun tampak mata pasien terbuka, namun
pasien tetap dalam keadaan koma. Pada keadaan ini regulasi pada batang otak
dipertahankan oleh fungsi kardiopulmoner dan saraf otonom, tidak seperti pada

3
pasien koma dimana hemisfer serebri dan batang otak mengalami kegagalan fungsi.
Keadaan ini dapat mengalami perbaikan namun dapat juga menetap (persistent
vegetative state). Dikatakan persisten vegetative state jika keadaan vegetative
menetap selama lebih dari 30 hari.
g. Brain death merupakan keadaan irreversible dimana semua fungsi otak mengalami
kegagalan, sehingga tubuh tidak mampu mempertahankan fungsi jantung dan paru
yang menyuplai oksigen dan nutrisi ke organ-organ tubuh. Kematian otak tidak
hanya terjadi pada hemisfer otak, namun juga dapat terjadi pada batang otak. 4

Dalam hal menilai penurunan kesadaran, dikenal beberapa istilah yang digunakan di
klinik yaitu kompos mentis, somnolen, stupor atau sopor, soporokoma dan koma. Terminologi
tersebut bersifat kualitatif. Sementara itu, penurunan kesadaran dapat pula dinilai secara
kuantitatif, dengan menggunakan skala koma Glasgow. Penilaian kesadaran biasanya
berdasarkan respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan oleh pemeriksa.

III. ETIOLOGY

Berdasarkan etiologi, penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh kelainan struktural


(lesi diskret pada bagian atas batang otak dan bagian bawah diensefalon atau lesi yang mengenai
kedua hemisfer) dan kelainan metabolik (yang mengakibatkan gangguan aktivitas neuron).1

Gangguan kesadaran disebabkan oleh berbagai faktor etiologi, baik yang bersifat
intrakranial maupun ekstrakranialatau sistemik. Berikut merupakan etiologi dari penurunan
kesadaran :

1. Gangguan sirkulasi darah di otak


Gangguan ini disebabkan oleh perdarahan, trombosis maupun emboli.
Mengingat insidensi stroke cukup tinggi maka kecurigaan terhadap stroke pada
setiap kejadian gangguan kesadaran perlu digarisbawahi.
2. Infeksi
Ensefalomeningitis (meningitis, ensefalitis, serebritis atau abses otak).
Mengingat infeksi (bakteri, virus, jamur) merupakan penyakit yang sering

4
dijumpai di Indonesia maka pada setiap gangguan kesadaran yang disertai suhu tubuh
meninggi perlu dicurigai adanya ensefalomeningitis.
3. Gangguan metabolisme.
Di Indonesia, penyakit hepar, gagal ginjal, dan diabetes melitus sering dijumpai.
4. Neoplasma
Neoplasma otak, baik primer maupun metastatik, sering di jumpai di Indonesia.
Neoplasma lebih sering dijumpai pada golongan usia dewasa dan lanjut. Kesadaran
menurun umumnya timbul berangsur-angsur namun progresif atau tidak akut.
5. Trauma kepala
Trauma kepala paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas.
6. Epilepsi
Gangguan kesadaran terjadi pada kasus epilepsi umum dan status epileptikus.
Intoksikasi-Intoksikasi dapat disebabkan oleh obat, racun (percobaan bunuh diri),
makanan tertentu dan bahan kimia lainnya.
7. Gangguan elektrolit dan endokrin
Gangguan ini sering kali tidak menunjukkan “identitas”nya secara jelas,
dengan demikian memerlukan perhatian yang khusus agar tidak terlupakan dalam setiap
pencarian penyebab gangguan kesadaran.3

IV. PATOFISIOLOGI

Terdapat dua struktur anatomi yang mempengaruhi derajat kesadaran, yaitu kedua hemisfer
otak dan brainstem reticular activating system (RAS). Kedua struktur ini berperan dalam
proyeksi dan penerimaan impuls aferen. Kesadaran adalah suatu kondisi seseorang mampu
menanggapi stimulus adekuat.

Penurunan kesadaran dapat dibagi menjadi penurunan kesadaran akibat kelainan struktural,
kelainan metabolik, dan infeksi/inflamasi.

