Anda di halaman 1dari 7

Pendahuluan

Difteri merupakan penyakit infeksi yang sangat menular yang banyak dialami oleh anak-anak.
Penyakit ini dapat menyebabkan kematian, sehingga perlu penanganan yang cepat dan tepat
untuk mencegah mortalitas dan morbiditas yang semakin meningkat. Kejadian luar biasa pernah
dilaporkan di Rusia pada tahun 1990 yang penyebarannya ke Uni Soviet dan Mongolia Di
Amerika, angka pasien difteri mencapai 2-3 juta kasus dengan jumlah kematian berjumlah
45.000 orang per tahun. Di Indonesia, jumlah pasien difteri berjumlah 250-299 per 1000 anak
balita setiap tahunnya. Angka kematian pasien difteri di Indonesia mencapai 21%, yang
merupakan penyebab kematian nomor empat setelah penyakit kardiovaskular, TBC, dan
pneumonia (Prabowo, 2012). Rampengan (2007) menyatakan bahwa di lndonesia penyakit
difteri ini banyak terjadi pada penduduk yang padat penghuni dengan angka kematian yang
cukup tinggi.

Pengertian

Penyakit difteri merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae
yang mudah menular, dan toksin yang masuk akan membentuk pseudomembran.

Penyebab

Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini berbentuk batang
Gram-positif. Bakteri dapat ditemukan pada sediaan langsung dari apusan tenggorok atau
hidung. Bakteri akan mati pada Suhu 60°C selama 10 menit, serta tahan hidup beberapa minggu
pada es, air, susu, dan lendir yang telah mengering. Sifat basil yaitu membentuk pseudomembran
yang sulit diangkat, mudah berdarah, berwarna putih keabu-abuan pada daerah yang terkena,
yang terdiri dari fibrin, leukosit, nekrosis jaringan dan kuman, serta mengeluarkan eksotoksin
yang sangat ganas dan meracuni jaringan setelah beberapa jam diserap, terutama pada otot
jantung, ginjal, dan jaringan saraf. Hanya dengan sejumlah 1/50 mL, toksin sudah dapat
membunuh kelinci (Ngastiyah, 2005: 40).

Penularan penyakit ini dapat secara langsung maupun tidak langsung. Penularan secara
langsung yaitu melalui udara dengan droplet infection serta kontak iangsung dengan pasien
difteri. Penularan secara tidak langsung yaitu melalui benda-benda yang terkontaminasi dengan
kuman Corynebacten'um diphtheriae, misalnya alat makan dan minum, serta handuk. Berat
ringannya penyakit ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya virulensi, banyaknya basii,
dan daya tahan tubuh anak. Pada anak yang daya tahan tubuhnya baik dan virulensinya ringan,
maka anak akan mengeluh sakit ketika menelan dan dapat sembuh dengan sendirinya. Pada
umumnya, tanda pada anak atau pasien yang mengalami penyakit berat yaitu terdapat Bullneck
(leher banteng) atau terdapat stridor dan dispnea.

Gambaran Klinis

Masa inkubasi penyakit ini antara 2-5 hari. Pada difteri faring dan tonsil, jika penyakitnya ringan
hanya akan menimbulkan nyeri menelan, tidak ada pembentukan pseudomembran, penyakit akan
sembuh dengan sendirinya, dan dapat membentuk kekebalan tubuh. Jika penyakitnya berat, maka
sering kali ditandai dengan demam ringan, batuk pilek, hidung mengeluarkan cairan bercampur
darah, lesu, pucat, nyeri kepala, anoreksia, mual dan muntah sehingga anak kelihatan sangat
lemah, pembengkakan pada tenggorokan, nyeri menelan, anoreksia, lemah, membran berwarna
putih keabu-abuan, limfadenitis, toksemia, dan syok septik. Selain itu, terjadi pembengkakan
pada leher yaitu pembengkakan pada kelenjar regional yang disebut dengan buillneck (leher
banteng). Anak dapat tersedak karena kelumpuhan saraf menelan atau pallatum mole dan suara
serak.

Laring dan trakea merupakan penjalaran dari difteri faring dan tonsil. Gejalanya hampir sama
dengan faring dan tonsil, namun lebih berat. Anak akan menunjukkan sesak napas yang hebat,
stridor inspiratori, obstruksi jalan napas, dan sianosis. Selain itu, terdapat pembesaran kelenjar
regional, retraksi otot suprasternal, dan epigastrium. Laring tampak kemerahan, sembap, banyak
sekret, dan permukaan laring tertutup oleh pseudomembran yang mengakibatkan sumbatan jalan
napas berat, sehingga memerlukan jalan napas buatan, yaitu dengan tindakan trakeostomi.

