Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Kejang demam adalah jenis kejang yang paling umum ditemukan pada
anak-anak.1Angka kejadian kejang demam di Swedia, Amerika Utara dan Inggris
sebesar 2-5%, terutama pada anak-anak berusia 3 bulan-5 tahun.2 Di Indonesia,
kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan hingga 5 tahun.3
Penelitian di Jepang mendapatkan angka yang lebih tinggi yaitu 7% (Tsuboi,
1986) dan 9,7% (Maeda, 1993).2 Lumbantobing (1995) mengemukakan bahwa
kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan
dengan perbandingan 1,25:1.
Kejang demam dipicu oleh proses infeksi ekstrakranium.5 Infeksi ini
menyebabkan naiknya suhu tubuh yang berlebihan (hiperpireksia) sehingga
timbul kejang. Penelitian Nelson dan Ellenberg (1978) serta Lewis (1979)
menunjukkan pencetus kejang demam terbanyak adalah infeksi saluran napas atas
(38%), diikuti dengan otitis media (23%), pneumonia (15%),gastroenteritis (7%),
roseola infantum (5%), dan penyakit non-infeksi (12%).6 Imunisasi juga dapat
menjadi penyebab kejang demam namun insidennya sangat kecil.
Kejang demam dikelompokkan menjadi kejang demam sederhana dan
kompleks berdasarkan manifestasi klinisnya yaitu lama kejang, frekuensi kejang,
dan sifat kejang.Klasifikasi ini berpengaruh pada pengobatan dan menjadi salah
satu faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari.(1)

1
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Gibran Baptista
Tanggal lahir : 30 Mei 2018
Umur : 1 tahun 4 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Gassing dg Tiro
Agama : Katholik
Pekerjaan :-
Ruangan : Perawatan 2 lt. 1 RSUD Syekh Yusuf Gowa
B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama : Kejang disertai demam
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan kejang yang dialami sebanyak dua kali.
Kejang pertama dialami saat masih di rumah sekitar pukul 12.30 yang
terjadi selama kurang dari 5 menit, bersifat generalisata, tidak ada keluar
busa dari mulut dan pasien sadar setelah kejang. Pasien kemudian dibawa
ke IGD RSUD Syekh Yusuf dan diberikan penanganan stesolid rektal 1
kali. Tidak lama kemudian kembali terjadi kejang dengan durasi kurang
lebih 5 menit dengan sifat kejang yang sama seperti sebelumnya. Pasien
kembali diberikan stesolid rektal. Demam juga dialami oleh pasien sejak
subuh dan diberikan paracetamol dan amoxicillin yang dibeli sendiri,
demam membaik dengan pemberian obat. Nafsu makan dan minum baik.
BAB encer, warna kehijauan dan ada ampas. BAK lancar seperti biasa
dan berwarna kuning. Riwayat kejang sebelumnya tidak ada.
3. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat trauma disangkal. Riwayat kejang sebelumnya disangkal
4. Riwayat kehamilan dan persalinan

2
Riwayat antenatal : Ibu pasien ANC teratur ke bidan dan dokter
kandungan. Sakit sewaktu hamil disangkal oleh ibu pasien. Ibu pasien
rutin mengkonsumsi obat yang diberikan oleh dokter kandungan. Selain
itu disangkal.
Riwayat Natal : SC
Berat badan lahir : 3 kg
Panjang badan lahir : 48 cm
Penolong : Dokter
Tempat : Rumah sakit
5. Riwayat perkembangan
Tiarap : tidak ingat
Merangkak : tidak ingat
Duduk : tidak ingat
Berdiri : tidak ingat
Berjalan : tidak ingat
6. Riwayat imunisasi
BCG : 1 kali (umur 2 bulan)
Polio : 4 kali (umur 2, 3, 4, dan 5 bulan)
Hepatitis : 4 kali (umur 0, 2, 4, dan 6bulan)
DPT : 3 kali (umur 2, 3, dan 4 bulan)
Campak : 1 kali (umur 9 bulan)
7. Riwayat Keluarga
Kakak pernah menderita penyakit yang sama.
C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status presentasi
Keadaan umum : tampak sakit sedang
GCS : E4M6V5
Kesadaran : compos mentis
b. Tanda vital
Tekanan Darah : 80/70 mmHg
Suhu : 38,8 oC

