Anda di halaman 1dari 12

AS INDONESIA

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tetanus Neonatorum

2.1.1. Definisi Tetanus Neonatorum

Tetanus neonatorum adalah penyakit infeksi yang terjadi melalui luka

irisan pada umbilicus pada waktu persalinan akibat masuknya spora Clostridium

tetani yang berasal dari alat-alat persalinan yang kurang bersih dengan masa

inkubasi antara 3-10 hari (Soedarto, 1995).

Menurut Depkes RI, 1996, tetanus neonatorum adalah penyakit pada bayi

baru lahir yang disebabkan oleh infeksi kuman tetanus yang masuk melalui luka

tali pusat, akibat pemotongan tali pusat dengan alat yang tidak bersih atau ditaburi

ramuan.

2.1.2. Penyebab Tetanus Neonatorum

Penyakit tetanus neonaotrum adalah penyakit tetanus yang sering terjadi

pada neonatus (bayi berusia kurang 1 bulan) yang disebabkan oleh Clostridium

tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin/racun dan menyerang sistem syaraf

pusat.

Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, lurus, langsing

berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron, bersifat gram positif dan

tidak berkapsul, membentuk spora, bersifat obligat anaerob dan mudah tumbuh

pada nutrien media yang biasa. Kuman ini membentuk eksotoksin yang disebut

tetanospasmin, suatu neuro toksin yang kuat (Soedarto, 1990).

Clostridium tetani berkembang cepat pada jaringan yang rusak (luka) dan

dalam suansana anaerob basil tetanus berubah dari bentuk spora ke dalam bentuk

vegetatif. Pada keadaan itu, Clostridium tetani mengeluarkaneksotoksin yang

menyebabkan penyakit tetanus. Pada waktu Clostridium tetani dalam bentuk

vegetatif makan akan sangat sensitif terhadap panas dan beberapa antibiotik dan

tidak dapat bertahan karena adanya oksigen. Sebaiknya dalam bentuk spora sangat
resisten pada keadaan panas dan antiseptik biasa. Spora ini dapat hidup padapemanasan autoklaf 1210

C selama 10-15 menit dan relatif resisten terhadap

phenol dan bahan-bahan kimia lain (PAHO, 1993).

Dalam bentuk spora Clostridium tetani dapat tahan hidup bertahun-tahun

di dalam tanah asalkan tidak terdapat sinar matahari. Selain itu dapat pula

ditemukan dalam tanah, laut, air tawar, debu rumah, dan tinja berbagai spesies

binatang. Clostridium tetani baik dalam bentuk spora maupun bentuk vegetatif

dapat ditemukan pada usus manusia (Behrman dan Vaughman, 1992).

2.1.3. Patogenesis

Spora dari kuman tersebut masuk melalui pintu masuk satu-satunya ke

tubuh bayi baru lahir, yaitu: tali pusat, yang dapat terjadi pada saat pemotongan

tali pusat ketika bayi baru lahir maupun saat perawatannya sebelum puput atau

lepasnya tali pusat (Depkes RI, 1993).

2.1.4. Masa Inkubasi

Terdapat variasi masa inkubasi pada tetanus, dari satu minggu sampai

beberapa minggu lamanya. Semakin pendek masa inkubasi tetanus, semakin

buruk prognosis penyakit. Bila kurang dari satu minggu, maka sifat tetanus adalah

fatal (Soedarto, 1990).

Menurut Behrman (1992) masa tunas organisme ini berkisar antara 3-14

setelah luka, tetapi dapat kurang satu hari atau lebih dari beberapa bulan dan pada

tetanus neonatorum biasanya mulai ketika neonatus berusia 3-10 hari.

Sejak kuman masuk ke dalam tubuh bayi sampai mulai timbulnya gejala

(masa inkubasi) dibutuhkan waktu 3-28 hari (rata-rata 6 hari). Apabila masa

inkubasi kurang dari 7 hari seperti biasanya penyakit lebih parah dengan angka

kematian tinggi (Depkes RI, 1993).