Patofisiologi
Bakteri Corynebacterium diphtheriae masuk ke dalam tubuh melalui kontak langsung dan tidak
langsung. Kuman masuk dan berkembang biak di saluran pernapasan, kemudian masuk ke
seluruh tubuh melalui aliran sistemik. Setelah melewati masa inkubasi selama 2-5 hari, kuman
membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul lokal,
kemudian menjalar ke faring, laring, dan saluran pernapasan bagian atas. Kelenjar getah bening
akan membengkak dan mengandung toksin. Jika mengenai otot jantung, maka dapat
menyebabkan miokarditis toksik, dan akan menyebabkan paralisis otot pernapasan jika mengenai
jaringan saraf perifer. Toksin tersebut juga dapat menyebabkan nekrosis pada hati dan ginjal,
yang dapat menyebabkan nefritis interstisialis. Eksotoksin ini akan menyerang nasal, tonsil, dan
faring. Pada nasal, akan menyebabkan terjadinya peradangan mukosa hidung, pilek, flu, dan
sekret hidung. Pada tonsil atau faring akan terjadi gangguan berupa sakit tenggorokan, stridor,
sesak napas, membran berwarna putih keabu-abuan, toksemia, dan syok septik, sedangkan pada
faring akan menyebabkan terjadinya demam, suara serak, batuk, obstruksi jalan napas, dan
adanya sianosis. Sumbatan jalan napas terjadi karena adanya pseudomembran pada laring dan
trakea, yang dapat mengakibatkan kematian. Selain itu, kematian dapat terjadi karena komplikasi
berupa miokarditis yang menyebabkan gagal jantung dan bronkopneumonia yang menyebabkan
gagal napas (Gambar 7.1)

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui adanya kuma“ gorynebacterium


diphtheriae antara lain dengan cara pewarnaan gram, kultur tenggorokan, atau pemeriksaan
(assay) untuk mendeteksi keberadaan toksin yang dihasilkan oleh bakteri. Pada pemeriksaan
darah terdapat penurunan kadar hemoglobin, jumlah eritrosit dan albumin, serta leukositosis
poiimorfonukleus. Pada pemeriksaan urin terdapat albuminuria ringan. Selain itu, perlu
dilakukan pemeriksaan EKG.

Uji Schick dilakukan untuk mengetahui kekebalan terhadap penyakit difteri. Cara
melakukan uji Schick yaitu dengan menyuntikkan 1/50 minimum lethal dose (MLD) sebanyak
0,02 mL secara intrakutan. Uji Schick dikatakan positif apabila terdapat indurasi >10 mm
berwarna merah kecokelatan selama 24 jam. Jika uji Schick positif, maka tubuh tidak
mempunyai kekebalan terhadap penyakit difteri atau tidak ada antitoksin dalam tubuh terhadap
penyakit difteri, sedangkan jika uji Schick negatif, maka tubuh mempunyai kekebalan terhadap
penyakit difteri. Jika tidak ada indurasi, maka nilai indurasi menjadi <10 mm.

Penatalaksanaan

Pasien perlu dirawat di ruang isolasi. Petugas harus memakai alat pelindung diri (APD) dengan
lengkap, mulai dari kepala, kacamata, masker, gaun rumah sakit (apron), dan sarung tangan.
APD harus bersih dan diganti setiap pergantian shift. Demikian juga penunggu atau keluarga
pasien juga harus memakai gaun rumah sakit untuk mencegah penularan di luar ruangan.
Ruangan tempat pasien dirawat harus disediakan tempat cuci tangan, disinfektan, sabun, dan lap
atau handuk. Alat makan bekas pasien dan baju harus direndam di tempat terpisah dengan
menggunakan disinfektan. Obat yang diberikan untuk mengatasi penyakit difteri yaitu
antidiphtheria serum (ADS), antibiotik, dan kortikosteroid. Pemberian ADS selama 2 hari
berturut-turut, dengan dosis 20.000 U/hari, tetapi sebelumnya harus dilakukan pemeriksaan
pasien, apakah ia peka terhadap serum atau tidak. Jika ternyata pasien peka terhadap serum,
maka harus dilakukan desensitisasi dengan cara bedreska (suatu cara pemberian serum anti-
difteri). Antibiotik yang sering digunakan untuk mengobati difteri yaitu penisilin prokain 50.000
U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas demam. Kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari yang dibagi dalam 4
dosis diberikan pada pasien yang menjalani trakeostomi. Pemberian kortikosteroid bertujuan
untuk mencegah terjadinya miokarditis yang sangat berbahaya. Obat yang diberikan yaitu
pradnison 2 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu. Jika terjadi sumbatan jalan napas berat, maka
perlu dilakukan trakeostomi. Lihat pada Tabel 7.1.