3
HR : 142 x/menit
RR : 38 x/menit
Berat badan : 7,5 kg
Tinggi badan : 77 cm
BB/TB : Gizi kurang
BB/U : Berat badan kurang
TB/U : Perawakan normal
Kulit : warna kecoklatan
Sianosis : tidak ada
Hemangiom : tidak ada
Turgor : cepat kembali
Kelembaban : cukup
c. Kepala
Bentuk : normochepal
UUB : datar, sudah menutup
UUK : datar, sudah menutup
Rambut :
Warna : hitam
Tebal/tipis : tebal
Alopesia : tidak ada
d. Mata
Palpebra : edema (+/+)
Alis & bulu mata : tidak mudah dicabut
Konjungtiva : tidak anemis
Sklera : tidak ikterik
Pupil : diameter 3mm/3mm
Simetris : isokor
Refleks cahaya : +/+
Kornea : jernih
e. Telinga
Bentuk : simetris

4
Sekret : tidak ada
Serumen : minimal
Nyeri : tidak ada
f. Hidung
Bentuk : simetris
Epistaksis : tidak ada
Sekret : tidak ada
g. Mulut
Bibir : Sianosis (-)
Gigi : normal
Gusi : perdarahan (-)
h. Lidah
Bentuk : normal
Pucat : tidak pucat
Tremor : tidak tremor
Kotor : tidak kotor
Warna : kemerahan
i. Faring
Hiperemis : tidak ada
Edema : tidak ada
Membran/pseudomembran : tidak ada
j. Tonsil
Warna : kemerahan
Pembesaran : tidak ada
Abses : tidak ada
Membran/pseudomembran : tidak ada
k. Leher
Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran
Kelenjar tiroid : tidak ada pembesaran
DVS : R-4
Kaku kuduk : tidak ada

5
Massa : tidak ada
l. Thorax
Inspeksi
- Bentuk : simetris antara kiri dan kanan
- Buah dada : simetris
- Retraksi : tidak ada
- Dispnea : tidak ada
m. Paru-paru
Palpasi
- Fremitus : dalam batas normal
- Nyeri tekan : (-)
Perkusi
- Paru : sonor dextra sinistra
- Batas paru depan kanan : ICS VI dextra
- Batas paru belakang kanan : vertebra thoracalis IX dextra posterior
- Batas paru belakang kiri : vertebra thorakalis X sinistra posterior
Auskultasi
- Bunyi pernapasan : vesikuler
- Bunyi tambahan : wheezing (-/-), ronchi (-/-)
n. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : pekak, batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung I/II murni regular, bising (-)
o. Abdomen
Inspeksi : cembung, ikut gerak napas
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (-)
Perkusi : timpani, Shiftimg dullness (-) kembung (+)
Auskultasi : peristaltik (+) kesan meningkat
p. Alat kelamin : Kelainan genital tidak ada
q. Anus rectum : tidak dilakukan pemeriksaan

6
r. Punggung
Palpasi : nyeri tekan (-), teraba massa (-)
Perkusi : nyeri ketok (-)
Auskultasi : vesikuler, wheezing (-/-), ronchi (-/-)
s. Ekstremitas : akral hangat, edema pretibial (-/-)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan 19/09/2019 Nilai Rujukan

HB 9,4 g/dl L: 14-16 g/dl


Leukosit 18.300 /uL L: 5000-10.000 /uL
Trombosit 450.000 /uL L: 150.000- 400.000 /uL
HCT 29.9% 35.0-55.0 %
GDS 55 mg/dL <140 mg/dL
Na 142 mmol/L 136-146 mmol/L
K 4.4 mmol/L 3.5-5.0 mmol/L
Cl 102 mmol/L 98-106 mmol/L