2.1.5. Gejala Klinis

Menurut Depkes RI, 1996, gejala klinis tetanus neonatorum adalah: bayi

yang semula bisa menetek dengan baik tiba-tiba tidak bisa menetek, mulut bayi

mencucu seperti mulut ikan, mudah sekali dan sering kejang-kejang terutamaSIA
karena rangsangan sentuhan, rangsangan sinar dan rangsangan suara, wajahnya

mungkin kebiruan, kadang-kadang disertai demam.

2.1.6. Prognosis

Moralitas penyakit tetanus neonatorum sebesar 60% atau lebih tinggi lagi

(Nelson, 1992). Prognosis penyakit tetanus neonatorum antara lain dipengaruhi

oleh luasnya keterlibatan otot yang mengalami kejang sebagai tanda bahwa toksin

sudah masuk ke jaringan/susunan syaraf pusat, demam tinggi, masa inkubasi yang

pendek, serta mutu perawatan penunjang yang diberikan kepada penderita.

Kesembuhan dari tetanus tidak memberikan kekebalan, karena itu imunisasi aktif

penderita setelah kesembuhan merupakan suatu keharusan.

2.1.7. Cara Pencegahan Tetanus Neonatorum

Tetanus neonatorum dapat dicegah dengan cara:

1. Pemberian imunisasi tetanus toksoid (TT) pada ibu hamil. Pada awalnya

sasaran program imunisasi TT untuk mencegah penyakit tetanus

neonatorum adalah ibu hamil. Menurut rekomendasi WHO, pemberian

imunisasi TT sebanyak 5 dosis dengan internal minimal antara satu dosis

ke dosis berikutnya seperti yang telah ditentukan, akan memberikan

perlindungannya seumur hidup. Saat ini imunisasi TT diberikan kepada

murid SD kelas VI, wanita calon pengantin wanita, dan ibu hamil.

2. Peningkatan pelayanan antenatal dan pertolongan persalinan tiga bersih,

yaitu bersih diri, bersih tempat, dan bersih alat.

3. Promosi perawatan tali pusat yang benar.

2.1.8. Epidemiologi Tetanus Neonatorum

Tetanus neonatorum secara khas berkembang dalam minggu pertama atau

minggu kedua kehidupan bayi dan sering disebut sebagai penyakit hari ke tujuh

atau ke delapan (Force, 1997), serta dapat membawa kematian pada 70 – 90%

kasus. Perawatan medis modern, yang langka di dunia ketiga di mana penyakit ini

amat lazim, jarang mengurangi mortalitas sampai kurang dari 50% (Foster, 1984). Berdasarkan hasil
survey yang dilaksanakan oleh WHO di 15 negara di
Asia, Timur Tengah, dan Afrika pada tahun 1978 – 1982 menekankan bahwa

penyakit tetanus neonatorum banyak dijumpai di daerah pedesaan negara

berkembang termasuk Indonesia yang memiliki angka proporsi kematian neonatal

akibat penyakit tetanus neonatorum mencapai 51%. Pada kasus tetanus

neonatorum yang tidak dirawat, hampir dapat dipastikan CFR akan mendekati

100%, terutama pada kasus yang mempunyai masa inkubasi kurang dari 7 hari

(Depkes, 1993).

Di Jepang, penurunan angka kematian akibat penyakit tetanus neonatorum

dari 0,036 per 1000 lahir hidup pada tahun 1947 menjadi 0,07 per 1000 lahir

hidup pada tahun 1961 terjadi pada saat keadaan sosial ekonomi dan proporsi

bayi-bayi yang dilahirkan di klinik atau rumah sakit meningkat dengan cepat dan

kontaminasi lanjutan dari bungkul tali pusat pada proses perawatan tali pusat

dapat dicegah. Pernyataan tersebut di atas secara implisit menyatakan bahwa

keadaan sebaliknya atau persalinan di rumah mengandung risiko tetanus

neonatorum yang tinggi. Nelson menyebutkan bahwa kasus tetanus neonatorum

sering didapatkan pada anak dengan berat badan lahir rendah (Nelson, 1992).

