Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN KEBUTUHAN

DASAR MANUSIA

“ELIMINASI URINE”

RUANG VI SELATAN

Tugas Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praklinik Asuhan Keperawatan

Kebutuhan Dasar Manusia

Disusun Oleh :

Novita Rahayu Permata Sari

(11171040000054)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
TAHUN 2019
1. Definisi
Eliminasi merupakan proses pembelajaran sisa-sisa metabolisme tubuh,
atau proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi. Proses
pengeluaran ini bergantung pada fungsi-fungsi organ eliminasi urine seperti,
ginjal, ureter, bladder, dan uretra (Tarwoto & Wartonah, 2010).
2. Anatomi dan Fisiologi
Menurut HIdayat (2006), anatomi dan fisiologi organ sistem perkemihan
sebagai berikut :
2.1 Ginjal
Ginjal adalah organ berbentuk kacang berwarna merah tua, panjang
12,5 cm dan tebalnya 2,5 cm. Beratnya kurang lebih 125-175 gram pada
laki-laki dan 115-155 gram pada perempuan. Ginjal terletak pada bagian
belakang rongga abdomen bagian atas setinggi vertebrata thorakal 11 dan
12, ginjal dilindungi oleh otot-otot abdomen, jaringan lemak atau kapsul
adipose. Ginjal memiliki nefron yang merupakan unit structural dan
fungsional. Setiap 1 ginjal memiliki 1-4 juta neuron yang nantinya akan
membantu dalam proses pembentukan urine. Proses filtrasi, absorbs, dan
sekresi dilakukan di nefron. Filtrasi terjadi di glomerulus yang merupakan
gulungan kapiler dan dikelilingi oleh kapsul epitel berdinding ganda yang
disebut dengan kapsul bowman.
Fungsi utama dari ginjal adalah mengeluarkan sisa nitrogen, toksin,
ion, dan obat-obatan, mengatur jumlah dan zat-zat kimia dalam tubuh,
memepertahankan keseimbangan antara air dan garam, serta asam dan
basa, menghasilkan renin, enzim untuk membantu pengaturan tekanan
darah, menghasilkan hormone eritropoietin yag menstimulasi pembentukan
sel-sel darah merah di sumsum tulang dan membantu dalam pembentukan
vitamin D.
2.2 Ureter
Setelah urine terbentuk kemudian akan dialirkan ke pelvis ginjal, lalu
ke vesika urinaria melalui ureter. Panjang ureter pada orang dewasa sekitar
26-30 cm dengan diameter 4-6 mm. setelah meninggalkan ginjal, ureter
berjalan ke bawah dibelakang peritoneum ke dinding bagian belakang
vesika urinaria. Lapisan tengah ureter ini terdiri atas otot-otot yang di
stimulasi oleh transmisi impuls elektrik berasal dari saraf otonom. Akibat
gerakanperistaltik uretra ini maka urine di dorong ke kandung kemih.
2.3 Kandung Kemih
Kandung kemih atau vesika urinaria adalah suatu tempat
penampungan urine yang terletak di dasar panggul pada daerah
retroperitoneal dan terdiri atas otot-otot yang dapat mengecil. Kandung
kemih terdiri atas 2 bagian, yaitu fundus atau tubuh, yang merupakan otot
lingkar tersusun dari otot detrusor dan bagian leher yang berhubungan
langsung dengan uretra. Pada leher kandung kemih terdapat spincter
uretra, spincter ini dikontrol oleh sistem saraf otonom. Vesika urinaria
mampu menampung urine sekitar 300-400 mL urine.
2.4 Uretra
Uretra adalah suatu saluran pembuangan urine yang langsung keluar
dari tubuh. Kontrol pengeluaran urine terjadi karena adanya spincter kedua
yaitu spincter eksterna yang dapat dikontrol oleh kesadaran individu.
Panjang uretra wanita lebih pendek yaitu 3,7 cm sedangkan pada pria
sekitar 20 cm, sehingga pada wanita lebih sering terjadinya risiko infeksi
saluran kemih.
2.5 Fisiologi Berkemih
