Anda di halaman 1dari 22

GAMBARAN PEMERIKSAAN HIV PADA PENEDERITA

SUSPEK TB PARU DI PUSKESMAS LANGSAT SUKAJADI


KOTA PEKANBARU TAHUN 2018

PROPOSAL
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan
Tinggi Program DIII Teknologi Medis STIKES Perintis Padang

Oleh:

LIPEBRIHAYATI RIMA
NIM:

PROGRAM STUDI D3 LABORATORIUM MEDIK


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERINTIS PADANG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus sitopatik yang berasal
dari famili retrovirus yang dapat membentuk virus DNA dengan menggunakan
RNA dan DNA host yang mampu menginfeksi tubuh dalam periode inkubasi
yang lama dan menyebabkan tanda dan gejala AIDS sehingga menyebabkan
kerusakan sistem kekebalan tubuh pada host. Menurut laporan tahunan terbaru
PBB, United Nations on HIV/AIDS (UNAIDS) tahun 2016, secara keseluruhan
pertumbuhan dari epidemi AIDS telah stabil dimana sejak akhir tahun 1990
jumlah tahunan kasus infeksi baru HIV dan AIDS terkait dengan mortalitas telah
berkurang disebabkan peningkatan terapi Anti Retroviral secara signifikan.
Meskipun jumlah kasus infeksi baru telah menurun hingga 25% di Sub Sahara
Afrika tetapi secara keseluruhan tingkat kasus infeksi baru masih tetap tinggi
terutama pada laporan tahun 2015 menunjukan rata-rata 36.7 juta kasus HIV di
seluruh dunia, paling banyak ditemukan di daerah Afrika Timur, Afrika Selatan,
diikuti oleh Asia pasifik, Eropa, dan Amerika (UNAIDS, 2016).
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi oportunistik yang paling sering
dijumpai pada pasien HIV/AIDS. Menurut laporan WHO dalam Global
Tuberculosis Control tahun 2016, diperkirakan terdapat 10,4 juta kasus baru TB
di seluruh dunia. Enam negara yang memiliki kasus TB tertinggi pada tahun 2015
adalah India, Indonesia, Cina, Nigeria, Pakistan, dan Afrika Selatan. Pada tahun
2015, Sekitar 1,8 juta orang meninggal akibat TB dimana termasuk 0,4 juta orang
dengan HIV, dan TB adalah 1 dari 10 penyebab kematian di seluruh dunia setelah
HIV dan malaria. Diperkirakan 1,2 juta dari 10,4 juta orang yang menderita
Tuberkulosis di dunia yang merupakan HIV positif dan sekitar 35% kematian
diantaranya. Sebagian besar kasus TB terjadi di Asia sekitar 61% dan di Afrika
26% (WHO, 2016).
Pada Laporan Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes
RI, pada tahun 2014 terdapat 2399 kasus pasien TB Paru yang HIV positif. Resiko

1
perkembangan TB Paru sekitar 26-31x lebih besar pada pasien HIV dibandingkan
tanpa HIV. Pada tahun 2014, kasus baru TB Paru sebesar 9.6 juta diantaranya
terdapat 1.2 juta kasus HIV. ODHA 29 kali bisa berkembang menjadi TB
dibandingkan bukan ODHA dan tinggal di wilayah yang sama (Ditjen PPM & PL,
2015).
HIV koinfeksi TB Paru menjadi masalah yang serius dan tidak dapat lagi
dikendalikan jika tidak ditangani dengan benar sehingga menjadi ancaman bagi
kesehatan masyarakat dunia. Dalam menangani kasus ini diperlukan pengetahuan
mengenai karakteristik penderita HIV koinfeksi TB Paru disebabkan karena
gambaran klinis yang tidak khas sehingga menyebabkan keterlambatan diagnosis
dan pengobatan, pada akhirnya berujung dengan peningkatan kasus kematian.
Oleh karena itu, perlu pengetahuan mengenai karakteristik klinis, hasil
laboratorium dan radiologi pada penderita HIV koinfeksi TB Paru.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai Gambaran Hasil Pemeriksaan HIV Pada Penderita Suspek TBC di
Puskesmas Langsat Sukajadi Kota Pekanbaru Tahun 2018.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
"Gambaran Hasil Pemeriksaan HIV Pada Penderita Suspek TBC di
Puskesmas Langsat Sukajadi Kota Pekanbaru Tahun 2018."

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan Gambaran Hasil Pemeriksaan
HIV Pada Penderita Suspek TBC di Puskesmas Langsat Sukajadi Kota Pekanbaru
Tahun 2018.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menentukan umur dan jenis kelamin penderita suspek TB paru.
2. Menentukan hasil pemeriksaan BTA pada penderita TB paru.
3. Menentukan hasil pemeriksaan anti bodi HIV pada penderita suspek TB

2
paru.
4. Menentukan hasil pemeriksaan Anti HIV pada penderita TB paru.
5. Menetukan hasil anti bodi HIV pada penderita tidak TB paru.