2.2. Faktor-faktor Risiko Kejadian Tetanus Neonatorum

2.2.1. Pemeriksaan Antenatal

Pemeriksaan antenatal adalah pemeriksaan kehamilan yang dilakukan

untuk memeriksa keadaan ibu hamil dan janin secara berkala, yang diikuti dengan

upaya koreksi terhadap penyimpangan yang ditemukan. Tujuannya adalah untuk

menjaga agar ibu hamil dapat melalui masa kehamilan, persalinan, dan nifas

dengan baik dan selamat, serta menghasilkan bayi yang sehat. Pemeriksaan

kehamilan dilakukan oleh tenaga terlatih dan terdidik dalam bidang kebidanan,

yaitu pembantu bidan, bidan, dokter, dan perawat yang sudah terlatih (Depkes RI,

1994).

Pemeriksaan antenatal, hendaknya memenuhi tiga aspek pokok, yaitu:

1. Aspek medis yang meliputi diagnosis kehamilan, penemuan kelainan

secara dini, dan pemberian terapi sesuai dengan diagnosis.


Penyuluhan, penjagaan kesehatan diri serta janinnya, pengenalan tanda-

tanda bahaya dan faktor risiko yang dimiliki, dan pencarian pertolongan

yang memadai secara tepat waktu.

3. Rujukan: ibu hamil dengan risiko tinggi harus dirujuk ke tempat pelayanan

yang mempunyai fasilitas lebih lengkap.

Adapun perawatan kehamilan meliputi pemeriksaan fisik, yang meliputi

pemeriksaan muka, gigi, mulut, leher, payudara, jantung, hati, paru-paru, perut,

dan organ reproduksi. Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan urin dan

haemoglobin, sedangkan pemeriksaan kebidanan meliputi 5T yaitu penimbangan

berat badan, pengukuran tekanan darah, pengukuran tinggi fundus uteri,

pemberian imunisasi TT dan pemberian tablet tambah darah. Selain itu ibu hamil

mendapat penyuluhan tentang jenis dan jumlah makanan bergizi tinggi yang

diperlukan selama hamil, kebersihan perorangan, perawatan payudara, dan air

susu ibu, keluarga berencana, kebiasaan hidup sehat selama hamil serta faktor-

faktor yang berhubungan dengan kesakitan dan kematian ibu maupun bayi.

Dari rangkaian pemeriksaan antenatal, pemberian imunisasi TT adalah hal

yang paling penting dilakukan untuk mencegah infeksi tetanus neonatorum.

Pemeriksaan antenatal dapat dilakukan di puskesmas, rumah sakit, rumah

bersalin, maupun di rumah penduduk. Pemeriksaan kehamilan dapat dilakukan

oleh dokter, bidan, atau perawat kesehatan. Pemeriksaan dilakukan minimal

sebanyak empat kali, yaitu pada triwulan pertama, triwulan kedua, dan dua kali

pada triwulan ketiga.

2.2.2. Imunisasi Tetanus Toksoid Pada Ibu Hamil

Salah satu komitmen global yang ingin dicapai adalah untuk menekan

insiden tetanus neonatorum hingga di bawah 1 per 1000 kelahiran hidup pada

tahun 2000. Pencapaian program ETN di tingkat kabupaten atau kota dinilai

berdasarkan cakupan imunisasi TT ibu hamil dan TT wanita usia subur (WUS)

serta cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (Depkes RI, 1999).

Pemberian imunisasi tetanus toksoid pada ibu hamil dimaksudkan agar


bayi yang dilahirkan sudah mempunyai kekebalan terhadap toksin tetanus yang

didapatkan secara pasif sewaktu masih berada dalam kandungan. Dua dosis TTsekurangnya dengan
jarak waktu satu bulan serta sekurangnya sebulan menjelang

persalinan, hampir 100% efektif mencegah tetanus neonatorum. Jadi tidak adanya

imunisasi tetanus pada ibu merupakan faktor risiko yang berarti untuk tetanus

pada neonatus yang akhirnya menyebabkan kematian (Depkes RI, 1994).

Imunisasi TT dua dosis (TT2) memberikan perlindungan selama tiga

tahun, artinya apabila dalam waktu tiga tahun seorang ibu akan melahirkan, bayi

yang dilahirkan akan terlindung dari tetanus neonatorum. Sebaliknya imunisasi

TT tidak lengkap (TT1) hanya langkah awal untuk mengembangkan kekebalan

tubuh terhadap infeksi (Depkes RI, 1996).

