TINJAUAN TEORI
b. Terowongan
Bila jenis jalur penyeberangan dengan menggunakan jembatan tidak
memungkinkan untuk diadakan.
Bila lokasi lahan atau medan memungkinkan untuk dibangun
terowongan
5,6 >16 – 23 B
Sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan
Kaki di Perkotaan
c) Lampu Penerangan
Lampu penerangan diletakkan pada jalur amenitas. Terletak setiap 10
meter dengan tinggi maksimal 4 meter, dan bahan yang digunakan adalah
bahan dengan durabilitas tinggi seperti metal & beton cetak. Selain itu, cahaya
yang dipancarkan oleh lampu penerangan harus cukup terang sehingga pejalan
kaki yang berjalan bisa melihat di waktu gelap/malam hari. Kriteria
penempatan lampu penerangan adalah:
d) Tempat Duduk
Tempat duduk diletakan pada jalur amenitas. Terletak setiap 10 meter
atau pada tempat-tempat pergantian moda dengan lebar 40-50 centimeter,
panjang 150 centimeter dan bahan yang digunakan adalah bahan dengan
durabilitas tinggi seperti metal dan beton cetak.
e) Pagar Pengaman
Pagar pengaman diletakan pada jalur amenitas dan berfungsi untuk
melindungi pejalan kaki dari bahaya kecelakaan. Pagar pengaman diletakkan
pada titik tertentu yang dianggap berbahaya dan memerlukan perlindungan
dengan tinggi 90 centimeter, dan bahan yang digunakan adalah metal/beton
f) Tempat Sampah
Kriteria : perletakan tempat sampah yang diatur dalam jarak tertentu
(jarak penempatan 15-20 meter), mudah dalam system
pengangkutannya, dan jenis tempat sampah yang disediakan memiliki
tipe yang berbeda-beda sesuai dengan fungsinya (tempat sampah kering
dan tempat sampah basah).
Dalam merencanakan desain tempat sampah, hal-hal yang perlu
diperhatikan adalah : mudah dalam system pengangkutannya (jika
termuat sampah tertutup), bentuk dan model tempat sampah mengacu
pada kondisi / lokasi penempatan, tempat sampah harus fungsional, dan
desain dari ketinggian tempat sampah harus dapat dijangkau dengan
tangan dalam memasukkan sampah (60-70 cm).
Sumber: http://rudyct.com/PPS702-ipb/08234/totok_priyanto.pdf
h) Halte/Shelter Bus
Halte/shelter bus dan lapak tunggu diletakan pada jalur amenitas. Shelter
harus diletakan pada setiap radius 300 meter atau pada titik potensial kawasan,
dengan besaran sesuai kebutuhan, dan bahan yang digunakan adalah bahan
yang memiliki durabilitas tinggi seperti metal. Kriteria penentuan lokasi lapak
tunggu adalah:
Disediakan pada median jalan.
Disediakan pada pergantian roda, yaitu dari pejalan kaki ke roda
kendaraan umum.
b. Batu
Batu merupakan salah satu material yang paling tahan lama, memiliki daya
tahan yang kuat dan mudah dalam pemeliharaannya. Batu granit adalah salah
satu yang sering digunakan pada jalur pedestrian yang membutuhkan keindahan.
c. Bata
Bahan material ini merupakan bahan yang mudah pemeliharaannya, serta
mudah pula didapat. Bata memiliki tekstur dan dapat menyerap air dan panas
dengan cepat tetapi mudah retak.
2.2. KEINDAHAN
2.2.1 Kenyamanan visual tekstur
Tekstur berasal dari sebuah kata yang berarti “menjalin”. Tekstur pada
dasarnya adalah suatu penjalinan pola-pola atau titik-titik kasar maupun halus
yang tidak teratur pada suatu permukaan benda sehingga menimbulkan efek pada
permukaan benda tersebut. Titik-titik ini dapat berbeda dalam ukuran, warna,
bentuk atau sifat dan karakternya, seperti misalnya ukuran besar, kecil, warna
terang gelap, bentuk bulat, persegi atau tak beraturan sama sekali dan lain-lain.
Suatu tekstur yang susunannya teratur dapat disebut corak atau pattern. Tekstur
dapat diketahui oleh penglihatan, dan oleh rabaan tangan yang dapat
membedakan jenis permukaan.