E. FOLLOW UP PASIEN
HASIL PEMERIKSAAN
INSTRUKSI
TANGGAL ANALISIS DAN TINDAK
DOKTER
LANJUT
18-09-2019 S/ Pasien masuk dengan keluhan - IVFD asering
kejang dialami 2 kali, pertama di 800cc/24 jam
rumah pukul 2.30 durasi 5 menit, - Cefotaxime 380
generalisata sadar setelah kejang. mg/12 jam/iv
Kemudian di IGD diberikan stesolid - PCT infuse 80 mg/6
rektal, setelah itu terjadi kejang kedua jam/iv
dengan sifat dan durasi kejang yang - Diazepam 2,3
sama dengan sebelumnya dan mg/8jam/oral/puyer
diberikan stesolid rektal. Demam ada, - Diazepam 5mg
dirasakan sejak subuh, membaik stesolid rektal bila
dengan PCT dan amoxicillin. Nafsu kejang
makan dan minum baik. BAB ener, - Observasi TTV/3 jam
warna kehijauan, ampas ada. BAK - Cek DR, elektrolit,
normal. GDS
O / KU : Sakit sedang
TD : 80/70 mmHg
N : 142 x/menit
P : 38 x/menit

7
S : 38,8 ‘C
Mata: anemis (-), ikterus (-), cekung
(-)
Hidung: Rinore (-), epistaksis (-)
Mulut: Bibir kering (-), lidah kotor (-)
CV: S1/S2 murni regular
Paru: retraksi (-), ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Abdomen: datar, peristaltic (+) kesan
meningkat
Ekstremitas: edema (-), deformitas (-)
Kulita: peteki (-), turgor kulit baik
A/ Kejang Demam kompleks
19-09-2019 S/ Demam (+), hari ke-2, naik turun - IVFD asering
(+), kejang (-), terakhir kejang saat di 750cc/24 jam
IGD. Nyeri perut (-), mual (-), - Cefotaxime 300
muntah (-). Nafsu makan sedikit, mg/12 jam/iv
nafsu minum baik. BAB terakhir pagi - PCT infuse 80 mg/6
berwarna kehijauan, frekuensi 3 kali, jam/iv
ampas sedikit, lendir ada. BAK - Diazepam 2,3
normal. mg/8jam/oral/puyer
O/ KU: lemas - Diazepam 5mg
N : 156 x/menit stesolid rektal bila
P : 40 x/menit kejang
S : 38 ‘C - Zink 20mg/hari
Mata: anemis (-), ikterus (-), cekung - Oralit 50cc/tiap kali
(-) mencret
Hidung: Rinore (-), epistaksis (-)
Mulut: Bibir kering (-), lidah kotor (-)
CV: S1/S2 murni regular
Paru: retraksi (-), ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Abdomen: datar, peristaltik (+) kesan
meningkat
Ekstremitas: edema (-), deformitas (-)
Kulita: peteki (-), turgor kulit baik
A/ Diare dengan leukosit 18.000/uL
+ Kejang Demam kompleks
20-09-2019 S/ Demam (+) hari ke-3, naik turun - IVFD asering
(+), kejang (-). Nyeri perut (-), mual 500cc/24 jam
(-), muntah (+) pada malam hari, - Cefotaxime 300
frekuensi 1 kali isi sisa makanan. mg/12 jam/iv
Nafsu makan membaik, nafsu minum - PCT infuse 80 mg/6
baik. BAB terakhir malam hari, jam/iv

8
konsistensi feses lunak. BAK normal. - Diazepam 2,3
O/ KU: sakit sedang mg/8jam/oral/puyer
N : 144 x/menit - Zink 20mg/hari
P : 38 x/menit - Oralit 50cc/tiap kali
S : 37,9 ‘C mencret
Mata: anemis (-), ikterus (-), cekung
(-)
Hidung: Rinore (-), epistaksis (-)
Mulut: Bibir kering (-), lidah kotor (-)
CV: S1/S2 murni regular
Paru: retraksi (-), ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Abdomen: datar, peristaltik (+) kesan
normal
Ekstremitas: edema (-), deformitas (-)
Kulita: peteki (-), turgor kulit baik
A/ Diare dengan leukosit 18.000/uL
+ Kejang Demam kompleks
21-09-2019 S/ Demam (-), kejang (-), nyeri perut - IVFD asering
(-), mual (-), muntah (-). Nafsu 300cc/24 jam
makan dan minum baik. BAB - Cefotaxime 300
terakhir tadi pagi kesan normal, BAK mg/12 jam/iv
lancar seperti biasa. - PCT infuse 80 mg/6
O/ KU: sakit sedang jam/iv (kp)
N : 128 x/menit - Diazepam 2,3
P : 32 x/menit mg/8jam/oral/puyer
S : 37,4 ‘C - Zink 20mg/hari
Mata: anemis (-), ikterus (-), cekung Oralit 50cc/tiap kali
(-) mencret
Hidung: Rinore (-), epistaksis (-)
Mulut: Bibir kering (-), lidah kotor (-)
CV: S1/S2 murni regular
Paru: retraksi (-), ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Abdomen: datar, peristaltik (+) kesan
normal
Ekstremitas: edema (-), deformitas (-)
Kulita: peteki (-), turgor kulit baik
A/ Diare dengan leukosit 18.000/uL
+ Kejang Demam kompleks

