Pembimbing :
dr. M. Bima Mandraguna, Sp. THT-KL
dr. Aditya Arifianto, Sp. THT-KL
Disusun Oleh :
Wara Anung Anindita
030.14.199
Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepanitiaan Klinik ilmu THT
Rumah Sakit Umum Daerah Karawang
Periode 5 November – 7 Desember 2018
Pembimbing I Pembimbing II
dr. M. Bima Mandraguna, Sp. THT-KL dr. Aditya Arifianto, Sp. THT-KL
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis
mampu menyelesaikan referat ini yang berjudul “Abses Leher Dalam”. Penulisan referat ini
merupakan salah satu persyaratan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Departemen
Ilmu Telinga Hidung Tenggorok Studi Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di Rumah
Sakit Umum Daerah Karawang.
Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini tidak luput dari bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, maka dalam kesempatan ini penulis memberikan rasa hormat
dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan referat ini terutama kepada:
1. dr. M. Bima Mandraguna, Sp. THT-KL dan dr. Aditya Arifianto, Sp. THT-KL selaku
pembimbing yang telah memberi masukan dan saran dalam penyusunan referat.
2. Teman-teman yang turut membantu penyelesaian referat ini.
3. Serta pihak-pihak lain yang bersedia meluangkan waktunya untuk membantu penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penyempurnaan referat ini banyak sekali yang
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat dibutuhkan untuk perbaikan di waktu yang akan datang.
Akhir kata, penulis berharap referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
2.4.3 Patofisiologi ................................................................................36
2.4.4 Gejala dan tanda ..........................................................................37
2.4.5 Pemeriksaan penunjang ..............................................................37
2.4.6 Diagnosis.....................................................................................38
2.4.7 Diagnosis banding .......................................................................38
2.4.8 Terapi ..........................................................................................39
2.4.9 Komplikasi ..................................................................................39
2.5 Abses submandibular ...........................................................................39
2.5.1 Definisi ........................................................................................39
2.5.2 Etiologi ........................................................................................39
2.5.3 Patofisiologi ................................................................................40
2.5.4 Gejala dan tanda ..........................................................................42
2.5.5 Pemeriksaan penunjang ..............................................................42
2.5.6 Diagnosis.....................................................................................43
2.5.7 Terapi ..........................................................................................43
2.5.8 Komplikasi ..................................................................................44
2.5.9 Prognosis .....................................................................................45
2.6 Angina Ludovici (Ludwig’s angina) ....................................................45
2.6.1 Definisi ........................................................................................45
2.6.3 Etiologi ........................................................................................45
2.6.5 Gejala dan tanda ..........................................................................46
2.6.6 Pemeriksaan penunjang ..............................................................47
2.6.7 Diagnosis.....................................................................................48
2.6.8 Terapi ..........................................................................................48
2.6.9 Komplikasi ..................................................................................50
2.6.10 Prognosis ...................................................................................50
BAB III KESIMPULAN..................................................................................................51
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................52
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam
sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut,
tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat.
Penyebab paling sering dari abses leher dalam adalah infeksi gigi (43%) dan
penyalahgunaan narkoba(12%).1
Abses leher dalam merupakan kondisi yang mengancam jiwa akibat komplikasi-
komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan saraf kranial,
mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna. Lokasinya terletak di
dasar mulut dan dapat menjadi ancaman yang sangat serius. Etiologi infeksi di daerah
leher dapat bermacam-macam. Kuman penyebab abses leher dalam biasanya terdiri dari
campuran kuman aerob, anaerob maupun fakultatif anaerob.Infeksi kepala dan leher yang
mengancam jiwa ini sudah jarang terjadi sejak diperkenalkannya antibiotik dan angka
kematiannya menjadi lebih rendah.2
Disamping itu higiene mulut yang meningkat juga berperan dalam hal ini.
Sebelum era antibiotik, 70 % infeksi leher dalam berasal dari penyebaran infeksi di faring
dan tonsil ke parafaring. Selain drainase abses yang optimal, pemberian antibiotik
diperlukan untuk terapi yang adekuat. Untuk mendapatkan antibiotik yang efektif
terhadap pasien, diperlukan pemeriksaan kultur kuman dan uji kepekaan antibiotik
terhadap kuman. Namun ini memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga diperlukan
pemberian antibiotik secara empiris. Berbagai kepustakaan melaporkan pemberian terapi
antibiotik spektrum luas secara kombinasi. Kombinasi yang diberikan pun bervariasi.1,3
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI FARING
2
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti
corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini
mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra
servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui
koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring,
sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke
bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada
orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring
yang terpamnjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput
lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot, dan sebagian fasia bukofaringeal.
Faring terbagi atas nasofaring, orofaring, dan laringofaring (hipofaring).
Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan
otot. 4,5
1. Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada
nasofraing karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia,
sedamng epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di bagian
bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena fungsinya untuk saluran
cerna, epitelnya berlapis gepeng dan tidak bersilia.
Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang
terletak dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem
retikuloendotelial. Oleh karena itu faring dapat disebut juga daerah pertahanan
tubuh terdepan.
2. Palut lendir (mucous blanket)
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui
hidung. Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak di atas
silia dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini
mengandung enzim lysozyme yang penting untuk proteksi.
3. Otot
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan
3
memanjang (longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m.konstriktor
faring superior, media, dan inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar. Otot-
otot ini berbentuk kipas dengan tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot
bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama
lain dan di belakang bertemu pada jaringan ikat yang disebut “rafe faring”
(raphe pharyngis). Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otot-
otot ini dipersarafai oleh n.vagus (n.X).
Otot-otot yang longitudinal adalah m.stilofaring dan m.palatofaring. Letak
otot-otot ini di sebelah dalam. M.stilofaring gunanya untuk melebarkan faring
dan menarik laring, sedangkan m.palatofaring mempertemukan ismus orofaring
dan menaikkan bagian bawah faring dan laring. Jadi kedua otot ini bekerja
sebagai elevator. Kerja kedua otot itu penting sewaktu menelan. M.stilofaring
dipersarafi oleh n.IX sedangkan m.palatofaring dipersarafi oleh n.X.
Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam
satu sarung fasia dari mukosa yaitu m.levator veli palatini, m.tensor veli
palatini, m.palatoglosus, m.palatofaring, dan m.azigos uvula.
1. M.levator veli palatini membentuk sebagian besar palatum mole dan kerjanya
untuk menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba Eustachius. Otot
ini dipersarafi oleh n.X.
2. M.tensor veli palatini membentuk tenda palatum mole dan kerjanya untuk
mengencangkan bagian anterior palatum mole dan membuka tuba Eustachius.
Otot ini dipersarafi oleh n.X.