Meskipun terdapat banyak kendala, di banyak daerah di Indonesia, tetanus

neonatorum bukan lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hendaknya

dicatat, bahwa keberhasilan penuh barulah tercapai setelah semua wanita usia

subur yang tidak hamil juga dijadikan sasaran imunisasi. Mengingat pengalaman

ini dan rendahnya cakupan TT pada wanita hamil berisiko pada saat ini, WHO

pada pertemuan kelompok penasehat seluruh dunia mengubah target TT menjadi

untuk semua wanita usia subur (15-44 tahun). Bila program pengembangan

imunisasi WHO sudah sepenuhnya mencakup bayi dan anak kecil, maka satu

suntikan TT untuk wanita muda, yang pada masa kanak-kanaknya sudah

diimunisasi akan dapat mencegah tetanus neonatorum (Foster, 1988).

2.2.3. Jenis penolong persalinan

Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih rendah,

yaitu sekitar 50%, selebihnya ditolong oleh dukun bayi baik yang terlatih maupun

yang tidak terlatih. Hal ini menyebabkan masih banyak ditemukan persalinan

yang tiba-tiba mengalami komplikasi dan memerlukan penanganan professional

tetapi tidak ditangani secara memadai dan tepat waktu, sehingga mengakibatkan

kematian.
Dengan mengupayakan agar persalinan yang ditolong oleh dukun bayi

didampingi bidan, maka selain pertolongan persalinan 3 bersih lebih terjamin,

diharapkan persalinan yang aman juga terjamin.

Pertolongan persalinan yang bersih, meliputi: bersih tangan penolong,

bersih daerah perineum ibu, jalan lahir tidak tersentuh oleh sesuatu yang tidakbersih, bersih alas tempat
melahirkan, dan memotong tali pusat menggunakan alat

yang bersih (Depkes RI, 2000).

Bahkan bila kenaikan proporsi persalinan yang dilakukan oleh tenaga

paramedis dan medis ternyata efektif, maka biaya untuk melatih tenaga dalam

jumlah yang memadai agar diperoleh cakupan yang luas merupakan penghalang

bagi negara berkembang, terutama bila yang digunakan adalah bidan-bidan yang

terlatih atau dokter. Lebih jauh lagi, andai kata tenaga-tenaga itu tersedia mungkin

juga mereka tidak selalu digunakan. Banyak peneliti menemukan kenyataan

bahwa ibu-ibu tetap lebih menyukai dukun bayi yang tidak terlatih meskipun

fasilitas-fasilitas untuk persalinan di lembaga-lembaga kedokteran, atau meskipun

ada tenaga-tenaga kesehatan masyarakat yang terlatih (Ross, 1988).

Beberapa hal yang mungkin menjadi alasan masyarakat memilih tenaga

dukun bayi untuk pertolongan persalinannya (Adji, 1995):

1. Apabila kelahiran ditangani oleh bidan puskesmas, bayarannya jauh lebih

mahal dan harus berupa uang. Selain itu tugas bidan hanyalah untuk

membantu persalinan, padahal setiap bayi masih harus menjalani upacara

adat.

2. Selain alasan ekonomi, masyarakat memilih dukun bayi dengan maksud

agar tidak menyinggung perasaan dukun yang akan dimintai tolong untuk

memimpin upacara adat, serta sebagai upaya untuk menjaga hubungan

baik.

2.2.4. Tempat Persalinan

Persalinan di rumah mengandung risiko tetanus neonatorum yang tinggi,

tetapi persalinan di rumah sakit tidak menjamin perlindungan untuk tidak terkena
tetanus neonatorum, karena lamanya tinggal di rumah sakit sangatlah pendek

(setelah bayi lahir langsung pulang). Sampai di rumah, biasanya perawatan ibu

dan bayi diserahkan kepada dukun beranak (Silvia, 1982).

Meskipun persalinan itu berlangsung di pusat pelayanan kesehatan atau

klinik bersalin, tidak jarang sekembalinya ke rumah, para wanita yang baru

melahirkan itu menjalani perawatan secara tradisional. Namun, di daerah pedesaan apalagi yang jauh
dari pusat pelayanan kesehatan yang berlokasi di

ibukota kecamatan, proses persalinan selalu berlangsung di rumah (Ulaen, 1998).