9
BAB III

PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal lebih dari 380C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. Kejang demam terjadi pada 2 - 4% anak berumur 6 bulan – 5
tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang
demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam
pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam.
Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami
kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain, misalnya infeksi sistem
saraf pusat ataupun epilepsi yang kebetulan terjadi bersamaan dengan
timbulnya demam.(2)
Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia,
serta tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak.
Demam adalah kenaikan suhu tubuh di atas 380C rektal atau di atas 37,80C
aksila. Pendapat para ahli terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak
berusia antara 3 bulan sampai 5 tahun. Berkisar 2% - 5% anak dibawah 5
tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita
kejang demam terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak
bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai
dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia
18 bulan.(3)
B. EPIDEMIOLOGI
Kejang demam merupakan penyakit kejang yang paling sering
dijumpai dibidang neurologi anak dan terjadi pada 25% Anak. 10,15 Pada
penelitian kohort prospektif yang besar, 2 – 7 % kejang demam mengalami
kejang tanpa demam atau epilepsi di kemudian hari. 16,17 Kejadian kejang
demam ada kaitannya dengan faktor genetik.7,18 Anak dengan kejang
demam 25 – 40 % mempunyai riwayat keluarga dengan kejang demam.(1)

10
Menurut The American Academy of Pediatrics (AAP) usia termuda
bankitan kejang demam pada usia 6 bulan. Kejang demam merupakan salah
satu kelainan saraf tersering pada anak. Berkisar 2 – 5% anak dibawah 5
tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% pendertita
kejang demam terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak kasus
bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara 6 bulan sampai
dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi pada usia 18
bulan.(4)
C. KLASIFIKASI
Kejang demam dibagi dua yaitu kejang demam sederhana dan kejang
demam kompleks. Kejang demam kompleks adalah kejang demam dengan
lamanya lebih dari 15 menit, kejang fokal / parsial atau fokal / persial menjadi
umum dan berulang dalam 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan
kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, umumnya
berhenti sendiri, bentuk kejang umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan
fokal. Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang
demam.(1)
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau
kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak
sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam. Kejang fokal adalah
kejang parsial satu sisi atau kejang umum yang didahului kejang parsial .
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, diantara 2
bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16 % diantara
anak yang mengalami kejang demam.(1)
Tabel 1. Perbedaan kejangg demam sederhana dan kejang demam kompleks
No Klinis KD KD
Sederhana Kompleks
1 Durasi <15 menit >15 menit
2 Tipe Kejang Umum Umum/fokal
3 Berulang dalam 1 episode 1 kali >1 kali
4 Defisit neurologis - +/-

11
5 Riwayat keluarga kejang demam +/- +/-
6 Riwayat keluarga kejang tanpa demam +/- +/-
7 Abnormalitas neurologis sebelumnya +/- +/-

D. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko kejang demam pertama
Riwayat kejang demam pada keluarga, problem disaat neonatus,
perkembangan terlambat, anak dalam perawatan khusus, kadar natrium serum
yang rendah, dan temperatur tubuh yang tinggi merupakan faktor risiko
terjadinya kejang demam 12,19 Bila ada 2 atau lebih faktor risiko,
kemungkinan terjadinya kejang demam sekitar 30%.
Faktor risiko kejang demam berulang
Kemungkinan berulangnya kejang demam tergantung faktor risiko :
adanya riwayat kejang demam dalam keluarga, usia kurang dari 12 bulan,
temperatur yang rendah saat kejang dan cepatnya kejang setelah demam. Bila
seluruh faktor risiko ada, kemungkinan 80 % terjadi kejang demam berulang.
Jika hanya terdapat satu faktor risiko hanya 10 – 20 % kemungkinan
terjadinya kejang demam berulang.
Faktor risiko menjadi epilepsy
Risiko epilepsi lebih tinggi dilaporkan pada anak – anak dengan
kelainan perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama, adanya
riwayat orang tua atau saudara kandung dengan epelepsi, dan kejang demam
kompleks. Anak yang tanpa faktor risiko, kemungkinan terjadinya epilepsi
sekitar 2% , bila hanya satu faktor risiko 3% akan menjadi epilepsy, dan
kejadian epilepsi sekitar 13 % jika terdapat 2 atau 3 faktor resiko.(1)
E. PATOFISIOLOGI
Kejang merupakan manifestasi klinis akibat terjadinya pelepasan
muatan listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi
pada neuron tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel
saraf seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membrane.
Potensial membrane yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel.