Urine masuk ke kandung kemih lalu terjadi peregangan serat otot
pada dinding kandung kemih, selanjutnya impuls berjalan melalui serabut
aferen menuju pars lumbalis di medulla spinalis dan ditransmisikan ke
korteks serebri. Miksi di kontrol oleh saraf aferen, menuju kandung kemih,
lalu impuls berjalan ke saraf parasimpatis sakralis. Kemudian otot dinding
kandung kemih berkontraksi, spincter berkontraksi yang menimbulkan
rangsangan ingin buang air kecil yang diteruskan dengan pengeluaran urine
ditandai dengan kontraksi otot dinding abdomen dan diafragma,
peningkatan tekanan kandung kemih yang sebelumnya terisi 170-230 ml
(Kasiati & Ni Wayan, 2016).
3. Eliminasi Urine Normal dan Perubahannya
a. Pola eliminasi
Seseorang berkemih tergantung pada individu dan jumlah cairan
yang masuk, individu umumnya bekemih : pertama kali pada waktu
bangun tidur, setelah bekerja, dan makan.
b. Frekuensi
Normalnya individu miksi sekitar 5x dalam sehari. Frekuensi
berkemih tergantung kebiasaan dan kesempatan masing-masing individu.
Sekitar 70% individu banyak melakukan mikturisi pada saat setelah bangun
tidur, dan tidak membutuhkan waktu untuk berkemih pada malam hari
c. Karakteristik urine normal
Warna urine normal yaitu kuning terang yang disebabkan adanya
pigmen orachrome, namun juga bergantung pada intake cairan masing-
masing individu. Individu dengan keadaan dehidrasi menyebabkan
konsistensi urine menjadi lebih pekat dan berwarna kecoklatan,
penggunaan obat-obatan tertentu seperti multivitamin juga dapat menjadi
faktor yang mempengaruhi karakteristik warna urine.
Bau urine yang normal adalah bau khas ammonia yang merupakan
hasil dari pecahan urea oleh bakteri. Pemberian pengobatan dapat
mempengaruhi bau urine.
Jumlah urine yang dikeluarkan juga tergantung pada intake cairam,
usia individu, dan status kesehatan masing-masing individu. Pada orang
dewasa jumlah urine yang dikeluarkan sekitar 1.200 – 1.500 atau 150-600
ml dalam sekali kemih (miksi). Berat jenis plasma tanpa protein berkisar
sekitar 1,015-1,020 (Kasiati & Ni Wayan, 2016).
d. Urgensi
Urgensi adalah suatu perasaan individu untuk berkemih, takut
mengalami inkontinensia jika tidak berkemih. Pada umumnya terjadi pada
anak-anak karena memiliki kemampuan buruk dalam mengontrol spincter
(Hidayat, 2006).
e. Dysuria
Dysuria adalah suatu keaadaan rasa sakit dan kesulitan dakam prose
berkemih. Hal ini sering dijumpai pada penyakit infeksi saluran kemih,
trauma pada vesika urinaria, dan struktur uretra (Hidayat, 2006).
f. Poliyuria
Poliyuria adalah suatu keadaan dimana produksi urine menjadi tidak
normal, berada dalam jumlah besar tanpa adanya peningkatan asupan
cairan. Umumnya ditentuan pada penderita diabetes mellitus, defisiensi anti
diuretic hormone (ADH) dan penyakit ginjal kroni (HIdayat, 2006).
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Eliminasi
a. Diet dan asupan (intake)
Jumlah dan tipe makanan yang dimakan merupakan salah satu faktor utama
yang mempengaruhi haluaran urine. Protein dapat menentukan jumlah
urine yang dibentuk, selain itu juga dapat meningkatkan produksi urine
(Kasiati & Ni Wayan, 2016).
b. Respon keinginan awal berkemih
Kebiasaan menahan miksi atau keinginan berkemih dapat menyebabkan
urine semakin tertahan di dalam kandung kemih sehinngga mempengaruhi
ukuran kandung kemih dan jumlah urine. Hal ini juga dapat dipengaruhi
oleh gaya hidup individu, individu yang biasa melakukan miksi di toilet
