Anda di halaman 1dari 5

Santri Menyikapi Globalisasi

Oleh : H. Abd. Hamid Wahid, M.Ag.

Suatu kenyataan sosial-budaya (globalisasi) yang sudah di pridiksi oleh banyak futurolog (ahli
tentang masa depan), kini telah benar-benar terwujud. Globalisasi atau dunia tanpa batas,
terutama dalam sekat-sekat wilayah (teritorial) dan komunikasi, telah manifes (tampak) dengan
kekuatan serba cepat dan serba canggih. Kecepatan dan kecanggihan kekuatan masyarakat
(manusia) abad ini, di dasarkan pada dua hal yang tak dapat di pisahkan, ketika diciptakan
sebagai seperangkat mekanik maupun strategi untuk mencapai tujuannya.

Tujuan yang dimaksud adalah, terciptanya suatu era baru secara mendunia yang tentu saja
membutuhkan berbagai syarat mendasar dan realistis. Era baru yang dimaksud, yaitu lahirnya
pasar ekonomi global atau pasar terbuka (global market). Di sebut pasar terbuka, disini karena
mengacu pada beberapa prinsip terbuka pula, termasuk pembentukan-pembentukan wilayah
(area bebas visa dan bebas bea-cukai) yang sering kita dengar dengan istilah “pasar bebas”, hal
mana yang sudah dipersiapkan untuk Asia adalah Asia Free Trade Area (AFTA), besar
kemungkinan beberapa tahun lagi akan diberlakukan.

Terkait dengan momentum-momentum yang bersifat internasional, di satu sisi merupakan


indikasi-indikasi kemajuan yang mendorong terciptanya kompetisi terbuka antar negara-negara
yang masing-masing memiliki karakter dan keberpihakan dengan persamaan wawasan strategis
jangka panjang maupun kepentingan jangka pendek. Di sisi lain merupakan ancaman (threat)
tertama bagi negara-negara yang masih (terus-menerus) mengalami krisis identitas, seperti kasus
Negara Palestina-Israel, India-Pakistan, Afganistan dan negara-negara kawasan teluk lainnya,
yang belum terukur hingga kapan mereka dapat keluar dari krisis.

Namun yang jelas, saat ini, selain dua kemungkinan positif dan persoalan-persoalan krisis
tersebut. Tampaknya, globalisasi terus berjalan begitu saja, seperti di bukanya kran informasi dan
komunikasi melalui jaringan internet dan jaringan selular lainnya, kian hari kian menemukan
konsumennya. Dan oleh berbagai pihak, kenyataan tersebut telah dirasakan fungsi atau
manfaatnya. Para Futurolog bilang: kenyataan ini susah kita tolak secara ekstrem, sebagaimana
kekhawatiran banyak negara yang masih berkembang, seperti akan memperkeruh; paradox atau
benturan-benturan antar peradaban maupun antar budaya (clash of civilizations and clash of
cultures). Melainkan yang bisa kita lakukan adalah reserve dan solusi terhadap masalah-masalah
baru yang diakibatkannya. Lebih dari itu, kita harus punya daya-cara baca maupun cara
membangun sikap kritis, tanpa berprasangka buruk terlebih dahulu, melainkan harus lebih
meningkatkan persiapan sumberdaya manusia (SDM) secara memadai, yang pada gilirannya bisa
dipastikan kita dapat mengambil/menciptakan pula peluang-peluang strategis itu sendiri.