12
Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam
keadaan istirahat potensial membrane berkisar antara 30 – 100 mV, selisih
potensial membrane ini akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan
rangsangan. Potensial membrane ini terjadi akibat perbedaan letak dan jumlah
ion-ion terutama ion Na+, K+, dan Ca++. Bila sel saraf mengalami stimulasi
akan mengakibatkan menurunnya potensial membrane. Penurunan potensial
membrane ini akan mengakibatkan permeabilitas membrane tehadap ion Na+
akan lebih banyak masuk ke dalam sel. Selama serangan ini lemah, perubahan
potensial membrane masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion Na+
dan ion K+, sehingga selisih potensial kembali ke keadaan istirahat.
Perubahan potensial yang demikian sifatnya tidak menjalar, yang disebut
sebagai respon lokal.(5)
Bila rangsangan cukup kuat, perubahan potensial dapat mencapai
ambang tetap (firing level), maka permeabilitas membrane terhadap Na+ akan
meningkat secara besar-besaran sehingga timbul spike potensial atau
potensial aksi. Potensial aksi ini akan dihantarkan oleh sel saraf berikutnya
melalui sinaps dengan perantara zat kimia yang dikenal sebagai
neurotransmitter. Bila perangsangan telah selesa, maka permeabilitas
membrane kembali ke keadaan istirahat, dengan cara Na+ akan kembali ke
luar sel dan K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa Na – K yang
membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen.(5)
Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:
1. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan popa Na-K,
misalnya pada hipoksemua, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada
kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
2. Perubahan permeabilitas membrane sel saraf, misalnya hipoksemua dan
hipomagnesemia.
3. Perubahan relative neurotransmitter yang bersifat eksitasi dibandingkan
dengan neurotransmitter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang
berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamate
akan menimbulkan kejang.

13
Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui,
diperkirakan bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia
tubuh. Dengan demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan
akibatnya oksigen akan lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia.
Transport aktif yang memerlukan ATP terganggu, sehingga na intrasel dan K
ekstrasel meningkat yang akan menyebabkan potensial membrane cenderung
turun atau kepekaan sel saraf meningkat.(5)
Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsii energy di
otak, jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan
menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin
bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa
hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan
hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi neuron karena
kegagalan metabolisme otak.(5)
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai
berikut:
1. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum
matang
2. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan
gangguan permeabilitas membrane sel
3. Metabolism basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan
CO2 yang akan merusak neuron
4. Demam meningkatkan cerebral blood flow (CBF) serta meningkatkan
kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan
pengaliran ion-ion keluar masuk sel.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak akan
meninggalkan gejala sisa. Pada kejang demam yang lama (lebih dari 15
menit)biasanya akan diikuti dengan apnea, hipoksemua (disebabkan oleh
meningkatnya kkebutuhan oksigen dan energy untuk kontraksi otot skelet),
asidosis laktat (disebabkan oleh metabolism anaerob), hiperkapnea, hipoksi
arterial, dan selanjutnya menyebabkan metabolism otak meningkat.