1.4 Batasan Masalah


Pada penelitian ini penulis membatasi permasalahan hanya pada
Gambaran Hasil Pemeriksaan HIV Pada Penderita Suspek TBC di Puskesmas
Langsat Sukajadi Kota Pekanbaru Tahun 2018.

1.5 Manfaat penelitian


1. Bagi Penulis
Menambah ilmu pengetahuan dan wawasan tentang Gambaran Hasil
Pemeriksaan HIV Pada Penderita Suspek TBC di Puskesmas Langsat Sukajadi
Kota Pekanbaru Tahun 2018.
2. Bagi Masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai Gambaran Hasil
Pemeriksaan HIV Pada Penderita Suspek TBC di Puskesmas Langsat Sukajadi
Kota Pekanbaru Tahun 2018.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV/AIDS

2.1.1 Definisi
HIV (Human immunodeficiency virus) merupakan virus sitopatik yang
diklasifikasikan dalam family retroviridae, subfamily lentivirinae, dan genus
lentivirus. Memiliki berat molekul 9,7 kb dan terdiri dari 2 grup yaitu HIV-1 dan
HIV-2. Grup HIV-1 paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di
seluruh dunia. Seseorang dapat terinfeksi bila kontak dengan cairan tubuh ODHA
(United States Preventive Services Task Force, 2011)
HIV menyebabkan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yang
merupakan sekumpulan gejala penyakit yang terjadi karena kerusakan sistem
imunitas tubuh limfosit T disebabkan karena HIV. Akibatnya, orang yang
terinfeksi menjadi rentan terhadap penyakit yang dikenal sebagai infeksi
oportunistik (IO) karena rusaknya sistem imunitas, dan sepanjang hidupnya akan
menjadi infeksius sehingga dapat menularkan virus melalui cairan tubuh selama
tidak mendapatkan terapi Anti Retroviral (ARV) (Kummar et al, 2015).

2.1.2 Epidemiologi
Menurut laporan tahunan UNAIDS tahun 2015, penderita HIV/AIDS di
seluruh dunia berjumlah sekitar 36.7 juta orang, diantaranya terdapat 2,1 juta
orang yang baru terinfeksi HIV dan 1,1 juta orang meninggal. Laju penularan
virus mencapai 16 ribu orang per hari, dan Indonesia tercepat di Asia Tenggara
dengan rata-rata 63.000 kasus TB dengan HIV positif per tahun, dengan angka
mortalitas sebanyak 22.000 kasus pertahun (UNAIDS, 2015).
Presentasi infeksi HIV tertinggi pada kelompok umur 25-49 tahun, diikuti
umur 20-24 tahun dan ≥50 tahun sebesar 69.7%, 16.6%, dan 7.2%, sedangkan
pada AIDS tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun, 20-29 tahun, 40-49 tahun
sebesar 37.7%, 29.9%, dan 19%. Rasio HIV dan AIDS sebesar 2 : 1 antara laki-
laki dan perempuan. Persentasi faktor resiko HIV tertinggi adalah hubungan seks
beresiko pada heteroseksual, diikuti oleh LSL (Lelaki seks lelaki), penggunaan

4
napza suntik tidak steril , dan lain-lain secara berurutan yaitu 47%, 25%, 3%, dan
25%, sedangkan pada AIDS tertinggi adalah hubungan seks beresiko pada
heteroseksual sebesar 73.8% (Ditjen PPM & PL, 2015).

2.1.3 Patogenesis
Penularan HIV/AIDS terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung HIV
baik melalui transmisi seksual, paparan parenteral yang terkontaminasi, persalinan
dan laktasi dari ibu yang mengidap HIV ke bayinya (Veronique Grouzard et al,
2016).
Sistem imun menjadi target utama dari infeksi HIV dimana virus akan
menyerang sel limfosit T helper yang mengandung marker molekul CD4. Setelah
HIV mengikatkan diri pada molekul CD4, virus masuk ke dalam target dan
melepaskan bungkusnya kemudian dengan enzim reverse transcriptase virus
tersebut merubah bentuk RNA agar dapat bergabung dengan DNA sel target.
Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung bahan genetik virus dan
akan membentuk virus baru, dan menginfeksi sel host lainnya. Infeksi HIV
dengan demikian menjadi irreversible dan berlangsung seumur hidup (Klatt
Edward C. MD, 2016).
Perjalanan khas infeksi HIV terdiri dari beberapa tahapan yaitu infeksi
primer, penyebaran virus ke organ limfoid, latensi klinis, peningkatan ekspresi
HIV, penyakit klinis dan kematian. Durasi antara infeksi primer sampai penyakit
klinis rata-rata sekitar 10 tahun. Pada awal infeksi, HIV tidak segera
menyebabkan kematian dari sel, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi dalam
tubuh penderita dan lambat laun akan merusak limfosit T-CD4. Masa inkubasi
adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV sampai
menunjukkan gejala AIDS. Pada masa inkubasi, virus HIV tidak dapat terdeteksi
dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV
yang dikenal dengan masa window period. (Kummar et al, 2015).
Setelah infeksi primer, selama 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan
viremia permulaan, viremia dapat terdeteksi selama sekitar 8-12 minggu. Virus
tersebar luas ke seluruh tubuh selama masa ini, dan menyerang organ limfoid, dan
terjadi penurunan jumlah sel – T CD4 yang beredar secara signifikan. Respon