Dalam konteks yang lebih mikro, pemahaman terhadap globalisasi ini, terkait dengan penataan
ruang-wilayah di Indonesia, yang menjadi infrastruktur paling signifikan untuk suatu
keberperanan masyarakat lokal dalam tatananan makro (global). Adalah masyarakat Pesantren
(santri), yang memiliki basis kultur dan tradisi yang sudah mengakar sejak lama. Oleh karena itu,
masyarakat Pesantren (santri) memiliki nilai lebih (urgensi) ke depan, untuk dapat merespon
secara positif, dengan segi pemahaman-pemahaman yang memiliki arah yang jelas.
Yang menjadi pertanyaan kini adalah, bagaimanakah pesantren (santri) meletakkan posisinya
pada perkembangan di dalam Milenium III [1] di mana situasi persaingan global akan semakin
kompleks dan batas-batas global, seperti batas teritorial, negara, bangsa, dan budaya seakan-akan
lenyap. Dalam tatanan dunia baru tersebut, para kapitalis global yang liberal akan mengerumuni
suatu kawasan di dalam dusun global ketika mereka membayangkan sebuah keuntungan besar,
dan mereka akan segera angkat kaki ketika tidak ada lagi sesuatu yang dapat diharapkannya di
sana. Mereka tak ubahnya seperti kaum nomad di masa lalu, yang merasa tidak memerlukan
batas teritorial, batasnegara, atau batas kebudayaan.

Jacques Attali di dalam bukunya Millenium (1997), mengatakan bahwa di dalam sejarahnya,
dunia pernah dikuasai oleh setidak-tidaknya tiga bentuk kekuatan. Pertama, kekuatan agama
yang dibangun terutama berdasarkan prinsip kedamaian. Kedua, adalah kekuatan militer, yang
dibangun berdasarkan prinsip kekuasaan. Ketiga, adalah kekuatan pasar, yang dibangun terutama
berdasarkan prinsip keuntungan. Menurutnya, dalam pertarungan di era global ini kekuatan pasar
pada akhirnya akan tetap menjadi pemenangnya. Asumsi di atas barangkali ada benarnya
walaupun tidak seluruhnya tepat, karena di era global di milenium ke tiga, yang dalam hitungan
waktu, baru akan dimulai 1 Januari 2001 nanti, pada hakikatnya adalah mendunianya persaingan
bebas yang didasarkan pada penguasaan kapital. Runtuhnya ideologi komunis di awal 1990-an
sesungguhnya adalah naiknya kapitalisme ke panggung dunia dalam format yang diperbaharui.

Sementara di satu sisi, justeru menurut beberapa futrolog lain, semisal John Naisbit dalam
Megatrend 2000 (1996), justeru munculnya pola global akan juga menimbulkan kebangkitan
agama pada milenium ke tiga, sebagai respon bagi kejenuhan dan kekeringan spiritual manusia.
Artinya bahwa dalam kegalauan manusia melakukan persaingan yang keras di gelanggang pasar,
aspek spiritualitas agama mempunyai peran untuk mengendalikan dan menyuburkan kembali
nilai-nilai kemanusiaan yang terdistorsi. Globalisasi dalam bidang ekonomi tersebut akhirnya
akan merambah kepada bidang-bidang lain seperti kebudayaan, politik, ideologi, dan lain-lain.
Bahkan juga dalam beberapa sektor, globalisasi telah mendahului percepatan laju globalisasi
ekonomi. Di dalam teknologi informasi misalnya, sekarang kita telah melihat bahwa teknologi
komputer dengan dunia maya-nya (cyber space) di Internet, telah membentuk suatu komunitas
manusia tersendiri yang telah lepas dari sekat-sekat negara dan batas-batas geografis, di mana
informasi dari belahan dunia manapun dapat sampai ke belahan dunia lainnya dalam waktu
segera informasi tersebut dimasukkan ke internet.Sungguhpun tantangan terbesar adalah
tantangan globalisasi ekonomi, akan tetapi untuk mampu mempertahankan eksistensinya suatu
negara atau masyarakat tentunya bukan hanya sektor-sektor ekonomi dan pelaku pasar saja yang
aktif. Akan tetapi peran serta seluruh komponen masyarakat dan bangsa sangat diperlukan.
Bahkan menurut Peter F Drucker (1998) dan Frans Magnis Suseno, globalisasi dianggap hanya
dapat dikuasai apabila civil society, lewat LSM dan sebagainya, memainkan peranan lebih besar.
(Kompas Online 16 Maret 1998 dan Opini Kompas Cyber Media 15 April 1999).