14
Rangkaian kejadian di atas menyebabkan gangguan peredaran darah di otak,
sehingga terjadi hipoksemia dan edema otak, pada akhirnya terjadi kerusakan
sel neuron.(5)
F. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Dari kriteria Livingston yang telah dimodifikasi sebagai pedoman
untuk membuat diagnosis kejang demam sederhana, yaitu:(3)
1. Dari anamnesa yang didapatkan:
- Umur pasien kurang dari 6 tahun (1 tahun 11 bulan)
- Kejang didahului demam
- Kejang berlangsung hanya satu kali selama 24 jam dan kurang dari 5
menit
- Kejang umum dan toniik klonik
- Kejang berhenti sendiri
- Pasien tetap sadar setelah kejang
2. Dari pemeriksaan fisik yang didapatkan:
- Suhu tubuh aksila 38,2 ‘C
- Tidak ditemukan kelainan neurologis setelah kejang
Menurut kepustakaan, pada kejang demam pemeriksaan laboratorium
tidak dikerjakan secara rutin, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi
sumber infeksi penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah. Pungsi lumbal
untuk memeriksa cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis
bakterialis adalah 0,6%-6,7%. Pungsi lumbal menjadi pemeriksaan rutin pada
kejang demam bila usia pasien kurang dari 18 bulan.
Pemeriksaan EEG pada kejang demam dapat memperlihatkan
gelombang lambat di daerah belakang yang bilateral, sering asimetris,
kadang-kadang unilateral. Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam
kompleks atau anak yang mempunyai risiko untuk terjadinya epilepsi.
Pemeriksaan pungsi lumbal diindikasikan pada saat pertama sekali timbul
kejang demam untuk menyingkirkan adanya proses infeksi intra kranial,

15
perdarahan subaraknoid atau gangguan demielinasi, dan dianjurkan pada anak
usia kurang dari 2 tahun yang menderita kejang demam.(6)
G. TATALAKSANA
Penatalaksanaan saat kejang
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien
datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalamm keadaan kejang obat
yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalahh diazepam yang
diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5
mg/kgBB perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit dalam waktu 3-5
menit, dengan dosis maksimal 20 mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah
adalah diazepam rectal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis
diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg untuk
anak dengan berat badan kurang dari 10kg dan 10mg untuk berat badan lebih
dari 10kg. atau diazepam rektal dengan dosis 5mg untuk anak di bawah usia 3
tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diualang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5
menit.
Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,
dianjutkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena
dengan dosis 0,3-0,5mg/kgBB.
Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena
denagn dosis awal 10-20mg/kg/kali dengan kecepatan 1mg/kgBB/menit atau
kurang dari 50mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8
mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal.
Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat
di ruang rawat intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat
selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam
sederhana atau kompleks dan faktor risikonya. (7)

16
Pemberian obat pada saat demam
1. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam (level I, rekomendasi D), namun para ahli di
Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan (level III,
rekomendasi B). dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-
15mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis
ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.
Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom reye
terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam
asetilsalisilat tidak dianjurkan (level III, rekomendasi E).
2. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3mg/kg setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%-60% kasus, begitu pula
dengan diazepam rektal dosis 0,5mg/kg setiap 8 jam pada suhu >38,5 ‘C
(level I, rekomendasi A). Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan
ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus. (7)
Pemberian obat rumat
Indikasi pemberian obat rumat:
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri
sebagai berikut (salah satu)
1. Kejang lama >15 menit
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental,
hidrosefalus
3. Kejang fokal
4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
- Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam
- Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
- Kejang demam ≥ kali pertahun
Penjelasan:

17
- Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit
erupakan indikasi pengobatan rumat
- Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan
perkembangan ringan bukan merupakan indikasi pengobatan rumat
- Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak
mempunyai fokus organic. (7)
Jenis antikonvulasn untuk pengobatan rumat
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif
dalam menurunkan risiko berulangnya kejang (level I).
Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan
penggunaan oat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat
hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek
(rekomendasi D).
Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulan gangguan
perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus.
Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus,
terutama yang berumur kurang dari 2 tahun asam valproat dapat
menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat 15-40mg/kg/hari
dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.
Pengobatan rumat diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian
dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. (7)
Vaksinasi
Sejauh in tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi
terhadap anak yang mengalami kejang demam. Kejang setelah demam karena
vaksinasi sangat jarang. Angka kejadian pasca vaksinasi DPT adalah 6-9
kasus per 100.000 anak yang divaksinasi sedangkan setelah vaksinasi MMR
25-34 per 100.000. Dianjurkan untuk memberikan diazepam oral atau rektal
bila anak demam, terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR. Beberapa
dokter anak merekomendasikan parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3 hari
kemudian.(7)

