“ PENYAKIT LEPTOSPIROSIS’’
Disusun oleh :
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Leptospirosis merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
patogenik dari genus Leptospira. Penularan terjadi melalui kontak dari kulit yang
terkelupas, konjungtiva, atau selaput lendir dengan urin yang terkontaminasi oleh
binatang pengerat (rodensia) yang telah terinfeksi. Leptospirosis bisa jadi salah satu
penyakit zoonosis yang paling luas penyebarannya, terutama di negara – negara tropis
dimana hal itu bisa bersifat endemis.
Nama lain dari penyakit ini adalah mud fever, slime fever, swineherd disease,
swamp fever, autumnal fever, infectious jaundice, field fever, cane cutter fever.
Leptospirosis juga dikenal dengan nama flood fever atau demam banjir karena memang
muncul dikarenakan banjir. Kejadian infeksi yang disebabkan oleh Leptospira patogen
dapat meningkat sehubungan dengan terjadinya bencana alam, seperti banjir, gempa
bumi, dan di beberapa kasus saat terjadi peningkatan jumlah yang berlipatganda dari
binatang – binatang pengerat. Mereka adalah sumber infeksi sekaligus sebagai
reservoir.
Mikroorganisme penyebab leptospirosis adalah bakteri patogen yang termasuk
genus Leptospira. Genus Leptospira terdiri dari spesies yaitu L. interrogans yang
merupakan bakteri patogen dan L. biflexa adalah saprofitik. Spesies L. interrogans
adalah spesies yang dapat menginfeksi manusia dan hewan.
Leptospira terbawa oleh luasnya keberagaman binatang baik yang liar maupun
yang terpelihara, umumnya dari golongan rodensia (hewan pengerat), anjing, sapi, babi,
domba, kambing, dan kuda. Manusia terkena penyakit ini melalui kontak langsung
dengan urin hewan terinfeksi, atau secara tidak langsung melalui urin hewan terinfeksi
yang tersimpan di lingkungan. Leptospira memasuki tubuh manusia melalui kulit yang
terluka/terkelupas dan selaput lendir utuh.
Penyakit leptospirosis terutama berisiko terhadap orang yang bekerja di luar
ruangan bersama hewan, misalnya peternak, petani, pedagang hewan, dokter hewan,
dan lain – lain. Selain itu, leptospirosis juga berisiko terhadap individu yang terpapar
air yang terkontaminasi. Kejadian leptospirosis pada manusia banyak ditemukan pada
pekerja pembersih selokan karena selokan banyak tercemar bakteri Leptospira.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan data hasil penelitian maupun referensi yang ada menunjukkan
bahwa jumlah kasus leptospirosis di Jawa Tengah semakin meningkat terutama di
wilayah Kota Semarang. Angka kematian penderita leptospirosis yang dirawat di
rumah sakit termasuk tinggi. Orang dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan dan
melibatkan kontak tubuh dengan lingkungan tempat berair, adanya luka di tubuh serta
kurangnya perawatan ataupun perlindungan terhadap luka, keberadaan tikus ataupun
hewan yang terinfeksi Leptospira di sekitar tempat berair tersebut, berpotensi besar
terinfeksi/ menderita leptospirosis. Kondisi lingkungan yang buruk juga bisa dijadikan
indikator adanya penularan leptospirosis seperti adanya genangan air, kodisi selokan
yang buruk, keberadaan sampah yang berserakan, kondisi tempat pengumpulan sampah
yang buruk, keberadaan tikus dan hewan peliharaan merupakan faktor risiko kejadian
leptospirosis. Memperhatikan faktor risiko tersebut pencegahanya perlu kita lakukan
sedini mungkin.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara faktor
lingkungan fisik rumah dan keberadaan tikus dengan kejadian leptospirosis di Kota
Semarang.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap ilmu
pengetahuan khususnya faktor risiko lingkungan untuk kejadian leptospirosis sebagai
sistem kewaspadaan dini dalam pengendalian kejadian leptospirosis di Kota Semarang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Leptospirosis
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
mikroorganisme berbentuk spiral dan bergerak aktif yang dinamakan Leptospira.
Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti Mud fever, Slime fever (Shlamn
fieber), Swam fever, Autumnal fever, Infectious jaundice, Field fever, Cane cutter dan
lain-lain.
Leptospirosis merupakan istilah untuk penyakit yang disebabkan oleh Semua
Leptospira tanpa memandang serotipe tertentu. Hubungan gejala klinis dengan infeksi
oleh serotipe yang berbeda membawa pada kesimpulan bahwa satu serotipe Leptospira
mungkin bertanggung jawab terhadap berbagai macam gambaran klinis sebaliknya,
satu gejala seperti meningitis aseptik, dapat disebabkan oleh berbagai serotipe. Karena
itu lebih disukai untuk menggunakan istilah umum leptospirosis dibandingkan dengan
nama serupa seperti penyakit Weil dan demam kanikola.