3. M.palatoglosus membentuk arkus anterior faring dan kerjanya menyempitkan
ismus faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
4. M.palatofaring membentuk arkus posterior faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
5. M.azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya memperpendek dan
menaikkan uvula ke belakang atas. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
4
Gambar 2. Rongga mulut. 6
Pendarahan
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak
beraturan. Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang faring
asendens dan cabang fausial) serta dari cabang a.maksila interna yakni cabang
palatina superior.
Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus daring
yang ekstensif. Plesksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus, cabang
dari n.glososfaring dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi
serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang-cabang
untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaring yang dipersarafi langsung oleh
cabang n.glosofaring (n.IX).
Kelenjar getah bening
Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior,
media, dan inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening
retrofaring dan kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media
mengalir ke kelenjar getah bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam
atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke kelenjar getah bening dalam
bawah.
5
Pembagian faring
1. Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah
adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang
adalah verrtebra servikal.
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan dengan
beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral
faring dengan resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke,
yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius,
suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius,
koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n.glosofaring, n.vagus, dan
n.asesorius spinal saraf kranial dan v.jugularis interna, bagian petrosus
os.temporalis dan foramen laserum, dan muara tuba Eustachius.
2. Orofaring
6
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atanya adalah palatum
mole, batas bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut,
sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal.
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterio faring,
tonsil palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil
lingual, dan foramen sekum.
Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas
lateralnya adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut
kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamanakan fosa
supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat
nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang
merupakan bagian dari fasia bukofaring, dan disebut kapsul yang sebenarnya
bukan merupakan kapsul yang sebenarnya.
7
Tonsil
8
lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.
3. Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas
anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior adalah
vertebra servikal. Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada
pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan
laring langsung, maka struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah
adalah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh
ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada
tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” (pill’s pocket), sebab pada
beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.
Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk
omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-
kadang bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam
perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya
sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita
suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika
menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke
sinus piriformis dan ke esofagus.
Nervus laring superior berjalan di bawah dasar sinus piriformis pada tiap
sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian analgesia
lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.
Lapisan fasia leher dalam
Fasia servikalis :
A. Fasia servikalis superfisialis
B. Fasia servikalis profunda :
1. Lapisan superfisial
2. Lapisan media :
- divisi muskular
- divisi viscera
3. Lapisan profunda :
9
- divisi alar
- divisi prevertebra
Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang membungkus
organ, otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa
ruang potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu fasia servikalis
superfisialis dan fasia servikalis profunda.
Fasia servikalis superfisialis terletak tepat dibawah kulit leher berjalan dari
perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke
bawah ke arah toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan.
Ruang antara fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi
kelenjar limfe superfisial, saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis
eksterna.
Fasia servikalis profunda terdiri dari 3 lapisan yaitu : 9,10,11
1. Lapisan superfisial
Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar
tengkorak sampai daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke
daerah wajah dan melekat pada klavikula serta membungkus m.
sternokleidomastoideus, m.trapezius, m. masseter, kelenjar parotis dan
submaksila. Lapisan ini disebut juga lapisan eksternal, investing layer , lapisan
pembungkus dan lapisan anterior.
2. Lapisan media
Lapisan ini dibagi atas 2 divisi yaitu divisi muskular dan viscera. Divisi
muskular terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan
membungkus m. sternohioid, m. sternotiroid, m. tirohioid dan m. omohioid.
Dibagian superior melekat pada os hioid dan kartilago tiroid serta dibagian
inferior melekat pada sternum, klavikula dan skapula.
Divisi viscera membungkus organ – organ anterior leher yaitu kelenjar
tiroid, trakea dan esofagus. Disebelah posterosuperior berawal dari dasar
tengkorak bagian posterior sampai ke esofagus sedangkan bagian anterosuperior
melekat pada kartilago tiroid dan os hioid. Lapisan ini berjalan ke bawah sampai
10
ke toraks, menutupi trakea dan esofagus serta bersatu dengan perikardium. Fasia
bukkofaringeal adalah bagian dari divisi viscera yang berada pada bagian
posterior faring dan menutupi m. konstriktor dan m. buccinator.
3. Lapisan profunda
Lapisan ini dibagi menjadi 2 divisi yaitu divisi alar dan prevertebra. Divisi
alar terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi
prevertebra, yang berjalan dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan
bersatu dengan divisi viscera lapisan media fasia servikalis profunda. Divisi alar
melengkapi bagian posterolateral ruang retrofaring dan merupakan dinding
anterior dari danger space.
Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan ke
lateral meluas ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot didaerah tersebut.
Berjalan dari dasar tengkorak sampai ke os koksigeus serta merupakan dinding
posterior dari danger space dan dinding anterior dari korpus vertebra. Ketiga
lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk selubung karotis ( carotid
sheath ) yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang faringomaksilaris
sampai ke toraks.
Ruang faringeal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik
mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring, dan ruang parafaring. 4,5
1. Ruang retrofaring (retropharyngeal space)
Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari
mukosa faring, fasia faringobasilaris, dan otot-otot faring. Ruang ini berisi
jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Serat-serat jaringan ikat di garis
tengah mengikatnya pada vertebra.
Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring, yang dibatasi
oleh :
- anterior : fasia bukkofaringeal ( divisi viscera lapisan media fasia
servikalis profunda ) yang mengelilingi faring, trakea, esofagus dan tiroid
- posterior : divisi alar lapisan profunda fasia servikalis profunda
11
- lateral : selubung karotis ( carotid sheath ) dan daerah parafaring (fosa
faringomaksila).
Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke mediastinum
setinggi bifurkasio trakea ( vertebra torakal I atau II ) dimana divisi viscera dan
alar bersatu. Abses retrofaring sering ditemukan pada bayi atau anak.
Kejadiannya ialah karena di ruang retrofaring terdapat kelenjar-kelenjar limfa.
Daerah retrofaring terbagi menjadi 2 daerah yang terpisah di bagian lateral oleh
midline raphe . Tiap – tiap bagian mengandung 2 – 5 buah kelenjar limfe
retrofaring yang biasanya menghilang setelah berumur 4 – 5 tahun. Kelenjar ini
menampung aliran limfe dari rongga hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring,
tuba Eustakius dan telinga tengah. Pada peradangan kelenjar limfa itu, dapat
terjadi supurasi, yang bilamana pecah, nanahnya akan tertumpah di dalam ruang
retrofaring. Daerah ini disebut juga dengan ruang retroviscera, retroesofagus
dan ruang viscera posterior.
2. Ruang parafaring (fosa faringomaksila : pharyngomaxillary fossa)
Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar
tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid.
Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m.konstriktor faring superior, batas
luarnya adalah ramus asendens mandibula yang melekat dengan m.pterigoideus
interna dan bagian posterior kelenjar parotis.
Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os
stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (prestiloid) adalah
bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat
tonsil yang meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari
karies dentis.
Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis
interna, v.jugularis interna, n.vagus, yang dibungkus dalam suatu sarung yang
disebut selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang
retrofaring oleh suatu lapisan fasia yang tipis.
12
Gambar 5. Potongan axial orofaring menunjukkan ruang retrofaring
dan parafaring.12
13
Gambar 7. Potongan koronal ruang parafaring.13
14
Gambar 8. Potongan sagital faring menunjukkan ruang retrofaring, danger
space, dan prevertebral space.14
Ruang submandibula
15
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke
dalam ruang submandibula, dan membagi ruang submandibula atas ruang
submental dan ruang submaksila saja.
16
FISIOLOGI FARING
Fungsi faring yang utama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan,
resonansi suara, dan untuk artikulasi. 4
Fungsi menelan
Terdapat 3 fase dalam proses menelan yaitu fase oral, fase faringeal, dan
fase esofagal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan
disini disengaja (voluntary). Fase faringeal yaitu pada waktu transpor bolus
makanan melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja (involuntary). Fase
esofagal, disini gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan
bergerak secara peristaltik di esofagus menuju lambung.
17
2.2 ABSES PERITONSIL (QUINSY)
2.2.1 Definisi17
Abses peritonsil merupakan akumulasi pus terlokalisir di jaringan peritonsil yang
terbentuk akibat dari tonsilitis supuratif. Penjelasan lain adalah abses peritonsil
merupakan abses yang terbentuk di kelompok kelenjar air liur di fosa supratonsil, yang
disebut sebagai kelenjar Weber. Nidus akumulasi pus terletak antara kapsul tonsil
palatina dan muskulus konstiktor faringeus. Pilar anterior dan posterior, torus tubarius
(superior), dan sinus piriformis (inferior) membentuk batas ruang peritonsil potensial.
Karena terbentuk dari jaringan ikat longgar, infeksi parah area ini bisa secara cepat
membentuk material purulen. Inflamasi dan supurasi progresif bisa menyebar langsung
melibatkan palatum mole, dinding lateral faring, dan kadang-kadang dasar dari lidah.
2.2.2 Epidemiologi
Insidensi abses peritonsil di Amerika Serikat adalah sekitar 30 kasus per 100.000
orang per tahun, mewakili sekitar 45.000 kasus per tahun. Tidak ada data akurat secara
internasional.17
2.2.3. Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber
dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan
penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.1
Biasanya, organisme Gram positif aerob dan anaerob diidentifikasi melalui kultur.
Kultur menunjukkan Streptococcus beta hemolyticus yang paling sering. Selanjutnya,
yang paling sering adalah Staphlococcus, Pneumococcus, dan Haemophilus. Terakhir,
organisme lain yang bisa dikultur adalah Lactobacillus, bentuk-bentuk filamentosa seperti
Actinomyces sp., Micrococcus, Neisseria sp., diphteroid, Bacteroides sp., dan bakteri
18
tidak bersporulasi. Beberapa bukti menunjukkan bakteri anaerob sering menyebabkan
infeksi ini. 18
2.2.4 Patofisiologi
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh
karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menampati daerah ini,
sehingga tampak palatum mole membengkak. Proses inflamasi dan supurasi dapat
melebar melibatkan palatum mole, dinding lateral faring, dan kadang-kadang, dasar lidah.
Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di bagian inferior.1
Patofisiologi abses peritonsil tidak diketahui. Teori yang paling banyak diterima
adalah kelanjutan dari episode tonsilitis eksudatif yang menjadi peritonsilitis terlebih
dahulu dan lalu membentuk abses. Progresifitas proses inflamasi dapat terjadi pada
populasi yang diobati dan yang tidak diobati. Abses peritonsil juga ditemukan tanpa
riwayat tonsilitis rekuren atau kronis. Abses peritonsil juga bisa merupakan manifestasi
dari infeksi Epstein Barr Virus (misalnya mononucleosis).17
Teori lain menunjukkan asal abses peritonsil ada di kelenjar Weber.1,17 Kelenjar
air liur kecil ini ditemukan di ruang peritonsil dan disebutkan membantu membersihkan
debris dari tonsil. Saat obstruksi terjadi sebagai hasil dari jaringan parut karena infeksi,
nekrosis jaringan dan pembentukan abses terjadi, sehingga terjadilah abses peritonsil.
Fosa tonsiler kaya akan pembuluh limfa menuju ke ruang parafaring dan kelenjar
limfa servikal superior, yang menjelaskan pola limfadenopati secara klinis.
Limfadenopati servikal superior ipsilateral adalah hasil penyebaran infeksi ke kelenjar
19
limfa regional. Kadang-kadang, keparahan proses supuratif dapat menuju abses servikal,
khususnya pada kasus yang sangat fulminan atau progresif cepat.
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, juga terdapat odinofagia (nyeri menelan)
yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga (otalgia), mungkin
terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi),
suara gumam (hot potato voice) dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus),
serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. Pasien biasanya
memiliki riwayat faringitis akut ditemani dengan tonsilitis dan rasa faring tidak nyaman
unilateral dan makin memburuk. Pasien mungkin mengalami malaise, kelelahan, dan
sakit kepala. Pasien sering mengalami demam dan rasa tenggorokan penuh yang tidak
simetris. Karena limfadenopati dan inflamasi otot servikal, pasien sering mengalami nyeri
leher dan bahkan keterbatasan gerak leher. Dokter harus memikirkan diagnosis abses
peritonsil pada pasien dengan gejala faring persisten meskipun sudah diberikan rejimen
antibiotik yang adekuat.
Seiring derajat inflamasi dan infeksi berlanjut, gejala berlanjut ke dasar mulut,
ruang parafaring, dan ruang prevertebral. Kelanjutan di dasar mulut mengkhawatirkan
karena obstruksi jalan napas; dokter harus sadar dengan gawat darurat yang mungkin
terjadi.
2. Pemeriksaan
Pada pemeriksaan fisik mungkin hasil bervariasi dari tonsilitis akut dengan faring
asimetris unilateral sampai dehidrasi dan sepsis, Kebanyakan pasien memiliki nyeri berat.
Pemeriksaan rongga mulut menunjukkan tanda-tanda eritem, palatum mole asimetris,
eksudasi tonsil, dan uvula disposisi kontralateral.
Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring, karena trismus. Palatum mole
tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan
terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan
20
terdorong ke arah tengah, depan dan bawah.
Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di kutub superior tonsil yang
terkena, pada fosa supratonsil. Pada tingkat lipatan supratonsil, mukosa dapat tampak
pucat dan mungkin menunjukkan bintil-bintil kecil. Palpasi pada palatum mole sering
menunjukkan fluktuasi. Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel dianjurkan untuk
pasien dengan airway distress. Laringoskopi adalah kunci untuk menyingkirkan
epiglotitis dan supraglotitis, juga kelainan pita suara.
• Darah perifer lengkap, elektrolit, kultur darah: pasien dengan abses peritonsil sering
tampak septik dan dapat menunjukkan derajat bervariasi dehidrasi karena intake oral
21
yang kurang. Untuk mengetahui dua peristiwa ini perlu pemeriksaan darah perifer
lengkap, elektrolit, dan kultur darah.
• Tes Monospot
o Pada pasien yang menunjukkan tonsilitis dan limfadenopati servikal bilateral, tes
Monospot (antibodi heterofil) harus dipertimbangkan
o Jika hasil tes positif, pasien membutuhkan evaluasi hepatosplenomegali. Tes
fungsi hati harus dipertimbangkan pada pasien dengan hepatomegali.
• Kultur swab tenggorok: untuk membantu identifikasi organisme infeksius, swab
tenggorok dan kultur harus dipertimbangkan. Hasil dapat membantu seleksi
antibiotik yang paling tepat saat organisme teridentifikasi, mebatasi resiko resitensi
antibiotik.
2. Pemeriksaan radiologi
22
o USG juga dapat membantu pilihan aspirasi lebih langsung pada fosa tonsil
sebelum penanganan bedah definitif.
3. Aspirasi jarum
• Aspirasi jarum dapat dilakukan sebelum drainase. Ini membantu identifikasi lokasi
abses di ruang peritonsil.
• Lokasi aspirasi dianestesi dengan lidocaine dengan epinefrin, dan jarum ukuran 16-
18 G dipasang di spuit 10cc. Infiltrasi adalah metode pilihan untuk anestesi lokal
untuk aspirasi dan insisi abses peritonsil.
• Jarum ditusukkan di mukosa yang telah teranestesi dimana aspirasi akan dilakukan.
• Aspirasi material purulen merupakan diagnostik, dan dapat dikirim untuk kultur.
2.2.7 Diagnosis
23
- Tonsilitis yang non resolusi, dengan pembesaran tonsil unilateral persisten.
Pada dewasa, tanda klinis yang berhubungan dengan abses peritonsil antara lain
trismus, deviasi uvula, disposisi inferior kutub superior dari tonsil yang terkena.21 Pada
kasus abses peritonsil, saat insisi dan drainase dilakukan, gejala pasien akan membaik.
Aspirasi jarum dapat digunakan untuk diagnostik dan terapeutik, karena dapat
menentukan lokasi akurat ruang abses. Cairan aspirasi dapat dikultur, dan pada beberapa
kasus, insisi dan drainase mungkin tidak perlu. Jika pasien terus menerus melaporkan
nyeri tenggorok berulang dan/atau kronik setelah insisi dan drainase, ini dapat menjadi
indikasi tonsilektomi.
• Pasien dengan dehidrasi membutuhkan cairan intravena sampai inflamasi hilang dan
pasien bisa melanjutkan intake cairan oral adekuat.
• Antipiretik dan analgetik digunakan untuk meredakan demam dan rasa tidak
nyaman.
• Terapi antibiotik sebaiknya dimulai setelah kultur diperoleh dari abses. Penggunaan
penisilin intravena dosis tinggi tetap sebagai pilihan baik untuk terapi empiris untuk
abses peritonsil.
• Sebagai pilihan alternatif, karena biasanya pus mikrobial, obat yang mengobati
kopatogen dan tahan terhadapp beta laktamase juga dianjurkan sebagai pilihan
pertama.
• Cephalexin atau sefalosporin lain (dengan atau tanpa metronidazol) tampaknya
merupakan pilihan awal. Pilihan alternatif antara lain (1) cefuroxime or cefpodoxime
(dengan atau tanpa metronidazol), (2) klindamisin, (3) trovafloxacin, atau (4)
amoksisilin/klavulanat (jika mononucleosis sudah disingkirkan). Pasien dapat diberi
resep antibiotik oral jika intake oral sudah terpenuhi; lama pengobatan sebaiknya
sekitar 7-10 hari.
• Penggunaan steroid kontroversial. Pada studi oleh Ozbek, penambahan dosis tunggal
dexametason ke dalam antibiotik parenteral telah ditemukan secara signifikan
24
mengurangi waktu rawat inap, nyeri tenggorok, demam, dan trismus dibandingkan
dengan kelompok pasien yang hanya diobati dengan antibiotik parenteral.22 Dan
juga, penggunaan steroid pada pasien dengan gejala dan tanda mononukleosis selama
studi belum menuju pembentukan abses peritonsil.
• Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher.
2. Bedah
Preoperatif
Intraoperatif
a. Aspirasi jarum
25
• Aspirasi jarum dapat dilakukan pada anak berumur 7 tahun, khususnya jika sedasi
sadar dilakukan.
• Aspirasi jarum dapat digunakan untuk diagnostik dan terapeutik karena bisa
menentukan lokasi rongga abses secara akurat.
• Cairan aspirasi dapat dikirim untuk kultur dan pada beberapa kasus, dpat tidak
dilanjutkan dengan insisi dan drainase.
• Insisi dan drainase intraoral dilakukan dengan menginsisi mukosa di atas abses,
biasanya terletak di lipatan supratonsil.
• Setelah abses terlihat lokasinya, diseksi tumpul dilakukan untuk memecahkan
lokulisasi.
• Pembukaan dibiarkan terbuka untuk drainase, dan pasien diminta untuk berkumur
dengan larutan NaCl, supaya material yang terakumulasi keluar dari rongga abses.
• Aspirasi atau drainase yang berhasil menuju ke perbaikan segera gejala-gejala
pasien.
Pada pasien sangat muda atau inkooperatif atau saat abses terletak di tempat tidak
biasa, sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.
26
c. Tonsilektomi
Pascaoperatif
2.2.9 Komplikasi
Sejumlah komplikasi klinis dapat terjadi jika diagnosis abses peritonsil terlewat
atau terlambat. Keparahan komplikasi tergantung progresifitas penyakit dan juga
karakteristik ruang-ruang yang terkena. Penanganan dan pencegahan segera penting.1,17
27
1. Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia.
2. Penjalaran infeksi atau abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.
Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus
kavernosus, meningitis, dan abses otak.
4. Penjalaran dapat berlanjut ke ruang submandibular dan sublingual di dasar mulut
(Angina Ludovici).
5. Perdarahan merupakan komplikasi potensial jika arteri karotid eksterna atau
cabangnya terluka. Perdarahan dapat terjadi intraoperatif atau periode awal
pascaoperasi.23
2.2.10 Prognosis
Kebanyakan pasien yang diobati dengan antibiotik dan drainase adekuat sembuh
dalam beberapa hari. Sebagian kecil pasien mengalami abses kembali, membutuhkan
tonsilektomi. Jika pasien berlanjut melaporkan nyeri tenggorok berulang dan/atau kronis
setelah insisi dan drainase tepat, tonsilektomi diindikasikan. 17
28
penggunaan antibiotik meluas pada infeksi saluran napas atas supuratif. Abses
retrofaringeal, dulu secara eksklusif merupakan penyakit anak, sekarang meningkat
frekuensinya pada orang dewasa. Abses retrofaringeal menunjukan tantangan diagnostik
pada dokter gawat darurat karena kejadiannya yang tidak frekuen dan presentasi yang
bervariasi.
2.3.2 Epidemiologi
Frekuensi
Mortalitas / Morbiditas
29
agresif dengan antibiotik dan drainase bedah, dan 3 pasien membutuhkan debridement
torakoskopik. Ke-4 anak selamat tanpa sekuel.29
Ras
• Dalam 10 tahun kasus abses retrofaringeal yang ditangani di Kings County Hospital
di Brooklyn, New York, 70% pasien adalah dari ras Afrika-Amerika, 25% Kaukasia,
dan 5% Hispanik.
• Pada studi pasien pedtiatrik dengan abses retrofaringeal di Wayne State University di
Detroit menunjukkan 43% kasus terjadi di orang kulit hitam, 54% kulit putih, 1%
Hispanik, dan 1% campuran.30
• Di Amerika Serikat, 2003, pada data pasien rawat inap anak (Kids’ Inpatient
Database) menunjukan 1321 pasien abses retrofaring, 37,4% kulit putih, 11,7%
Afrika-Amerika, 11,1% Hispanik, 2% Asia, 3,8% ras lain, dan sisanya ras tidak
dicatat.28
Jenis Kelamin
Abses retrofaringeal lebih biasa terjadi pada laki-laki daripada perempuan, dengan
frekuensi 50-67% pada laki-laki dan 33-50% pada perempuan, dari hasil beberapa
studi.27,28,30
Umur
Abses retrofaringeal dulu merupakan penyakit yang biasa terjadi pada anak,
namun sekarang frekuensi pada dewasa meningkat.24
2.3.3 Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah (1)
infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring, (2) trauma dinding
belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis, seperti
30
adenoidektomi, intubasi endotrakea, dan endoskopi, (3) tuberkulosis vertebra servikalis
bagian atas (abses dingin). Pasien dengan penyakit immunocompromised atau penyakit
kronis seperti diabetes, kanker, alkoholisme, dan AIDS memiliki resiko yang meningkat
terhadap abses retrofaringeal.24
2.3.4 Patofisiologi
31
2.3.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium 24
2. Pemeriksaan radiologi 24
32
• CT scan leher
o CT scan leher dengan kontras intravena sangat bergun untuk diagnosis dan
manajemen abses retrofaringeal. Abses retrofaringeal tampak sebagai lesi
hipodens pada ruang retrofaringeal dengan penebalan cincin perifer. Temuan
lain pada CT scan meliputi pembengkakan jaringan lunak, lapisan lemak yang
terobliterasi, dan efek masa.
o Lakukan CT scan leher dengan kontras intravena saat temuan x-ray leher lateral
kurang jelas atau gejala klinis abses retrofaringeal memenuhi tetapi x-ray leher
lateral memberi hasil negatif. X-ray leher lateral dapat menyesatkan, terutama
pada anak-anak.
o CT scan leher dengan kontras intravena juga dapat berguna jika x-ray positif
karena CT scan dapat membedakan antara abses retrofaringeal dan selulitis. CT
scan juga menunjukkan pelebaran abses retrofaringeal dan hubungannya dengan
pembuluh darah besar, yang sangat membantu untuk dokter bedah.
o CT scan leher juga dapat membandingkan abses retrofaringeal dan
limfadenopati pada anak, yang dapat membantu dokter bedah THT untuk
menentukan pengobatan dengan antibiotik intravena saja atau dengan drainase
abses.
• Foto x-ray dada diindikasikan untuk melihat pneumonia spirasi dan mediastinitis.
• MRI dengan gadolinium dapat melihat abses retrofaring, tetapi modalitas ini belum
digunakan secara luas.
• Ultrasonografi dapat menunjukkan abses retrofaringeal, tetapi penggunaannya belum
diklarifikasi.
2.3.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas bagian
atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto Rontgen
jaringan lunak leher lateral. Pada foto Rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring
lebih dari 7 mm pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada
anak dan lebih dari 22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga dapat terlihat
berkurangnya lordosis vertebra servikal. 1
33
2.3.8 Diagnosis banding 1,24
1. Adenoiditis
2. Tumor
3. Aneurisma aorta
4. Epiglotitis
5. Abses peritonsil
2.3.9 Terapi
Terapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan tindakan bedah.
Sebagai terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk kuman aerob dan
anaerob, diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan pungsi dan insisi abses melalui
laringoskopi langsung dalam posisi pasien baring Trendelenburg. Pus yang keluar segera
diisap, agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau
anestesia umum. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.1
Gambar 14. (A) Insisi pada abses retrofaring dengan posisi Trendelenburg.
(B) Insisi pada abses peritonsil.31
34
2.3.10 Komplikasi 1,24
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah sebagai berikut:
1. penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler visera
2. mediastinitis
3. obstruksi jalan napas sampai asfiksia
4. bila pecah spontan, dapat menyebabkan pneumonia aspirasi dan abses paru
5. dislokasi atlantooksipital
6. abses epidural
7. sepsis
8. erosi vertebra servikal 2 dan 3
9. defisit nervus kranialis (nervus IX-XII ada di dalam faisa servikalis)
10. trombosis septik sekunder dari erosi ke dalam arteri karotid 32
11. kompresi arteri karotid dan vena jugularis interna 32
12. palsi nervus fasialis
2.3.11 Prognosis
2.4.1. Definisi
Abses parafaring yaitu peradangan yang disertai pembentukan pus pada ruang
parafaring. Ruang parafaring dapat mengalami infeksi secara langsung akibat tusukan
saat tonsilektomi, limfogen dan hematogen.33
35
2.4.2 Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara:1,2,33
1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan
analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi
kuman menembus lapisan otot tipis (m.konstriktor faring superior) yang
memisahkan ruang parafaring dan fosa tonsilaris.
2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung,
sinus paranasal, mastoid, dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi
untuk terjadinya abses ruang parafaring.
3. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, atau submandibula.
2.4.3 Patofisiologi
Infeksi yang bersumber dari gigi dapat menyebar ke jaringan sekitar dan
membentuk abses sublingual, submental, submandibula, mastikator atau parafaring. Dari
gigi anterior sampai M1 bawah biasanya yang mula-mula terlibat adalah ruang sublingual
dan submental. Bila infeksi dari M2 dan M3 bawah, ruang yang terlibat dulu adalah
submandibula. Hal ini disebakan posisi akar gigi M2 dan M3 berada di bawah garis
perlekatan m. milohiod pada mandibula sedang gigi anterior dan M1 berada diatas garis
perlekatan tersebut.33
36
Gambar 16. Jalur perluasan potensial abses leher dalam.33
37
kelenjar getah hilus. Pemeriksaan tomografi komputer dapat membantu menggambarkan
lokasi dan perluasan abses. Dapat ditemukan adanya daerah densitas rendah, peningkatan
gambaran kontras pada dinding abses dan edema jaringan lunak disekitar abses.
2.4.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik. Bila
meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto Rontgen jaringan lunak
AP atau CT scan.33
38
Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri
eksplorasi dilakukan dengan menembus m.konstriktor faring superior ke dalam ruang
parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan
terhadap insisi eksternal.
Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.
2.5.2. Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur, atau kelenjar
limfa submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain.1
39
Infeksi pada ruang ini berasal dari gigi molar kedua dan ketiga dari mandibula,
jika apeksnya ditemukan di bawah perlekatan dari musculus mylohyoid.36 Infeksi dari
gigi dapat menyebar ke ruang submandibula melalui beberapa jalan yaitu secara langsung
melalui pinggir myolohioid, posterior dari ruang sublingual, periostitis dan melalui ruang
mastikor.35
Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman,
baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob yang sering
ditemukan adalah Stafilokokus, Streptococcus sp, Haemofilus influenza, Streptococcus
Pneumonia, Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman anaerob yang
sering ditemukan pada abses leher dalam adalah kelompok batang gram negatif, seperti
Bacteroides, Prevotella, maupun Fusobacterium.37
2.5.3 Patofisiologi
Patofisiologi abses submandibula melalui gigi antara lain:38
1. Iritasi Pulpa
2. Hiperemic Pulpa
3. Pulpitis
4. Ganggren pulpa
5. Abses
40
Gambar 18. Patofisiologi abses submandibula.39
41
Gambar 19. Ruang potensial leher dalam (A) Potongan aksial, (B) potongan sagital.
Ket : SMS: submandibular space; SLS: sublingual space; PPS: parapharyngeal space; CS:
carotid space; MS: masticatory space. SMG: submandibular gland; GGM: genioglossus
muscle; MHM: mylohyoid muscle; MM: masseter muscle; MPM: medial pterygoid
muscle; LPM: lateral pterygoid muscle; TM: temporal muscle.35
42
c. Foto x-ray thoraks: perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema
subkutis, pendorongan saluran nafas, dan pneumonia akibat aspirasi abses.
d. CT-scan: CT-scan dengan kontras merupakan pemeriksaan gold standard
pada abses leher dalam. Berdasarkan suatu penelitianbahwa hanya dengan
pemeriksaan klinis tanpa CT-scan mengakibatkan estimasi terhadap luasnya
abses yang terlalu rendah pada 70% pasien. Gambaran abses yang tampak
adalah lesi dengan hipodens (intensitas rendah), batas yang lebih jelas, dan
kadang ada air fluid level.37
2.5.7 Terapi
1. Antibiotik (parenteral)
Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab,
uji kepekaan perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik secara parenteral
sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik
kombinasi (mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positip dan gram
negatif) adalah pilihan terbaik mengingat kuman penyebabnya adalah campuran
dari berbagai kuman. Secara empiris kombinasi ceftriaxone dengan metronidazole
masih cukup baik. Setelah hasil uji sensistivitas kultur pus telah didapat
pemberian antibiotik dapat disesuaikan.36,37
Berdasarkan uji kepekaaan, kuman aerob memiliki angka sensitifitas tinggi
terhadap terhadap ceforazone sulbactam, moxyfloxacine, ceforazone, ceftriaxone,
yaitu lebih dari 70%. Metronidazole dan klindamisin angka sensitifitasnya masih
tinggi terutama untuk kuman anaerob gram negatif. Antibiotik biasanya dilakukan
selama lebih kurang 10 hari.36,37
2. Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan. Evakuasi abses
dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi
atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada
43
tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung letak dan luas
abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.40
Gambar 20. (a). Insisi pada abses submandibula atau parotid. (b). Insisi pada
abses submasseter. Pada saat insisi kutaneus, perjalanan arteri dan vena fasialis (a)
harus diperhatikan, begitu juga dengan nervus fasialis (b).41
3. Mengingat adanya kemungkinan sumbatan jalan nafas, maka tindakan
trakeostomi perlu dipertimbangkan.40
2.5.8 Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung
(perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula paling sering meluas
ke ruang parafaring karena pembatas antara ruangan ini cukup tipis.35 Perluasan ini dapat
secara langsung atau melalui ruang mastikor melewati muskulus pterigoideus medial
kemudian ke parafaring. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.37
Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah
menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum menyebabkan medistinitis. Abses
juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis
mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehimgga terjadi perdarahan hebat, bila terjadi
periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.35
44
2.5.9 Prognosis
Pada umumnya prognosis abses submandibula baik apabila dapat didiagnosis
secara dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak terjadi. Pada fase awal
dimana abses masih kecil maka tindakan insisi dan pemberian antibiotika yang tepat dan
adekuat menghasilkan penyembuhan yang sempurna.Apabila telah terjadi mediastinitis,
angka mortalitas mencapai 40-50% walaupun dengan pemberian antibiotik. Ruptur arteri
karotis mempunyai angka mortalitas 20-40% sedangkan trombosis vena jugularis
mempunyai angka mortalitas 60%.40
45
Selain gigi molar ketiga, gigi molar kedua bawah juga menjadi penyebab
odontogenik dari angina Ludwig. Gigi-gigi ini mempunyai akar yang terletak pada
tingkat m. myohyloid, dan abses seperti perimandibular abses akan menyebar ke ruang
submandibular. Di samping itu, perawatan gigi terakhir juga dapat menyebabkan angina
Ludwig, antara lain: penyebaran organisme dari gangren pulpa ke jaringan periapikal saat
dilakukan terapi endodontik, serta inokulasi Streptococcus yang berasal dari mulut dan
tenggorokan ke lidah dan jaringan submandibular oleh manipulasi instrumen saat
perawatan gigi.
Ada juga penyebab lain yang sedikit dilaporkan antara lain sialadenitis kelenjar
submandibula, fraktur mandibula terbuka, infeksi sekunder akibat keganasan mulut, abses
peritonsilar, infeksi kista ductus thyroglossus, epiglotitis, injeksi obat intravena melalui
leher, trauma oleh karena bronkoskopi, intubasi endotrakeal, laserasi oral, luka tembus di
lidah, infeksi saluran pernafasan atas, dan trauma pada dasar mulut.
Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita angina Ludwig melalui
isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus. Bakteri anaerob yang
diisolasi seringkali berupa bacteroides, peptostreptococci, dan peptococci.
Bakteri gram positif yang telah diisolasi adalah Fusobacterium nucleatum,
Aerobacter aeruginosa, spirochetes, Veillonella, Candida, Eubacteria, dan spesies
Clostridium. Bakteri Gram negatif yang diisolasi antara lain spesies Neisseria,
Escherichia coli, spesies Pseudomonas, Haemophillus influenza dan spesies Klebsiella.
46
organ vokal. Gejala klinis intra oral meliputi pembengkakan, nyeri dan peninggian lidah;
nyeri menelan (disfagia); hipersalivasi (drooling); kesulitan dalam artikulasi bicara
(disarthria).
Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan adanya demam dan takikardi dengan
karakteristik dasar mulut yang tegang dan keras. Karies pada gigi molar bawah dapat
dijumpai. Biasanya ditemui pula indurasi dan pembengkakkan ruang submandibular yang
dapat disertai dengan lidah yang terdorong ke atas. Trismus dapat terjadi dan
menunjukkan adanya iritasi pada m. masticator. Tanda-tanda penting seperti pasien tidak
mampu menelan air liurnya sendiri, dispneu, takipneu, stridor inspirasi dan sianosis
menunjukkan adanya hambatan pada jalan napas yang perlu mendapat penanganan
segera. Pada pasien juga mungkin akan ditemukan tanda-tanda dehidrasi karena
kurangnya asupan makanan dan minuman.
47
• CT-scan: CT-scan merupakan metode pencitraan terpilih karena dapat
memberikan evaluasi radiologik terbaik pada abses leher dalam. CT-scan dapat
mendeteksi akumulasi cairan, penyebaran infeksi serta derajat obstruksi jalan
napas sehingga dapat sangat membantu dalam memutuskan kapan dibutuhkannya
pernapasan buatan.
• MRI: MRI menyediakan resolusi lebih baik untuk jaringan lunak dibandingkan
dengan CT-scan. Namun, MRI memiliki kekurangan dalam lebih panjangnya
waktu yang diperlukan untuk pencitraan sehingga sangat berbahaya bagi pasien
yang mengalami kesulitan bernapas.
2.6.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang ditambah adanya riwayat sakit gigi, mengorek atau cabut gigi.44
2.6.6 Terapi
Penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu:44
• pertama dan paling utama, menjaga patensi jalan napas.
• kedua, terapi antibiotik secara progesif, dibutuhkan untuk mengobati dan
membatasi penyebaran infeksi.
• ketiga, dekompresi ruang submandibular, sublingual, dan submental.
48
mengurangi waktu pemulihan di rumah sakit. Diawali dengan dosis 10mg, lalu diikuti
dengan pemberian dosis 4 mg tiap 6 jam selama 48 jam.44
Setelah patensi jalan napas telah teratasi maka antibiotik IV segera diberikan.
Awalnya pemberian Penicillin G dosis tinggi (2-4 juta unit IV terbagi setiap 4 jam)
merupakan lini pertama pengobatan angina Ludwig. Namun, dengan meningkatnya
prevalensi produksi beta-laktamase terutama pada Bacteroides sp, penambahan
metronidazole, clindamycin, cefoxitin, piperacilin-tazobactam, amoxicillin-clavulanate
harus dipertimbangkan. Kultur darah dapat membantu mengoptimalkan regimen terapi.44
Selain itu, dilakukan pula eksplorasi dengan tujuan dekompresi (mengurangi
ketegangan) dan evaluasi pus, di mana pada umumnya angina Ludwig jarang terdapat pus
atau jaringan nekrosis. Eksplorasi lebih dalam dapat dilakukan memakai cunam tumpul.
Jika terbentuk nanah, dilakukan insisi dan drainase. Insisi dilakukan di garis tengah
secara horisontal setinggi os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula). Insisi dilakukan di
bawah dan paralel dengan corpus mandibula melalui fascia dalam sampai kedalaman
kelenjar submaksila. Insisi vertikal tambahan dapat dibuat di atas os hyoid sampai batas
bawah dagu. Jika gigi yang terinfeksi merupakan fokal infeksi dari penyakit ini, maka
gigi tersebut harus diekstraksi untuk mencegah kekambuhan. Pasien di rawat inap sampai
infeksi reda.1,45
49
2.6.7 Komplikasi 1,2,42
Angina Ludwig merupakan selulitis bilateral dari ruang submandibular yang
terdiri dari dua ruang yaitu ruang sublingual dan ruang submaksilar. Secara klinis, kedua
ruang ini berfungsi sebagai satu kesatuan karena adanya hubungan bebas serta kesamaan
dalam tanda dan gejala klinis. Celah buccopharingeal, yang dibentuk oleh m. styloglossus
melalui m. constrictor media dan superior, merupakan penghubung antara ruang
submandibular dengan ruang pharingeal lateral. Infeksi angina Ludwig dapat menyebar
secara langsung melalui celah buccopharingeal ini ke ruang pharingeal lateral, di mana
selulitis akan dengan cepat menjadi berbahaya serta menimbulkan obstruksi jalan napas
yang berat.
Akibat barrier anatomik yang tidak dibatasi, infeksi dapat menyebar secara mudah
ke jaringan leher, ruang fascia retropharingeal, bahkan hingga mediastinum dan ruang
subphrenik. Selain gejala obstruksi jalan napas yang dapat terjadi tiba-tiba, komplikasi
dari angina Ludwig dapat berupa trombosis sinus kavernosus, aspirasi dari sekret yang
terinfeksi, dan pembentukan abses subphrenik. Komplikasi lebih lanjut yang telah
dilaporkan meliputi sepsis, mediastinitis, efusi perikardial/pleura, empiema, infeksi dari
carotid sheath yang mengakibatkan ruptur a. carotis, dan thrombophlebitis supuratif dari
v. jugularis interna.
2.6.8 Prognosis
Prognosis angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi jalan napas untuk
mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta pengurangan radang. Sekitar
45% – 65% penderita memerlukan insisi dan drainase pada area yang terinfeksi, disertai
dengan pemberian antibiotik untuk memperoleh hasil pengobatan yang lengkap. Selain
itu, 35% dari individu yang terinfeksi memerlukan intubasi dan trakeostomi.44
Angina Ludwig dapat berakibat fatal karena membahayakan jiwa. Kematian pada
era preantibiotik adalah sekitar 50%. Namun dengan diagnosis dini, perlindungan jalan
nafas yang segera ditangani, pemberian antibiotik intravena yang adekuat serta
penanganan dalam ICU, penyakit ini dapat sembuh tanpa mengakibatkan komplikasi.
Begitu pula angka mortalitas dapat menurun hingga kurang dari 5%.45
50
BAB III
KESIMPULAN
Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofiring, abses
parafaring, abse submandibular dan angina Ludovici. Abses leher dalam dapat terjadi
dikarenakan penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus
paranasal, telinga tengah dan leher. Kuman yang dapat menyebabkan abses dapat berupa
campuran kuman aerob dan anaerob. Kuman aerob yang paling dominan adalah
stafilokokus dan streptokokus. Kuman anaerob paling banyak adalah kuman gram negatif
anaerob.
Abses leher dalam tergolong dalam suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat
komplikasi-komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan saraf
kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga rupture arteri karotis interna. Angka
morbiditas dan mortalitas tergantung pada komplikasi yang terjadi. Manifestasi dari
abses serupa dengan kejadian peradangan lainnya, namun harus diperhatikan kondisi
kondisi yang dapat mengancam jiwa akibat komplikasi-komplikasi terjadinya abses yang
dapat menyebabkan kondisi lain yang lebih serius seperti obstruksi jalan napas,
kelumpuhan saraf kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna.