18
H. PROGNOSIS
Dokter dan orang tua / pengasuh sering khawatir tentang kekambuhan
KD, terutama tentang risiko timbulnya epilepsi. KD sederhana dapat sedikit
meningkatkan risiko pengembangan epilepsi, tetapi tidak memiliki efek buruk
pada perilaku, kinerja skolastik, atau neurokognisi. Risiko berkembangnya
menjadi epilepsi semakin meningkat pada anak-anak dengan riwayat KD
kompleks. Sepertiga dari anak-anak yang datang dengan satu KD akan hadir
dengan episode kedua selama penyakit demam di masa depan.
Faktor risiko untuk kekambuhan FS adalah riwayat keluarga FS positif, FS
pertama sebelum usia 18 bulan, terjadinya FS pertama kurang dari satu jam
setelah dimulainya demam, dan FS pada suhu tubuh kurang dari 38◦C.
Kejang demam akan kambuh pada 4% anak-anak tanpa faktor risiko tetapi
pada 75% anak-anak dengan faktor-faktor risiko yang dijelaskan sebelumnya.
Penting untuk mengetahui faktor-faktor risiko untuk kekambuhan KD untuk
menasihati orang tua atau pengasuh anak dan untuk mengelola antiepilepsi
penyelamatan untuk anak-anak dengan risiko kekambuhan yang kuat.(8)
I. DISKUSI
Pada kasus ini pasien mengalami demam tinggi sejak subuh dan
kemudian mengalami kejang di siang harinya. Berdasarkan anamnesis yang
dilakukn dengan ibu, sebelumnya tidak ada gejala pilek ataupun batuk,
demam meningkat tanpa sebab yang diketahui, namun pasien telah
mengalami BAB encer sebelumnya. Sehingga dapat dipastikan bahwa demam
disebabkan karena telah terjadi infeksi bakteri ataupun virus yang
menyebabkan diare. Anak-anak yang terkena infeksi dan disertai demam, bila
dikombinasikan dengan ambang kejang yang rendah, maka anak tersebut
akan lebih mudah mendapatkan kejang. Berdasarkan data kepustakaan bahwa
11% anak dengan kejang demam mengalami kejang pada suhu <37,9ºC,
sedangkan 14 - 40% kejang terjadi pada suhu antara 38° - 38,9ºC, dan 40-
56% pada suhu antara 39°C - 39,9ºC.
Menurut kepustakaan, pada kejang demam pemeriksaan laboratorium
tidak dikerjakan secara rutin, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi

19
sumber infeksi penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah. Pungsi lumbal
untuk memeriksa cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis
bakterialis adalah 0,6% 6,7%. Pungsi lumbal menjadi pemeriksaan rutin pada
kejang demam bila usia pasien kurang dari 18 bulan. Pada kasus ini pasien
telah berumur 15 bulan dan secara klinis tidak ditemukan gejala yang
mengarah pada infeksi intrakranial sehingga pemeriksaan pungsi tidak perlu
dilakukan.
Kenaikan suhu 1 ‘C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal
10%-15% dan kebutuhan oksigen 20%. Akibat keadaan tersebut, reaksi-
reaksi oksidasi berlangsung lebih cepat sehingga oksigen lebih cepat habis
dan terjadi keadaan hipoksia. Hipoksia menyebabkan peningkatan kebutuhan
glukosa dan oksigen, serta terganggunya berbagai transport aktif dalam sel
sehingga terjadi perubahan konsentrasi ion natrium, sehingga lebih baik jika
dilakukan pemeriksaan elektrolit dan glukosa darah. Berdasarkan hasil
pemeriksaan elektrolit dan glukosa darah pada pasien ini didapatkan hasil
yang normal.
Pemeriksaan penunjang berupa hasil laboratorium darah rutin
mengarahkan adanya infeksi bakteri berupa kadar leukosit yang meningkat,
sehingga pemberian antibiotik diberikan pada kasus ini. Sedangkan terapi
yang diberikan pada pasien untuk mengatasi kejang demam sudah sesuai
dengan memberikan Parasetamol sebagai antipiretik dan diberikan selama
pasien mengalami demam. Pemakaian Diazepam penting sebagai profilaksis
intermiten, dimana Diazepam dapat diberikan pada pasien yang suhunya
mencapai 38,50C untuk mencegah timbulnya kejang kembali. Pemberian
Diazepam sebagai profilaksis intermitten merupakan pilihan tepat dibanding
obat anti kejang lain. Pemberian Diazepam ditambah antipiretik jauh lebih
efektif untuk mencegah terulangnya kejang dibandingkan pemberian
antipiretik saja.