akan mengalami kesulitan bila harus berkemih diatas tempat tidur.
c. Stress psikologis
Meningkatnya stress dapat mengakibatkan meningkatnya frekuensi
keinginan berkemih, karena kondisi tersebut akan meninggalkan stimulasi
berkemih sebagai upaya kompensasi dari stress tersebut.
d. Tingkat aktivitas dan tonus otot
Eliminasi urine memnbutuhkan tonus otot spincter vesika urinaria yang
baik. Hilangnya tonus otot pada spincter VU menyebabkan penurunan
kemampuan pengontrolan berkemih dan kemampuan tonus otot diperoleh
saat beraktivitas. Eliminasi urine tonus otot spincter baik eksterna maupun
interna, dan otot pelvis untuk kontraksi (Kasiati dan Ni Wayan, 2016)
e. Tingkat perkembangan
Usia suatu individu dengan berat badannya dapat mempengaruhi jumlah
haluaran urine. Ekskresi urine normal pada anak-anak sekitar 400-500
ml/hari, orang dewasa 1500-1600 ml/hari (Kasiati dan Ni Wayan, 2016).
Usia lanjut volume bladder berkurang, sehingga sering mengalami nokturia
dab frekuensi berkemih meningkat. Sama halnya dengan wanita hamil, ia
akan sering berkemih karena VU ditekan bagian terendah janin (Kasiati &
Ni Wayan, 2016).
f. Kondisi penyakit
Kondisi penyakit seperti demam akun terjadi penurunan produksi urine
dan pola miksi. Karena banyak cairan yang dikeluarkan melalui kulit.
Peradangan dan iritasi organ kemih akan menyebabkan retensi urine
(Kasiati & Ni Wayan, 2016).
g. Sosiokultural
Budaya masyarakat dimana sebagian masyarakat hanya dapat melakukan
miksi pada tempat tertutup dan sebaliknya, ada masyarakat yang dapat
miksi pada lokasi terbuka.
h. Pengobatan
Pemberian obat diuretic dapat meningkatkan jumlah urine, sedangkan
pemberian obat anti kolinergik dan antihipertensi dapat menyebabkan
retensi urine (Kasiati & Ni Wayan, 2016).
i. Pemeriksaan diagnostic
Tindakan sitoskopi dapat menimbulkan edema local pada uretra yang dapat
mengganggu pengeluaran urine (Alimul, 2006).
5. Masalah Eliminasi Urine
a. Retensi urine
Retensi urine adalah kondisi dimana adanya penumpukan urine di
dalam kandung kemih dan ketidaksanggupan kandung kemih untuk
mengosongkan urine. Penyebab distensi kandung kemih adalah urine yang
terdapat di dalam bladder > 1000 ml sedangkan volume yang dapat di
tamppung normalnya sekitar 250-400 ml. Kondisi ini dapat disebabkan
oleh hipertropi prostat, pembedahan, otot detrusor lemah dll.
b. Inkontinensia urine
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan sementara otak permanen
otot sfingter eksternal untuk mengontrol keluarnya urine dari vesika
urinaria. Dua jenis inkontinensia, yaitu inkontinensia stress yang
disebabkan oleh adanya tekanan intraabdomen yang meningkat yang
menyebabkan adanya kompresi pada vesika urinaria, yang kedua yaitu
inkontinensia urine urgensi yang terjadi saat klien terdesak ingin buang air
kecil atau tiba-tiba ingin berkemih (inkontinensia usia). Hal ini dapat
disebabkan oleh adanya infeksi pada saluran kemih bagian bawah atau
akibat spasme bladder, overdistensi, peningkatan konsumsi kafein atau
alcohol.
c. Enuresis
Enuresis adalah ketidakmampuan menahan miksi (mengompol) yang
tidak disadari akibat ketidakmampuan individu untuk mengendalikan
spincter eksterna. Umumnya terjadi pada anak-anak atau pada lansia.
6. Patofisiologi Gangguan Urine
Gangguan traumatic pada tulang belakang bisa mengakibatkan kerusakan
pada medulla spinalis. Lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi
bersama-sama dengan adanya fraktur audislokasi. Tanpa kerusakan yang nyata
pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan efek pada medulla
spinalis. Cedera medulla spinalis inilah yang menjadi salah satu penyebab
gangguan fungsi saraf termasuk pada persyarafan berkemih dan defekasi.
Pada komplikasi syok spinal, terdapat tanda gangguan fungsi autonomi
berupa kulit keringkarena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta
gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi. Proses berkemih
melibatkan dua proses yang berbeda yaitu pengisian dan pengosongan kandung
kemih (Syamsuhidayat, 2004).
Penyimpanan urine dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis dari
aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan
otot dari leher vesika urinaria dan proksimal uretra. Sementara pengeluaran
urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang simultan antara otot
detrusor dan relaksasi saluran kemih. Kedua hal ini dipengaruhi oleh sistem
saraf parasimpatis yang mempunyai neurotransmitter utama asetilkolin yaitu
suatu agen kolinergik.
Selama fase pengisian impuls afferent ditransmisikan ke saraf sensoris
pada ujung ganglion dorsal spinal sacral segmen 3-4 dan diinformasikan ke
batang otak. Impuls saraf dari batang otak akan menghambat aliran
parasimpatis dari pusat kemih sacral spinal. Namun selama fase pengosongan
kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sacral ini dihentikan dan
akan timbul kontraksi otot detrusor. Hambatan aliran simpatis pada VU sewaktu
engisian menimbulkan relaksasi pada otot uretra trigonal dan proksimal.
Kemudian impuls berjalan sepanjang nervous pudendus untuk merelaksasikan
otot halus dan skelet dari spincter eksterna. Hasilnya keluarnya urine dengan
resistensi saluran yang minimal.
7. Pengkajian
a. Aspek biologis
 Usia, kemampuan untuk mengontrol mikturisi berbeda sesuai dengan
tahap perkembangan individu. Pada lanjut usia sering mengalami
nokturia, frekuensi berkemih meningkat, dan lain sebagainya
 Aktivitas fisik, imobilisasi dapat menyebabkan retensi urin dan
penurunan tonus otot
 Riwayat kesehatan dan diet, kajian riwayat penyakit atau pembedahan
yang pernah dialami pasien dapat mempengaruhi eliminasi seperti
nefrolitiasis, kolostomi, dll. Kaji riwayat diet yang dijalani klien, seperti
jenis makanan yang dikonsumsi, jumlah, frekuensi, dan lamanya diet
yang dijalani. Tanyakan riwayat keperawatan klien tentang pola
berkemih, gejala dari perubahan berkemih, dan faktor yang
mempengaruhi berkemih.
 Penggunaan obat-obatan, meliputi jenis obat, dosis, dan sudah berapa
lama mengkonsumsi obat tersebut
 kaji mengenai turgor kulit dan mukosa mulut berhubungan dengan
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
 Pemeriksaan fisik klien
o Pembesaran abdomen, pelebaran pembuluh darah vena, distensi
bladder, pembesaran ginjal, nyeri tekan, tenderness, bising usus
o Genitalia wanita : inflamasi nodus, lesi, adanya sekret dari meatus,
kesadaran anthropi jaringan vagina. Genetalia laki-laki : kebersihan,
adanya lesi, tenderness, adanya pembesaran skrotum.
 Identifikasi intake dan output cairan dalam 24 jam meliputi pemasukan
minum dan infus, NGT, dan pengeluaran perubahan urine dari urinal,
kateter bag drainage ureterostomy, karakter urine berupa warna,
kejernihan, bau, dan kepekatan (Kasiati dan Ni Wayan, 2016).
b. Pemeriksaan laboratorium