5
imun terhadap HIV terjadi selama 1 minggu sampai 3 bulan setelah terinfeksi,
viremia plasma menurun dan level sel CD4 kembali meningkat. Tetapi respon
imun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara sempurna sehingga sel-sel yang
terinfeksi HIV menetap dalam limfoid (Kummar et al, 2015). Setelah beberapa
bulan atau tahun akan terlihat gejala klinis pada penderita. Sebagian penderita
memiliki gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu pasca terinfeksi
yaitu demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare,
atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa
gejala). Hal ini berlangsung selama 8-10 tahun, tetapi ada sekelompok kecil
penderita yang cepat hanya sekitar 2 tahun dan ada yang sangat lambat (Klatt
Edward C. MD, 2016; Veronique Grouzard et al, 2016). Secara bertahap sistem
kekebalan. tubuh yang terinfeksi oleh virus HIV akan menyebabkan fungsi
kekebalan tubuh rusak sehingga penderita akan menampakkan gejala akibat
infeksi oportunistik (Klatt Edward C. MD, 2016 ; Kummar et al, 2015).

2.1.4 Stadium Klinis


Stadium klinis WHO dapat membantu untuk memperkirakan tingkat
defisiensi kekebalan tubuh pasien. Pasien dengan gejala pada stadium klinis 1 atau
2 biasanya tidak mempunyai gejala defisiensi kekebalan tubuh yang serius. Pasien
yang mempunyai gejala dan tanda stadium klinis 3 atau 4 biasanya mempunyai
penurunan kekebalan tubuh yang berat dan tidak mempunyai cukup banyak sel
CD4 sehingga memudahkan terjadinya infeksi oportunistik (Ditjen PPM & PL,
2012).
Stadium Klinis HIV terdiri dari 4 stadium yaitu :
Stadium 1 Asimptomatik, Tidak ada gejala atau hanya Limfadenopati
generalisata persisten.

Stadium 2 Sakit Ringan, Berat badan turun 5-10%, Luka pada sudut mulut
(keilitis angularis), Dermatitis Seboroik, Prurigo, Herpes zoster, ISPA berulang,
dan Ulkus pada mulut berulang.

Stadium 3 Sakit Sedang, Berat badan turun > 10%, Kandidiasis mulut,
Oral hairy leukoplakia, Lebih dari 1 bulan Diare, Demam tanpa sebab yang jelas,

6
Infeksi bakteriyang berat, TB paru, HB < 8 g, Lekosit < 500, Trombosit < 50.000,
Gingivitis/periodontitis ulseratif nekrotikan akut,

Stadium 4 Sakit Berat, HIV wasting syndrome, Kandidiasis esophagus,


Lebih dari 1 bulan: Ulserasi Herpes simpleks, Limfoma, Sarkoma Kaposi, Kanker
serviks invasif, Retinitis CMV, Pneumonia pneumosistis, TB Ekstraparu,
Meningitis kriptokokus, Abses otak Toksoplasmosis, Ensefalopati HIV

2.1.5 Diagnosis
Dalam menentukan diagnosis HIV positif dapat ditegakkan berdasarkan
Konseling dan Tes HIV. Konseling terdiri dari VCT (Voluntary Counseling &
Testing) dan PITC (Provider-Initiated Testing and Counseling). VCT adalah
pemeriksaan dan konseling sukarela dari individu yang beresiko terkena HIV dan
biasanya menggunakan rapid test untuk mendeteksi.
PITC merupakan pemeriksaan dan konseling HIV yang direkomendasikan oleh
tenaga kesehatan dan biasanya dianjurkan untuk orang yang datang ke fasilitas
kesehatan dengan tanda dan gejala yang curigai terinfeksi HIV. Dianjurkan
setidaknya pada ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala dan tanda
klinis diduga terinfeksi HIV, pasien dari kelompok berisiko (Penasun, PSK, LSL),
pasien IMS dan seluruh pasangan seksualnya. Kegiatan memberikan anjuran dan
pemeriksaan tes HIV perlu disesuaikan dengan prinsip bahwa pasien sudah
mendapatkan informasi yang cukup dan menyetujui untuk tes HIV dan semua
pihak menjaga kerahasiaan (Ditjen PPM & PL, 2011; Klatt Edward C. MD,
2016).
Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV, yaitu :
• Keadaan umum: Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar,
Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral > 37,50C) lebih dari satu
bulan, Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan,
Limfadenofati meluas