B. Klasifikasi Leptospirosis
Klasifikasi Tikus di klasifikasikan sebagai berikut:
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata (cronita)
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Rattus, Mus dan Bondicota
Spesies :1. Bandicota indica ( tikus wirok)
2. Rattus norvegicus ( tikus riol)
3. Rattus-rattus diardi (tikus rumah)
4. Rattus tiomanicus (tikus pohon)
5. Rattus argentiventer (tikus sawah)
6. Rattus exulanns (tikus ladang)
7. Mus musculus (muncit rumah)
8. Mus caroli ( muncit ladang)
Ke delapan species tersebut dikatagorikan sebagai hama pertanian dan merugikan dari
sisi kesehatan.
C. Siklus Hidup Leptospirosis
Perjalanan penyakit leptospira terdiri dari 2 fase yang berbeda, yaitu fase
septisemia dan fase imun. Dalam periode peralihan dari 2 fase tersebut selama 1- 3 hari
kondisi penderita menunjukkan beberapa perbaikkan. Manifestasi klinis terdiri dari 2
fase yaitu fase awal dan fase ke dua. Fase Awal tahap ini dikenal sebagai fase
septicemic atau fase leptospiremic karena organisma bakteri dapat diisolasi dari klutur
darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh. Selama fase awal yang
terjadi sekitar 4-7 hari, penderita mengalami gejala nonspesifik seperti flu dengan
beberapa variasinya. Karakteristik manifestasi klinis yang terjadi adalah demam,
menggigil kedinginan, lemah dan nyeri terutama tulang rusuk, punggung dan perut.
Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, ruam, sakit
kepala regio frontal, fotofobia, gangguan mental, dan gejala lain dari meningitis. Fase
ke dua sering disebut fase imun atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat di
deteksi dengan isolasi kuman dari urine dan mungkin tidak dapat didapatkan lagi pada
darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini terjadi karena akibat respon pertahanan tubuh
terhadap infeksi dan terjadi pada 0-30 hari atau lebih. Gangguan dapat timbul
tergantung manifestasi pada organ tubuh yang timbul seperti gangguan pada selaput
otak, hati, mata atau ginjal.
D. Patofisiologi Leptospirosis
Transmisi infeksi leptospira ke manusia dapat melalui berbagai cara, yang
tersering adalah melalui kontak dengan air atau tanah yang tercemar bakteri leptospira.
Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang lecet atau luka dan mukosa, bahkan
dalam literatur disebutkan bahwa penularan penyakit ini dapat melalui kontak dengan
kulit sehat (intak) terutama bila kontak lama dengan air.
Patogenitas leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan sel
dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada bakteri leptospira mempunyai
aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram negatif, dan
aktivitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit,
sehingga terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia. Bakteri leptospira
mempunyai fosfolipase yaitu suatu hemolisis yang mengakibatkan lisisnya eritrosit dan
membran sel lain yang mengandung fosfolipid.
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam
ginjal bakteri leptospira bermigrasi ke interstisium tubulus ginjal dan lumen tubulus.
Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan
meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan
hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler salah
satu penyebab gagal ginjal. Pada gagal ginjal tampak pembesaran ginjal disertai edema
dan perdarahan subkapsular, serta nekrosis tubulus renal. Sementara perubahan yang
terjadi pada hati bisa tidak tampak secara nyata.
BAB III
PAPARAN KASUS
Kasus leptospirosis 1000 kali lebih banyak ditemukan di negara tropis daripada
negara subtropis dengan risiko penyakit yang lebih berat. Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) mencatat, kasus leptospirosis di daerah beriklim subtropis diperkirakan
berjumlah 0,1–1/100.000 orang setiap tahun, sedangkan di daerah beriklim tropis kasus
ini meningkat menjadi lebih dari 10/100.000 orang setiap tahun. Pada saat wabah,
sebanyak lebih dari 100 orang dari kelompok berisiko tinggi di antara 100.000 orang
dapat terinfeksi.
Endemis leptospirosis. Tampak kecenderungan penyebaran lokasi penderita
dari satu – dua kecamatan menjadi ke seluruh wilayah Kota Semarang. Kota Semarang
adalah kota yang sering mengalami banjir saat musim penghujan sehingga ada banyak
genangan air di beberapa tempat. Ada juga daerah yang mempunyai kondisi
pemukiman yang kumuh, sungai dan selokan menggenang, serta sampah menumpuk.