Peranan seluruh komponen masyarakat yang dimaksud diatas adalah bagaimana kita mampu
meletakkan diri kita untuk memiliki (a) daya tahan dalam percaturan global tersebut dan (b)
kemampuan untuk berkompetisi dalam tatanan tersebut. Kedua hal diatas tentunya sangat erat
kaitannya dengan kwalitas sumber daya manusia untuk memiliki wawasan dan informasi
perkembagan global dalam segala aspeknya, pengetahuan yang luas dan memadai didalam
bidang yang ditekuni dan sekaligus juga keterampilan (Skill) yang didasarkan pada wawasan dan
pengetahuan diatas.
Pesantren (santri) sebagai institusi yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan dengan
watak dan karakter yag akomodatif dengan budaya lokal serta karakter religiusnya,
sesungguhnya mempunyai peluang peran yang sangat vital dalam perkembangan globalisasi di
millenium III kini. Hal ini sekurang-kurangnya karena tiga hal:

1. Pesantren selama ini bergerak untuk memberdayakan masyarakat sipil (civil society)
khususnya di dalam mempersiapkan peningkatan kualitasnya melalui jalur-jalur pendidikan
secara formal maupun non formal termasuk juga melakukan penyiapan kader-lader pemimpin
masyarakat. Hal ini memberikan peluang yang besar bagi keberperanan NU karena sektor
pemberdayaan SDM yang ditekuni oleh NU dan pesantren adalah merupakan sektor primadona
bagi kemampuan suatu bangsa untuk memiliki daya tahan dan daya saing yang baik dalam
menghadapi globalisasi;

2. Karakter keagamaan sebagai watak dasar NU dan pesantren, memberikan peluang yang besar
terhadap keberperanan keduanya karena sebagaimana dinyatakan oleh Naisbitt dalam Megatrend
2000 (1990), keagamaan justeru akan semakin mengalami perkuatan nantinya sebagai kebutuhan
masyarakat global ;

3. Kelekatan karakter budaya lokal dengan NU dan pesantren. Peluang dalam hal ini muncul
karena justeru semakin dunia menyatu dalam kesatuan global, justeru warna dan karakter lokal
akan semakin menguat dan manusia-manusia di belahan dunia akan semakin memperhatikan
untuk mempertahankan ciri lokalitasnya. (John Nisbit, dalam Global Paradox, 1994)

Sungguhpun demikian, tentunya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pesantren (santri)
dalam kaitan milenium III dalam kerangka melakukan percepatan pembangunan kualitas SDM
warganya antara lain dengan penyelarasan antara struktur dan kultur, profesionalitas dan
spesialisasi, serta pengembangan wacana.
Pengembangan wacana yang dimaksud adalah, pengembangan wacana fiqh sebagai wacana yang
dominan mewarnai dan membentuk pola pemikiran NU pesantren. Sebagaimana kita ketahui, di
dalam khazanah wacana NU dan pesantren, kitab fiqh mempunyai peran kunci dan kadar
penguasaan tingkat kitab fiqh tertentu “berfungsi” menentukan tingkat/derajat penguasaan
keagamaan seseorang, sementara disiplin ilmu-ilmu keagamaan lain seperti aqidah dan lain-lain
menjadi pelengkap atau penunjang. Pada perkembangannya, fiqh yang ada sekarang
sesungguhnya telah mengalami reduksi yang sangat drastis. Lebih-lebih apabila dikembalikan
kepada masa Nabi, kata fiqh pada saat itu adalah berarti penguasaan terhadap seluruh ajaran
agama sehingga seorang faqih sangat terpuji karena telah menguasai semua ajaran agama secara
mendalam, seperti terlihat dalam sabda Nabi yang artinya: “Barangsiapa dikehendaki baik oleh
Allah, ia dijadikan orang yang menguasai pengertian yang sangat mendalam dalam ilmu agama.”
Begitu pula kata tafaqquhyang dimaksud dalam firman Allah yang menganjurkan sebagian dari
orang hendaknya melakukan tafaqquh fi al-Din yang artinya melakukan pendalaman dan
penguasaan terhadap ajaran agama.