2.2.5. Alat Pemotong Tali Pusat

Penggunaan sembilu untuk memotong tali pusat sampai kini masih

dilakukan oleh beberapa dukun bayi terutama di pedesaan. Pada masyarakat

Sunda alat pemotong (sembilu) ini dikenal dengan hinis (Soedarno, 1998).

Penelitian di pedesaan Pulau Lombok juga memperlihatkan keadaan yang sama.

Tali pusat bayi yang baru lahir dipotong dengan cara mengikat bagian pangkal

dan kira-kira tiga jari di bagian atasnya, kemudian dipotong bagian tengahnya

dengan sembilu yang terbuat dari irisan kulit bambu yang diambil dari rangka atap

rumah bagian depan (Pratiwi, 1998).

Penelitian di Desa Kmantan Kebalai Kabupaten Kerinci menunjukkan

bahwa masih terdapat penggunaan sembilu untuk memotong tali pusat bayi baru

lahir, sembilu diambil dari bambu yang merupakan alat penghembus api milik

keluarga yang sedang digunakan di dapur. Sembilu tidak perlu dicuci karena

dianggap sudah bersih (Adji, 1998).

Meskipun pemotong tali pusat telah dilakukan dengan gunting atau

benang, para dukun masih sering tidak membersihkan alat-alat itu lebih dahulu,

sama halnya saat mereka menggunakan sembilu (Adji, 1998).

2.2.6. Perawatan Tali Pusat

Tiga segi perawatan pusar dan tali pusat mempunyai pengaruh terhadap

risiko tetanus neonatorum, yaitu: alat pemotong tali pusat, praktek menyimpul,

atau membuka simpulnya, serta bahan yang diurapkan atau dioleskan pada
pangkal potongan tali pusat yang belum kering (Foster, 1988).

Merawat tali pusat berarti menjaga agar luka tersebut tetap bersih, tidak

terkena kencing, kotoran bayi, atau tanah. Bila kotor, luka tali pusat dicuci dengan

air bersih yang mengalir dan segera keringkan dengan kain/kasa bersih dan

kering. Tidak boleh membubuhkan atau mengoleskan ramuan, abu dapur, dan

sebagainya pada luka tali pusat sebab dapat menyebabkan infeksi dan tetanus yang dapat berakhir
dengan kematian neonatal. Infeksi tali pusat merupakan

faktor risiko untuk terjadinya tetanus neonatorum (Depkes RI, 2000).

Ramuan tradisional umumnya masih banyak digunakan oleh masyarakat

pedesaan, terutama oleh dukun bayi atau keluarga. Telah didapati bahwa 60%

dukun bayi memakai ramuan seperti kunyit, kapur, dan abu sebagai bahan

perawatan tali pusat. Alasan digunakannya obat/bahan tradisional pada

masyarakat yaitu karena dianggap manjur dan cocok, sudah merupakan kebiasaan

keluarga, mudah didapat, murah, dan masyarakat lebih yakin terhadap khasiat

obat atau bahan tradisional tersebut (Soedarno, 1998).

Penggunaan abu dapur bekas pembakaran kayu di tungku untuk melumuri

bekas potongan tali pusat agar luka cepat kering, sering mengakibatkan pusar bayi

menjadi bengkak dan berwarna merah. Jika tidak dirawat dengan baik, keadaan ini

dapat mengakibatkan kematian. Adanya kematian bayi akibat serangan tetanus

neonatorum banyak terjadi karena praktek perawatan luka dengan cara seperti di

atas (Danandjaja, 1980).

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

3.2. Definisi Operasional

1. Tetanus neonatorum: penyakit tetanus pada bayi berumur kurang dari satu

bulan yang disebabkan oleh Clostridium tetani dengan tanda-tanda bayi


tiba-tiba tidak dapat menetek, mulut mencucu, dan kejang-kejang.

Diketahui berdasarkan catatan pada formulir T2 di Dinas Kesehatan

Kabupaten Serang dari Januari tahun 2005 hingga Desember tahun 2008.

Kategori: 1. Ya 2. Tidak

Skala: nominal

2. Jenis kelamin neonatus: jenis kelamin neonatus saat lahir. Diketahui

berdasarkan catatan pada formulir T2 di Dinas Kesehatan Kabupaten

Serang dari Januari tahun 2005 hingga Desember tahun 2008.

