Membahas tentang profesi arsitek, yang pertama terlintas dalam pikiran awam tentu
saja tentang perancangan bangunan. Banyak yang masih belum memahami bahwa
peran sesungguhnya dari seorang arsitek adalah membentuk lingkungan binaan yang
mapan dan berkelanjutan. Merujuk pada mukadimah yang disusun oleh Ikatan Arsitek
Indonesia (IAI) dalam buku Kode Etik Arsitek dan Kaidah Tata Laku Profesi Arsitek,
disebutkan bahwa seorang arsitek sejatinya “menyadari profesinya yang luhur,
membaktikan diri kepada bidang perencanaan, perancangan, dan pengelolaan
lingkungan binaan dengan segenap wawasan, kepakarannya, dan kecakapannya.” [1].
Lingkungan binaan adalah suatu lingkungan yang didominasi oleh struktur buatan
manusia. Ini berarti dalam lingkungan binaan terdapat hubungan antara bangunan,
manusia, dan lingkungannya yang tidak terpisahkan. Dalam konteks perancangan kota,
lingkungan binaan berarti hubungan antara bangunan dan masyarakat perkotaan
dengan lingkungan kota tersebut. Dapat dilihat bahwa sejatinya seorang yang berprofesi
sebagai arsitek dan merancang pada lingkungan binaan, mampu menjaga
keseimbangan hubungan ketiga hal tersebut.
Secara definisi, kota memiliki pengertian yang berbeda-beda, dilihat dari berbagai sudut
pandang dan pendekatan bidang kajian ilmu yang digunakan. Dalam ilmu arsitektur
sendiri, sudut pandang pemahaman kota dilihat dari sistem prasarana dan
pembangunan struktur anatomi kota, dengan memperhatikan hubungan antara ruang
dan massa perkotaan serta bentuk dan polanya, dan bagaimana semua itu dapat
tercapai [2]. Markus Zahn dalam bukunya mengutip definisi modern akan sebuah kota
oleh Amos Rapoport, yang dapat dirumuskan: ‘sebuah pemukiman dapat dirumuskan
sebagai sebuah kota bukan dari segi ciri-ciri morfologisnya, atau bahkan kumpulan ciri-
cirinya, melainkan segi fungsi khusus – yaitu menyusun sebuah wilayah dan
menciptakan ruang-ruang efektif melalui pengorganisasian sebuah daerah pedalaman
yang lebih besar berdasarkan hierarki-hierarki tertentu’ [2].
Kota sebagai suatu lingkungan fisik memiliki berbagai aspek yang dapat
mengembangkan, mengangkat, dan menciptakan ciri khas khusus kota itu sendiri,
seperti aspek sejarah, budaya, geografis, dan hal faktual lainnya yang memberikan
identitas kota. Identitas kota tersebut akan berbeda dengan kota lainnya. Menurut Kevin
Lynch, identitas adalah sebuah ‘senseofplace’, dimana seseorang dapat menyadari atau
mengingat sebuah tempat dengan karakter yang jelas, unik, atau khas [3].
Salah satu aspek fisik yang dapat memberikan identitas atau ‘wajah’ dari sebuah kota
terletak pada bangunan. Kota, khususnya yang berkembang tanpa
terencana (unplannedcities) tentu menyimpan keberagaman aspek sejarah, budaya, dan
penggunanya. Dalam heterogenitas tersebut, sebuah kota seharusnya memiliki aturan
khusus dalam pengembangan aspek fisik seperti bangunan untuk memenuhi kebutuhan
yang beragam tersebut.
Pertanyaan berikutnya adalah: apa yang bisa dilakukan oleh seorang arsitek dalam
mengembangkan wajah kota? Ada beberapa pendekatan yang mungkin dapat
membantu mengembalikan dan meningkatkan identitas dan kualitas hidup perkotaan:
Bukan hal yang mudah bagi seorang arsitek untuk mengubah wajah kota, namun hal
tersebut tidaklah mustahil. Kepekaan seorang arsitek dengan konteks urban merupakan
suatu hal yang wajib untuk dimiliki, agar dapat menciptakan lingkungan kehidupan
perkotaan yang lebih positif. Dengan perkembangan yang semakin pesat kini, tanggung
jawab utama seorang arsitek adalah mampu memberikan solusi rancangan untuk
menciptakan dan meningkatkan lingkungan kehidupan yang lebih baik, bukan hanya
sekadar mampu menciptakan bangunan indah namun tak berfaedah. Dibutuhkan pula
kerja sama para arsitek dalam menata lingkungan binaan. Apabila para arsitek mampu
untuk turut berkontribusi dalam pengembangan wajah dan identitas kota, maka
diharapkan akan tercipta sebuah lingkungan binaan dan perkotaan yang berkelanjutan.