 Warna urine normal bervariasi dari warna pucat, agak kekuningan
sampai kuning coklat seperti warna madu. Warna bergantung pada
kepekatan urine (Potter dan Perry, 2006)
 Pendarahan pada ginjal atau ureter menyebabkan urine menjadi merah
gelap. Bila urine berwarna merah terang menunjukkan adanya
pendarahan pada kandung kemih atau uretra.
 warna urin coklat gelap dapat disebabkan karena tingginya konsentrasi
bilirubin akibat disfungsi hepar. Pada klien yang mempunyai penyakit
ginjal, urine yang nampak keruh atau berbusa akibat tingginya
konsentrasi protein dalam urine. Urine pada orang yang menderita
penyakit ginjal juga tampak pekat dan keruh akibat adanya bakteri.
 Bau urine, semakin pekat warna urin maka semakin kuat baunya. urine
yang dibiarkan dalam jangka waktu lama akan mengeluarkan bau
amonia (Potter dan Perry, 2006)
 Nilai normal urin, hasil urinalisis antara lain : Ph 4,6-8,0 , protein (10
mg/ 100 ml), berat jenis 1,010-1,020, keton (-), kultur urine (kuman
patogen negatif).
8. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan eliminasi urine
1) Definisi : Disfungsi eliminasi urine
2) Etiologi
 Penurunan kapasitas kandung kemih
 Iritasi kandung kemih
 Penurunan kemampuan menyadari tanda-tanda gangguan kandung
kemih
 Efek tindakan medis dan diagnostik
 Kelemahan otot pelvis
 Ketidakmampuan mengakses toilet
 Hambatan lingkungan
 Ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan eliminasi
 Outlet kandung kemih tidak lengkap
 Maturasi
3) NOC
 Mengosongkan kandung kemih sepenuhnya
 Mengenali keinginan untuk berkemih
 Pola eliminasi baik
 Desakan berkemih berkurang
4) NIC
 Buatlah jadwal aktivitas terkait eliminasi dengan tepat
 Intruksikan pasien atau yang lain dalam rutinitas toilet
 Buatkan kegiatan eliminasi dengan tepat dan sesuai kebutuhan
 Sediakan alat bantu misalnya kateter eksternal atau urinary dengan
tepat
 Monitor integritas kulit pasien
 latihan otot pelvis dengan menginstruksikan pasien untuk menahan
otot-otot sekitar uretra dan anus, lalu relaksasi seolah-olah ingin
menahan buang air kecil atau BAB
 Intruksikan pasien untuk tidak mengkonsumsi perut, pangkal paha,
dan pinggul, menahan napas, atau mengejan selama latihan
 Intruksikan pasien untuk melakukan latihan pengencangan otot
dengan melakukan 300 kontraksi setiap hari, menahan kontraksi
selama 10 detik, dan relaksasi selama 10 menit diantara sesi
kontraksi.
b. Inkontinensia urine berlanjut
1) Definisi : pengeluaran urine tidak terkendali dan terus-menerus tanpa
distensi atau perasaan penuh pada kandung kemih.
2) Etiologi
 Neuropati arkus refleks
 Disfungsi neurologis
 Kerusakan refleks kontraksi detrusor
 Trauma
 Kerusakan medula spinalis
 Kelainan anatomis
 Keluarnya urine konstan tanpa distensi
 Nokturia lebih dari dua kali sepanjang tidur
 Berkemih tanpa sadar
 Tidak sadar inkontinensia urine
c. Inkontinensia urin berlebih
1) Definisi : pengeluaran urine tidak terkendali akibat over distensi
kandung kemih
2) Etiologi :
 Blok sfingter
 Kerusakan atau ketidakadekuatan jalur aferen
 Obstruksi jalan keluar urine
 Ketidakadekuatan detrusor
d. Inkontinensia urin fungsional
1) Definisi : pengeluaran urine tidak terkendali karena kesulitan dan tidak
mampu mencapai toilet pada waktu yang tepat
2) Etiologi
 Ketidakmampuan atau penurunan untuk mengenali tanda-tanda
berkemih
 Penurunan tonus kandung kemih
 Hambatan mobilisasi
 Faktor psikologis
 Hambatan lingkungan
 Kehilangan sensorik dan motorik pada geriatri