20
Pada pasien kejang demam, keadaan dan kebutuhan oksigen, cairan,
kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh juga dapat diturunkan
dengan mengkompres pasien dengan air hangat (diseka) secara aktif selain
dengan pemberian antipiretik. Orang tua anak juga harus diberi cukup
informasi mengenai penanganan demam dan kejang. Dengan penanggulangan
yang sesuai dan cepat, maka prognosis pada pasien ini baik dan tidak
menyebabkan kematian.
Simpulan, telah ditegakkan diagnosis Kejang Demam Kompleks e.c
enteritis pada seorang anak laki-laki berusia 1 tahun 3 bulan atas dasar
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini
demam terjadi karena adanya infeksi bakteri pada usus. Penatalaksanaan
Kejang Demam dengan memberikan oksigen, cairan intravena untuk
memenuhi kebutuhan elektrolit, serta kalori yang seimbang sebagai terapi
supportif, serta pemberian antipiretik dan antikonvulsan sebagai terapi
medikamentosa. Dengan penatalaksanaan yang cepat dan tepat maka
prognosis akan lebih baik.

21
BAB IV
KESIMPULAN

Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta
tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah
kenaikan suhu tubuh di atas 380C rektal atau di atas 37,80C aksila. Pendapat para
ahli terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan
sampai 5 tahun. Berkisar 2% - 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami
bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada
anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada
anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan
kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.
Penatalaksanaan kejang demam pada anak mencakup dalam tiga hal, yaitu:
1. Pengobatan fase akut yaitu membebaskan jalan nafas dan memantau fungsi
vital tubuh. Saat ini diazepam intravena atau rektal merupakan obat pilihan
utama, oleh karena mempunyai masa kerja yang singkat. Jika tidak ada
diazepam, dapat digunakan luminal suntikan intramuscular ataupun yang
lebih praktis midazolam intranasal.
2. Mencari dan mengobati penyebab dengan melakukan pemeriksaan pungsi
lumbal pada saat pertama sekali kejang demam. Fungsi lumbal juga
dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun karena gejala neurologis sulit
ditemukan. Pemeriksaan laboratorium penunjang lain dilakukan sesuai
indikasi.
3. Pengobatan profilaksis.
- Intermittent: anti konvulsan segera diberikan pada waktu pasien demam
(suhu rektal lebih dari 380C) dengan menggunakan diazepam oral /
rektal, klonazepam supositoria.
- Terus menerus, dengan memberikan fenobarbital atau asam valproat tiap
hari untuk mencegah berulangnya kejang demam. Pemberian obatobatan
untuk penatalaksanaan kejang demam pada anak, harus dipertimbangkan
antara khasiat terapeutik obat dan efek sampingnya.

22
Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka
kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh
sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsy sebanyak 2% - 7%. Kejang
demam dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi
dan pencapaian tingkat akademik. Sebesar 4% penderita kejang demam secara
bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi.
Walaupun prognosis kejang demam baik, bangkitan kejang demam cukup
menkhawatirkan bagi orangtuanya.

23
DAFTAR PUSTAKA
1. Nindela R, Dewi MR, Ansori IZ. Kejang Demam Febrile Seizure. J Kedokt
dan Kesehat. 2014;1(1):41–5.
2. Wardhani A. Kejang Demam Sederhana Pada Anak Usia Satu Tahun.
Medula. 2013;1(1):65–71.
3. Pasaribu A. Kejang Demam Sederhana Pada Anak yang Disebabkan karena
Infeksi Tonsil dan Faring. Medula. 2013;1.
4. American Academy of Pediatrics. Committee on Quality Improvement,
Subcommittee on Febrile Seizures. Pract Param Long-term Treat Child
With SImple Febrile Seizures. 103(6):1307–9.
5. Fuadi. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak. Universitas
Diponegoro; 2010.
6. Deliana M. Tatalaksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatr.
2002;4(2):59–62.
7. Pusponegoro HD, Widodo DP, Ismael S, Kerja U, Neurologi K. Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. 2006;
8. Laino D, Mencaroni E, Esposito S. Management of Pediatric Febrile
Seizures. 2018;

24

Anda mungkin juga menyukai