Pada kelainan struktural, penurunan kesadaran dapat terjadi akibat adanya kompresi bagian
otak atau destruksi langsung. Beberapa hal yang mengakibatkan lesi kompresi seperti trauma,
tumor, hematom dan abses. Lesi kompresi ini mengakibatkan 1) distorsi ARAS; 2) peningkatan
tekanan intrakranial secara difuse sehingga menyebabkan terganggunya aliran darah otak, 3)

5
iskemia lokal; 4) edema otak; 5) herniasi yang menyebabkan kompresi ke bagian otak yang
lain. Penurunan kesadaran akibat kompresi ini umumnya diakibatkan oleh pergeseran salah satu
atau beberapa bagian otak akibat efek desak ruang. Pergeseran ini mengakibatkan herniasi dan
kompresi pada mesensefalon dan RAS. Sementara itu penurunan kesadaran akibat destruksi
disebabkan oleh kerusakan langsung struktur RAS (seperti lesi primer di diensefalon atau
brainstem yang bilateral; lesi fokal pada mesensefalon dan diensefalon) atau kerusakan kortikal
dan subkortikal yang harus bersifat bilateral dan difus. Pada cedera tumpul, getaran yang terjadi
akibat benturan pada tengkorak akan ditransmisikan ke otak sehingga mengakibatkan
kerusakan jaringan otak.

Ketidak seimbangan aktivitas metabolik pada neuron di korteks serebral dan nukleus
central di ota merupakan salah satu hal yang dapat mengakibatkan penurunan kesadaran.
Etiologinya dapat berupa hipoksia, iskemia global, hipoglikemia, kondisi hiper/hipo-osmolar,
asidosis, alkalosis, hipokalemia, hiperamonemia, hiperkalsemia, hiperkarbia, intoksikasi obat,
dan defisiensi vitamin. Penurunan kesadaran tersebut disebabkan oleh reduksi metaboolisme
akibat menurunnya aliran darah ke otak.

Penurunan kesadaran pada kasus infeksi intrakranial terjadi karena lesi yang difuse pada
seluruh hemisfer baik akibat inflamasi atau edema yang disebabkannya5.

V. MANIFESTASI KLINIS5
1. Penurunan kesadaran
a. Tiba-tiba, akibat kelainan neurovaskular.
b. Gradual, akibat tumor, abses, perdarahan subdural kronik.
c. Didahului oleh acute confusional state atau delirium, akibat kelainan metabolik
atau infeksi.
2. Pola pernafasan abnormal
a. Cheyne-stokes, pada ensefalopati metabolik atau lesi diensefalon
b. Hiperventilasi neurogenik sentral, pada ensefalopati metabolik
c. Apneusis, pada lesi pons bilateral
d. Klaster dan ataksik, pada pasien lesi pontomedullary junction
e. Apneu, pada lesi medulla sisi ventrolateral bilateral

6
3. Sirkulasi
a. Sianosis, pada hipoksia
b. Kemerahan, pada intoksikasi karbon monoksida
4. Tekanan darah tinggi
5. Suhu hipotermi/hipertermi
a. Hipotermi, akibat intoksikasi obat sedatif atau etanol, hipoglikemia, ensefalopati
wernicke, ensefalopati hepatikum.
b. Hipertermi, akibat stroke, status epileptikus, intoksikasi obat anastesi, intoksikasi
obat antikolinergik, perdarahan pontin, lesi hipotalamus.
6. Tanda trauma (apabila ada riwayat trauma)
a. Racoon eyes
b. Tanda battle
c. Rinore atau otorea
d. Tanda fraktur
7. Kelainan pada kulit
a. Memar multiple pada skalp, akibat fraktur intrakranial
b. Telangiektasis dan hiperemia pada wajah dan konjungtifa, akibat keracunan
alkohol
c. Jejak bekas suntikan, akibat penyalahgunaan obat
d. Keringat berlebih, akibat hipoglikemia atau syok
e. Kulit sangat kering, akibat asidosis diabetik atau uremia
8. Panurunan derajat kesadaran dan GCS
9. Rangsang menings positif pada, kasus iritasi meningeal
10. Pupil
a. Normal, pada penurunan kesadaran akibat kelainan metabolik
b. Thalamic pupils (<2mm) akibat kompresi thalamus
c. Fixed, dilated pupils (>7 mm dan terfiksasi), akibat kompresi N. Cranial III atau
intoksikasi obat antikolinergik. Sering juga akibat herniasi transtentorium oleh
massa supratentorial.
d. Fixed, midsized pupil (5 mm), kerusakan midbrain
e. Pin point pupil, akibat lesi pada pons