Pencegahan

Pemberian imunisasi DPT diberikan untuk mencegah terjadinya penyakit difteri. Mengisolasi
pasien yang terjangkit kuman difteri dapat dilakukan agar tidak menularkan ke orang lain. Pasien
yang sudah dinyatakan sembuh harus diperiksa apakah benar-benar sudah bebas dari kuman
Corynebacterium diphtheriae dengan pemeriksaan 2 kali berturut-turut apusan tenggorok.

TABEL 7.1 Pengobatan untuk Penyakit Difteri

Nama Obat Deskripsi


Antidiphtheria serum (ADS) Dosis: 20.000 U/hari
Pemberian: 2 hari berturut-turut
Pemeriksaan pendahuluan : periksa pasien
apakah ia peka terhadap serum atau tidak. Jika
ternyata pasien peka terhadap serum, maka
harus dilakukan desensitisasi dengan cara
bedrest (suatu cara pemberian serum
antidifteri)

Antibiotik Dosis: 50.000 U/kgBB/hari sampai 3 hari


 Penisilin bebas demam.
 Kloramfenikol Dosis: 75 mm/kgBB/hari yang dibagi dalam
dosis yang diberikan pada pasien yang
menjalani trakeostomi.

Kortikosteroid Bertujuan untuk mencegah terjadinya


 Prednison miokarditis yang sangat berbahaya.
Dosis: 2 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu.
Jika terjadi sumbatan jalan napas yang berat,
maka perlu dilakukan trakeostomi.

Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi karena hasil masuk ke jaringan atau oprgan ginjal, saluran pernapasan ,
jantung, dan saraf. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada table 7.2 .

TABEL 7.2 Komplikasi Difteri


Lokasi Komplikasi
Saluran pernapasan  Obstruksi jalan napas
 Bronkopnemuonia
 Atelectasis
 Upnea
Jantung  Miokarditis ( pada minggu kedua)
 Gagal jantung
Ginjal  Netritis interstisialis
Saraf  Neuritis
 Kelumpuhan atau paralisis pallatum mole sehingga
dapat terjadi rinolalia (suara senau)
 Tersedak dan sulit menelan
 Paralisis otot-otot mata
 Gangguan akomodasi
 Dilaktasi pupil (ptosis)
 Kelainan pada otot wajah, leher, anggota gerak, dan
yang paling berbahaya ketika mengenai otot-otot
pernapafan .

ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
Kaji keluhan anak saat ini, kaji riwaayat penyakit sekarang dan penyakit dahulu. Tanyakan pada
pasien apa saja yang di rasakan, sejak kapan sakitnya, apa saja tanda dan gejala awal sakitnya,
apa saja yang telah dilakukan untuk mengurangi sakitnya; apakah sebelumnya kontak dengan
pasien difteri; apakah tinggal di daerah endemic; apakah terdapat anggota keluarga yang
mengalami penyakit yang sama, apakah sebelumnya pasien pernah dirawat, sakit apa, dan berapa
lama.
Lakukan pemeriksaan fisik pada nasal, faring, laring dan tonsil. Pemeriksaan fisik
dilakukan dengan head to toe. Periksa apakah terdapat pseudomembran pada faring atau laring,
apakah terdapat kemerahan pada tenggorokan, apakah terdapat pembesaran kelenjar getah
bening di leher, dan apakah leher mengalami pembengkakan atau tidak.
DIAGNOSIS KEPERAWTAAN
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan adanya obstruksi jalan napas .
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan asupan yang tidak adekuat.
3. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi
4. Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan organisme virulen resiko kekurangan
volume cairan berhubungan dengan paningkatan metabolism dan asupan yang kurang.
INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnose keperawatan:
Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan adanya obstruksi jalan napas.
Kriteria Hasil: Jalan nafas anak efektif, pernapasan dalam batas normal sesuai usia anak dilihat
dari frekuensi, kedalaman, dan iramanya.
Intervensi:
1. Kaji keluhan pasien
2. Observasi status pernapasan anak, irama, frekuensi, kedalamanya, dan bunyi pernapasan.
3. Berikan posisi yang nyaman, posisi Fowler atau semi-Fowler untuk memudahkan
ekspansi paru.
4. Latihan batuk efektif.
5. Lakukan fisioterapi dada.
6. Lakukan pegisapan (suction) jika secret tidak dapat keluar dengan ara batuk efektif dan
fisioterapi dada.
7. Berikan oksigen sebelum dan sesudah dilakukan. (Marni, 2016)
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
EVALUASI KEPERAWATAN

Anda mungkin juga menyukai