Gambar 2.18: Arah sumber cahaya (bias cahaya) yang menghasilkan estetika tersendiri
2.3.Pejalan Kaki
2.3.1 Pengertian Pejalan kaki
Menurut UU Nomor 22 Tahun 2009 yang dimaksud pejalan kaki adalah setiap
orang yang berjalan di ruang lalu lintas jalan. Pejalan kaki atau pedestrian menurut
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di
Perkotaan adalah pengguna jalur pejalan kaki, baik dengan maupun tanpa alat bantu.
Istilah pejalan kaki atau pedestrian berasal dari bahasa Yunani, dimana berasal
dari kata pedos yang berarti kaki, sehingga pejalan kaki atau orang yang berjalan kaki.
Pedestrian dalam hal tersebut memiliki arti pergerakan atau perpindahan orang atau
Desa wisata adalah suatu bentuk intergrasi antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas
pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan
tata cara dan tradisi yang berlaku (Nuryanti, 1993). Desa wisata (rural tourism) merupakan
pariwisata yang terdiri dari keseluruhan pengalaman pedesdaan, atraksi alam, tradisi, unsur-
unsur yang unik yang secara keseluruhan dapat menarik minat wisatawan (Joshi, 2012).
Menurut Chafid Fandeli secara lebih komprehensif menjabarkan desa wisata sebagai
suatu wilayah pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian
desa, baik dari segi kehidupan sosial budaya, adat-istiadat, aktivitas keseharian, arsitektur
bangunan, dan struktur tata ruang desa, serta potensi yang mampu dikembangkan sebagai
daya tarik wisata, misalnya : atraksi, makanan dan minuman, cinderamata, penginapan, dan
kebuthan wisata lainnya (Chafid Fandeli, 2002).
Maka, dapat disimpulkan bahwa desa wisata merupakan suatu bentuk integrasi antara
atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan
masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. Suatu desa wisata
memiliki daya tarik yang khas (dapat berupa keunikan fisik lingkungan alam pedesaan,
maupun kehidupan sosial budaya masyarakatnya) yang dikemas secara alami dan menarik,
sehingga daya tarik pedesaan dapat menggerakkan kunjungan wisatawan ke desa tersebut
(Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2011: 1).
Ada dua pengertian tentang desa wisata : (1) Apabila tamu menginap disebut desa
wisata; (2) Apabila tamu hanya berkunjung disebut wisata desa. Masyarakat adalah
penggerak utama dalam desa wisata.Masyarakat itu sendiri yang mengelola pariwisata
tersebut, sehingga tidak ada investor yang bisa masuk untuk mempengaruhi perkembangan
desa wisata itu sendiri.Apabila ada suatu desa wisata yang dikelola oleh investor, berarti desa
tersebut bukanlah desa wisata dalam arti sebenarnya (Hasbullah Asyari, 2010: 2).
Menurut Pariwisata Inti Rakyat (PIR), yang dimaksud dengan desa wisata adalah suatu
daerah wisata yang menyajikan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan,
baik dari sisi kehidupan sosial, ekonomi, budaya, keseharian, adat-istiadat, memiliki
Desa wisata merupakan salah satu bentuk wisata pedesaan.Wisata pedesaan merupakan
perjalanan yang berorientasi menikmati suasana kehidupan pedesaan, menghormati, serta
memperoleh nilai tambah hidup dari budaya dan tradisi masyarakat setempat serta
lingkungan alam, juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.Kehidupan sehari-
hari masyarakat setempat dan lingkungannya merupakan obyek dan daya arik wisata.
Lingkup desa wisata dapat berupa alam, seperti gunung, persawahan, hutan, tebing, bentang
alam, flora dan fauna, juga taman laut; budaya seperti peninggalan sejarah, adat istiadat,
tradisi, kehidupan sehari-hari, dan karya arsitektur; atau berupa suajana, yaitu karya budaya
(benda) yang ‘menyatu’ dengan bentang alam.
Dalam artian yang sederhana, desa wisata merupakan suatu obyek wisata yang
memiliki potensi seni dan budaya unggulan di suatu wilayah pedesaan yang berada di
pemerintahan daerah.Desa wisata hidup mandiri dengan potensi yang dimilikinya dan dapat
menjual berbagai atraksi-atraksinya sebagai daya tarik wisatawan tanpa melibatkan investor.