• Kulit : PPE* dan kulit kering yang luas merupakan dugaan kuat infeksi
HIV. Beberapa kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan
psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV

7
• Infeksi jamur : Kandidosis oral, Dermatitis seboroik, Kandidosis vagina
kambuhan

• Infeksi viral : Herpes zoster (berulang/melibatkan lebih dari satu


dermatom), Herpes genital (kambuhan), Moluskum kontagiosum, Kondiloma

• Gangguan pernafasan : Batuk lebih dari satu bulan, Sesak nafas, TB,
Pnemoni kambuhan, Sinusitis kronis atau berulang.
Gejala neurologis : Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan tidak
jelas penyebabnya), Kejang demam, Menurunnya fungsi kognitif.
Secara garis besar, pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis
infeksi HIV dapat dilakukan dengan mendeteksi adanya virus melalui isolasi dan
biakan virus, deteksi genetic dalam darah, antigen virus PCR, antigen P24, dan
mendeteksi Antibodi/Serologik melalui ELISA, Immunoflurescent Assay (IFA),
atau Radioimmuniprecipitation Assay (RIPA).
Rrapid test dan ELISA merupakan tes penyaring yang paling sering
digunakan di Indonesia, dan termasuk mudah dilaksanakan. Hal yang perlu
diperhatikan yaitu adanya masa jendela karena akan menunjukkan hasil negative
palsu jika diperiksa, maka perlu dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat
perilaku yang beresiko. Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi setelah 3 bulan
terinfeksi (Klatt Edward C. MD, 2016)
WHO menganjurkan pemakaian strategi 3 tes dan selalu didahului dengan
konseling pra tes. Ketiga tes tersebut dapat rapid test atau ELISA. Untuk
pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi
(>99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes
dengan spesifisitas tinggi (>99%). Jika tes penyaring (ELISA) dinyatakan reaktif,
pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi,yang paling sering
digunakann adalah Western Blot. (Ditjen PPM & PL, 2011; Klatt Edward C. MD,
2016).
ODHA harus mendapatkan informasi yang lebih mengutamakan manfaat terapi
ARV sebelum terapi dimulai. Bila informasi dan rawatan HIV dimulai lebih awal
sebelum memerlukan terapi ARV maka pasien mempunyai kesempatan lebih
panjang untuk mempersiap kan diri demi keberhasilan terapi ARV jangka

8
panjang, melalui konseling pra-terapi AR V yang meliputi cara dan ketepatan
minum obat, efek samping yang mungkin terjadi, interaksi dengan obat lain,
pemantauan keadaan klinis dan pemantauan pemeriksaan laboratorium secara
berkala termasuk pemeriksaan jumlah CD4 (Ditjen PPM & PL, 2011).

2.1.6 Penatalaksanaan
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
a. Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan ART

b. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang


menyertai infeksi HIV/AIDS.

c. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik
dan pengobatan pendukung lain.

Terdapat 4 jenis obat ART yang digunakan yaitu NRTI, NNRTI, PI


(protease inhibitor), INI (integrase inhibitor) (Veronique Grouzard et al, 2016)
Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka akan dilanjutkan penilaian stadium klinis,
penilaian imunologis dan penilaian virologi. Hal tersebut dilakukan untuk
menentukan apakah pasien sudah memenuhi syarat untuk terapi antiretroviral,
menilai status supresi imun pasien, menentukan infeksi oportunistik yang pernah
dan sedang terjadi; dan menentukan paduan obat ARV yang sesuai (Ditjen PPM
& PL, 2011).
a. Stadium Klinis
Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap kali
kunjungan untuk penentuan terapi ARV dengan lebih tepat waktu. Lihatlah pada
tabel 2.1 dan 2.2 (Ditjen PPM & PL, 2011).
b. Penilaian Imunologi (Pemeriksaan jumlah CD4)
Jumlah CD4 adalah cara untuk menilai status imunitas ODHA. Pemeriksaan CD4
melengkapi pemeriksaan klinis untukmenentukan pasien yang memerlukan
pengobatan profilaksis IO dan terapi ARV .Rata-rata penurunan CD4 adalah
sekitar 70-100 sel/mm3/tahun, dengan peningkatan setelah pemberian ARV antara
50 –100 sel/mm3/tahun.

9
2.2 TB Paru

2.2.1 Definisi
TB Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
infeksi bakteri berbentuk batang Mycobacterium tuberculosis pada paru.
Mycobacterium tuberculosis merupakan basil tahan asam yang termasuk genus
Mycobacterium dari familia Mycobacteriaceae, ordo Actinomycetales. Sebagian
besar kuman TB menyerang paru tetapi dapat juga menyerang organ lain. (Ditjen
PPM & PL, 2013).

2.2.2 Epidemiologi
Menurut laporan WHO dalam Global Tuberculosis Control tahun
2016 diperkirakan 10,4 juta kasus baru TB di seluruh dunia. Pada tahun 2015,
Enam negara dengan kasus TB tertinggi adalah India, Indonesia, Cina, Nigeria,
Pakistan dan Afrika Selatan, dan sebanyak 1,8 juta kematian setelah HIV dan
malaria. 1 juta anak jatuh sakit dengan TB, dan 210 000
anak-anak termasuk 40 000 dengan HIV meninggal karena TB pada tahun 2015.
Sekitar 35% orang meninggal akibat TB pada tahun 2015 termasuk 0,4 juta orang
dengan HIV. Kasus TB sebagian besar terjadi di Asia sebesar 61%.(WHO,2015).
Menurut laporan Ditjen PPM & PL, pada tahun 2015 ditemukan jumlah kasus
tuberkulosis sebanyak 330.910 kasus, meningkat dibandingkan pada tahun 2014
sebesar 324.539 kasus. Enam negara yang memiliki kasus TB tertinggi pada tahun
2015 adalah India, Indonesia, Cina, Nigeria, Pakistan, dan Afrika Selatan.
Menurut kelompok umur, kasus tuberkulosis pada tahun 2015 paling banyak
ditemukan pada kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar 18,65% (Ditjen PPM
&dan PL, 2015). Dalam Laporan Ditjen PPM & PL tahun 2015, sebanyak 2399
kasus pasien TB yang HIV positif pada tahun 2014. Resikonya 26-31x lebih besar
pada pasien dengan kasus HIV dibandingkan tanpa HIV. Kasus baru TB sebesar
9.6 juta diantaranya terdapat 1.2 juta kasus dengan HIV pada tahun 2014 (Ditjen
PP dan PL, 2015).
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain kemiskinan pada
berbagai kelompok masyarakat seperti pada negara-negara yang sedang
berkembang, perubahan demografik, dampak pandemi HIV, dan kegagalan

10
program TB selama ini diakibatkan oleh tidak memadainya komitmen politik dan
pendanaan, organisasi pelayanan TB, tatalaksana kasus, salah persepsi terhadap
manfaat dan efektifitas BCG (Ditjen PPM & PL Depkes, 2016).

2.2.3 Patogenesis
Pasien TB mengeluarkan kuman TB dalam bentuk droplet yang infeksius ke udara
saat batuk ataupun bersin. Pada umumnya droplet yang infeksius ini dapat
bertahan dalam beberapa jam sampai beberapa hari pada keadaan gelap dan
lembab, sedangkan jika kena sinar matahari langsung maka kuman akan cepat
mati. Droplet mengandung BTA positif yang dapat menularkan. Agen infeksius
tersebut akan masuk ke tubuh melalui udara pernafasan, kemudian kuman
menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya (Ditjen PPM & PL, 2014). Infeksi
primer kuman TB dapat sakit bila adanya transmisi dari manusia ke manusia pada
berbagai stadium infeksi HIV. Sebagian kuman TB akan tetap tinggal dormant
dan tetap hidup sampai tahunan dalam tubuh dikenal sebagai infeksi TB laten.
Infeksi TB laten tidak mempunyai gejala TB aktif dan tidak menular, dan
seseorang akan sakit pada pasien imunokompromais (Ditjen PPM & PL, 2014).
2.3 HIV/AIDS Koinfeksi TB Paru

2.3.1 Definisi
Koinfeksi TB paru pada pasien HIV merupakan infeksi
opportunistik yang terjadi karena adanya 2 infeksi yang terjadi dengan agen kausa
berbeda berupa bakteri Mycobacterium tuberculosis dan virus HIV yang dialami
oleh pasien TB dengan HIV positif maupun pasien HIV dengan TB (Amin dkk.
2013).

2.3.2 Epidemiologi
Infeksi HIV akan meningkatkan faktor resiko berkembangnya infeksi oportunistik
TB paru secara signifikan. Sepertiga penderita yang terinfeksi HIV di dunia
mempunyai koinfeksi TB Paru. TB Paru pada penderita HIV dapat memiliki
gambaran klinis tidak khas yang sulit terdiagnosis sehingga menyebabkan terjadi
kematian penderita HIV (UNAIDS, 2016).

11
Pada tahun 2015, sekitar 1,2 juta (11%) dari 10,4 juta orang yang menderita TB
Paru di dunia yang merupakan HIV positif. Sekitar 35% kematian di antara orang
dengan HIV disebabkan karena TB. Sebanyak 1,8 juta orang meninggal akibat TB
pada tahun 2015 (termasuk 0,4 juta orang dengan HIV. Di Asia Tenggara, pada
tahun 2015 diperkirakan 74.000 orang meninggal karena koinfeksi HIV-TB.
Terdapat 12 kasus per 100.000 penduduk. Indonesia merupakan yang tercepat di
kawasan Asia Tenggara dengan rata-rata 63.000 kasus TB dengan HIV positif per
tahun.
2.3.3 Patogenesis
Penularan HIV/AIDS terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV
baik melalui transmisi seksual (heteroseksual mapupun homoseksual), jarum
suntik, transfusi komponen darah yang mengandung, persalinan dan laktasi dari
ibu yang mengidap HIV (Ditjen PP & PL, 2016)
Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya Limfosit T CD4 yang
merupakan pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak
langsung dalam fungsi imunologik yang disebabkan karena Infeksi virus HIV.
Setelah virus HIV mengikatkan diri pada molekul CD4+, virus masuk ke dalam
target dan melepaskan bungkusnya kemudian dengan enzim reverse transcriptase
virus tersebut merubah bentuk RNA agar dapat bergabung dengan DNA sel target.
Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung bahan genetik virus.
Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversible dan berlangsung seumur hidup
(Klatt Edward, 2016).
Infeksi laten terjadi ketika kuman yang dormant teraktivasi setelah beberapa bulan
atau tahun pasca infeksi primer disebabkan karena sistem imunitas seluler
menurun. Pada infeksi HIV terjadi penurunan signifikan sel limfosit T CD4 yang
merupakan mediator utama pertahanan imun melawan M.tuberculosis. Hal ini
menyebabkan infeksi opoertunistik tuberculosis yang akan meningkat seiring
dengan derajat beratnya imunosupresi yang terjadi pada infeksi HIV. Setelah
reaktivasi dorman akan terbentuk sarang dini kembali dan bisa menyebabkan
sembuh tanpa bekas, atau sembuh dengan bekas (jaringan fibrotik), atau
berkembang menjadi granuloma yang berisi tuberkel (Manalu M dkk, 2012).

12
Pada individu dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah, bakteri ini akan
mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel yang terbentuk bertambah
banyak dan membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru yang nantinya menjadi
sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum
dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif
terinfeksi M tuberculosis (Subagyo A dkk, 2012; Melkamu H et al, 2013).
Gambaran radiologis pada kondisi infeksi HIV yang berat sangat berbeda, dimana
infiltrate dapat terlihat di lobus tengah atau bawah paru, dapat berupa infiltrat
milier (TB milier), namun kavitas lebih jarang didapatkan. Derajat
imunodefisiensi ini juga berpengaruh pada gambaran laboratoris (BTA pada
sputum) dan histopatologis. Pada penderita dengan fungsi imun yang masih intact
lebih mudah didapatkan adanya BTA pada sputum dan gambaran granulomatous
secara histopatologi. Seiring dengan menurunnya sistem imun maka kemungkinan
untuk didapatkan BTA pada sputum semakin kecil dan secara histopatologi
gambaran granuloma juga sulit ditemukan (Amin Z dkk, 2013).

2.3.4 Diagnosis
Penegakan diagnosis perlu menggunakan alur diagnosis TB pada pasien
HIV karena diagnosisnya sulit ditegakkan karena harus didasarkan pada hasil
pemeriksaan klinis, bakteriologi dan atau histologi spesimen yang didapat dari
tempat lesi (Ditjen PPM & PL,2014).
A. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala TB paru pada pasien HIV/AIDS pada dasarnya sama
dengan pasien non HIV. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak
selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu
dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan
fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. (Ditjen PPM & PL, 2014).

B. Pemeriksaan Laboratorium
Penegakan diagnosis utama dengan melakukan pemeriksaan bakteriologi yaitu :

13
1) Pemeriksaan Dahak Mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Dahak dari ODHA
yang menderita TB paru biasanya BTA negatif, namun pemeriksaan mikroskopis
dahak tetap perlu dilakukan. Pemeriksaan mikroskopis dahak dilakukan dengan 2
spesimen dahak (Sewaktu-Pagi = SP) dan bila minimal salah satu specimen dahak
hasilnya BTA positif maka diagnosis TB dapat ditegakkan (Ditjen PPM & PL,
2014).
2) Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan dahak merupakan baku emas untuk mendiagnosis TB
tetapi memerlukan waktu cukup lama sehingga dapat mengakibatkan angka
kematian meningkat. Pada pasien HIV yang hasil pemeriksaan mikroskopis
dahaknya BTA negatif sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan
dahak karena hal ini dapat membantu penegakan diagnosis TB bila hasil
pemeriksaan penunjang lainnya negative (Ditejen PPM & PL, 2014).
C. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan foto toraks pada pasien HIV memegang peranan penting
dalam penegakan diagnosis TB paru khususnya BTA negatif. Indikasi
pemeriksaan foto toraks pada pasien HIV : (Ditjen PPM & PL, 2014).
1) BTA positif. Foto thoraks diperlukan pada pasien sesak napas
(pneumotoraks,efusi perikard atau efusi pleura), pasien hemoptisis, pasien yang
dicurigai terdapat infeksi paru lainnya.
2) BTA negative. Lakukan pemeriksaan foto thoraks pada TB Paru BTA negatif .
Penurunan kekebalan ringan menunjukan kelainan tipikal, sedangkan yang berat
menunjukan atipikal. Kelainan gambar radiologis yang ditemukan pada TB Paru