 Gangguan penglihatan
 Mengompol sebelum mencapai atau selama usaha mencapai toilet
 Mengompol di waktu pagi hari
 Mampu mengosongkan kandung kemih lengkap
e. Inkontinensia urin refleks
1) Definisi : pengeluaran urine yang tidak terkendali pada saat volume
kandung kemih tertentu tercapai
2) Etiologi
 Kerusakan kondisi impuls diatas arkus refleks
 Kerusakan jaringan misalnya terapi radiasi
f. Inkontinensia urin stres
1) kebocoran urine mendadak dan tidak dapat dikendalikan karena
aktivitas yang meningkatkan tekanan intra abdomen
2) Etiologi :
 Kelemahan intrinsik sfinger uretra
 Perubahan degenerasi atau non degenerasi otot pelvis
 Kekurangan estrogen
 Peningkatan tekanan intra abdomen
 Kelemahan otot pelvis
g. Inkontinensia urin urgensi
1) Definisi : keluarnya urine tidak terkendali sesaat setelah keinginan yang
kuat untuk berkemih
2) Etiologi
 Iritasi reseptor kontraksi kandung kemih
 Penurunan kapasitas kandung kemih
 Hiperaktivitas Web browser dengan kerusakan kontraktilitas
kandung kemih
 Efek agen farmakologis
h. Retensi urine
1) Definisi : pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap
2) Etiologi
 Peningkatan tekanan uretra
 Kerusakan arkus refleks
 Blok sfingter
 Disfungsi neurologis
 Efek agen farmakologis
9. Intervensi dan Outcome
1) NOC
 Mampu mengenali keinginan berkemih
 Mampu menjaga pola kami yang teratur
 Mampu berkemih pada tempat yang tepat
 Mampu menuju toilet di antara waktu ingin berkemih
 Berkemih lebih dari 150 ml tiap kalinya
 Mampu mengosongkan kandung kemih sepenuhnya
 Berkurangnya urin merembes dengan peningkatan tekanan pada
abdomen
2) NIC
 melakukan pencatatan mengenai spesifikasi kontinensia selama tiga hari
untuk mendapatkan pola pengeluaran
 Terapkan jadwal untuk membantu berkemih berdasarkan pada pola
pengeluaran urine
 Lakukan eliminasi pada pasien atau ingatkan pasien untuk
mengosongkan kandung kemih pada interval yang sudah ditentukan
 Identifikasi faktor apa saja penyebab inkontinensia pada pasien
 Monitor eliminasi urine meliputi frekuensi, konsistensi, bau, volume,
dan warna urine
 bantu pasien untuk memilih diapers atau popok kain yang sesuai untuk
penanganan sementara
 latihan otot pelvis dengan menginstruksikan pasien untuk menahan otot-
otot sekitar uretra dan anus kemudian relaksasi seolah ingin menahan
BAK atau BAB
 Sediakan alat bantu misalnya kateter atau urinary seperti pispot dengan
tepat.
Daftar Pustaka

Aziz, Alimul H. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia : Aplikasi, Konsep, dan
Proses Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Bulechek, G. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). 6th Edition. Missouri :


Elsevier Mosby

Herdman. T. H. 2012. NANDA International Nursing Diagnoses : Definition &


Classification 2012-2014. Oxford : Wiley-Blaackwell

Kasiati, dan Ni Wayan, D. R. 2016. Kebutuhan Dasar Manusia 1. Jakarta : Kemenkes


RI
Moorhead, S. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) : Measurement of
Health Outcomes. 5th Edition. Missouri : Elsevier Mosby.
Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan
Praktik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC.

PPNI. 2018. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta : DPP-PPNI

Tarwoto dan Wartonah. 2010. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawwtan.
Jakarta : Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai