Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 KONSEP NYERI


Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang
tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau
suatukeadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan.Berdasarkan batasan tersebut
di atas, terdapat dua asumsi perihal nyeri, yaitu :
 Pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang
tidak menyenangkan, berkaitan dengan pengalaman emosional
menyusuladanya kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception).
Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri akut.
 Kedua, bahwa perasaan yang sama dapat juga terjadi tanpa disertai
dengan kerusakan jaringan yang nyata (pain without nociception).
Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri kronis.
Nyeri, selain menimbulkan penderitaan, juga berfungsi sebagai mekanisme
proteksi, defensif dan penunjang diagnostik. Sebagai mekanisme proteksi,
sensibel nyeri memungkinkan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu trauma
atau penyebab nyeri sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan jaringan
tubuh. Sebagai mekanisme defensif, memungkinkan untuk immobilsasi organ
tubuh yang mengalami inflamasi atau patah sehingga sensibel yang dirasakan
akan mereda dan bisa mempercepat penyembuhan. Nyeri juga dapat berperan
sebagai penuntun diagnostik, karena denganadanya nyeri pada daerah tertentu,
proses yang terjadi pada seorang pasien dapat diketahui, misalnya, nyeri yang
dirasakan oleh seorang pada daerah perut kanan bawah, kemungkinan pasien
tersebut menderita radang usus buntu. Contoh lain misalnya seorang ibu hamil
cukup bulan, mengalami rasa nyeri di daerah perut,kemungkinan merupakan tanda
bahwa proses persalinan sudah dimulai.
Pada penderita kanke stadium lanjut, apabila penyakitnya sudah menyebar ke
berbagai jarngan tubuh seperti misalnya ke dalam tulang, nyeri yang dirasakannya
tidak lagi berperan sebagai mekanisme proteksi, defensif atau diagnostik, tetapi
akan menambah penderitaanya semakin berat.
Penatalaksaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangaan yang
mengakibatkan penderitaan yang sangat berat bagi pasien, padahakikatnya tidak
saja tertuju pada usaha untuk mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu,
melainkan bermaksud menjangkau mutu kehidupan pasien, sehingga ia dapat
menikmati kehidupan yang normal dalam keluarga maupun lingkungannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI NYERI


Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain
(IASP, 1979) adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan
dimana berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan
jaringan. Sebagai mana diketahui bahwa nyeri tidaklah selalu berhubungan
dengan derajat kerusakan jaringan yang dijumpai. Namun nyeri bersifat
individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang kultural, umur dan jenis
kelamin.
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung
syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis
reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak
bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat
dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus),
somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang
berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari
daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan
kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :

a) Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila
penyebab nyeri dihilangkan.
b) Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan
sulit dilokalisasi.

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang


terdapat padatulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga
lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri
yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organviseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang
timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi
sangat sensitif terhadap penekanan,iskemia dan inflamasi.

Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Control Theory)


Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana
nosireseptor dapatmenghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai
teori yang mencobamenjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori
gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007). Teori gate
control dari Melzack dan Wall (1965)mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat
diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan disepanjang sistem saraf pusat.
Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saatsebuah pertahanan
dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup
pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden
dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan
substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme
pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal,
yang lebih cepat yang melepaskanneurotransmiter penghambat. Apabila masukan
yang dominan berasal dari serabut beta-A,maka akan menutup mekanisme
pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat
menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan
akanmenstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari
serabut delta Adan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien
mempersepsikan sensasinyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak,
terdapat pusat kortek yang lebih tinggidi otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf
desenden melepaskan opiat endogen, sepertiendorfin dan dinorfin, suatu
pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup
mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P.
tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk
melepaskan endorfin(Potter, 2005)

Respon fisiologis terhadap nyeri


a.Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
i.Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
ii.Peningkatan heart rate
iii.Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
iv.Peningkatan nilai gula darah
v.Diaphoresis
vi.Peningkatan kekuatan otot
vii.Dilatasi pupil
viii.Penurunan motilitas GI
b.Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
i.Muka pucat
ii.Otot mengeras
iii.Penurunan HR dan BP
iv.Nafas cepat dan irreguler
v.Nausea dan vomitus
vi.Kelelahan dan keletihan

Respon tingkah laku terhadap nyeri


c) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
d) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas,
Mendengkur)
e) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
f) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan
gerakan jari &tangan
g) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari
percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian,
Fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri)

Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi


sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau
menjadi kronis. Nyeridapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu
letih untuk merintih ataumenangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat.
Pasien dapat tampak rileks danterlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir
dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
a.Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini
bisamempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang
belajar tentangnyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran
perawat dalam fase inisangat penting, terutama dalam memberikan
informasi pada klien.

b. Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)


Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat
subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda.
Toleraransi terhadap nyeri jugaakan berbeda antara satu orang dengan
orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri
tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil,sebaliknya orang yang
toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan
stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri
mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi
terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum
nyeri datang.Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan
bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang
sama. Kadar endorfin berbedatiap individu, individu dengan endorfin
tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin
merasakan nyeri lebih besar.Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan
berbagai jalan, mulai dari ekspresiwajah, vokalisasi dan gerakan tubuh.
Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk
mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawatharus
melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan
nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu
tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan
bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara
efektif.

c.Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)


Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien
masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis,
sehinggadimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila
klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath)
dapat menjadi masalah sehatan yang berat. Perawat berperan dalam
membantu memperoleh kontrol diriuntuk meminimalkan rasa takut akan
kemungkinan nyeri berulang.

2.2 KLASIFIKASI NYERI


Nyeri dapat digolongkan dalam berbagai cara, yaitu :
1. Menurut Jenisnya : nyeri nosiseptik, nyeri neurogenik, dan
nyeri
psikogenik.
2. Menurut timbulnya nyeri : nyeri akut dan nyeri kronis.
3. Menurut penyebabnya : nyeri onkologik dan nyeri non onkologik.
4. Menurut derajat nyerinya : nyeri ringan, sedang dan berat.

Menurut timbulnya nyeri:


Nyeri akut
Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cidera atau
intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas
bervariasi dari berat sampai ringan. Nyeri ini terkadang bisa
hilang sendiri tanpa adanya intervensi medis, setelah keadaan pulih
pada area yang rusak. Apabila nyeri akut ini muncul, biasanya tenaga
kesehatan sangat agresif untuk segeramenghilangkan nyeri. Misalnya
nyeri pasca bedah.
Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang
menetap sepanjang suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas
bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri ini
disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol, karena pengobatan kanker
tersebut atau karena gangguan progresif lain. Nyeri ini bisa berlangsung
terus sampai kematian. Pada nyeri kronik, tenaga kesehatan tidak seagresif
pada nyeri akut. Klien yang mengalami nyeri kronik akan mengalami
periode remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi
(keparahan meningkat). Nyeri ini biasanya tidak memberikan respon
terhadap pengobatan yang diarahkan pada

2.3 Faktor yang mempengaruhi respon nyeri


1) Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji
respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika
sudah patologisdan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung
memendam nyeri yangdialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah
hal alamiah yang harus dijalanidan mereka takut kalau mengalami
penyakit berat atau meninggal jika nyeridiperiksakan.
2) Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara
signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya
(ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh
nyeri).
3) Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon
terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan
bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan
kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4) Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan
dan bagaimana mengatasinya.
5) Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang
meningkat dihubungkan dengannyeri yang meningkat, sedangkan upaya
distraksi dihubungkan dengan respon nyeriyang menurun. Teknik
relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
6) Anxietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan
seseorangcemas.
7) Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat
ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya.
Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di
masa lalu dalam mengatasinyeri.
8) Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan
sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang
mengatasi nyeri.
9) Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota
keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan.

2.3 Fisiologi Nyeri

Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu nosisepsi,


sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik,
reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera jaringan
dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri : tranduksi,
transmisi, modulasi, dan persepsi. Transduksi adalah suatu proses dimana akhiran
saraf aferen menerjemahkan stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls
nosiseptif.

Ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu serabut A-beta, A-
delta, dan C. Serabut yang berespon secara maksimal terhadap stimulasi non
noksius dikelompokkan sebagai serabut penghantar nyeri, atau nosiseptor. Serabut
ini adalah A-delta dan C. Silent nociceptor, juga terlibat dalam proses transduksi,
merupakan serabut saraf aferen yang tidak bersepon terhadap stimulasi eksternal
tanpa adanya mediator inflamasi.

Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju kornu dorsalis
medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju otak. Neuron aferen
primer merupakan pengirim dan penerima aktif dari sinyal elektrik dan kimiawi.
Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medula spinalis dan selanjutnya
berhubungan dengan banyak neuron spinal.

Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related neural
signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula spinalis, dan
mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor opioid seperti mu,
kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem nosiseptif juga
mempunyai jalur desending berasal dari korteks frontalis, hipotalamus, dan area
otak lainnya ke otak tengah (midbrain) dan medula oblongata, selanjutnya menuju
medula spinalis. Hasil dari proses inhibisi desendens ini adalah penguatan, atau
bahkan penghambatan (blok) sinyal nosiseptif di kornu dorsalis.

Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi merupakan


hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi, aspek psikologis, dan
karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi
untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor
nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap
stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga
Nociseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri (nociseptor) ada yang bermiyelin dan
ada juga yang tidak bermiyelin dari syaraf aferen. (Anas Tamsuri, 2006)
2.5 Jalur Nyeri di Sistem Syaraf Pusat

Jalur Asenden

Serabut saraf C dan A delta halus, yang masing-masing membawa


nyeri akut tajam dan kronik lambat, bersinap disubstansia gelatinosa kornu
dorsalis, memotong medula spinalis dan naik ke otak di cabang
neospinotalamikus atau cabang paleospinotalamikus traktus spino
talamikus anterolateralis. Traktus neospinotalamikus yang terutama
diaktifkan oleh aferen perifer A delta, bersinap di nukleus ventropostero
lateralis (VPN) talamus dan melanjutkan diri secara langsung ke kortek
somato sensorik girus pasca sentralis, tempat nyeri dipersepsikan sebagai
sensasi yang tajam dan berbatas tegas. Cabang paleospinotalamikus, yang
terutama diaktifkan oleh aferen perifer serabt saraf C adalah suatu jalur
difus yang mengirim kolateral-kolateral ke formatio retikularis batang otak
dan struktur lain. Serat-serat ini mempengaruhi hipotalamus dan sistem
limbik serta kortek serebri (Price A. Sylvia,2006).

Jalur Desenden
Salah satu jalur desenden yang telah di identifikasi adalah mencakup 3
komponen yaitu :
a. Bagian pertama adalah substansia grisea periaquaductus (PAG )
dan substansia grisea periventrikel mesenssefalon dan pons bagian atas
yang mengelilingi aquaductus Sylvius.
b. Neuron-neuron di daerah satu mengirim impuls ke nukleus
ravemaknus (NRM) yang terletak di pons bagian bawah dan medula
oblongata bagian atas dan nukleus retikularis paragigantoselularis
(PGL) di medula lateralis.
c. Impuls ditransmisikan ke bawah menuju kolumna dorsalis medula
spinalis ke suatu komplek inhibitorik nyeri yang terletak di kornu
dorsalis medula spinalis (Price A. Sylvia,2006).

Transmisi Nyeri
Terdapat beberapa teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosiseptor
dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang
mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali
nyeri dianggap paling relevan. (Hartwig & Wilson, 2005)

a. Teori Spesivisitas (Specivity Theory)


Teori ini digambarkan oleh Descartes pada abad ke 17. teori ini didasarkan pada
kepercayaan bahwa terdapat organ tubuh yang secara khusus mentransmisi rasa
nyeri. Syaraf ini diyakini dapat menerima rangsangan nyeri dan
mentransmisikannya melalui ujung dorsal dan substansia gelatinosa ke talamus,
yang akhirnya akan dihantarkan pada daerah yang lebih tinggi sehingga timbul
respon nyeri. Teori ini tidak menjelaskan bagaimana faktor-faktor multi
dimensional dapat mempengaruhi nyeri. (Hartwig & Wilson, 2005)
b. Teori Pola (Pattern Theory)
Teori ini menerangkan bahwa ada dua serabut nyeri yaitu serabut yang
mampu menghantarkan rangsang dengan cepat dan serabut yang mampu
menghantarkan dengan lambat. Dua serabut syaraf tersebut bersinaps pada medula
spinalis dan meneruskan informasi ke otak mengenai sejumlah intensitas dan tipe
input sensori nyeri yang menafsirkan karakter dan kualitas input sensasi nyeri.
(Hartwig & Wilson, 2005)
c. Teori Gerbang Kendali Nyeri ( Gate Control Theory )
Tahun 1959 Milzack dan Wall menjelaskan teori gerbang kendali nyeri,
yang menyatakan terdapat semacam pintu gerbang yang dapat memfasilitasi
transmisi sinyal nyeri. (Hartwig & Wilson, 2005) Gate Control Theory merupakan
model modulasi nyeri yang populer. Teori ini menyatakan eksistensi dari
kemampuan endogen untuk mengurangi dan meningkatkan derajat perasaan nyeri
melalui modulasi impuls yang masuk pada kornu dorsalis melalui “gate”
(gerbang). Berdasarkan sinyal dari sistem asendens dan desendens maka input
akan ditimbang. Integrasi semua input dari neuron sensorik, yaitu pada level
medulla spinalis yang sesuai, dan ketentuan apakah gate akan menutup atau
membuka, akan meningkatkan atau mengurangi intensitas nyeri asendens. Gate
Control Theory ini mengakomodir variabel psikologis dalam persepsi nyeri,
termasuk motivasi untuk bebas dari nyeri, dan peranan pikiran, emosi, dan reaksi
stress dalam meningkatkan atau menurunkan sensasi nyeri. Melalui model ini,
dapat dimengerti bahwa nyeri dapat dikontrol oleh manipulasi farmakologis
maupun intervensi psikologis (painedu.org, 2008).
Patofisiologi Nyeri secara Umum Rangsangan nyeri diterima oleh
nociceptors pada kulit bisa intesitas tinggi maupun rendah seperti perennggangan
dan suhu serta oleh lesi jaringan. Sel yang mengalami nekrotik akan merilis K +
dan protein intraseluler . Peningkatan kadar K + ekstraseluler akan menyebabkan
depolarisasi nociceptor, sedangkan protein pada beberapa keadaan akan
menginfiltrasi mikroorganisme sehingga menyebabkan peradangan / inflamasi.
Akibatnya, mediator nyeri dilepaskan seperti leukotrien, prostaglandin E2, dan
histamin yang akan merangasng nosiseptor sehingga rangsangan berbahaya dan
tidak berbahaya dapat menyebabkan nyeri (hiperalgesia atau allodynia). Selain itu
lesi juga mengaktifkan faktor pembekuan darah sehingga bradikinin dan serotonin
akan terstimulasi dan merangsang nosiseptor. Jika terjadi oklusi pembuluh darah
maka akan terjadi iskemia yang akan menyebabkan akumulasi K + ekstraseluler
dan H + yang selanjutnya mengaktifkan nosiseptor. Histamin, bradikinin, dan
prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator dan meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema lokal, tekanan jaringan meningkat
dan juga terjadi Perangsangan nosisepto.

Bila nosiseptor terangsang maka mereka melepaskan substansi peptida P


(SP) dan kalsitonin gen terkait peptida (CGRP), yang akan merangsang proses
inflamasi dan juga menghasilkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah. Vasokonstriksi (oleh serotonin), diikuti oleh vasodilatasi,
mungkin juga bertanggung jawab untuk serangan migrain . Peransangan
nosiseptor inilah yang menyebabkan nyeri. (Silbernagl & Lang, 2000) Untuk lebih
jelasnya lihat gambar dibawa ini .

Neuroregulator

Nyeri Neuroregulator atau substansi yang berperan dalam transmisi stimulus saraf
dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu neurotransmitter dan neuromodulator.
Neurotransmitter mengirimkan impuls-impuls elektrik melewati rongga sinaps
antara dua serabut saraf, dan dapat bersifat sebagai penghambat atau dapat pula
mengeksitasi. Sedangkan neuromodulator dipercaya bekerja secra tidak langsung
dengan meningkatkan atau menurunkan efek partokular neurotransmitter. (Anas
Tamsuri, 2006) Beberapa neuroregulator yang berperan dalam penghantaran
impuls nyeri antara lain adalah:

1. Neurotransmiter
a. Substansi P (Peptida)
Ditemukan pada neuron nyeri di kornu dorsalis (peptide eksitator)
berfungsi untuk menstranmisi impuls nyeri dari perifer ke otak dan dapat
menyebabkan vasodilatasi dan edema.
b. Serotonin
Dilepaskan oleh batang otak dan kornu dorsalis untuk menghambat
transmisi nyeri.
c. Prostaglandin
Dibangkitkan dari pemecahan pospolipid di membran sel dipercaya dapat
meningkatkan sensitivitas terhadap sel.
2. Neuromodulator
a. Endorfin (morfin endogen)
Merupakan substansi sejenis morfin yang disuplai oleh tubuh. Diaktivasi
oleh daya stress dan nyeri. Terdapat pada otak, spinal, dan traktus
gastrointestinal. Berfungsi memberi efek analgesik
b. Bradikinin
Dilepaskan dari plasma dan pecah disekitar pembuluh darah pada daerah
yang mengalami cedera. Bekerja pada reseptor saraf perifer, menyebabkan
peningkatan stimulus nyeri. Bekerja pada sel, menyebabkan reaksi
berantai sehingga terjadi pelepasan prostaglandin.

2.3 Penilaian Intensitas Nyeri


Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri
dirasakan olehindividu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan
individual dan kemungkinan nyeridalam intensitas yang sama dirasakan
sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda.
Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah
menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun,
pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran
pasti tentang nyeri itu sendiri(Tamsuri, 2007).

Menurut Smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :

1. Skala intensitas nyeri deskritif


2. Skala identitas nyeri numerik
3. Skala analog visual
4. Skala nyeri menurut Bourbanis
Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan
baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi
nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih
posisi nafas panjang dan distraksi.
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.

Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau


intensitasnyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri
sebagai yang ringan,sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda
bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk
dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang
lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS )
merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang
tersusun dengan jarak yang sama disepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking
dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat
menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas
nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri
terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak
menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk
mendeskripsikan nyeri. Skala penilaiannumerik (Numerical rating scales, NRS)
lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsikata. Dalam hal ini, klien
menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan
saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik.
Apabiladigunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10
cm (AHCPR,1992).

Skala analog visual (Visual analog scale VAS) tidak melebel subdivisi.
VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus
dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan
penuh untuk mengidentifikasikeparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran
keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik
pada rangkaian dari pada dipaksa memilihsatu kata atau satu angka (Potter, 2005)
BAB III
MANAJEMEN TERAPI NYERI AKUT

3.1 Manajemen Terapi Nyeri akut


The World Health Organisation Analgesic Ladder diperkenalkan untuk
meningkatkan penanganan nyeri pada pasien dengan kanker. Namun, formula ini
dapat juga dipakai untuk menangani nyeri akut karena memiliki strategi yang
logis untuk mengatasi nyeri.
Formulasi ini menunjukkan, pada nyeri akut, yang pertama kali diberikan
adalah Obat Anti- Inflamasi non steroid, Aspirin, atau Paracetamol yang
merupakan obat-obatan yang bekerja di perifer. Apabila dengan obat-obatan ini,
nyeri tidak dapat teratasi, makadiberikan obat-obatan golongan Opioid lemah
seperti kodein dan Dextropropoxyphene disertai dengan obat – obat lain untuk
meminimalisasi efek samping yang timbul. Apabila regimen initidak juga dapat
mencapai kontrol nyeri yang efektif, maka digunakanlah obat-obatangolongan
Opioid Kuat, misalnya Morfin.
World Federation of Societies of Anaesthesiologists (WFSA) Analgesic
Ladder telah dikembangkan untuk mengobati nyeri akut. Pada awalnya,nyeri
dapat dianggap sebagai keadaan yang berat sehingga perlu dikendalikan dengan
analgesik yang kuat. Anak tanggakedua pada WFSA Analgesic Ladder adalah
pemulihan penggunaan rute oral untuk memberikan analgesia. Opioid kuat tidak
lagi diperlukan dan analgesia yang memadai dapatdiperoleh dengan menggunakan
kombinasi dari obat-obat yang berkerja di perifer dan opioid lemah. Langkah
terakhir adalah ketika rasa sakit dapat dikontrol hanya dengan menggunakan obat-
obatan yang bekerja di perifer.

3.2 Pendekatan Farmakologik


Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-
step Analgesic Ladder. Tiga langkah tangga analgesik meurut WHO untuk
pengobatan nyeri itu terdiri dari :
1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat
analgesik
non opiat.
2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua,
yaitu ditambahkan obat opioid lemah misalnya kodein.
3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai
langkah ketiga, disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.
Pada dasarnya prinsip
Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri kronik
maupun nyeri akut, yaitu :
1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3.
2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-
2-1

3.2.1 Analgesik Non-Opioid


Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum digunakan
diseluruh dunia adalah aspirin, paracetamol, dan OAINS, yang merupakan
obat-obatan utama untuk nyeri ringan sampai sedang. Aspirin adalah
analgesik yang efektif dan tersedia secara luas di seluruh dunia. Obat ini
dikonsumsi per oral dan bekerja cepat karena segera dimetabolisme
menjadi asam salisilat yang memiliki sifat analgesik dan, mungkin, anti-
inflamasi. Dalam dosis terapeutik, asamsalisilat memiliki waktu paruh
hingga 4 jam. Eksresinya tergantung oleh dosis, sehinggadosis tinggi akan
mengakibatkan obat diekskresi lebih lambat. Durasi kerja aspirin
dapat berkurang apabila diberikan bersama-sama dengan antasida. Aspirin
memiliki efek samping yang cukup besar pada saluran pencernaan,
menyebabkan mual, gangguan dan perdarahan gastrointestinal akibat efek
antiplateletnyayang irreversibel. Karena alasan ini, penggunaan aspirin
untuk pain relief pascaoperasi harus dihindari apabila masih tersedia obat-
obatan alternatif lainnya. Aspirin juga memiliki keterkaitan epidemiologis
dengan Reye’s Syndrome dan harus dihindari untuk diberikan sebagai
analgesia pada anak-anak usia di bawah 12 tahun. Dosis berkisar dari
minimal 500mg, per oral, setiap 4 jam hingga maksimum 4g, per oral per
hari.
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) memiliki dua efek,
analgesik danantiinflamasi. Mekanisme kerjanya didominasi oleh inhibisi
sintesis prostaglandin oleh enzimcyclo-oxygenase yang mengkatalisa
konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin yang merupakan
mediator utama peradangan. Semua OAINS bekerja dengan cara yang
sama dan karenanya tidak ada gunanya memberi lebih dari satu OAINS
pada satu waktu. OAINS pada umumnya, lebih berguna bagi rasa sakit
yang timbul dari permukaan kulit, mukosa buccal,dan permukaan sendi
tulang.
Pilihan OAINS harus dibuat berdasarkan ketersediaan, biaya dan
lamanya tindakan. Jika rasa sakit tampaknya akan terus-menerus selama
jangka waktu yang panjang maka dipilih obat dengan waktu paruh yang
panjang dan efek klinis yang lama. Namun, obat-obatan kelompok ini
memiliki insiden tinggi untuk efek samping penggunaan jangka
panjangdan harus digunakan dengan hati-hati. Semua OAINS mempunyai
aktivitas antiplatelet sehingga mengakibatkan pemanjangan waktu
perdarahan. Obat-obatan ini juga menghambatsintesis prostaglandin dalam
mukosa lambung dan dengan demikian menghasilkan pendarahan
lambung sebagai efek samping.
Kontraindikasi relatif untuk penggunaan OAINS antara lain
adalah : setiap riwayat ulkus peptikum, perdarahan gastrointestinal;
operasi yang berhubungan dengan kehilangandarah yang banyak, asma,
gangguan ginjal sedang hingga berat, dehidrasi dan setiap riwayat
hipersensitif untuk OAINS atau aspirin. Ibuprofen merupakan obat pilihan
jika rute oral tersedia. Obat ini secara klinis efektif,murah dan memiliki
profil efek samping yang lebih rendah dibandingkan dengan OAINS
Ibuprofen merupakan obat pilihan jika rute oral tersedia. Obat ini secara
klinis efektif,murah dan memiliki profil efek samping yang lebih rendah
dibandingkan dengan OAINS lainnya. Alternatif lainnya adalah
diclofenak, naproxen, piroxicam, ketorolac, indometasindan asam
mefenamat. Apabila rute oral tidak tersedia obat dapat diberikan dengan
rute lainseperti supositoria, injeksi atau topikal. Aspirin dan sebagian besar
OAINS tersedia sebagai supositoria dan diserap dengan baik.

3.2.2 Analgesik Opioid


Opioid Lemah
Codeine adalah analgesik opioid lemah yang berasal dari opium alkaloid
(seperti morfin). Codeine kurang aktif daripada morfin, memiliki efek
yang dapat diprediksi biladiberikan secara oral dan efektif terhadap rasa
sakit ringan hingga sedang. Codeine dapat dikombinasikan dengan
parasetamol tetapi harus berhati-hati untuk tidak melampaui maksimum
dosis yang dianjurkan bila menggunakan kombinasi parasetamol
tablet.Dosis berkisar antara 15 mg - 60mg setiap 4 jam dengan maksimum
300mg setiap hari. Dextropropoxyphene secara struktural berkaitan
dengan metadon tetapi memiliki sifatanalgesik yang relatif miskin. Hal ini
sering dipasarkan dalam kombinasi dengan parasetamoldan kewaspadaan
yang sama seperti Codeine harus diawasi.Dosis berkisar dari 32.5mg
(dalam kombinasi dengan parasetamol) sampai 60mg setiap 4 jam dengan
maksimum 300mg setiap hari. Kombinasi opioid lemah dan obat-obatan
yang bekerja di perifer sangat berguna dalam prosedur pembedahan kecil
di mana rasa sakit yang berlebihan tidak diantisipasi sebelumnya atau
untuk rawat jalan digunakan:Parasetamol 500mg/codeine 8mg tablet. 2
tablet setiap 4 jam sampai maksimum 8 tablet perhari.Apabila analgesia
tidak mencukupi - Parasetamol 1g secara oral dengan Kodein 30 sampai
60mg setiap 4-6 per jam sampai maksimum 4 dosis dapat digunakan.

Opioid Kuat
Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral
membutuhkan Opioidkuat sebagai analgesianya. Perawatan yang tepat
dimulai dengan pemahaman yang benar tentang obat, rute pemberian dan
modus tindakan. Pemberian awal akan mencapai konsentrasi obat yang
efektif sehingga lebih mudah untuk mempertahankan tingkat
terapeutik obat di dalam darah.
Pemberian melalui rute oral mungkin tidak tersedia segera setelah
pembedahan. Jika fungsi gastrointestinal normal setelah operasi kecil atau
besar,maka analgesia kuat tidak diperlukan. Namun, rute oral mungkin
tersedia pada pasien yang telah sembuh dari pembedahan mayor sehingga
opioid kuat seperti morfin dapat digunakan karena morfinsangat efektif
per oral. Bila pasien tidak dapat mengkonsumsi obat melalui rute oral
cara pemberian lain harus dilakukan. Secara umum, analgesia yang efektif
dapat diberikan melalui suntikan.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi penyerapan obat. Mungkin
ada variasi yang besar dalam darah dan tingkat penyerapan opioid setelah
injeksi intramuskular. Ini mungkin dipengaruhi oleh gangguan hepatik
atau penyakit ginjal, usia yang ekstrim dan adanya terapiobat yang lain.
Kondisi apapun yang mengurangi aliran darah perifer dapat
mengganggu penyerapan obat dan dengan demikian, mengurangi suhu
tubuh, hipovolemia dan hipotensisemua ini akan mengakibatkan
menurunnya penyerapan dari situs injeksi. Hipotermia dan hipotiroidisme
keduanya menyebabkan penurunan metabolisme yang
menyebabkan peningkatan kepekaan terhadap obat-obatan.

Metode menggunakan obat opioid


Rute oral adalah yang paling banyak digunakan karena merupakan
rute yang palingdapat diterima oleh pasien. Kekurangan dari rute oral
untuk mengobati nyeri akut adalah bahwa penyerapan opioid dapat
berkurang akibat keterlambatan pengosongan lambung pascaoperasi. Mual
dan muntah dapat mencegah penyerapan obat-obatan yang diberikansecara
oral dan di samping itu,bioavailabilitas berkurang setelah metabolisme di
dinding ususdan hati. Jadi rute oral mungkin tidak cocok dalam banyak
kasus.
Rute sublingual menawarkan beberapa keuntungan teoritis
administrasi obat.Penyerapan terjadi langsung ke sirkulasi sistemik karena
tidak melewati metabolisme lintas pertama. Obat yang telah paling sering
digunakan oleh rute ini adalah buprenorfin yang cepat diserap dan
memiliki durasi kerja yang panjang (6 jam).Rute supositoria. Kebanyakan
analgesik opioid bergantung pada metabolisme jikadiberikan melalui
mulut.
Rute Suppositoria adalah alternatif yang berguna, terutama jika
terdapatnyeri berat yang disertai dengan mual dan muntah. Opioid dapat
diberikan dengan efektif melalui supositoria tetapi tidak ideal untuk terapi
segera nyeri akut karena bereaksi lambat dan kadang-kadang
penyerapannya tidak menentu, meskipun secara ideal cocok
untuk pemeliharaan analgesia. Rektal dosis untuk sebagian besar opioid
kuat adalah sekitar setengah yang dibutuhkan oleh rute oral. Ketersediaan
opioid untuk penggunaan rektal sangat bervariasi di seluruh dunia.
Rute intramuskular mewakili teknik yang optimal bagi negara
berkembang.Seperti yang dinyatakan sebelumnya, dengan metode ini efek
analgesia akan berhubungandengan banyak faktor. Sebuah cara sederhana
untuk mengatasi masalah ini adalah denganmelaksanakan analgesik secara
reguler setiap 4 jam. Bahkan, telah dibuktikan bahwa injeksi intramuskular
opioid dapat sebagus yang dari Patient Controlled Analgesia (PCA).
Untuk mencapai tingkat ini diperlukan penilaian anlagesia reguler,
pencatatan skor nyeri dan pengembangan algoritme pemberian analgesia,
tergantung dari tingkat nyeri.
Rute Intravena. Selama bertahun-tahun telah menjadi tindakan
yang umum untuk memberikan bolus opioid baik dalam durante operasi
dan pemulihan pasca-operasi untuk menghasilkan analgesia langsung.
Rute ini memiliki kelemahan fluktuasi produksikonsentrasi plasma obat
yang disuntikkan, meskipun bila dilakukan dengan hati-hati
injeksiintravena dapat meredakan nyeri dengan lebih cepat dari metode
lain. Namun secara umumteknik infus, baik oleh suntikan intermiten atau
dengan infus, tidak sesuai kecuali dalam pengawasan ketat dan berada
dalam unit terapi intensif karena secara inheren berbahaya jika pasien
dibiarkan tanpa pengawasan bahkan untuk periode singkat.

3.2.3 Antagonis dan agonis-antagonis opioid


Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid
dengan mengikat reseptor opioid dan menghambat pengaktifannya.
Nalokson, suatu antagonis opioid murni, menghilangkan analgesia dan
efek samping opioid. Nalokson digunakan untuk melawan efek kelebihan
dosis narkotik, yaitu yang paling serius adalah depresi nafas dan sedasi.
Obat opioid lain adalah kombinasi agonis dan anatagonis, seperti
pentazosin (talwin) dan butorfanol (stadol). Apabila diberikan kepada
pasien yang bergantung pada narkotik, maka obat-obat ini dapat memicu
gejala- gejala putus obat. Agonis-antagonis opioid adalah analgetik efektif
apabila diberikan tersendiri dan lebih kecil kemungkinannya
menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan (misalnya depresi
pernafasan) dibandingkan dengan antagonis opioid murni.
3.2.4 Adjuvan atau koanalgesik
Obat adjuvan atau koanalgetik adalah obat yang semula
dikembangkan untuk tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian
ditemukan memilki sifat analgetik atau efek komplementer dalam
penatalaksanaan pasien dengan nyeri. Sebagian dari obat ini sangat efektif
dalam mengendalikan nyeri neuropatik yang mungkin tidak
berespon terhadap opioid.
Anti kejang, seperti karbamazepin atau fenitoin (dilantin),
telah terbukti efektif untuk mengatasi nyeri menyayat yang
berkaitan dengan kerusakan saraf. Anti kejang ini efektif untuk nyeri
neuropatik karena obat golongan ini menstabilkan membran sel saraf dan
menekan respon akhir di saraf.
Antidepresan trisiklik, seperti amitriptilin atau imipramin,
adalah analgetik yang sangat efektif untuk nyeri neuropatik serta berbagai
penyakit lain yang menimbulkan nyeri. Aplikasi-aplikasi spesifik adalah
terapi untuk neuralgia pasca herpes, invasi struktur saraf karena
karsinoma, nyeri pasca bedah, dan artritis reumatoid. Pada pengobatan
untuk nyeri, antidepresan trisiklik tampaknya memiliki efek analgetik
yang independen dari aktivitas antidepresan.
Obat adjuvan lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah
hidroksizin (vistaril), yang memiliki efek analgetik pada beberapa
penyakit dan efek aditif apabila diberikan bersama morfin; pelemas otot
misalnya diazepam (valium), yang digunakan untuk mengobati
kejang otot yang berkaitan dengan nyeri; dan steroid misalnya
dexametason, yang telah digunakan untuk mengendalikan gejala
yang berkaitan dengan kompresi medula spinalis atau metastasis tulang
pada pasien kanker.
Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor adrenergik-
alfa (misalnya, agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara
intraspinal bersama dengan opioid atau anestetik lokal; obat ini juga
memiliki efek analgetik apabila diberikan secara sistemis karena
memulihkan respons adrenergik simpatis yang berlebihan di reseptor
sentral dan perifer. Antagonis alfa-1, prazosin, juga pernah digunakan
dalam penatalaksanaan nyeri yang disebabkan oleh sistem simpatis. Efek
samping utama dari obat-obat ini adalah hipotensi dan potensial depresi
pernafasan yang diinduksi oleh opioid.

3.3 Pendekatan Nonfarmakologik


Walaupun obat-obat analgesik sangat mudah diberikan, namun banyak
pasien dan dokter kurang puas dengan pemberian jangka panjang untuk nyeri
yang tidak terkait keganasan. Situasi ini mendorong dikembangkannya sejumlah
metode nonfarmakologik untuk mengatasi nyeri. Metode nonfarmakologik untuk
mengendalikan nyeri dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu terapi
dan modalitas fisik serta strategi kognitif-perilaku. Sebagian dari
modalitas ini mungkin berguna walaupun digunakan secara tersendiri atau
digunakan sebagai adjuvan dalam penatalaksanaan nyeri.
1. Terapi dan Modalitas Fisik
Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam
bentuk stimulasi kulit (pijat, stimulasi saraf dengan listrik transkutis,
akupuntur, aplikasi panas atau dingin, olahraga). Stimulasi kulit akan
merangsang serat- serat non-nosiseptif yang berdiameter besar untuk
“menutup gerbang” bagi serat-serat berdiameter kecil yang menghantarkan
nyeri sehingga nyeri dapat dikurangi. Dihipotesiskan bahwa stimulasi kulit
juga dapat menyebabkan tubuh mengeluarkan endorfin dan
neurotransmiter lainnya yang menghambat nyeri.
Salah satu strategi stimulasi kulit tertua dan paling sering
digunakan adalah pemijatan atau penggosokan. Pijat dapat dilakukan
dengan jumlah tekanan dan stimulasi yang bervariasi terhadap berbagai
titik diseluruh tubuh. Pijat akan melemaskan ketegangan otot dan
meningkatkan sirkulasi lokal. Pijat punggung memiliki efek relaksasi yang
kuat dan apabila dilakukan oleh individu yang penuh perhatian maka akan
menghasilkan efek emosional yang positif.
Stimulasi saraf dengan listrik melalui kulit (TENS atau TNS)
terdiri dari suatu alat yang digerakkan oleh batere yang mengirim impuls
listrik lemah melalui elektroda yang diletakkan di tubuh. Elektroda pada
umumnya diletakkan diatas atau dekat dengan bagian yang nyeri. TENS
digunakan untuk penatalaksanaan nyeri akut dan kronik; nyeri
pascaoperasi, nyeri punggung bawah, phantom limb pain, neuralgia
perifer dan artritis rematoid.
Akupuntur adalah teknik kuno dari cina berupa insersi jarum halus
ke dalam berbagai titik akupuntur di seluruh tubuh untuk meredakan nyeri.
Metode noninvasif lain untuk merangsang titik-titik pemicu adalah
memberi tekanan dengan ibu jari, suatu teknik yang disebut akupresur.
Range of motion (ROM) exercise (pasif, dibantu, atau aktif) dapat
digunakan untuk melemaskan otot, memperbaiki sirkulasi dan mencegah
nyeri yang berkaitan dengan kekakuan dan imobilitas.
Aplikasi panas adalah tindakan sederhana yang telah lama
dikeketahui sebagai metode yang efektif untuk mengurangi nyeri atau
kejang otot. Panas dapat disalurkan melalui konduksi (botol air panas,
bantalan pemanas listrik, lampu, kompres basah panas), konveksi
(whirpool, sitz bath, berendam air panas), konversi (ultrasonografi,
diatermi). Nyeri akibat memar, spasme otot, dan artritis berespon baik
terhadap panas. Karena melebarkan pembuluh darah dan meningkatkan
aliran darah lokal, panas jangan digunakan setelah cidera traumatik saat
masih ada edema dan peradangan. Karena meningkatkan aliran
darah, panas mungkin meredekan nyeri dengan menyingkirkan
produk-produk inflamasi seperti bradikinin, histamin, dan prostaglandin
yang menimbulkan nyeri lokal.
Berbeda dengan terapi panas, yang efektif untuk nyeri kronik,
aplikasi dingin efektif untuk nyeri akut (misalnya trauma akibat luka
bakar, tersayat, terkilir). Dingin dapat disalurkan dlam bentuk berendam
atau komponen air dingin, kantung es, aquamatic K pads, dan
pijat es. Aplikasi dingin mengurangi aliran darah ke suatu bagian
dan mengurangi edema serta perdarahan. Diperkirakan bahwa terapi
dingin menimbulkan efek analgetik dengan memperlambat kecepatan
hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih sedikit.
Mekanisme lain yang mungkin bekerja bahwa persepsi dingin menjadi
dominan dan mengurangi persepsi nyeri.

2. Strategi kognitif-perilaku
Strategi kognitif-perilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi
pasien terhadap nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan memberi pasien
perasaan yang lebih mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi-
strategi ini mencakup relaksasi, penciptaan khayalan (imagery),
hipnosis, dan biofeedback. Walaupun sebagian besar metode kognitif-
perilaku menekankan salah satu relaksasi atau pengelihatan, pada praktik
keduanya tidak dapat dipisahkan. Cara lain untuk menginduksi relaksasi
adalah dengan olahraga dan bernafas dalam, meditasi dan
mendengarkan musik-musik yang menenangkan.
Teknik-teknik relaksasi akan mengurangi rasa cemas,
ketegangan otot, dan stress emosi sehingga memutuskan siklus nyeri-
stress- nyeri, saat nyeri dan stress saling memperkuat.
Teknik-teknik pengalihan mengurangi nyeri dengan
memfokuskan perhatian pasien pada stimulus lain dan menjauhi nyeri.
Menonton televisi, membaca buku, mendengar musik, dan melakukan
percakapan.
Penciptaan khayalan dengan tuntutan adalah suatu bentuk
pengalihan fasilator yang mendorong pasien untuk mevisualisasikan atau
memikirkan pemandangan atau sensasi yang menyenangkan untuk
mengalihkan perhatian menjauhi nyeri. Tehnik ini sering dikombinasikan
dengan relaksasi.
Hipnosis adalah suatu metode kognitif yang bergantung pada
bagaimana memfokuskan perhatian pasien menjauhi nyeri; metode ini juga
bergantung pada kemampuan ahli terapi untuk menuntun perhatian pasien
ke bayangan-bayangan yang paling konstruktif.
Umpan-balik hayati adalah suatu teknik yang bergantung
pada kemampuan untuk memberikan ukuran-ukuran terhadap parameter
fisiologik tertentu kepada pasien sehingga pasien dapat belajar
mengendalikan parameter tersebut termasuk suhu kulit, ketegangan otot,
kecepatan denyut jantung, tekanan darah dan gelombang otak.

3.4 Patient Controlled Analgesia (PCA)


Patient Controlled Analgesia (PCA) menjadi populer ketika diketahui
bahwa kebutuhan individu untuk opioid bervariasi. Oleh karena itu disusun suatu
sistem di mana pasien dapatmengelola analgesia intravena mereka sendiri dan
mentitrasi dosis titik akhir penghilang rasa sakit mereka sendiri menggunakan
mikroprosesor kecil yang dikontrol dengan sejenis pompa. Berbagai perangkat
komersial sekarang tersedia untuk tujuan ini. Dengan demikian merekadapat
menyesuaikan tingkat analgesia yang diperlukan, menurut keparahan rasa sakit.
Secara teori, tingkat plasma dari analgesik akan relatif konstan dan efek samping
yang disebabkan oleh fluktuasi tingkat plasma akan dihilangkan.
Untuk mencapai keberhasilan dan keamanan analgesia dengan PCA maka
pasien harus mengerti apa yang perlu dilakukan dan ini harus dijelaskan secara
rinci sebelum operasi. Hampir setiap obat opioid telah digunakan untuk PCA.
Secara teori, obat yang ideal harus memiliki onset yang cepat, durasi kerja sedang,
dan memiliki margin keselamatan yangluas antara efektivitas dan efek samping.
Pilihan biasanya tergantung pada ketersediaan, preferensi pribadi dan
pengalaman. Sekali pilihan telah dibuat parameter-parameter lainnya perlu
ditentukan termasuk ukuran bolus dosis, jangka waktu minimum antara dosis
(kunci-habis) dan dosis maksimum yang diperbolehkan.
Morfin adalah obat yang paling populer dan akan digunakan sebagai
contoh. Dosis ideal morfin telah ditemukan yaitu 1mg. Namun, tinjauan ulang
diperlukan dalam setiapkasus untuk memastikan bahwa analgesia telah memadai.
Tujuan jangka waktu minimum antar dosis adalah untuk mencegah terjadinya
overdosis. Jangka waktu minimum antar dosisharus cukup lama untuk dosis
sebelumnya memiliki efek. Dalam prakteknya, jangka waktu ini berkisar antara 5
dan 10 menit cukup untuk sebagian besar opioid. Dalam prakteknya,adalah lebih
logis untuk menerima bahwa persyaratan analgesik pasien akan sangat
bervariasidan beberapa pasien mungkin memerlukan jumlah yang sangat besar
untuk mencapai nyeriyang memadai.
Pasien yang menggunakan PCA biasanya mentitrasi analgesia mereka ke
titik di manamereka merasa nyaman dan bukannya rasa bebas nyeri. Alasan untuk
hal ini adalah tidak jelas tetapi mungkin berkaitan dengan kekhawatiran akan
overdosis, kebutuhan untuk kontak dengan anggota staf rumah sakit dan harapan
setelah operasi.
BAB IV
KESIMPULAN

Nyeri merupakan suatu respon biologis yang menggambarkan suatu


kerusakan ataugangguan organ tubuh. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan
yang mempengaruhiseseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah
mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah
sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait
dengan kerusakan jaringanaktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan. Manajemen nyeri akut haruslah dapat dicapai dengan baik
demi alasan kemanusiaan. Manajemennyeri yang baik tidak hanya berpengaruh
terhadap penyembuhan yang lebih baik tetapi juga pemulangan pasien dari
perawatan yang lebih cepat. Dalam menangani nyeri akut,dapat digunakan obat-
obatan seperti opioid, OAINS, dan anestesi lokal. Obat-obatan ini dapat
dikombinasi untuk mencapai hasil yang lebih sempurna. Karena kebutuhan
masing-masing individu adalah berbeda-beda, maka penggunaan Patient
Controlled Analgesia dirasakan sebagai metode yang paling efektif dan
menguntungkan dalam menangani nyeri akut meskipun dengan tidak lupa
mempertimbangkan faktor ketersediaan dan keadaan ekonomi pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Asdie, Ahmad H. 1999. Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Jakarta:


EGC
Beydoun, A., Kutluay, E. 2002. Oxcarbazepin, Expert Opinion in
Pharmacotherapy, 3(1):59-71
Bonica, J.J., Loeser, J.D., 2001. History of Pain Concepts and Therapies, In:
Loeser J.D., et al (eds)
Bonica’s, 2001, Management of Pain. Lippincott William & Wilkins Philadelphia,
pp 3-16
Charlton ED. Posooperative Pain Management. World Federation of Societiesof
Anaesthesiologistshttp://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u07/u07_009.htm
Chelly JE, Gebhard R, Coupe K, et al. Local anesthetic delivered via a
femoralcatheter by patient-controlled analgesia pump for pain relief after
an anterior cruciate ligament outpatient procedure. Am J Anesthesiol.
2001;28:192-4.
Gwirtz K. Single-dose intrathecal opioids in the management of
acute postoperative pain. In: Sinatra RS, Hord AH, Ginsberg B, Preble
LM, eds.Acute Pain: Mechanisms & Management. St Louis, Mo: Mosby-
Year Book;1992:253-68

Mahajan R, Nathanson M. Anaesthesia. London ; Elsevier Churchill Livingstone.


2006
Meliala, L. 2004. Nyeri Keluhan yang Terabaikan: Konsep Dahulu, Sekarang, dan
Yang Akan Datang, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Fakultas
Kedokteran Universitas GadjahMada.
Painedu.org, 2008. Physiology of Pain, http:// www.painedu.org. Silbernagl/Lang,
2000, Pain in Color Atlas of Pathophysiology , Thieme New York. 320-
321
Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi. Jakarta: EGC Tansumri, Anas. 2007.
Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai

  • PUSAKA
    PUSAKA
    Dokumen7 halaman
    PUSAKA
    Amandaa Fauzi
    Belum ada peringkat
  • Case KPSW
    Case KPSW
    Dokumen45 halaman
    Case KPSW
    DitaMutiaraIrawan
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen39 halaman
    Bab I
    DitaMutiaraIrawan
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen39 halaman
    Bab I
    DitaMutiaraIrawan
    Belum ada peringkat
  • Jadwal UKMPPD 2021
    Jadwal UKMPPD 2021
    Dokumen1 halaman
    Jadwal UKMPPD 2021
    DitaMutiaraIrawan
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen5 halaman
    Bab Iii
    DitaMutiaraIrawan
    Belum ada peringkat
  • Case KPSW
    Case KPSW
    Dokumen45 halaman
    Case KPSW
    DitaMutiaraIrawan
    Belum ada peringkat
  • Absen Dokter Muda
    Absen Dokter Muda
    Dokumen1 halaman
    Absen Dokter Muda
    DitaMutiaraIrawan
    Belum ada peringkat
  • Cover SKripsi FE Unsri
    Cover SKripsi FE Unsri
    Dokumen2 halaman
    Cover SKripsi FE Unsri
    DitaMutiaraIrawan
    Belum ada peringkat
  • Fracture Femoralis
    Fracture Femoralis
    Dokumen22 halaman
    Fracture Femoralis
    xeoneon
    Belum ada peringkat
  • MOTO
    MOTO
    Dokumen11 halaman
    MOTO
    DitaMutiaraIrawan
    Belum ada peringkat
  • Fracture Femoralis
    Fracture Femoralis
    Dokumen22 halaman
    Fracture Femoralis
    xeoneon
    Belum ada peringkat
  • Cover SKripsi FE Unsri
    Cover SKripsi FE Unsri
    Dokumen2 halaman
    Cover SKripsi FE Unsri
    DitaMutiaraIrawan
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen39 halaman
    Bab I
    DitaMutiaraIrawan
    Belum ada peringkat
  • Jadwal Jaga Forensik
    Jadwal Jaga Forensik
    Dokumen1 halaman
    Jadwal Jaga Forensik
    DitaMutiaraIrawan
    Belum ada peringkat
  • TENGGELAM
    TENGGELAM
    Dokumen28 halaman
    TENGGELAM
    Nur Awaliya Fatimah
    Belum ada peringkat
  • BST Bedah
    BST Bedah
    Dokumen17 halaman
    BST Bedah
    DitaMutiaraIrawan
    Belum ada peringkat
  • BST Bedah
    BST Bedah
    Dokumen17 halaman
    BST Bedah
    DitaMutiaraIrawan
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 TA
    Bab 1 TA
    Dokumen3 halaman
    Bab 1 TA
    DitaMutiaraIrawan
    Belum ada peringkat
  • Cover Referat Ump
    Cover Referat Ump
    Dokumen4 halaman
    Cover Referat Ump
    DitaMutiaraIrawan
    Belum ada peringkat
  • TENGGELAM
    TENGGELAM
    Dokumen28 halaman
    TENGGELAM
    Nur Awaliya Fatimah
    Belum ada peringkat
  • Jadwal Jaga Forensik
    Jadwal Jaga Forensik
    Dokumen1 halaman
    Jadwal Jaga Forensik
    DitaMutiaraIrawan
    Belum ada peringkat
  • Telaah Jurnal
    Telaah Jurnal
    Dokumen13 halaman
    Telaah Jurnal
    DitaMutiaraIrawan
    Belum ada peringkat
  • BAB 3 Profil Puskesmas
    BAB 3 Profil Puskesmas
    Dokumen11 halaman
    BAB 3 Profil Puskesmas
    DitaMutiaraIrawan
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 Strambismus
    Bab 1 Strambismus
    Dokumen2 halaman
    Bab 1 Strambismus
    DitaMutiaraIrawan
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen1 halaman
    Bab V
    DitaMutiaraIrawan
    Belum ada peringkat
  • Oedipus Complex
    Oedipus Complex
    Dokumen17 halaman
    Oedipus Complex
    DitaMutiaraIrawan
    Belum ada peringkat
  • Dapus Dita
    Dapus Dita
    Dokumen1 halaman
    Dapus Dita
    DitaMutiaraIrawan
    Belum ada peringkat
  • WOC SIROSIS HEPATIS Revisi
    WOC SIROSIS HEPATIS Revisi
    Dokumen2 halaman
    WOC SIROSIS HEPATIS Revisi
    imam aviero
    Belum ada peringkat