7
f. Asymetric pupil, akibat kelainan pada midbrain
11. Pergerakan bola mata yang berlawanan dengan rotasi kepala baik secara vertikal maupun
horizontal (doll’s head)
12. Respon mata tidak adekuat/tidak muncul pada cold water caloric test, mengindikasikan lesi
serebelum atau batang otak.
13. Terpon motorik terhadap nyeri
a. Dekortikasi akibat lesi pada hemisfer luas, atau mesensefalon
b. Deserebrasi akibat lesi pons
c. Respon bilateral pada lesi bilateral/metabolik
d. Tidak ada respon pada lesi pons bawah dan medulla
14. Funduskopi
a. Papiledema dan oerdarahan retina pada hipertensi kronik/ peningkatan TIK
b. Perdarahan subhialoid pada PSA

VI. DIAGNOSIS

Umumnya sebagian besar diagnosis penurunan kesadaran dapat dibuat segera berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Pemeriksaan penunjang dibutuhkan untuk mencari
etiologinya. Pada pasien dengan tanda dan gejala lesi structural atau peningkatan tekanan
intracranial, memerlukan pemeriksaan CT scan atau MRI kepala. Pungsi lumbal dilakukan jika
teradapat kecurigaan infeksi intracranial, asal berhati-hati dengan risiko herniasi.

Jika penurunan kesadaran dicurigai akibat intoksikasi zat tertentu, dapat dilakukan aspirasi
dan analisis isi lambung, juga analisis kromatografi darah dan urin untuk mengetahui konsentasi
opiate, benzodiazepine, barbiturate, alcohol dan substansi toksik lainnya. Specimen urin
dikumpulkan dengan kateter guna menentukan kadar glukosa, keton dan protein urin.
Proteinuria dapat ditemukan 2-3 hari pascaperdarahan subaraknoid. Urin dengan kadar glukosa
dan keton tinggi ditemukan pada pasien koma abetikum, sedangkan urin dengan glikosuria
transien dan hiperglikemia dapat ditemukan pada pasien dengan lesi serebral.

Pemeriksaan darah terhadap konsentrasi gluksoa, ureum, kreatinin, ammonia, elektrolit,


SGOT, dan SGPT perlu dilakukan pada evaluasi awal pasien untuk mengeksklusi kemungkinan
penurunan kesadaran akibat gangguan metabolik. Begitu juga dengan analisis gas darah, hanya

8
jika pasien menunjukkan tanda dan gejala insufisiensi pernapasan atau gangguan asam-basa.
Hitung jenis dan apus darah tebal-tipis dilakukan pada pasien dengan riwayat bepergian ke
daerah endemik malaria. Leukositosis neutrofilik ditemukan pada kasus infeksi bakteri dan
perdarahan serta infark otak. EEG juga dapat dilakukan jika pada pemeriksaan awal tidak
ditemukan bukti yang adekuat, untuk menegakkan status epileptikus nonkonvulsif yang dapat
menyebabkan penurunan kesadaran5.

Klasifikasi

1. Penyakit yang menyebabkan penurunan kesadaran tanpa adanya tanda deficit


neurologis fokal atau lateralisasi, umumnya dengan fungsi batang otak normal.
Pemeriksaan CT scan atau MRI dan analisis cairan serebrospinal (CSS) umumnya
normal.
a. Intoksikasi: alcohol, barbiturate, opiate, dan obat sdatif lainnya.
b. Gangguan metabolik: anoksia, asidosis metabolic, uremia, gagal hati, hiperosmolar
hiperglikemia nonketotik, hipo dan hipernatremia, hipoglikemia, krisis adrenal,
defisiensi nutrisi, intoksikasi karbon monoksida, dan ensefalopati Hashimoto.
c. Infeksi sistemik yang parah: pneumonia, peritonitis, demam tifoid, malaria,
septicemia, dan sindrom Waterhouse-Friderichsen.
d. Kegagalan sirkulasi (syok).
e. Post-seizure state, status epileptikus konvulsif dan nonkonvulsif
f. Ensefalopasi hipertensi dan eklampsia.
g. Hipertermia dan hipotermia.
h. Concussion
i. Hidrosefalus akut
j. Penyakit degenerative stadium akhir dan Creutzfeldt-Jakob disease.
2. Penyakit yang dapat menyebabkan penuruna kesadaran disertai dengan iritasi selaput
meningen dengan atau tanpa demam. Analisis CSS ditemukan peningkatan sel darah
ptih, umumnya tanpa tanda lateralisasi atau lesi fokal diserebral atau batang otak,
gambaran, CT scan atau MRI abnormal.
a. Perdarahan subaraknoid yang berasal dari rupture aneurisma, malformasi arteri-
vena, atau trauma.