D. Alur Diagnosis
Diagnosis kasus kinfeksi TB-HIV di Indonesia didasarkan pada pedoman
dari Kemenkes pada gambar 2.8 sebagai berikut:
Pada kunjungan pertama, pemeriksaan mikroskopis dahak harus
dikerjakan. Jika hasil BTA positif maka pengobatan TB dapat diberikan.
Dikatakan BTA positif jika minimal 1 sediaan hasilnya positif, sedangkan BTA

14
Negatif jika 2 sediaan hasilnya negatif. Pada kunjungan kedua, jika hasil BTA
negatif maka perlu dilakukan pemeriksaan lain, misalnya foto toraks, ulangi
pemeriksaan mikroskopis dahak, lakukan pemeriksaan biakan dahak dan
pemeriksaan klinis oleh dokter. Hasil dari kunjungan ini sangat penting untuk
memutuskan apakah pasien tersebut perlu mendapat pengobatan TB atau tidak
(Ditjen PPM & PL, 2012).
Kunjungan ketiga dilakukan secepat mungkin setelah adanya hasil
pemeriksaan pada kunjungan kedua. Pasien yang hasilnya mendukung TB
(misalnya gambaran foto thoraks mendukung TB) perlu diberi OAT. Sedangkan
yang tidak mendukung TB perlu mendapat antibiotik spektrum luas untuk
mengobati infeksi bakteri lain atau pengobatan untuk PCP. Kunjungan keempat,
harus diperhatikan bagaimana respon pasien pada pemberian pengobatan dair
kunjungan ketiga. Untuk pasien yang mempunyai respon yang baik terhadap
pengobatan PCP atau pengobatan dengan antibiotic, lanjutkan pengobatannya
untuk menyingkirkan terdapatnya juga TB (superimposed tuberculosis). Bagi
pasien yang mempunyai respon yang kurang baik perlu dilakukan pemeriksaan
ulang untuk TB baik secara klinis maupun pemeriksaan dahak (Ditjen PPM & PL,
2012).
Pada ODHA, diagnosis TB paru dinyatakn Positif jika minimal satu hasil
pemeriksaan dahak positif, sedangkan negative jika hasil pemeriksaan dahak
negatif dan gambaran klinis & radiologis mendukung TB atau BTA negatif
dengan hasil kultur TB positif.

15
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Langsat Sukajadi Pekanbaru. Proses

penelitian ini dilakukan pada bulan Januari - Maret 2019.

3.2 Metodologi Peneltian

Penelitian ini menggunakan rancangan non-eksperimen dengan metode

deskriptif yaitu untuk mengetahui gambaran dari suatu variable tanpa melakukan

perubahan, tambahan atau manipulasi terhadap data yang sudah ada. Pendekatan

waktu yang digunakan dalam penelitian ini dengan pendekatan cross sectional

yaitu penelitian menggunakan pengukuan variable-variabel yang dilakukan hanya

satu kali padasatuwaktu.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah resep dari poli saraf RSUD Bangkinang

periode Oktober-Desember 2017 yang berjumlah 698 lembar resep.

3.3.2 Sampel

Sampel untuk penelitian ini menggunakan metode simple random sampling

dimana peneliti akan mengambil semua subjek secara acak tanpa memperhatikan

strata yang ada dalam populasi.

Sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan rumus dari Taro Yamane

atau Slovin karena jumlah populasi lebih dari 100 resep. Adapun rumusnya

sebagai berikut

16
𝑁
𝑛=
𝑁𝑑 2 + 1

n = jumlahsampel

N= jumlahpopulasi

d2 = presisi( ditetapkan 5% dengantingkatkepercayaan 95% )

Berdasarkanrumustersebut di perolehjumlahsampelsebagaiberikut :

𝑁 698 698 698


𝑛= = = = = 254
𝑁𝑑 2+1 2
698 (0,5) + 1 1,745 + 1 2,745

Artinya yang menjadisampelpopulasiadalah 254 resep.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.4.1 Kriteria Inklusi

a. Pasien yang berobatkepolisaraf RSUD BangkinangperiodeOktober-

Desember 2017.

b. Pasien yang menggunakan jaminan kesehatan nasional.

c. Resep oba tpasien sesuai dengan formularium nasional.