Sampah yang menumpuk menjadi tempat berkembang biak tikus.
Berdasarkan survey pendahuluan di lapangan mengenai kondisi lingkungan
fisik rumah dan keberadaan tikus di wilayah lima kecamatan di Kota Semarang, terlihat
bahwa masih ada beberapa dari penderita leptospirosis yang kondisi rumah dan
lingkungan di sekitarnya belum bisa dikatakan baik. Mengenai faktor keberadaan tikus
baik di dalam maupun di luar rumah, sebagian besar penduduk khususnya penderita
leptospirosis di wilayah lima kecamatan menyatakan ada tikus atau pernah melihat tikus
di sekitar rumah mereka.
Beberapa faktor risiko yang diduga berperan dalam penyebaran penyakit
leptospirosis di Kota Semarang adalah buruknya kondisi lingkungan terutama saat
musim hujan dimana banyak terdapat genangan air, selokan yang sering meluap, dan
sampah yang berserakan serta keberadaan tikus di sekitar rumah. Berdasarkan uraian –
uraian tersebut, peneliti ingin mengetahui faktor lingkungan apa saja yang berisiko
mengakibatkan penyakit leptospirosis di Kota Semarang.
Warga diminta waspada terhadap penyakit leptospirosis yang kian menjangkit,
terlebih lagi memasuki musim penghujan saat ini. Pasalnya, korban meninggal dunia
akibat penyakit leptospirosis di Jawa Tengah meningkat.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, tercatat pada 2010,
133 warga teserang bakteri leptospira, 14 diantaranya meninggal dunia. Sementara
2011, terjadi peningkatan. Sebanyak 155 warga terkena leptospirosis, yang meninggal
23 orang. Menurut Kepala Bidang Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
(P2PL) Dinas Kesehatan Jateng, Djoko Mardijanto, saat ditemui usai rapat koordinasi
dengan Komisi E di DPRD Jateng.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa variabel yang memiliki
hubungan yang bermakna dengan kejadian leptospirosis di Kota Semarang adalah
variabel keberadaan genangan air, dan keberadaan tikus di dalam maupun di luar
rumah. Sedangkan variabel kondisi selokan rumah, kondisi sanitasi rumah, keberadaan
hewan peliharaan dan riwayat kontak dengan air selokan tidak berhubungan dengan
kejadian leptospirosis di Kota Semarang.
B. Saran
1. Perlu penanganan sampah di rumah secara benar yaitu jangan sampai menginapkan
sampah di dalam rumah dan tempat sampah tertutup rapat sehingga tidak menjadi
sumber makanan tikus.
2. Perlu memperbaiki/menjaga kondisi selokan yang ada di sekitar rumah dengan cara
membersihkan secara rutin minimal seminggu sekali. Pada saat membersihkan
selokan perlu menggunakan alat pelindung diri seperti sepatu boot dan sarung
tangan anti air untuk menghindari kontak langsung dengan air atau tanah di selokan.
Daftar Pustaka
1. Dainanty, Niky Ria. 2012. Hubungan Antara Faktor Lingkungan Fisik Rumah dan
Keberadaan Tikus dengan Kejadian Leptospirosis di Kota Semarang. JURNAL
KESEHATAN MASYARAKAT, Volume 1, Nomor 2, Halaman 1018 – 1028.
2. Wiharyadi D, Gasem MH. 2004. Faktor-faktor Risiko Leptospirosis di Kota Semarang
Indonesia. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro dan Rumah Sakit Kariadi Semarang.
3. Gasem, H M. 2008. Leptospira Pada Manusia. Pemaparan Pada Rapat Konsolidasi Studi
Epidemiologi Leptospirosis di Kota Semarang. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.
4. Suratman. 2008. Analisis Faktor Risiko Lingkungan dan Perilaku Yang Berpengaruh
Terhadap Kejadian Leptospirosis Berat di Kota Semarang (Studi Kasus Leptospirosis
yang Dirawat di Rumah Sakit Dr. Kariadi, Semarang). Jurnal Media Kesehatan
Masyarakat Indonesia, Vol 7 No 2. hal 54-59.
5. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. 2007. Evaluasi dan Kebijakan Program P2B2
Di Jawa Tengah.
6. Kementerian Kesehatan. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan tahun
2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan; 2012.
7. Widoyono. Penyakit tropis epidemiologi, penularan, pencegahan dan pemberantasannya.
Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008.
8. Ridzlan FR, Bahaman AR, Khairani-Bejo S. Mutalib AR. Detection of patogenic
Leptospira from selected environment in Kelantan and Terengganu, Malaysia. Tropical
Biomedicine. 2010;27(3):632–8.