9
b. Meningitis bacterial akut, ensefalitis virus, parasit.
3. Penyakit yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran disertai dengan lateralisasi
atau tanda fokal batang otak atau serebral dengan atau tanpa abnormalitas hasil analisis
CSS. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI memberikan gambaran abnormal.
a. Perdarahan hemisfer atau infark massif.
b. Infark batang otak akibat thrombosis arteri basilar atau emboli.
c. Abses otak, empiema subdural, ensefalitis herpes.
d. Perdarahan epidural dan subdural; kontusio otak
e. Tumor otak
f. Perdarahan serebral dan pontin
g. Lain-lain: thrombosis vena korteks, ensefalitis virus (herpes), infark emboli fokal
akibat endokarditis bacterial, leukoensefalitis perdarahan akut, ensefalomielitis
diseminata, limfoma intravascular, trombositopenia purpura, emboli lipid difus dan
lainnya.

VII. DIAGNOSIS BANDING5


1. Psychogenic unresponsiveness
Diagnosis ini merupakan suatu diagnosis eksklusi dan ditegakkan hanya jika tidak terdapat
bukti yang kuat untuk menegakkan diagnosis penyakit lainnya. Psycogenic
unresponsiveness merupakan manifestasi klinis dari skizofrenia (tipe katatonik), kelainan
somatoform, atau malingering. Pada pemeriksaan fisik umum tidak ditemukan adanya
kelainan dan pada pemeriksaan fisik neurologis terdapat penurunan tonus otot simetris,
refleks yang normal, dan respons yang normal terhadap stimulsi plantar. Pada pemeriksaan
tes kalori dengan air dingin ditemukan adanya nistagmus fase cepat yang tidak akan
ditemukan pada pasien dengan penurunan kesadaran. Selain itu, pemeriksaan dengan EEG
akan memberikan gambaran gelombang normal pada pasien sadar.
2. Persistent vegetative state
Beberapa pasien dengan penurunan kesadaran akibat hipoksia serebral, iskemia serebral
globab, trauma kepala, atau stroke yang mengenai kedua hemisfer dapat kembali sadar
setelah mengalami penurunan kesadaran, namun kembalinya tingkat kesadaran tersebut
tidak diikuti dengan kembalinya kewaspadaan (awareness). Jika kondisi ini terus

10
berlangsung selama ≥ 1 bulan, pasien ini dikatakan berada dalam kondisi vegetative
(persistent vegetative state). Pasien ini berada dalam kondisi vegetative memiliki
kemampuan membuka mata secara spontan, siklus bangun tidur yang normal, dan fungsi
batang otak serta otonom yang intak,
3. Locked-in syndrome
Transeksi fungsional pada batang otak di bawah pons tengah, dapat mengganggu jalur
descending formation retikularis (yang bertanggung jawab mengatur kesadaran).
Transeksi ini dapat diakibatkan oleh infark pons, perdarahan, mielinolisis pontin sentral,
tumor atau ensefalitis. Transeksi ini akan mengakibatkan kondisi akinetik dan mute state,
namun dengan derajat kesadaran penuh. Pasien yang mengalami kondisi ini akan terlihat
berada dalam kondisi stupor-koma, tetapi sebenarnya sadar penuh walaupun mengalami
kuadriplegia dan mutisme. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan gambaran pergerakan
volunteer yang dikendalikan oleh midbrain, seperti kemampuan membuka mata spontan,
pergerakan vertika bola mata, dan gerakan konvergen bola mata. Hasil pemeriksaan EEG
akan menunjukkan gambaran normal.
4. Brain death
Diagnosis brain death ditegakkan jika:
a. Fungsi respirasi dan sirkulasi berhenti secara ireversibel atau
b. Seluruh fungsi otak terhenti secara ireversibel. Pada pemeriksaan fisik didaptkan
semua refleks batang otak negative.

VIII. TATALAKSANA

Pada prinsipnya, setiap gangguan di intracranial yang mendesak ARAS, maupun gangguan
sistemik tubuh yang mengganggu neuron secara difus dapat menyebabkan penurunan
kesadaran. Maka pada setiap pasien dengan penurunan dengan kesadaran, yang pertama
dicari adalah adanya gangguan intracranial, oleh karena harus ditatalaksana segera untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut. Jika ternyata penyebabnya adalah kelainan sistemik, maka
penanganannya pun perlu dipertimbangkan dari sudut pandang neurologi agar otak tetap terjaga
dan terhindar dari komplilasi ensefalopati yang dapat bersifat ireversibel di kemudian hari.