3.4.2 Kriteria Ekslusi

a. Pasien yang tidak menggunakan jaminan kesehatan nasional

b. resep obat pasien yang tidak sesuai formularium nasional.

17
3.5. Prosedur Kerja

1. Pengurusan izin

Alur penelitian ini di mulai dengan mengurus surat pengantar izin

penelitian kepada bagian administrasi Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau.

Selanjutnya diteruskan kepada Kepala Bagian Administrasi Umum dan di proses

di Bagian Seksi Pendidikan Pelatihan dan Peningkatan Kompetensi SDM RSUD

Bangkinang.

2. Pengumpulan data.

Pengambilan data dilakukan dengan mengambil dari buku indeks di poli

saraf RSUD Bangkinang. Selanjutnya pengambilan resep pasien rawat jalan di

instalasi farmasi RSUD Bangkinang. Resep yang berasal dari poli saraf

dipisahkan sesuai dengan jenis pelayanannya.

3.5.1 Pengurusan Administrasi dan Izin Penelitian

1. Pengurusan Surat Izin Penelitian pada Bagian Administrasi di Sekolah

Tinggi Ilmu Farmasi Riau.

2. Pengurusan Administrasi di Bagian Tata Usaha RSUD Bangkinang.

3. Pengurusan Administrasi di Kasie Humas dan SDM, RSUD Bangkinang.

4. Pelaksanaan Penelitian RSUD Bangkinang.

18
3.5.2 Analisa Data

Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk persentase dari

kesesuaianpenulisanresep di poli saraf RSUD Bangkinang.

Analisa data karakteristik pasien

Data karakteristik adalah data yang ditabulasikan berdasarkan berbagai

kriteria, yaitu :

a. Jumlah dan persentase resep obat pasien berdasarkan jenis kelamin

b. Jumlah dan persentase resep obat pasien berdasarkan umur

c. Jumlah dan persentase resep obat pasien berdasarkan jenis

pelayanan.

3.4.4 Etika Penelitian

Etika dalam penelitian ini menggunakan surat izin dari RSUD

Bangkinang.

3.4.5 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah rekapan penulisan

resep di poli saraf RSUD Bangkinang.

19
DAFTAR PUSTAKA

Aryani, F., Husnawati., Muharni, S., Liasari, M., Afrianti, R. (2015). Analisa
Kepuasan Pasien Rawat Jalan Terhadap Kualitas Pelayanan Di Instalasi
Farmasi Rumah Sakit Islam Ibnu Sina Pekanbaru. PHARMACY, 12 (01),
101-112.

Anonim.(2013). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


328/Menkes/SK/VIII/2013 tentang Formularium Nasional. Jakarta: Depkes
RI.

Anonim.(2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58


Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
Jakarta: Depkes RI. 8, 47, 48, 49.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Formularium Nasional


Kendalikan Mutu Dan Biaya Pengobatan terdapat di
www.depkes.go.id/article/print/2327/formularium-nasional-kendalikan-
mutu-dan-biaya-pengobatan.html [Diakses tanggal 28 Mei 2018]

Krisnadewi, Kusuma, A., Subagio, P.B., Wiratmo. (2014). Evaluasi Standar


Pelayanan Minimal Instalasi Farmasi RSUD Waluyo Jati Kraksaan Sebelum
dan Sesudah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. e-
Jurnal Pustaka Kesehatan, 2 (2),192-198.

Medisa, D., Danu, S.S., dan Rustamaji. (2015). Kesesuaian Resep Dengan Standar
Pelayanan Medis Dan Formularium Jamkesmas Pada Pasien Rawat Jalan
Jamkesmas. Jurnal Ilmiah Farmasi, 11 (1), 20-28.

Olson, J. C., & Peter, J.P. (2000). ConsumerBehavior: Perilaku Konsumen dan
StartegiPemasaran. Jakarta: Erlangga.

Osmena, P. (2010). Statistical Power Analysis Using SAS and R. A Senior Project
Presented to the Faculty of the statistics Departemen California Polytechnic
State University, San Luis Obispo. Available at
http://digitalcommons.calpoly.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1002&conte
xt=statsp[Diakses 22 Mei 2018]
Tannerl, A., L. Rantil., W.A Lolol. (2015). Evaluasi Pelaksanaan Pelayanan
Resep Obat Generik Pada Pasien Bpjs Rawat Jalan Di Rsup. Prof. Dr. R.D.
Kandou Manado Periode Januari-Juni 2014. Pharmacon, 4 (4), 58-64.

World Health Organization. (1988). Estimating Drugs Reqruitmen dalam A


Partical Manual. Geneva.Switzerland.

20
Lampiran 1. Skema Kerja Penelitian

Buku Index Poli Syaraf

Resep obat pasien

Non BPJS BPJS 2017

Sesuai Formularium Nasional

Non Formularium Nasional

21

Anda mungkin juga menyukai