Lokasinya terletak di ruang potensial di antara dua fascia leher. Sumber infeksi paling
sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi tonsil dan gigi.
Dalam penanganan abses dapat dilakukan melalui dua jalan, pengobatan
medikametosa dengan antibiotik dosis tinggi, bila perlu dilakukan pula tindakan operatif,
selain punksi abses, dapat dilakukan pula insisi dan tonsilektomi. Hal ini akan
mengurangi komplikasi yang mengancam jiwa dan mempercepat perbaikan dan
pemulihan pasien.
51
DAFTAR PUSTAKA
52
12. Axial Section of Oropharynx. Diakses: 1 Desember 2018. Terdapat pada:
http://atlas.likar.info/Okologlotochnaya_kletchatka/.
13. Dewantara IPS, Eka Putra IDGA, Sucipta IW. Penanganan abses parafaring
dengan pendekatan transoral. Medicina 2017;48(1):62-66.
14. Acevedo JL, Isaacson GC. Pediatric Retropharyngeal Abscess. Terakhir
diperbaharui: 22 Juli 2011.
15. Moorhead K, Guiahi M. Case Report: Pregnancy Complicated by Ludwig’s
Angina Requiring Delivery. Infectious Diseases in Obstetrics and Gynecology.
2010:1-3.
16. Srirompotong S. Ludwig’s angina: a clinical review. Eur ArchOtorhinolaryngol
2003;260: 401–403
17. Gosselin BJ, Geibel J. Peritonsillar Abscess. Terakhir diperbaharui: 4 Februari
2010.
18. Repanos C, Mukherjee P, Alwahab Y. Role of microbiological studies in
management of peritonsillar abscess. J Laryngol Otol. Aug 2009;123(8):877-9.
19. Peritonsillar Abscess. Dalam: Access Emergency Medicine from McGraw-Hill;
2011.
20. Ramirez-Schrempp D, Dorfman DH, Baker WE, Liteplo AS. Ultrasound soft
tissue applications in the pediatric emergency department: to drain or not to drain?.
Pediatr Emerg Care. Jan 2009;25(1):44-8.
21. Kilty SJ, Gaboury I. Clinical predictors of peritonsillar abscess in adults. J
Otolaryngol Head Neck Surg. Apr 2008;37(2):165-8.
22. Ozbek C, Aygenc E, Tuna EU, Selcuk A, Ozdem C. Use of steroids in the
treatment of peritonsillar abscess. J Laryngol Otol. Jun 2004;118(6):439-42.
23. Heidemann CH, Wallen M, Aakesson M, et al. Post-tonsillectomy hemorrhage:
assessment of risk factors with special attention to introduction of coblation
technique. Eur Arch Otorhinolaryngol. Jul 2009;266(7):1011-5.
24. Kahn JH, O’Connor RE. Retropharyngeal Abscess in Emergency Medicine.
Terakhir diperbaharui: 17 Juni 2010.
53
25. Abdel-Haq NM, Harahsheh A, Asmar BL. Retropharyngeal abscess in children:
the emerging role of group A beta hemolytic streptococcus. South Med J. Sep
2006;99(9):927-31.
26. Wang LF, Kuo WR, Tsai SM, Huang KJ. Characterizations of life-threatening
deep cervical space infections: a review of one hundred ninety-six cases. Am J
Otolaryngol. Mar-Apr 2003;24(2):111-7.
27. Ridder GJ, Technau-Ihling K, Sander A, Boedeker CC. Spectrum and management
of deep neck space infections: an 8-year experience of 234 cases. Otolaryngol
Head Neck Surg. Nov 2005;133(5):709-14.
28. Lander L, Lu S, Shah RK. Pediatric retropharyngeal abscesses: a national
perspective. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. Dec 2008;72(12):1837-43.
29. Shah RK, Chun R, Choi SS. Mediastinitis in infants from deep neck space
infections. Otolaryngol Head Neck Surg. Jun 2009;140(6):936-8.
30. Coticchia JM, Getnick GS, Yun RD, Arnold JE. Age-, site-, and time-specific
differences in pediatric deep neck abscesses. Arch Otolaryngol Head Neck Surg.
Feb 2004;130(2):201-7.
31. The Surgery of Sepsis. Terakhir diperbaharui: 20 April 2010. Diakses: 1 Desember
2018. Terdapat pada: http://ps.cnis.ca/wiki/index.php/The_surgery_of_ sepsis.
32. Elliott M, Yong S, Beckenham T. Carotid artery occlusion in association with a
retropharyngeal abscess. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. Feb 2006;70(2):359-63.
33. Abses Parafaring. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada: www.scribd.com/
doc/66624613/abses-parafaring.
34. Rizzo PB, Mosto MCD. Submandibular space infection: a potentially lethal
infection. International Journal of Infectious Disease 2009;13:327-33.
35. Ariji Y, Gotoh M, Kimura Y, Naitoh K, Kurita K, Natsume N, et all. Odontogenic
infection pathway to the submandibular space: imaging assessment. Int. J. Oral
Maxillofac. Surg. 2002; 31: 165–9.
36. Huang T, Chen T, Rong P, Tseng F, Yeah T, Shyang C. Deep neck infection:
analysis of 18 cases. Head and neck. Ockt 2004.860-4 .
54
37. Craig FW, Schunk JE. Retropharyngeal Abscess in Children: Clinical
Presentation, Utility of Imaging, and Current Management. Pediatrics
2003;111:1394-8.
38. Blumberg JM, Ludson BL. Surgical management of parapahryngeal abscess,
Operative Technique in Otolaryngology 2014;25:304-9.
39. Tooth Decahy progression. Diakses: 8 desember 2011. Terdapat pada:
http://www.moondragon.org/health/graphics/toothdecayprogression.jpg.
40. Gómez CM, Iglesia V, Palleiro O, López CB. Phlegmon in the submandibular
region secondary to odontogenic infection. Emergencias 2007;19:52-53.
41. Fundamental Principles of Treatment of Infection-Oral Surgery Lecture Not; Juli
2011.
42. MD Guidelines. Ludwig’s Angina. Diakses: 1 Desember 2018. Terdapat pada:
http://www.mdguidelines.com/ludwigs-angina.
43. Topazian R. Oral and Maxillofacial Infection. 4th ed. St. Louis: W.B. Saunders;
2002.
44. Cossio PI, Hinojosa EF, Cruz MAM, Perez LMG. 2010. Ludwig´s angina and
ketoacidosis as a first manifestation of diabetes mellitus. Med Oral Patol Oral Cir
Bucal. 2010 Jul 1;15 (4): 624-7.
45. Raharjo SP. Penatalaksanaan Angina Ludwig. Jurnal Dexa Media. Januari-Maret
2008;Vol.21.
55