Kategori: 1. Laki-laki 2. Perempuan

Skala: nominal

3. Frekuensi kunjungan antenatal adalah banyaknya kunjungan ibu hamil ke

tenaga kesehatan untuk memeriksa kehamilannya, diketahui berdasarkan

catatan pada formulir T2 di Dinas Kesehatan Kabupaten Serang dari

Januari tahun 2005 hingga Desember tahun 2008.

Kategori: 1. < 4 kali 2. ≥ 4 kali

Skala: nominal

4. Tenaga pemeriksa kesehatan adalah orang yang melakukan pemeriksaan

kesehatan ibu bayi pada saat hamil, diketahui berdasarkan catatan pada

formulir T2 di Dinas Kesehatan Kabupaten Serang dari Januari tahun 2005

hingga Desember tahun 2008.

Kategori: 1. Bukan tenaga kesehatan 2. Tenaga kesehatan

Skala: nominal

5. Status imunisasi adalah imunisasi TT yang di dapat ibu hamil selama

kehamilannya, atau sewaktu calon pengantin, atau selama masa kehamilan

sebelumnya. Diketahui berdasarkan catatan pada formulir T2 di Dinas

Kesehatan Kabupaten Serang dari Januari 2005 hingga Desember t 2008.

1) Tidak imunisasi adalah ibu hamil yang tidak mendapatkan

imunisasi TT selama masa kehamilannya atau waktu sebelumnya 2) Imunisasi adalah ibu hamil yang
telah mendapatkan imunisasi TT
selama masa kehamilannya

Kategori: 1. Tidak imunisasi 2. Imunisasi lengkap

Skala: nominal

6. Penolong persalinan adalah orang yang membantu proses persalinan ibu

hamil secara langsung, diketahui berdasarkan catatan pada formulir T2 di

Dinas Kesehatan Kabupaten Serang dari Januari tahun 2005 hingga

Desember tahun 2008.

1) Bukan tenaga kesehatan adalah penolong persalinan yang tidak

pernah mendapatkan pendidikan formal bidang kesehatan tetapi

mempunyai kemampuan dan keterampilan menolong persalinan

atau perawatan setelah persalinan sampai tali pusat sembuh.

2) Tenaga kesehatan adalah orang yang mendapatkan pendidikan

formal dalam bidang kesehatan untuk menolong persalinan, terdiri

dari pembantu bidan, bidan, perawat, dan dokter.

Kategori: 1. Bukan tenaga kesehatan 2. Tenaga kesehatan

Skala: nominal

7. Tempat persalinan adalah temapat dimana ibu hamil menjalani proses

persalinan, diketahui berdasarkan catatan pada formulir T2 di Dinas

Kesehatan Kabupaten Serang dari Januari tahun 2005 hingga Desember

tahun 2008.

Kategori: 1. Rumah 2. Tempat pelayanan kesehatan

Skala: nominal

8. Alat pemotong tali pusat adalah alat yang digunakan untuk memotong tali

pusat sesuadah bayi baru lahir, diketahui berdasarakan catatan pada

formulir T2 di Dinas Kesehatan Kabupaten Serang dari Januari tahun 2005

hingga Desember tahun 2008.

Kategori: 1. Tidak steril 2. Steril

Skala: nominal

9. Tenaga perawatan tali pusat adalah orang yang merawat tali pusat setelah
proses persalinan selesai sampai luka bekas tali pusat sembuh. Diketahui berdasarkan catatan pada
formulir T2 di Dinas Kesehatan Kabupaten

Serang dari Januari tahun 2005 hingga Desember tahun 2008.

Kategori: 1. Bukan tenaga kesehatan 2. Tenaga kesehatan

Skala: nominal

10. Obat atau ramuan yang dibubuhkan pada tali pusat adalah obat ramuan

yang digunakan untuk merawat tali pusat. catatan pada formulir T2 di

Dinas Kesehatan Kabupaten Serang dari Januari tahun 2005 hingga

Desember tahun 2008.

Kategori: 1. Non antiseptik 2. Antiseptik

Skala: nominal

Anda mungkin juga menyukai