11
Tatalaksana penurunan kesadaran sangat berlangsung pada etiologinya. Namun kadang
etiologi tidak dapat langsung ditemukan, sehingga tatalaksananya belum bisa spesifik. Oleh
karena pada penurunan kesadaran terjadi penurunan refleks-refleks dasar termasuk menelan
dan bisa terjadi gangguan napas, maka diperlukan tatalaksana awal yang bersifat suportif, untuk
memperbaiki kondisi akut yang mengancam nyawa seperti5:

1. Bebaskan jalan napas dengan suction jika terdapat lender di jalan napas atau posisikan
pasien sehingga menghadap ke lateral.
2. Berikan oksigen dengan nasal kanul atau sungkup dan lakukan pemeriksaan analisis gas
darah jika dibutuhkan. Jika pasien diketahui terdapat hipoksia atau hipoventilasi dan
tidak memiliki kemampuan mencegah aspirasi, maka dapat dipertimbangkan intubasi
endotrakeal.
3. Untuk mencegah kegagalan sirkulasi, pasang jalur intravena daln lakukan pemeriksaan
darah untuk mengetahui kadar glukosa, elektrolit, fungsi hati, fungsi ginjal, atau kadar
obat-obatan tertentu yang dicurigai menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran.
4. Jika terdapat tanda dan gejala peningkatan tekanan intracranial akibat strke atau
perdarahan, dapat diberikan manitol 25-50 mg dalam solusio 20% intravena selama 10-
20 menit, atau deksametason loading 10mg IV jika diperkirakan akibat massa atau
infeksi intracranial.
5. Antiobiotik spectrum luas diberikan pada pasien dengan geja;a dan tanda yang
mengarah pada meningitis atau ensefalitis bakterialis, jika pungsi lumbal tidak dapat
dilakukan segera.
6. Jika pasien kejang, berikan diazepam IV perlahan.
7. Jika terdapat tanda dan gejala intoksikasi zat atau substansi tertentu, perlu dilakukan
bilasan lambung untuk diagnosis dan terapi. Namun perlu diperhatikan terdapat
beberapa obat (salisilat, opiate dan obat antikolinergik) yang dapat menyebabkan atonia
gaster sehingga bilasan lambung tidak dapat dilakukan karena dapat mengakibatkan
perforasi. Pada kasus seperti ini, pasien dapat diberikan activated charcoal.
8. Jika pasien mengalami gangguan pengaturan suhu tubuh, perlu dilakukan koreksi guna
mencegah hipo atau hipertermia.

12
9. Pemasangan kateter urin guna mencegah peningkatan tekanan intraabdomen yang
berbahaya pada kaasus penurunan kesadaran dengan peningkatan tekanan intracranial,
juga berfungsi untuk memonitor balans cairan pasien.
10. Pemasangan pipa nasogastrik untuk memudahkan pemberian nutrisi dan mencegah
aspirasi.
11. Mobilisasi pasif dengan cara merubah posisi pasien miring ke kiri dan kanan secara
teratur tiap 2 jam untuk mencegah ulkus dekubitus.
12. Jaga kebersihan konjungtiva dan mulut pasien untuk mencegah pertumbuhan bakteri.

IX. KESIMPULAN
Penurunan kesadaran atau koma merupakan salah satu kegawatan neurologi yang menjadi
petunjuk kegagalan fungsi integritas otak dan sebagai “final common pathway” dari gagal
organ seperti kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada gagal otak dengan
akibat kematian. Penurunan kesadaran dapat ditentukan secara kualitatif dan kuantitatif.
Penurunan kesadaran disebabkan oleh kelainan metabolik dan struktural yang mempengaruhi
korteks dan ARAS. Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik umum,
pemeriksaan fisik neurologis dan pemeriksaan penunjang.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Neurologi FKUI. 2017. Buku Ajar Neurologi. Jakarta : RSCM


2. Dorland WA, Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland edisi 31. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
3. Plum, F. Posner, JB. Saper, CB. Schiff, ND. (2007). Plum and Posner’s Diagnosis of Stupor
and Coma. Oxford University Press. New York.
4. Dewanto, G. Suwono, WJR. Budi, dkk. (2007). Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf.
Fakultas UNIKA ATMAJAYA. EGC
5. Aninditha T, Wiratman W, editors. 2017. Buku Ajar Neurologi. I. Jakarta: Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Indonesia.

14

Anda mungkin juga menyukai