Kemudian fiqh berkembang dan bidang-bidang kajian keagamaan ikut berkembang pula, maka
pada masa Abu Hanifah fiqh dibagi dua ada yang disebut al-Fiqh al-Akbar yang memuat
bahasan-bahasan tentang aqidah dan keimanan, adapula yang disebut al-Fiqh al-Ashghar yang
memuat kajian tentang hukum-hukum fiqh, seperti wujud fiqh pada masa sekarang, sedangkan
bidang kajian yang lain muncul dengan namanya sendiri seperti ilmu tasawuf, akhlak dan
sebagainya. Sangat disayangkan bahwa setelah fiqh berubah seperti yang dikemukakan di atas
yang berkembang sekarang hanyalah fqh dalam arti kedua, sedang dalam arti yang pertama dan
ilmu-ilmu lain yang berkembang pada masa abad I H. dan terutama pada masa keemasan Islam
yang waktu itu ragam bidang kajian keilmuan Islam sangat luas kesemuanya itu sudah tidak
diperhatikan lagi kecuali fiqh dalam arti yang disebut terakhir.

Maka keinginan untuk memperkaya wacana kitab kuning kiranya perlu mengembalikan bidang
kajian kitab kuning kepada bidang kajian yang sangat beraneka ragam pada masa abad pertama
dan masa keemasan Islam yang sempat memunculkan ilmuwan-ilmuwan dalam berbagai bidang
dan tidak sedikit menyumbangkan hasil kajiannya dalam perkembangan ilmu pengetahuan pada
umumnya, sehingga fiqh tidak seperti yang ada sekarang dan dikaji di pesantren di mana hanya
direduksi hanya kitab-kitab madzhab Syafi’i [2] dan hal itu kurang lebih hanya terbatas pada
tradisi kajian terhadap matan (teks karya asal), mukhtashar (summary, ringkasan), syarh
(komentar) dan hasyiyah (komentar yang lebih luas terhadap syarh) di dalam madzhab Syafi’i.
Reduksi tersebut lebih-lebih dijustifikasi dengan hadirnya pembatasan terhadap kitab-kitab yang
boleh dibaca karena kualifikasinya memenuhi syarat (mu’tabarah) yang sampai saat ini belum
jelas rujukan kriteria ataupun sumber munculnya pembatasan tersebut.

Model dan tradisi yang berkembang ini tentunya membiasakan kalangan pesantren untuk
terfokus pada pemahaman teks dan pengembangan pemahaman teks fiqh dalam kitab-kitab
kuning. Sedangkan bagaimana aplikasi pemahaman tersebut dalam realitas empirik, dan
keutuhan perpektif permasalahan dari sudut selain fiqh tentunya menjadi permasalahan tersendiri
yang selama ini belum mendapat perhatian. Ini misalnya terlihat di dalam tradisi kajian yang
sangat berkembang di pesantren selama ini, di mana pengkajian masalah yang bahkan dilakukan
secara kolektif di dalam sebuah forum (bahtsul masa’il) adalah sekedar mencari rujukan tekstual
bagi kasus yang ditemui.

Di era tahun 1980-an akhir dan era 1990-an ini sesungguhnya telah ada upaya-upaya termasuk
dari sebagian kalangan pesantren (santri) sendiri, termasuk NU untuk melihat permasalahan-
permasalahan yang muncul ke permukaan tidak sekedar dengan perspektif fiqh, tetapi dengan
dimensi-dimensi lain seperti dimensi teologis, politis, ekonomis, dan historis, bahkan dengan
meminjam wacana yang selama ini oleh kaum pesantren dianggap masuk dalam kategori “ilmu
umum” seperti sosiologi, psikologi dan ilmu kedokteran. Akan tetapi tradisi ini belum dapat
tersosialisasi secara merata kepada seluruh kalangan pesantren dan bahkan cenderung untuk
tabayyun (klarifikasi) di dalam sesuatu masalah yang membutuhkan dukungan disiplin ilmu lain
selain fiqh, sedang pembahasannya masih tetap dalam konteks fiqh, antara lain seperti hukum
bursa efek, operasi ganti kelamin, penggunaan kontrasepsi, hukum kepala negara wanita,
euthanasia, dan lain-lain.

Pada era yang sama, pemahaman pintu ijtihad yang selama ini dianggap tertutup di kalangan
pesantren juga telah mengalami perkembangan dengan melakukan langkah-langkah yang masuk
dalam koridor ijtihad seperti taqlid manhaji (mengikuti suatu imam dengan menggunakan
metode serta instrumen ijtihad dari imam tersebut), men-tarjih beberapa pendapat yang ada baik
di dalam suatu lingkup pendapat imam tertentu yang ini memerlukan pengerahan kemampuan
pikiran semacam ijtihad dalam tingkat permulaan (ijtihad bi al-madzhab), bahkan yang sudah
dilakukan NU di dalam salah satu MUNAS-nya telah memutuskan sistem pengambilan
keputusan secara manhaji sekalipun hampir belum pernah digunakan apalagi disosialisasikan di
kalangan pesantren-pesantren NU.

Hal terpenting dalam perkuatan wacana kitab kuning di pesantren dan NU adalah pengembangan
lingkup kajian dengan tidak hanya memfokuskan pada wacana fiqh dan memperluas pada
dimensi-dimensi wacana keislaman lainnya seperti yang terjadi pada masa keemasan Islam.
Tidak kalah pentingnya dengan hal tersebut di atas, adalah pengembalian metode-metode
pengajaran keilmuan yang dulu tidak monoton seperti yang menjadi kecenderungan di
lingkungan pondok pesantren dewasa ini.

Para ulama dahulu, di dalam menyampaikan ilmunya kepada santri menggunakan metode yang
bervariasi, yakni bandongan, weton, dan sorogan yang sekarang, nama-nama tersebut masih
tetap menjadi sebutan di lingkungan pondok pesantren yang pelaksanaannya hanya yang pertama
saja, yakni bandongan. Ini berakibat hilangnya dorongan terhadap tingkat kreatif dan sikap kritis
dari para santri karena pengaliran ilmu dari kiai ke murid hanya berjalan sepihak. Padahal,
apabila digunakan sorogan santri lebih aktif dan sikap kritis mereka lebih berkembang. Imam
Syafi’i sendiri dalam penyampaian ilmunya sering dilakukan dengan mendialogkan materi
bahasan dengan muridnya seperti yang terjadi terhadap santrinya bernama Rabi’.
Memang pada beberapa pesantren diadakan klub musyawarah santri sebagai wahana untuk
mendiskusikan pelajaran yang telah diberikan oleh kiai untuk lebih menguasai dan memperkaya
materi yang telah diberikan oleh kiai pada saat mengaji, namun ini hanya ada di beberapa
pesantren dan nampaknya kurang efektif dan tidak efisien, sehingga memerlukan waktu yang
berlama-lama bagi penguasaan sesuatu kitab tertentu.

Disamping itu, praktik penerapan kurikulum pesantren yang selama ini lebih mengacu pada
kitab, juga perlu mendapat perhatian, misalnya dengan membuat kurikulum yang mengaju pada
tema bahasan (maudlu’).
Paiton 25 Mei 2002

Penulis,

Keterangan
[1] Milenium: satuan waktu 1000 tahun
[2] Ini barangkali erat kaitannya dengan perkembangan munculnya perkuatan madzhab oleh
penganut-penganutnya di Timur Tengah, sebagai kiblat perkembangan Islam Indonesia, pada
sekitar abad III H. dengan munculnya madrasah-madrasah di bidang madzhab tertentu seperti
madrasah Uhadiyah Tsuna’iyah tsulatsiyah dan ruba’iyah (madrasah yang mengkaji satu, dua,
tiga, atau empat madzhab).

Anda mungkin juga menyukai